BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

P.R.I.A

The Wedding Invitation
( One shoot )






Chan terdiam, kepalanya tertunduk, kedua lengannya tertumpuk di atas meja, di depannya, terdapat sebuah amplop putih berhias dua ekor merpati.
Di seberangnya, duduk seseorang yang memberikan amplop putih tersebut padanya,

“aku mau kamu nemenin aku” ujar Yoven, pria yang memberikan amplop pada pemuda tertunduk itu,

Chan mengangkat kepalanya, matanya menatapi Yoven,

“buat?” tanyanya,

Sebuah pertanyaan menggantung menurut Yoven,

“aku nggak ngerti apa maksud pertanyaan kamu”

“aku lebih nggak paham sama apa yang kamu kasih ke aku” sergah Chan cepat,

Yoven menelan ludah, mulutnya terbungkam, ia mengalihkan pandangannya pada arah lain, tak mau membalas tatapan lurus Chan terhadapnya,
“kalau kamu emang udah mutusin gitu, yaudah... aku juga nggak maksa, aku ngalah” Chan merendahkan tatapannya, menjadikan matanya terlihat sayu,

“untuk yang terakhir kali” sambung Yoven cepat,

Chan menggeleng pelan, ia berusaha menampilkan senyum termanisnya,

“aku rasa nggak perlu”

Lagi-lagi Yoven terdiam,

“aku mohon… temenin aku”

Kesabaran Chan habis, meskipun tak terlihat kesal, ia bangkit berdiri, meninggalkan Yoven. Yoven mengarahkan pandangan dan kepala mengikuti Chan yang berlalu hingga pemuda bertubuh mungil itu menghilang dari pandangannya.
Yoven terduduk sendiri di dalam cafe itu.


***

Chan berdiri termenung di dalam halte busway, banyaknya orang yang berdiri di belakangnya tak ia hiraukan. Pikirannya masih saja bernaung pada kejadian beberapa saat lalu. Ia benar-benar tak habis pikir kalau Yoven, pria itu, pria yang beberapa waktu lalu bersamanya, dapat melakukan hal yang menurutnya bukanlah sebuah lelucon.
Mengajaknya untuk bertemu, lalu menyodorkannya sebuah undangan, ya… sebuah undangan pernikahan, dan herannya lagi, ia meminta dirinya untuk menemani Yoven untuk berjalan masuk ke dalam ruangan acara?

Apakah pikiran Yoven terbuat dari batok kelapa? Apakah dengan menggunakan cara seperti itu Yoven dan juga Meisya, calon istrinya itu dapat mentertawakan Chan dengan sepuasnya hingga terjatuh dari pelaminan?
Lucu? Tidak.

Bus yang di tunggu datang dan merapat, Chan bersama orang-orang yang sudah mengantri, mempercepat langkah untuk masuk ketika pintu bus terbuka. Suasana di dalam bus tak begitu ramai, meskipun sewaktu mengantri tadi orang terlihat sangat banyak. Bus yang membawa Chan dan penumpang lainnya, mulai beranjak meninggalkan halte, melaju perlahan-lahan bersama-sama kendaraan lain, membelah jalanan ibukota.


***

Malam harinya, Chan terduduk di balkon kamarnya. Malam semakin larut, jarum jam menunjukkan pukul 23:45, pemuda itu masih belum dapat terlelap. Berulang kali ia mencoba membenamkan dirinya dalam tidur, berulang kali ia terjaga, setelahnya, ia memutuskan untuk duduk di balkon. Suasana sekitar sangat sepi.
Dering tanda pesan masuk pada ponsel memecah keheningan, Chan menarik turun layar ponsel, melihat dari tampilan layar, sebuah pesan dari Yoven,

“Chan...”

Chan melengos, menghela nafas kecil, meletakkan ponselnya di sampingnya, tak berniat untuk membalas. Untuk kedua kalinya ponselnya berdering. Cuek, namun penasaran, Chan mengambil ponselnya itu, dan dilihatnya,

“aku di depan kamar kamu, tolong bukain pintu”

Kedua mata Chan terbelalak terpaksa, lalu ia arahkan pandangannya pada pintu yang letaknya sejajar dengan balkon tempat ia duduk. Pemuda yang tahun ini berusia 25 tahun tersebut berdiri, berjalan mengendap-ngendap ke arah pintu, ia lalu menempelkan telinganya pada daun pintu. Telinganya tak menangkap suara apapun. Rasa penasarannya pun muncul, dengan gerakan yang sangat pelan, ia memutar kunci dan gagang pintu, menyembulkan kepalanya dari balik pintu, menggerakkannya ke arah kiri, tak ada siapapun disana. Saat menengok ke arah kanan, wajah Chan menempel di perut seseorang.

Bagai maling yang terpergoki ingin mencuri, Chan mengangkat kepalanya perlahan-lahan, dilihatnya wajah Yoven yang tersenyum kecil ke arahnya. Malu. Buru-buru ia menutup pintunya, tapi ternyata dirinya kalah cepat, tangan Yoven yang kokoh menahan pintu untuk tidak tertutup. Semakin kuat Chan bertenaga untuk menutup pintu, semakin besar pula tenaga Yoven untuk menghalangi pemuda itu menutup pintunya. Pintu terbuka dengan paksa, Chan menyerah, harus ia akui, tenaga Yoven bukanlah tandingannya.

Berada di dalam kamar, Yoven terlihat mengatur nafas, dadanya naik turun, dua orang itu terlihat berusaha mengatur nafas agar kembali bernafas dengan normal,

“kamu itu kenapa?” protes Yoven,

“kamu aneh, nggak di ijinin masuk, tapi maksa” Chan gusar, mengambil posisi duduk di atas tempat tidur dengan posisi membelakangi Yoven,
Yoven mengangkat kedua alisnya, menghela nafas besar, berusaha sabar menghadapi pemuda kecil yang selama 3 tahun belakangan ini menjadi tambatan hatinya.
Pria berusia 30 tahun itu melangkah ke depan, ikut duduk di samping Chan, kepalanya di tolehkan ke kanan, melihati punggung kekasihnya itu,

“marah?” tanya Yoven,

Tak ada jawaban,

Yoven menetralkan lagi kepalanya, kedua matanya menatapi lantai,

“aku nggak heran kalau kamu marah” tukas Yoven lirih,

Masih tak ada jawaban,

“maaf kalau aku nggak bisa jadi aku yang dulu”

Suasana kamar menjadi hening, Yoven menjedakan dirinya, Chan masih saja tak bergeming.

“aku masih sayang kamu”

“bullshit!!” gumam Chan menanggapi,

Yoven menoleh,

“kamu momong apa? Aku nggak denger”

“udah lah, nggak usah basa-basi, aku mau tidur”

Yoven menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Chan merasakan per kasur bergerak, sesaat kemudian, ia mendengar suara pintu kamarnya tertutup.


***

Beberapa bulan kemudian setelah kejadian malam itu, tak ada lagi sosok Yoven yang menemani Chan, tak ada lagi bunyi pesan dari Yoven yang kepo dengan apa yang dirinya lakukan, tak ada lagi Yoven yang menjemputnya ketika jam pulang kerja tiba. Chan menjadi kehilangan semangat.

Sore itu, pada saat Chan baru saja keluar dari dalam gedung kantor tempat dirinya bekerja, ia mendengar seseorang memanggilnya.
Chan terlihat tak begitu nyaman dengan posisi duduknya, terlebih-lebih wanita yang duduk di hadapanya itu, tak henti-hentinya menatapi dirinya,

“di bawa santai aja” tukas Meisya sembari menyesap Coffee latte hangat miliknya,
Pemuda itu tak begitu memperdulikan perkataan Meisya, ia berusaha menghindara tatap mata dengan perempuan yang menurutnya adalah pelakor itu.

“aku dengar dari Yoven, kamu lagi marah?”

“dia aja yang lebay”

Meisya tersenyum kecil,

“tanggal 20 nanti, kamu bisa datang kan?”

Kali ini, pandangan Chan tertuju lurus pada Meisya, untuk beberapa saat, mata indahnya itu tak berkedip,

“ketemu Cuma buat ngobrolin ini? Iya?”

Dengan anggun, Meisya meletakkan cangkir di atas piring tatakan,

“memangnya, ada alasan apa lagi aku datang buat cari kamu?”

Kedua alis tebal Chan perlahan-lahan tertarik ke arah tengah, rasa emosi di dalam dadanya perlahan-lahan merambat, dan hampir meluap. Tapi itu hanya sesaat, Chan berhasil mengontrol emosinya, berhasil meredam emosinya yang hampir saja meledak. Menurutnya, menghadapi wanita pelakor tidak harus dengan emosi, meskipun sebetulnya ia hampir saja emosi,

“gimana?” Meisya kembali bertanya,

Berpikir untuk sesaat, Chan menarik kedua sudut bibirnya, menyungging senyuman pada Meisya,

“kamu cantik, pintar, menggoda”

“terima kasih”

Rasa penyesalan menyambangi dirinya ketika mendengar tanggapan Meisya,

“kamu bisa menggaet siapapun yang kamu mau”

Kedua terdiam dan saling pandang, tak ada satupun dari mereka yang berniat untuk mengalah dalam tatapan itu,

“buat apa kamu meminta aku hadir ke pernikahan kamu? Jadi bahan tertawaan kamu? Jadi bahan ejekan kamu?”

“kalau bukan Yoven yang minta, kamu pikir aku mau datang nemuin kamu?”

“kurang aku satu rasanya pernikahan kalian juga bakal lancar-lancar aja kan?” sambung Chan tegas,

Tatapan Meisya melonggar, memberikan ruang bagi dirinya sendiri untuk mengubah posisi duduknya dari tegang menjadi lebih santai,

“aku sih mikirnya emang gitu”

“terus?”

“tapi karena Yoven yang minta, mau nggak mau aku turutin lah”

“aku tarik lagi kata-kata pintarku tadi buat kamu, ternyata kamu nggak pintar-pintar amat kok ya”
Wajah Meisya menegang, matanya mendelik lebar, seolah-olah ia bersiap untuk menelan Chan bulat-bulat,

“buat apa kamu ngelakuin hal yang sebenarnya nggak mau? Meskipun itu D.I S.U.R.U.H”

“D.I M.I.N.T.A” Meisya mengeja dan menegaskan perkataanya,

“itu bahasa halusnya, kasarnya D.I S.U.R.U.H”

Meisya terlihat menggengam erat kedua tangannya, mulutnya terbungkam rapat, ingin rasanya pada saat itu juga ia melayangkan sebuah tamparan di wajah Chan,

“lelaki sejati, tidak ada waktu untuk berdebat dengan perempuan KURANG PINTAR”

Selesai berkata, Chan bangkit berdiri, meninggalkan Meisya yang masih terlihat menatapi dirinya dengan tatapan tajam.


***

Seminggu berlalu, pertemuan dengan Meisya masih saja menyisakan bekas kekesalan pada benak Chan. Berulang kali ia berniat mengirim pesan pada Yoven, memaki pria itu di karenakan kedatangan Meisya, tapi berulang kali pula ia mengurungkan niatnya itu, di karenakan menurutnya tidaklah pantas dan tidaklah penting baginya untuk melakukan hal tersebut. Jika benar Chan memuluskan aksinya itu, ia akan di anggap sebagai orang pencemburu dan benar-benar akan menjadi bahan tertawaan Yoven.

“mas Chan” panggil bu Dewi, cleaning Service di dalam kantor, saat perempuan paruh baya itu berdiri di dekat meja kerja nya,
Sebelum menjawab, Chan sempat melihat perempuan paruh baya itu memegang sebuah kantong plastik berwarna hitam ditangannya,

“eh ibu, ada apa bu”

Kantong plastik yang di lihat Chan, di letakkan oleh perempuan itu di atas mejanya,

“tadi ada kiriman di recepcionist, katanya buat mas Chan”

Kedua alis pemuda itu terlihat mengerut,

“buat saya?”

Perempuan itu mengangguk,

“oh ya, makasih ya bu”

“sama-sama mas” ucapnya seraya berlalu, melanjutkan tugasnya,
Untuk sejenak, mata Chan tak lepas dari kantong plastik di hadapannya, setelahnya, rasa penasarannya menuntun tangannya untuk mengeluarkan isi dari dalam kantong. Sebuah bungkusan berbentuk kotak. Di bantu gunting, Chan akhirnya mengetahui isi dari bungkusan tersebut yang ternyata adalah sebuah CD.
Tak ada cover ataupun petunjuk mengenai CD tersebut. Polos.
Sedikit terkejut melihat CD tersebut berisikan sebuah video. Kamera dalam video merekam sebuah ruangan, terlihat seperti ruang tamu, tepat di depan kamera terdapat sebuah kursi, tak berapa lama, mata Chan menangkap sesosok pria yang sangat ia kenal duduk pada kursi. Buru-buru Chan memasang earphone pada komputernya, agar suara dari video tersebut tak terdengar oleh rekan kerja lainnya,

“hai... apa kabar, aku harap kamu baik-baik aja ya Chan” Yoven terlihat jeda dalam video,

“aku tau kamu marah, kesel, benci sama aku, tapi aku nggak... sampai kapanpun aku nggak bisa benci kamu, dan nggak bakal bisa lupain kamu”

“anggap aja aku pecundang, karena berani ngungkapin perasaan lewat vidio ini, kara kalau kita ketemu, selalu nggak ada omongan apa-apa dari kamu”

Yoven kembali jeda,

“Chan, aku sayang banget sama kamu, sayang banget”

Chan tertegun, niat awalnya ia ingin menyudahi video itu, namun entah mengapa, ia masih melanjutkan untuk menonton,

“tiga hari lagi aku udah melepas masa lajang, dan sampai saat ini, aku masih belum geliat kamu lagi, aku kangen kamu Chan”

“aku udah berusaha nemuin kamu, berusaha hubungin kamu, tapi kamu nggak balas setiap pesanku, nggak jawab panggilan dari aku”

Dalam hatinya, Chan membenarkan apa yang di katakan Yoven dalam rekaman,

“aku tau, nggak seharusnya aku milih buat menikah, karena sebelumnya aku udah pernah janji sama kamu bakal selalu sama kamu sampai kapanpun”

“kamu tahu? Foto-foto kita, video-video kita masih aku simpen, karena kalau aku kangen kamu, kangen senyuman kamu, aku bisa liatin foto sama video itu”

“aku minta kamu datang di hari aku menikah nanti, bukan karena mau nertawain kamu, ngejek kamu atau semua pikiranmu buruk lainnya, aku cuma ingin kamu jadi saksi ku, kalau aku kuat buat ngejalanin semua prosesinya”

Chan ingat, kata-kata pada detik itu dalam video, adalah kata-kata yang di ucapkan pada Meisya beberapa waktu lalu. Wanita itu pasti bercerita pada Yoven, sehingga Yoven dapat mengulang kembali kata-kata itu.

“sedangkan aku tahu, kalau kamu di sana, hati kamu jadi semakin sakit, tapi Chan... aku Bener-bener butuh kamu”

Wajah Yoven yang putih bersih terlihat mulai memerah, Chan hafal, jikalau sudah seperti itu, hanya ada dua kemungkinan, marah, ataupun menangis. Nyatanya, di dalam rekaman, Yoven terlihat berulang kali menundukkan wajah, berbicara namun tak menatap ke arah kamera, makin lama, suara tangis Yoven semakin nyaring. Chan tak bergeming. Seingatnya, terakhir kali ia melihat Yoven menangis seperti itu ketika pemakaman ayahnya, sebuah tangisan kehilangan.

“aku Bener-bener butuh kamu Chan...”

Yoven sesenggukan. Chan terbawa suasana. Air mata terlihat mulai berkumpul di pelupuk matanya. Sekuat tenaga ia berusaha menahan mereka agar tak menetes, tapi karena terbawa oleh suasana dari rekam video Yoven, air mata yang di tahan-tahannya itu mengalir beriringan. Buru-buru Chan mengusapnya, takut di lihat rekan kerja lainnya.
Selebihnya, video itu di edit dengan campuran video-video pendek yang di rekam oleh Yoven dalam berbagai momen. Dalam keterharuannya, Chan terlihat tertawa mendesis, ketika rekaman video editan menampilkan video yang di rekam oleh Chan sendiri ketika Yoven sedang tertidur dengan posisi kacau dan suara dengkurannya yang kencang.
Harus Chan akui, kebersamaan mereka selama tiga tahun itu, menyisakan begitu banyak kenangan yang sekarang itu hanya dapat di kenang olehnya. Melalui video itu, perasaan Chan mulai sedikit melunak. Namun ia masih belum memutuskan apakah pada hari-H ia akan mendatangi acara pernikahan Yoven.


***

20 Juni 2017

Chan memutuskan untuk datang ke lokasi, tempat di mana Yoven akan melangsungkan pernikahan. Sebelumnya ia sempat merutuki dirinya sendiri ketika ia tak tahu di mana lokasi Yoven menikah, di sebabkan pada saat bertemu dengan Yoven, ia lupa menyimpan undangan yang di berikan. Ia tak menyesali ataupun menyalahkan dirinya sendiri pada waktu itu yang tak menyimpan undangan. Siapa di dunia ini yang dapat menerima dengan lapang dada undangan pernikahan kekasihnya bersama orang lain? 1 : 1000 jawabannya.

Beruntung Chan masih tergabung dalam Group chat. Dari sana, ia mendapat informasi tentang lokasi pernikahan Yoven.
Chan masih berada di dalam mobil meskipun sudah sampai di tempat. Rasanya ia sangat enggan untuk keluar dari dalam mobil, masuk ke tengah-tengah acara, dan harus melihat senyuman bahagia dari Yoven maupun Meisya. Ia kembali memaki dirinya yang bodoh, kenapa hanya di karenakan video yang di kirim oleh Yoven, ia harus menahan rasa sakit hati yang luar biasa selama beberapa jam ke depan. Bodoh.

Malam itu, ia berpakaian layaknya orang yang berkunjung ke sebuah pesta. Kemeja lengan panjang berwarna Pink susu, celana panjang hitam dan sepatu pantofel yang berwarna senada dengan celana. Tadinya Chan berniat untuk memakai T-shirt dan celana Jeans, tapi di pikir lagi, ini adalah sebuah acara pernikahan yang mana semua keluarga pihak mempelai pria dan wanita juga turut hadir, tidak etis rasanya jika ia memakai pakaian seperti itu meskipun tak ada larangan mengenai pakaian untuk menghadiri acara pernikahan.

Chan tersadar, sudah lima belas menit lebih ia berada di dalam mobil, ia pun segera turun dari mobil, berjalan ke arah pintu masuk dengan perasaan tak menentu.
Acara pernikahan di langsungkan di sebuah cafe yang berada di atas sebuah gedung di bilangan Jakarta pusat. Chan pernah mengunjungi tempat itu, cukup indah pemandangan di bawah sana jika dilihat dari atas. Sepertinya pesta pernikahan ini hanya untuk kalangan tertentu, mengingat kapasitas tempat itu tak dapat menampung tamu dalam jumlah ratusan.

Saat akan menuju pintu masuk, ia mendapati beberapa orang temannya yang juga masih belum masuk ke dalam, salah seorang teman perempuan yang ia kenal, menangkap kehadiran Chan,

“eh... Chan” seru Shirleen,

Perempuan itu terlihat berjalan tergopoh-gopoh mendatangi tempat pemuda dengan tinggi 178 sentimeter itu berada, dari raut wajahnya, Chan melihat Shirleen terlihat panik,

“kenapa Shir?” tanya Chan,

“kamu jadi Best man ya”

Secara refleks Chan menunjuk dirinya sendiri, perempuan di hadapannya mengangguk-angguk berulang kali,

“nggak ah...” tolak Chan,

“ayolah Chan.... pleaseeeee.....” pinta Shirleen,

“nggak ah... kenapa harus aku?” Chan terlihat bingung,

Shirleen benar-benar terlihat bingung, ia juga terlihat berusaha menenangkan dirinya yang terlihat panik, mencoba berusaha untuk menjelaskan pada pria di hadapannya,

“Best man yang udah di pilih hari ini malah nggak bisa dateng, nggak ada yang bisa gantiin”

“nggak usah pak Best man kan bisa” seloroh Chan,

“aduh... Chan.... itu artinya harus ngubah semua susunan acara” terang Shirleen,

Ah ya... Chan membenarkan apa yang di katakan temannya itu, dengan di minta dirinya menjadi Best man, pastinya acara itu sudah di susun sedemikian rupa, sehingga tak boleh ada yang kurang dalam rangkaian acara. Rasa enggan nya itu, membuat Chan menjadi tak dapat berpikir dengan jernih,

“pleaseeee Chan.... kali ini aja, ya ya... Cuma bentar doang kok, Cuma nganterin Meisya ke atas panggung, udah itu udahan”

Whatttt?????

Chan mendelik,

“aku harus anter Meisya gitu? Ke atas panggung?”

Shirleen mengangguk cepat,

“ke pelaminan?”

Lagi-lagi Shirleen mengangguk. Masih dalam keterkejutannya, dan belum mendapatkan persetujuannya, Shirleen meminta beberapa pria yang berdiri tak jauh dari mereka, membawakan sebuah jas berwarna putih ke arahnya, dengan sigap pula Shirleen membantu Chan untuk memakai jas tersebut. Chan mengenakan jas itu dengan bantuan Shirleen layaknya sebuah robot yang mengikuti saja apa yang di pakaikan padanya.
Shirleen juga tak lupa menyematkan bunga dada pada saku kiri jas yang di kenakan oleh Chan. Ketika semuanya Shirleen rasa siap, dirinya, bersama Chan, dan juga beberapa pria berpakaian berwarna senada, dengan cepat memasuki ruangan. Sesampianya mereka, Chan bersama yang lain tak langsung berada di tempat acara, melainkan di dalam sebuah ruangan, di mana Meisya berada.

Tatapan Chan dan Meisya sempat saling bertemu. Keduanya saling tatap, namun tak bertegur sapa. Meisya malam itu terlihat sangat cantik, Chan mengakui itu. Gaun yang ia kenakan, sama sekali tak terlihat seperti gaun pengantin pada umumnya yang identik dengan rok mengembang penuh dengan payet, yang di kenakan oleh perempuan itu hanya sebuah gaun malam long dress berhiaskan bordiran berwarna maroon, namun dengan di dukung penampilan Meisya yang elegan dan wajah cantiknya, gaun itu terlihat sangat mewah.

Meisya berjalan ke arah Chan. Chan terlihat gugup, berulang kali menelan ludah,

“akhirnya kamu datang juga” ucap Meisya membuka pembicaraan,

Chan hanya menanggapi dengan senyuman simpul,

“aku pikir kamu nggak akan datang”

Keduanya terdiam,

“aku, minta maaf atas kejadian beberapa waktu lalu” sambung Meisya,

Chan menggeleng pelan,

“nggak usah di pikirin, aku nggak masukin ke dalam hati”

“terima kasih”

Lagi-lagi Chan mengeluarkan senyuman andalannya. Senyuman simpul.
Beberapa orang pria yang ikut masuk ke dalam ruangan bersama dengan Chan sebelumnya, terlihat terburu-buru keluar ruangan ketika suara pembawa acara yang menginstruksi terdengar dari dalam ruangan, tersisa hanya Chan dan Meisya berdua di dalam ruangan.

Ya.. ini juga adalah sebagian dari rangkaian acara yang sebelumnya Shirleen sudah beritahukan, pria-pria itu akan keluar lebih dulu, dan puncaknya adalah, Chan yang menggandeng Meisya akan keluar dari dalam ruangan, mengantarkan mempelai wanita hingga pelaminan. Sesuai susunan, pembawa acara kembali mengajak penonton di luar sana untuk menyambut mempelai wanita.

Chan menghela nafas, menyingkirkan rasa tegangnya, memegang bouquete bunga dengan erat, dan menyambut kaitan lengan kanan Meisya pada lengan kirinya. Terdengar suara tepukan tangan ketika keduanya keluar dari dalam ruangan. Di kiri dan kanan karpet merah jalur yang mereka lewati, semua tamu tampak memberikan tepuk tangan. Chan sempat melirik ke arah Meisya, perempuan cantik di sebelahnya itu tak henti-hentinya melontarkan senyuman ke tamu-tamu.
Dari tempatnya berjalan, di ujung sana, tepatnya di singgasana pelaminan sana, ia melihat kemunculan Yoven. Malam itu, pria itu terlihat sangat tampan, meskipun jarak tak begitu jauh, Chan masih dapat menangkap sosok tampan itu dalam penglihatannya. Pria itu terlihat tersenyum, senyuman yang sangat manis. Sebuah perasaan sedih, dan kecewa, menyamabangi Chan. Chan berusaha mengontrol emosi, ini adalah momen bahagia keduanya, ia tak boleh melakukan kesalahan sedikitpun, meskipun itu hanya setetes air mata.

“mari kita sambut sekali lagi dengan tepuk tangan yang meriah untuk mempelai yang sebentar lagi akan mencapai singgasana bahagia” seru pembawa acara.

Lagi-lagi telinga Chan mendengar suara tepuk tangan yang cukup ramai. Dua langkah lagi, Chan akan sampai pada panggung untuk mengantar Meisya dan menyerahkan pada Yoven. Satu langkah lagi, keduanya akan sampai di panggung, di mana Chan melihat dengan jelas tampilan Yoven pada malam hari itu, dan keduanya sampai di atas panggung. Tatapan kedua pria itu bertemu untuk beberapa saat. Wajah Chan menegang, kedua alisnya sedikit tertekuk, sedangkan wajah Yoven di penuhi oleh senyuman.
Hampir saja Chan terbawa suasana.

Dengan sangat perlahan, Chan melepas kaitan lengan Meisya. Bermaksud untuk menggenggam tangan perempuan cantik itu untuk di serahkan pada Yoven, namun pada saat Chan akan melancarkan niatnya, perempuan cantik itu terlihat menarik tangannya, kemudian ia memeluk Chan dan mengucapkan sesuatu yang membuat pemuda itu benar-benar terlihat kikuk dan bodoh.

“happy wedding Chan, May Brother in law” ucap Meisya yang setelahnya turun dari atas panggung,

Chan kikuk. Ia melihati Yoven yang berdiri di hadapannya, pria itu meraih tangan Chan, lalu di kecupnya dengan lembut.

“i.. ini?” ujar Chan tak mengerti,

Selanjutnya, Shirleen muncul dan naik ke atas panggung, memberikan sebuah kotak kecil berwarna hitam pada Yoven. Setelah menerima kotak itu, Yoven yang juga terlihat sedikit canggung, berlutut di hadapan Chan yang sampai saat itu masih belum dapat mencerna dengan semuanya,
Suasana tempat itu, mendadak hening. Semua mata tertuju pada dua insan yang berada di atas panggung,

“kalau aku di tanya, apa yang membuatku bahagia, jawabanku adalah kamu
kalau aku di tanya, di manakah hatiku akan berlabuh, jawabanku adalah kamu
kalau aku di tanya, di manakah cinta sejatiku, jawabanku adalah kamu
kalau aku bertanya padamu, maukah kau menikah denganku, melewati hari-hari bersamaku,
menikmati hari tua dan menua bersamaku?”

Wajah Chan terlihat memerah, mulutnya membisu, berulang kali ia menghela nafas dan menelan ludah, mendengar penuturan Yoven,

“tiga tahun sudah kita lewati bersama, susah senang kita lewati bersama, hingga sampai satu hari, aku menyadari, bahwa kau adalah orang yang benar-benar ku cari dalam hidupku, aku tahu kita adalah sesama jenis, namun, aku tak memperdulikannya, selama aku mencintaimu, yang ku tahu hanyalah dirimu”

“malam ini, di depan semua orang yang ada di tempat ini, aku Yoven Mahendra, melamarmu Ichan Handhono”

“apakah kau bersedia menjadi pendampingku?”

Chan tak dapat membendung perasaannya, tak lagi dapat menahan air matanya lagi, semua pertanyaan-pertanyaan, ia kesampingkan. Tak mau membuat Yoven menunggu lama, Chan mengangguk dengan mata yang mulai basah.
Suara tepuk tangan kembali terdengar, Yoven bangkit berdiri membuka kotak kecil berwarna hitam itu, memakaikan cincin berbahan emas putih bertakhtakan permata pada jari manis Chan. Pria itu lalu memberikan sebuah pelukan dan sebuah ciuman pada kekasihnya itu.


***

Dua hari setelah pernikahan, Yoven mengajak pasangannya, Chan untuk melewatkan bulan madu di pulau dewata. Sebuah Villa yang berada di daerah ujud menjadi pilihan mereka. Sore harinya, keduanya duduk di teras balkon sembari menikmati suasana pemandangan berkabut di hadapan mereka.
Yoven menidurkan kepalanya pada pangkuan Chan,

“kamu kenapa nggak pernah bilang kalau kamu punya adik?”

Yoven tersenyum kecil, ia menghentikan aktivitas tangannya yang memainkan ponsel. Di tatapnya wajah Chan sambil sesekali di elus-elus,

“aku udah pernah bilang, kamu nya aja yang nggak ngeh...”

Chan menggeser matanya dan menyipit, berusaha mengingat. Ia yakin betul kalau Yoven sama sekali belum pernah memberitahunya,

“belum ah...”

“udah sayang, aku pernah bilang kalau aku punya adik di Australia”

Yoven membangkitkan tubuhnya, di raihnya kedua tangan Chan, di genggam halus.

“Cuma memang aku nggak pernah bilang, kalau adik ku itu cowok atau cewek” jelasnya lagi,
Chan terdiam. Ia menanggapi penjelasan Yoven dengan senyuman simpul, ia sempat melihat pria yang kini menjadi pendamping hidupnya itu sedang menatapinya, pemuda itu merasa sedikit malu, ia lantas mengalihkan pandangan ke arah lain,

“maaf ya.. kalau aku harus buat kamu tersiksa” ungkap Yoven sembari mengecup kedua punggung tangan Chan,

“jujur, aku juga nggak tega ngelakuin hal itu ke kamu, tapi, atas saran Meisya, aku ngikutin, supaya aku bisa tahu gimana perasaan kamu ke aku” lanjut Yoven,
Chan jeda, di tatapnya kedua mata Yoven lekat-lekat,

“seandainya malam itu aku nggak dateng gimana?”

Kini giliran Yoven terdiam. Hal yang di ucapkan oleh Chan, sama sekali tak terlintas di benaknya, setelah semuanya usai, sekarang itu ia baru terpikirkan,

“aku nggak pernah terpikir sama sekali, kalau malam itu kamu nggak datang, bakal gimana”
Chan tersenyum geli,

“aku tahu kelemahan kamu, jadinya aku sengaja ngirimin video itu supaya mancing kamu buat dateng, dan ternyata, kamu demang dateng”
Tanpa basa basi, Chan melepas genggaman Yoven, dan mendekapkan tubuh pada tubuh bidang pria itu. Yoven sendiri segera mendekap dalam pemuda kecil itu.

“makasih ya”

***

Comments

Sign In or Register to comment.