Fenomena homoseksual sudah ada sejak zaman dulu. Di Yunani kuno ada dikisahkan sebuah pulau yang khusus untuk kaum Lesbi, namanya Pulau Lesbos, yang dari sinilah istilah Lesbi berasal.
Para ahli atau pakar-pakar kedokteran, Psikologi maupun profesional lain sependapat bahwa homosek bukan penyakit atau kelainnan perilaku apapun. Homoseks juga bukan tren, karena ini berhubungan dengan orientasi seksual seseorang yang terbentuk pada masa kecil.
OREINTASI SEKSUAL
Orientasi skesual adalah ketertarikan fisik dan emosi terhadap orang lain, yang digambarkan sebagai garis lurus dengan kedua ujung, homoseks murni dan hetero murni. Orientasi seksual seseorang jatuh pada titik di dalam garis tersebut. Bisa di ujung kanan, di ujung kiri, di tengah-tengah, agak ke kanan, agak ke kiri dan seterusnya.
Orang yang punya orientasi seksual jatuh pas di tengah-tengah adalah biseksual. Teori dari Freud pakar Psikologis dari Jerman ini menerangkan kenapa ada orang yang sangat hetero (100%), sangat homo (100%), 70% hetero, 70% homo biseksual dll.
Sebelum memasuki masa puber, pada dasarnya anak-anak adalah biseksual, dan orientasi skesual ini terbentuk sampai menjelang dewasa (puber).
PENENTU ORIENTASI SEKSUAL
Faktor penentu bisa faktor biologis, seperti keturunan, hormon, kromosomal ataupun kadar zat kimia di dalam otak.
Juga karena faktor lingkungan, budaya, nilai-nilai masyrakat, dan pengalaman lain semasa kecil.
Tingkat Orientasi Seksual tiap orang berbeda secara fisik maupun lingkungan. Jadi ngga ada satu hal pasti yang menentukan orientasi Seksual seseorang. Pada umunya Orientasi seksual ini ngga akan berubah setelah usia remaja awal, yaitu sekitar 12 sampai 13. Nah kalau ada yang baru nyadar bahwa dia gay pas sudah gede, artinya selama ini dia memang belum ngeh saja.
Orientasi Seksual asli seseorang memang tidak bisa diubah, bahkan dengan terapi yang paling intensif sekalipun (kalau terapi memperbesar penis bisa dengan Mak Erot).
GAY TIDAK MENULAR
Karena memang bukan penyakit, maka homoseksual juga ngga bisa ditularkan pada orang lain (di SMU dulu hanya saya seorang yang di dikelas, padahal saya aktif di semua kegiatan, Pramuka, PMR, Pencinta Alam, Kesenian dan Rohis).
Namun biasanya ada rasa takut dari kaum hetero saat berdekatan atau bergaul dengan kaum gay. Ketakutan yang besar sehingga muncul rasa anti atau homophobia (misalnya Saudara Freid, pada hal Istri Nabi Luthpun seorang Lesbi dan juga anak-anakya ).
Artikel ini saya kutip dari Majahal Gadis N0. 21/XXX/5-15 Agustus 2003, halaman 64-65
Comments
DOKTER CINTA................
Dreamland, jangan berkecil hati, karena menurut para psikologi gay itu orientasi yang normal adanya, seperti misalanya tidak semua orang suka warna merah, atau tidak semua orang suka durian.
Sekali kalau melihat dari sudut medis, psikologi, silakan saja menjadi gay atau hetero, karena semua berangkat dari awal orientasi seksual kita.
Para pakar sosialpun banyak memahami fenomena gay ini, jadi tetaplah semangat gairah ilmu dan bekerja secara profesional.
JANGAN TANGGUNG
JANGAN KEPALANG
HIDUP DI DUNIA HANYA SEKALI
SATU BUMI
SATU UMAT MANUSIA
DAN SATU MASA DEPAN
uuppsss salah man! menurut ILMU psikologi, gay tetap dianggap kelainan seksual, tetapi bukan penyakit.
CMIIW
Ada datanya nga pernyataan kamu, soalnya yang aku tahu sama seprti pendapat Anak Agung
Mas Adi_jayanto, boleh tau nga latar belakang mas. Sebab yang saya tahu Mas Agung bilang begitu dengan refensi dari latar belakang pendidikannya, tentang masalah-masalah sosial. Nga tau deh kalo ternyata mas Adi ini psikolog
Apa bener Mas Adi psikolog? Sebagai setahu saya gay itu orientasi yang normal juga.
History
The history of psychology and homosexuality begins with the advent of psychology itself. The diagnosis of homosexuality as a psychological disorder or perversion, and thus as a predisposition, ironically contributed to its final classification as a separate sexual orientation. From then on, until its declassification as a psychological disorder in the 1970s, the psychology of homosexuality was frequently used to criminalize homosexuality itself. The emphasis shifted: instead of punishing the homosexual act, homosexuals were to be forcibly 'cured' under the law.
The first attempts to classify homosexuality as a disease were made by the fledgling European sexologist movement in the late nineteenth century. In 1886 noted sexologist Richard von Krafft-Ebig listed homosexuality along with 200 other case studies of deviant sexual practices in his definitive work, 'Psycopathia Sexualis'. In his work 'Sexual Inversion' Havelock Ellis first theorised on the origins of homosexuality, proposing that homosexuals, or 'inverts', were the product of a combination of upbringing and biological factors and that those not predisposed to homosexuality could become so if they had 'weak characters' and were so influenced.
Various other theories were exposed by sexologists along the lines that homosexuality was a physical disease, a 'third sex' or a psychological aberration. Most concluded that homosexuality was a curable condition. Various 'cures' were proposed including castration, hypnosis and aversion therapy.
Psychology and homosexuality
In 1896 Sigmund Freud's published his ideas on psychoanalysis. Dealing as it did with sexual urges, psychoanalysis was frequently used in the treatment of homosexuality, and much discussion of psychoanalysis was devoted to the issue of homosexuality as a paraphilia, or sexual disorder. For example, psychoanalysts theorised that castration anxiety was the basis for male homosexuality.
Because homosexuals were classified as mentally ill they were prevented from entering psychoanalytic training. This had the effect of preventing homosexuals from having a voice in the formation of psychoanalytical theory and this state of affairs persisted.
The rise of psychoanalysis popularised the idea of homosexuality as a disease. This increased the number of homosexuals placed in mental hospitals and prisons. Researchers attempted to use a variety of therapies to cure homosexuality, including "aversion therapy, nausea producing drugs, castration, electric shock, brain surgery, breast amputations, etc."[1].
The Post-War Years
The post-war era was seen as the start of the process to the eventual declassification of homosexuality as a psychological disorder. Evelyn Hooker carried out the first studies on non-patient groups of homosexuals and revealed many misconceptions regarding homosexuality on the part of the psychological community. Previous studies had been carried out purely on patient and prison groups of homosexuals. In particular, Hooker discovered there was no specific psychopathology linked to homosexuality and that there was as much psychological diversity in the homosexual psychology as in the heterosexual. These findings came as a surprise to many in the mental health professions at the time.
Similarly, the Kinsey report also revolutionised thinking on sexuality, and homosexuality in particular.
Declassification
In 1973 the American Psychiatric Association removed homosexuality from the revised Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) after intense debate. They stated that homosexuality "does not necessarily constitute a psychiatric disorder." Effectively, this saw its official acceptance as a viable sexual orientation and saw the increase in gay liberation throughout the Western world.
Many other associations across the world followed suit soon after. The American Psychoanalytic Association made similar steps and began accepting openly homosexual men and women. However, it wasn't until 1992 that the World Health Organisation ceased to classify homosexuality as a mental disorder, followed by the Chinese Psychiatric Association in 2001.
Issues
The declassification of homosexuality has largely ended the discussion of homosexuality as a mental disorder, at least among mental health professionals. This has allowed a much wider discussion of the origins of homosexuality, and in general what sexuality is.
Homosexuality as curable psychological disorder
As discussed above, the concept of 'curing homosexuality' or 'homosexuality as a disease' has been largely dismissed by mental health professionals. However, there persists a religious movement expounding an 'alternative' psychology that still regards homosexuality as a disorder and one that is curable through 'conversion' or reparative therapies.
lebih lengkap http://www.portaljuice.com/homosexuality_and_psychology.html
soal ini diteliti oleh freud, dari 1896 (sosiolog en psikolog yang mati gila). katanya homoseksualitas adalah penyakit mental (mental illness), ini mengakibatkan homoseksualitas dianggap suatu "penyakit" karena menggunakan kata illness. setelah PD II ada suatu pertemuan asosiali psikolog amerika yang berdebat untuk menghilangkan homoseksualitas dari daftar penyakit mental, setelah berdebat panjang, maka dihapuslah homoseksualitas. dan WHO mengakuinya, so karena standar telah diubah, maka homoseksualitas kini tidak dianggap sebagai penyakit. ini juga merevisi penyataan saya sebelumnya bahwa homoseksual BUKAN penyakit, tetapi homoseksual PERNAH DIANGGAP SEBAGAI penyakit. thanx
o ya satu lagi... saya bukan psikolog, saya mahasiswa d3 penyiaran unpad. cuma saya memang tertarik sama yang gitu-gitu (general psychology, bukan yang mendalam banget)...
Nah data yang saya dapat yang sesudah PD II dan itu juga di muat di majalah kerkini bahwa gay bukan penyakit.
Tolong kalau data yang relevan ya nga usah disebutlah, kan saya hanya mensuport teman-teman untuk Pede.
Intinya saat ini bahwa GAY BUKAN PENYAKIT.
gini lho soal "data yang relevan". alkisah beberapa bulan yang lalu terjadi kegemparan di forum ini karena ulah salah satu tamu yang memprovokasi masyarakat di sini. karena itu, mulai saat itu masyarakat di forum ini mulai menyadari perlunya bukti atau data yang dapat mendukung omongan atau opininya di sini. data tersebut harus sedemikian sehingga dikenal atau diakui di seluruh dunia. kalo kamu nggak nyebutin bukti disini, bisa aja kamu dianggap asal ngomong. jadi baik kamu mendukung atau menolak, sebaiknya (dan seharusnya) disertai bukti yang cukup kuat untuk medukung pernyataan kamu. Thanx
Yah biarin aja..........urusan mereka sendiri aja pd blom beres malah ngurusin urusan ranjang org laen
Setuju!!!!!!!!!!! ..... gue setuju dengan chocklate.
Tapi, harus dingat juga ... budaya barat ama budaya indonesia lain friend .....
akhirnya kesini sini lagi buntutnya.....??!!![/size]