"Aku mencoba menyimpan masa laluku. Ternyata itu keputusan yang salah."
Pernahkah kalian mengetahui setelah sekian lama berpacaran ternyata pacar kalian bermain "dibelakangmu". Orang-orang mengibaratkan seperti sebuah gelas kaca yang jatuh berantakan, tidak mungkin akan kembali menyatu dengan sempurna. Dia yang dulu aku banggakan, aku cintai, aku rindukan setiap malamku ternyata berbuat hal yang sulit untuk dimaafkan.
Aku kecewa, aku marah, aku benci saat mengetahui itu. Aku mencoba menjauhinya, pergi darinya, berusaha untuk melupakan semua kenanganku.
Namun, tidak disangka Dia muncul dikehidupanku lagi setelah sekian lama tidak berjumpa.
Dan satu persatu, rasa yang dulu pernah ada mulai menyatu. Oh Tuhan, tidak mungkin aku mencintai lagi orang yang telah mengkhianati cintaku.
cerita ini juga tersedia di wattpad
Comments
"Halo", sapanya.
Aku hanya bisa berdiri, terdiam beberapa meter darinya. Aku menatap penuh tajam, memperhatikan setiap detail tubuhnya. Jantungku langsung berdegup kencang menerjemahkan hasil penglihatanku. Badan yang tegap dan lebih tinggi dariku, kulitnya yang cokelat dan mata hitamnya yang selalu menatap tajam. Tidak mungkin ini Dia.
"Hai", sapanya lagi.
".......", aku masih terdiam, terpaku menatapnya. Mulutku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Dia tersenyum, senyum yang dulu pernah meluluhkan hatiku. Seketika saja otakku yang sempat terhenti mulai bisa menerjemahkan keinginan hatiku.
Aku tersenyum kecil, mencoba untuk tidak terlalu mengumbar sebuah pertemuan lama. Aku mencoba berpaling, kakiku terasa lebih cepat memahami hatiku daripada otakku. Dengan cepat aku mencoba menjauh darinya.
-------------------------------------------------------------
"Den!"
Aku masih termangu dipojokan ruangan, bersandar pada kolom besar. Tatapanku kosong mengarah ke lapangan olahraga kampusku.
"Den! Denis! Mushi!", teriak temanku sembari meniupkan angin cukup kencang dari mulutnya.
Aku tersentak dan melihat Friga menatap heran. "Ya?", jawabku pelan.
"Melamun apa kamu?", tanyanya. Friga seakan mencemaskanku. Dia memang teman terbaikku. Kalau bukan dia yang menyemangati hidupku dulu mungkin sekarang aku masih butiran debu.
"Tidak apa-apa", jawabku sekenanya. "Belum masuk ya?"
"15 menit lagi".
"Ya sudah, ayo masuk kelas", ajakku.
"Ada masalah?", tanyanya lagi
"Sudah ah, ayo siap-siap ke kelas".
Aku mengikuti langkah kaki Friga yang sudah lebih dulu beranjak. Sepertinya dia memiliki radar yang kuat kalau aku sedang dalam keadaan tidak stabil. Namun belum waktunya aku mengatakan kalau baru saja bertemu dengan Sang Mantan.
-------------------------------------------------------------
Sebenarnya kuliah itu hanya menghabiskan waktu dan uang, ujung-ujungnya hanya ditakdirkan menjadi karyawan bukan bos perusahaan. Kalau bukan paksaan dari kedua orang tuaku yang tiada hentinya selama setahun mungkin sekarang aku sudah menjadi bos perusahaan ternama dan terbesar.
Berat sekali untuk pergi jauh dari rumah hanya untuk kembali ke kota yang aku benci hanya untuk kuliah. Kota yang mempunyai masa lalu buruk dengan seseorang.
"Melamun lagi....", keluh Friga yang tengah berjalan di sampingku.
Suasana sudah menunjukan matahari semakin terbenam diufuk barat. Cahaya merahnya menerpa wajah kami yang lelah sehabis menuntut ilmu.
"Ha?".
"Hah apa? Kamu kenapa?"
"Tidak apa-apa Ga", jawabku mencoba menutupi kemelut pikiranku.
"Yang benar?
"Benar."
Aku mencoba mengalihkan pandanganku ke halaman luas kampus. Ada beberapa orang sedang berdiri kelelahan. Sepertinya mereka habis latihan olahraga, biasanya tim futsal kampus yang melaksanakan olahraga di sore hari.
Mataku mulai mencoba memperkecil arah pandangan kesosok seseorang yang tengah mengelap keringatnya. Aku terperangah kaget. Sejak kapan Dia ada ditim futsal kampus. Aku pun segera menarik tangan Friga, berharap Friga tidak ikut melihat ke arah depan.
"Ga, makan yuk, aku lapar!" Ajakku mencoba mengalihkan perhatian Friga. Aku khawatir kejadian dulu saat Friga berkelahi hebat dengan Dia hanya untuk membelaku.
"Hah?", Friga bingung karena tangannya aku tarik.
" Ayo, kita makan di belakang kampus, lagi ingin makan fastfood."
"OK", jawabnya tidak curiga.
Aku segera menarik Friga berjalan kembali ke dalam kampus.
-------------------------------------------------------------
Entah kenapa restoran fastfood ini terasa lebih ramai hari ini. Kami nyaris tidak mendapatkan tempat duduk. Memang momennya tepat disaat jam pulang kampus, apalagi restoran ini dekat dengan fakultas teknik yang terkenal dengan mahasiswanya yang doyan makan fastfood.
"Tumben ngajak makan di sini?", tanya Friga.
"Lagi ingin makan fastfood."
"Katanya mau diet? Kok makan beginian", ledek Friga. Dia langsung saja mencomot ayam goreng crispy miliknya.
"Bolehkan sekali-kali makan ini", pintaku.
"Ya bolehlah, asal kamu bawa aku kesini bukan maksud menyembunyikan sesuatu saja".
Friga memang teman terhebatku. Selain jeli dengan pelajaran dia juga jeli mengenai isi hatiku. Sepertinya dia memang cocok menjadi seorang psikolog daripada ahli kimia.
"Ya tidaklah, jangan mikir yang aneh-aneh."
"Ok", jawabnya. "Oya besok ada pertandingan futsal persahabatan fakultas kita dengan fakultas kedokteran, kamu nonton ya."
"Iya-iya, aku pasti nonton."
"Kamu harus jadi suporter terbaikku, besok aku akan menunjukkan keganasanku mencetak gol!"
"Ha ha ha, ya mudah-mudahan sesuai harapanmu", ucapku. "Emm aku kenyang nih."
"Hah? Kenyang? Berapa banyak yang kamu makan? Masa yang hilang bagian luar ayamnya", protes Friga.
"Habiskan yah", pintaku manja.
Friga hanya bisa mendengus melihat kelakuanku. Sepertinya dia semakin curiga dengan gelagatku. Tapi biarlah, yang penting Friga tidak bertemu dengan si Dia. Setidaknya aku harus pandai menghindar dari Dia sementara waktu.
--------------------------××××××------------------------
> jadi penasaran ...
pembaca setia boyzstories
Friga begitu semangat dengan pertandingan futsalnya. Dia memang hobi bermain futsal semenjak kami kenal diwaktu SMP. Dia salah satu pemain terbaik kala itu, selalu beringas ingin mencetak gol saat bermain. Aku hanya bisa menjadi tim cheerleadernya dari bangku penonton saat dia bermain.
Kali ini tim fakultas kami akan bertanding dengan tim dari Fakultas Kedokteran. Selama ini, tim kami sudah bermain dua kali dan hasilnya selalu menang. Aku senang waktu itu Friga bisa menjadi MVP saat melawan tim Fakultas Kedokteran.
Suasana sudah pasti sangat ramai, banyak sekali yang ingin menonton pertandingan kali ini. Kebetulan tim Fakultas Kedokteran pemainnya memiliki wajah yang cakep dan badan yang bagus. Wajar banyak wanita dari berbagai pelosok kampus datang meramaikan suasana. Apalagi kampus kami terkenal dengan lapangan futsalnya yang megah.
"Denis!!", teriak Friga dari pinggir lapangan. Dia melambaikan tangannya memintaku untuk ikut masuk ke dalam lapangan.
"Maaf", ucapku. Hampir saja aku telat datang.
"Ya sudah, kamu duduk disini saja, soalnya kursi penonton penuh", pintanya.
"Ok, asal bolanya jangan nyasar lagi".
"He he he", Friga hanya bisa menyengir mengingat kejadian di mana aku pingsan karena tendangan bola keras.
"Wah, tim kedokteran ada pemain baru", ucap salah satu pemain futsal di samping kami.
"Siapa?", Friga membalikkan badannya.
Aku pun penasaran ingin melihat pemain baru itu. Dan...
Kakiku langsung terasa kaku, nafasku seakan terhenti sebentar. Otakku seperti sangat lambat mengolah informasi yang didapat dari mataku. Dan.....
Dia mendekat kearah kami. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menghindar. Aku mencoba menatap Friga dan sudah jelas wajahnya berubah penuh emosi. Tangannya seakan-akan siap siaga untuk menangkis hal yang tidak terduga.
"Hai, lama tidak bertemu", sapanya dengan nada ramah.
Friga hanya bisa diam membisu. Mata terus menatap tajam ke arahnya. Aku hanya bisa berlindung di belakang Friga menanti tiap adegan yang akan terjadi.
"Wah, kamu kenal dia, Ga?", tanya teman kami yang melihat Dia pertama kali. "Hebat dong, dia kan pemain terkenal itu."
Friga hanya bisa menatap heran. Tidak mungkin dia tidak mengetahui hal sekecil ini. Friga teringat pembicaraan temannya satu tim kalau tim futsal Kedokteran ada tambahan pemain baru. Pemain tersebut berasal dari kampus cabang di kota lain. Dan tidak disangka orang itu adalah orang yang kami kenal dimasa lalu.
"Cakep nih, bisa banyak fansnya", teman Friga mencoba membuka suasana. Friga hanya bisa diam.
Aku hanya berpura-pura mengalihkan pandangan ke tempat lain. Mencoba untuk tidak berbicara dengannya.
"Ha!", dengus Friga. "Sepertinya pertandingannya berlangsung keras nanti."
"Oh ya?", dia menjawab dengan nada sinis. "Kami pasti menang."
"Emmm.... kenapa suasananya jadi dingin?", tanya teman Friga.
"Tidak apa-apa Steve", jawab Friga.
"Ok, selamat bertanding", dia langsung meninggalkan kami menuju ke tempat timnya berada.
Aku langsung duduk lemas. Kenapa rasanya jantung ini berdetak sangat kencang. Harusnya bertemu dia kembali adalah hal biasa, tidak perlu ada tanggapan yang luar biasa. Tapi, ini aneh, aku kaget luar biasa, aku syok.
"Jadi ini penyebabnya kamu bertingkah aneh?", Friga menyadarkan lamunanku. "Tidak usah banyak berpikir tentang dia."
Aku hanya mengangguk menjawabnya. Aku hanya khawatir Friga bisa bermain kasar dipertandingan ini.
-------------------------------------------------------------
Pertandingan berjalan sangat menegangkan. Aku berkali-kali merasa was-was saat Friga berhadapan dengan dia. Terlihat mereka berdua bermain sedikit kasar hingga wasit lebih sering meniupkan peluitnya.
Hal yang aku khawatirkan terjadi, Friga menekel kakinya. Dia pun terjatuh cukup keras. Wasit segera meniupkan peluitnya dengan kencang dan segera mengeluarkan kartu kuning. Tanpa disadari Dia bangkit dan langsung mendorong Friga.
Friga yang kaget tanpa sadar melayangkan pukulan kearahnya. Hal yang tidak diinginkan pun terjadi. Mereka berdua berkelahi di tengah lapangan. Banyak orang yang langsung menyoraki kejadian itu. Teman-teman mereka mencoba memisahkan mereka berdua. Wasit pun langsung menyuruh mereka keluar dari lapangan.
"Friga.....", panggilku pelan.
"Ada apa Friga!!!", teriak pelatih Friga yang berdiri tepat di depanku. Sepertinya Pelatih mereka terlihat sangat marah.
Pelatih itu pun segera menarik Friga dan membawa ke luar lapangan futsal. Aku pun ditinggal sendirian olehnya. Segera saja aku menoleh ke arah Dia dan melihat Dia juga ditarik dari lapangan futsal.
"Huuuu......", cemooh dari penonton yang hadir.
Friga pasti akan menghadapi maslh besar karena ini.
----------------------------×××××------------------------
Aku khawatir Friga bisa mendapatkan hukuman dari pihak kampus. Kenapa juga Friga malah cepat terpancing emosinya? Juga Dia, kenapa harus melakukan hal itu juga. Harusnya aku yang marah, bukan mereka berdua.
Sembari duduk di depan ruang Dosen kami, Aku hanya bisa termangu menatap langit lorong itu. Padahal semua kejadian buruk sudah dikubur dimasa laluku, tapi kenapa rasanya masih ada sedikit rasa yang mengganjal dihatiku. Seharusnya aku mendengar kata-kata orang, percintaan di dunia "ini" jangan dibawa terlalu serius, cukup have fun saja. Tapi aku tidak bisa, aku menganggap semua hubungan di dunia ini sama dan perlu keseriusan untuk menjalin hubungan berdua. Entah itu dengan lawan jenis maupun sesama jenis.
Pintu ruangan itu terbuka. Friga keluar dengan muka lesu. Bajunya pun masih sama dengan yang dia pakai saat bertanding. Terlihat bekas-bekas keringatnya menempel dibadannya. Dia pun menoleh kepadaku yang sedang duduk di depan ruangan dosen.
"Maaf," ucapnya. Perlahan dia berjalan ke arahku dan langsung duduk.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanyaku cemas.
Friga menggerakkan tangannya dan merangkulku. Friga merangkul sangat erat, seakan-akan dia tidak ingin aku pergi.
Aku mencoba menahan bau keringat Friga. Bagi orang mungkin baunya tidak enak tapi entah kenapa aku merasanya seperti bau yang seksi bagiku. Tangan Friga yang kekar menggesek pundakku menarik aku lebih dalam kepelukannya. Aku hanya bisa menyandarkan kepalaku dibahunya.
"Aku tidak akan membiarkan Dia mengganggumu lagi," ucapnya lagi.
"Hmm...." aku mencoba berguman. Aku mencoba mendorong keluar dari pelukannya. Dan mengarahkan pandanganku ke Friga. "Tidak usah memikirkan hal yang bukan-bukan, sekarang yang dipikirkan bagaimana keadaanmu?"
"Aman," jawabnya. "Dosen dan Pelatih hanya melarangku bermain selama 3 bulan di kampus dan..."
"Dan apa?"
"Aku harus bertemu dengan Dia untuk meminta maaf."
"Hah? Bukannya Dia juga ikut menamparmu? Kenapa malah kamu yang harus minta maaf?" Tanyaku heran.
"Rumit masalahnya," ucap Friga. "Ayo, aku mau ganti baju."
----------------------------××××--------------------------
Benar-benar aneh, Friga diharuskan melakukan minta maaf secara terbuka saat upacara hari ulang tahun kampus. Aku ingin sekali mencoba protes, bahkan teman-temannya satu tim merasa hukuman Friga terlalu berlebihan. Berkali-kali mencoba membahasnya dengan Ketua Jurusan dan jawabannya selalu sama.
"Itu sudah keputusan semua dosen kemahasiswaan, jadi terima saja," jawab Bapak Ketua Jurusan.
"Tapi Pak, hukuman sampai dilarang bermain juga kan berlebihan," protes Steve. Kami berdua mencoba melobi Ketua Jurusan untuk meringankan hukuman Friga.
"Sebentar lagikan turnamen futsal kampus, sayang Friga tidak ikut," keluh Steve.
"Ya makanya jangan membuat masalah," jawab Bapak Ketua Jurusan.
"Ya kalau memang begini keputusannya, mau tidak mau kami terima," jawabku mengalah.
"Bagus, kalau begitu saya mau pergi dulu, mau ada rapat dosen dan jangan lupa bilang ke Friga untuk acara permintaan maafnya besok pagi."
Kami hanya mengangguk. Tidak ada satupun lobi kami yang sukses meringankan hukuman Friga. Bahkan, Noni si anak dosen pun gagal melobi untuk Friga.
Dengan langkah kaki yang kurang bersemangat, aku dan Steve keluar dari ruang Ketua Jurusan. Steve benar-benar syok mengetahui hukuman Friga, apalagi Friga adalah pemain andalan fakultas kami.
"Memangnya Friga ada masalah apa dengan orang itu? Heran aku dibuatnya," protes Steve.
"Emm... kurang tahu juga," jawabku mencoba menutupi masa lalu Friga dan Dia.
"Halo," terdengar suara dari balik lorong di samping kami. Aku pun menoleh dan terkejut ternyata Dia sudah ada di sampingku dalam sekejap.
"Hei! Beraninya kamu ada di wilayah kami," bentak Steve.
"Maaf aku ke sini bukan cari masalah, hanya ingin bertemu dengan Denis," jawabnya.
"Hah? Denis?" terlihat Steve bingung.
Aku hanya bisa menunduk dan berusaha tidak mendengar. Aku takut Steve bakal tahu apa yang terjadi antara aku, Friga dan Dia.
"Ada apa kamu dengan Denis?" selidik Steve.
"Oh...," belum selesai Dia menjawab aku mencoba berlari menjauh darinya.
"Hei Denis!" panggilnya. Dia pun ikut berlari mengejarku.
Steve yang dari tadi berwajah bingung semakin dibuat bingung dengan kejadian ini. Aku harap keinginantahuan Steve hilang dengan bersama lariku.
--------------------------××××----------------------------
"Denis!!" Dia berhasil menangkap tanganku dan mencekram sangat kuat.
Aku merasa ada sesuatu yang menyetrum saat tangannya menyentuh kulitku. Rasanya bulu kudukku langsung berdiri. Otakku yang selalu salah memahami maksudku langsung membuka masa lalu saat aku merasakan kulitnya dulu.
"Lepaskan!" Aku menarik tanganku kembali.
Dia langsung menatapku tanpa sepatah kata pun. Nafasnya terdengar keras karena Dia semakin mendekat ke arahku. Beruntung aku berlari ke arah lorong yang sepi di fakultasku. Ini semua kulakukan agar teman-teman Friga tidak mencurigai tentang aku dan Dia.
"Jangan mendekat!"
"Masih galak ya?"
Aku tidak ingin menatap wajahnya karena aku tahu aku pasti kalah.
"Tolong jangan mendekat!!"
Dia pun menjauh sedikit dariku. Dan aku merasa jantungku semakin terdengar keras. Perlahan hidungku mulai mencium aroma tubuhnya dan lagi-lagi otakku membuka lembaran lalu.
"Maaf......" satu patah kata yang tiba-tiba terucap dari mulutnya. Aku pun menoleh ke arahnya dan melihat wajah sedihnya.
--------------------------××××----------------------------
> hmm ... mantannya Denis ... ?
kira kira begitu, hehe
Aku duduk lesu di kamar kostku. Rasanya malas untuk bergerak apalagi untuk mengisi perutku yang dari tadi belum aku isi dengan makanan. Aku teringat satu kata yang selalu aku ingat sampai sekarang. Dari intonasi pengucapannya, nadanya, suaranya, gerak bibirnya saat mengucapkan satu kata itu berkali-kali. Dan berkali-kali aku kalah oleh satu kata itu. Hatiku mudah luluh kalau Dia mengucapkan satu kata.
"Maaf..." suaranya masih terdengar dikepalaku. Aku mencoba untuk menepis suaranya dari kepalaku tapi susah sekali.
Aku mencoba memegang tanganku yang baru saja Dia pegang. Aku merasa ada sesuatu yang tiba-tiba merasuk ke dalam kulitku dan membuat tubuh ini terasa membara.
Aku mungkin masih diselamatkan oleh nasib. Setelah Dia mengucapkan kata itu lagi, Steve berhasil menemukanku dan mengusir Dia dari penglihatanku. Aku hanya bisa diam seribu bahasa, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku. Steve berkali-kali menanyakanku ada apa yang terjadi dan aku hanya diam.
Mungkin karena Steve takut aku kenapa-napa, dia membawaku pulang ke kostku. Tentu saja dia membawa kendaraanku dan mau tidak mau dia pulang dengan berjalan kaki kembali ke kampus.
Ah mungkin saja Friga sudah tahu hal ini dari Steve. Pasti Steve akan menceritakan pertemuanku dengan Dia di kampus tadi siang. Sudah pasti besok Friga bakal marah besar lagi. Sudah pasti akan ada lagi kejadian lebih besar lagi. Kenapa Friga harus menanggapi dengan emosi hubunganku dengan Dia.
Aku mencoba merebahkan badanku dikasurku. Kemudian aku menutup mataku, berdoa berharap hari esok lebih baik dari hari ini.
------------------------------------------------------------
Hari ini hari ulang tahun kampus kami. Suasana sudah dibuat meriah di lapangan. Seperti biasa semua mahasiswa dan dosen disuruh berkumpul untuk mengikuti upacara ulang tahun kampus.
Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar. Dari tadi aku mencari Friga. Entah sekarang dia berada di mana. Aku cemas karena hari ini Friga akan tampil dimuka umum untuk menyampaikan permintaan maaf.
"Aku malu sebagai mahasiswa kimia," keluh salah seorang di sampingku.
"Kenapa bisa mahasiswa seperti Friga harus meminta maaf disaat acara seperti ini," temannya menyahut.
Aku hanya bisa menguping pembicaraan mereka. Kebetulan mereka mahasiswa semester awal di kelas lain.
"Padahal divideo kemaren, lawan Friga yang mulai mukul," celotehnya.
"Dengar-dengar lawan Friga itu anak Pak Jhohanes, donatur terbesar kampus kita, makanya bisa berbuat seenaknya."
Aku langsung menjauh dari mereka. Apa aku tidak salah dengar, Dia anak donatur terbesar kampus ini? Aku cukup lama kenal sama Dia hanya saja dulu aku tidak sempat tahu mengenai keluarganya.
"Arg! Ada apa aku ini?" Aku mengumpat pelan.
"Denis!" Panggil Noni dari belakang.
Aku menoleh dan melihat Noni serta Steve berjalan kearahku. Mereka terlihat sangat cemas.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Emmm....." ucap Noni bergumam. "Anu..."
"Kamu sudah tahu info baru ngga?" Potong Steve.
"Info apa?" Selidikku.
"Orang yang berkelahi dengan Friga kemaren, hari ini bakal dinobatkan menjadi Presiden Kampus secara aklamasi!" Jelas Steve panjang lebar.
"Hah!! Apa!!" Aku terperangah kaget. "Mana mungkin, kan Presiden Kampus harus dipilih secara langsung."
"Itu dia masalahnya, dosen-dosen memutuskan semua kemaren," ucap Noni. Perempuan yang tinggi badannya tidak lebih dari bahuku.
"Hmm... terus masalahnya apa?" tanyaku lagi.
"Aduh Denis kayak tidak tahu aja," protes Steve. "Sudah jelaslah tim futsal kita, hukuman Friga semua diawasi Presiden Kampus."
Aku menepuk jidatku. Badanku terasa lemas. Benar-benar lemas, aku baru ingat dengan menjadi Presiden Kampus berarti Dia sudah selangkah di depan buat mengatur isi kampus sesuai keinginannya.
-------------------------------------------------------------
Acara yang ditunggu telah tiba. Sesi permintaan maaf dari Friga secara terbuka akan dilaksanakan. Aku perhatikan dari jauh Friga berada di tempat para dosen berdiri dan Dia berada tidak jauh dari tempat itu juga.
Rektor yang kebetulan sedang berpidato sekaligus membuka acara permintaan maaf. Semua orang begitu riuh melihat acara permintaan maaf dihari ulang tahun kampus pertama kali. Memang selama ini kampus kami tidak pernah terlibat masalah perkelahian. Dan yang aku dengar dari sebelahku, semua ini dilakukan atas keinginan donatur kampus. Untuk memberi pelajaran terhadap mahasiswa yang tidak menaati aturan yang ada.
"Hari ini kita semua akan melihat sebuah acara permintaan maaf, ini juga sekaligus menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berbuat tidak baik di kampus kita. Saya harap ini adalah kejadian terakhir yang ada di kampus kita," jelas Rektor kami yang sedang berdiri di atas podium. "Saya panggilkan saudara Friga untuk naik kepanggung."
Friga berjalan pelan menaiki tangga panggung. Wajahnya terlihat tegang. Riuh gemuruh para mahasiswa yang menyaksikan adegan tersebut semakin terdengar keras. Sontak beberapa anggota Senat Mahasiswa menyuruh untuk diam untuk memperhatikan acara.
Seorang MC menyerahkan mic ke Friga yang sudah berada di dekatnya dan menyuruh Friga untuk maju ke depan tepat di samping podium kecil Rektor.
"Selamat pagi," sapa Friga.
"Huuu...." terdengar suara balasan dari kumpulan beberapa mahasiswa. "Malu-maluin fakultas!!!"
Aku yang mendengar hanya bisa diam. Steve yang ada di sampingku terlihat geram mendengar ocehan mahasiswa kami.
"Saya, Friga Wahyu Pratama, dari Fakultas Kimia, memohon maaf," lanjut Friga tanpa menghiraukan keadaan sekitar. "Saya sudah bersalah melanggar peraturan kampus, jadi sekali lagi, saya meminta maaf sebesar-besarnya, terima kasih."
Friga mencoba tersenyum dan melihat disekelilingnya. Tangannya terlihat gemetar saat menyerahkan mic kembali. Rektor yang berdiri di sampingnya segera menepuk bahunya dan menyuruhnya untuk turun.
Suasana pun semakin riuh. Ada beberapa yang mendukung upaya kampus ada juga yang menentang. Sorak sorai tidak terelakan lagi. Aku sepertinya bisa merasakan malunya menjadi Friga.
"Karena hari ini adalah hari spesial kampus kita," ucap Rektor tanpa menghiraukan sorak sorai yang begitu riuh. "Saya dan para dosen akan membuat sebuah terobosan baru, yaitu mengadakan Presiden Kampus, yang nantinya bertugas untuk mengatur semua kegiatan kemahasiswaan diseluruh kampus."
"Mari kita sambut Presiden Kampus pertama kita....."
Dia berjalan menaiki panggung.
--------------------------××××----------------------------
> penasaran dengan masa lalu nya ....
aku pun begitu
Harusnya semua mahasiswa protes dengan adanya pemilihan Presiden Kampus secara aklamasi oleh para dosen. Tapi kenyataannya tidak, bahkan sekarang Dia sudah mempunyai fans club yang dibentuk mendadak. Mahasiswa perempuan senangnya bukan main mendapat seorang Presiden Kampus yang ganteng dan menawan. Bak seorang model kelas internasional.
Padahal baru selang beberapa jam dari acara permintaan maaf, sekarang topiknya dengan cepat berubah menjadi Presiden Kampus Terganteng of The Year.
Aku jadi bingung, memang sejak kapan Dia memiliki wajah yang ganteng? Perasaan dari dulu wajahnya pas-pasan. Mendengar semua tentangnya membuatku semakin muak dengannya.
Aku terus berjalan disetiap koridor kampus mencari Friga. Friga seakan-akan menghilang dari peredaran setelah acara itu. Mungkin lebih baik aku pergi ke kostnya saja.
--------------------------××××----------------------------
"Friga?" Aku mengetuk pintu kamar kostnya.
Pintu itu pun terbuka. Aku melihat Friga dengan hanya pakaian pendeknya. Dia terlihat sedikit lusuh. Aku pun melangkah masuk ke dalam mengikutinya yang langsung berbaring diranjangnya.
"Kamu kenapa tidak ikut kuliah?" Tanyaku.
Dia hanya melirikku sekilas kemudian memejamkan matanya. Suasana menjadi diam.
"Friga?" Panggilku lagi mendekatinya. "Masalah..."
"Tidak usah dibahas", jawabnya. Dia mulai membalikkan badannya membelakangiku.
"Kamu kenapa?" Aku menarik badannya agar tidak membelakangiku.
Dia tiba-tiba menarik tanganku. Aku pun terjatuh kedalam pelukannya. Berbaring bersamanya diranjangnya.
"Friga, jangan aneh-aneh, pintumu belum ditutup," aku mencoba melepaskan pelukannya tapi pelukannya semakin erat.
"Jangan pergi...," suaranya mulai terdengar bergetar. Apakah Friga menangis.
"Pergi apa? Ada apa?" Aku masih bertanya sembari tetap bertahan di atas tubuhnya. Aku bisa merasakan badannya dengan otot yang cukup keras. Bagiku biasa dipeluk oleh Friga.
"......" Friga hanya diam dan aku mendengar isakan tangisannya.
Aku dibuat semakin bingung oleh Friga. Apa ini ada hubungannya dengan Dia? Sepertinya aku harus menemui Dia untuk membela Friga.
-------------------------------------------------------------
Aku menunggu cukup lama di depan ruang Organisasi Kampus. Berkali-kali aku bolak balik mengintip dari jendela berharap Dia keluar dari ruangan tersebut. Sebenarnya aku sedikit takut untuk berada di area ini karena di sini lebih banyak senior kampus berkumpul. Kebetulan si Dia juga lebih tua dari aku jadi pasti sudah jadi senior di kampus.
Aku kemudian berjalan ke sisi ruangan tersebut. Ada sebuah lorong dengan dinding-dinding pendek yang dijadikan pembatas dengan halaman luar. Aku pun duduk disitu sembari menatap ke halaman luar. Lebih banyak pepohonan besar dan tinggi yang tumbuh. Cukup sejuk disiang hari hanya saja terlihat sedikit horor bagiku.
"Siang," seseorang menyapa dari belakangku. Aku seperti kenal dengan suara ini.
"Emm.." aku hanya bisa bergumam melihat Dia berdiri di belakang. Lengkap dengan pakaian kemeja birunya. Dia terlihat lebih elegan dengan penampilannya sekarang.
"Ada cuaca apa sampai kamu ke sini?" tanyanya.
Aku segera turun dari dinding pendek itu. Dengan mantap aku kuatkan hatiku walau jantungku berdegup dengan kencang apalagi saat berhadapan dengan Dia.
"Kamu apakan Friga?" tanyaku sambil melihat ke bawah kaki.
"Kamu ngomong sama siapa?"
"Kamulah" aku tetap tidak bisa menatapnya.
"Tidak tahu" jawabnya.
"Jangan bohong!" asal tahu aku sekuat tenaga jiwa dan ragaku menatapnya.
"Apa yang harus aku bohongkan dari kamu" jawabnya santai.
Bibirku tidak bisa bergerak karena tersihir gerakan bibirnya. Bibir yang dulu...
"A..aku.."
Dia semakin mendekatkan wajahnya ke arahku. Jantungku semakin berdetak kencang karenanya. Apa aku harus menbaca ayat-ayat Tuhan agar rasa gugup ini hilang?
Dia menatapku penuh selidik. Tersirat ada rasa tidak senang diwajahnya. "Kamu menjauh saja dari Friga."
"Maksudmu apa?"
"Aku tidak suka kamu dekat dengan Friga." Suaranya terdengar pelan tapi tajam. Intonasi tekanan nadanya terasa lebih berat, sedikit tapi pasti menjawab rasa penasaranku dengan keadaan Friga yang aneh.
Aku mencoba menggenggam kuat tanganku. Ada rasa marah yang muncul didadaku, yang perlahan mengikis rasa gugupku. Semakin lama rasa amarah itu membuka tabir luka lamaku karena Dia.
"Aku dan Friga bukan urusanmu lagi," aku mencoba menjawab intimidasi tatapannya.
"David..." suara seorang wanita terdengar dari balik sudut ruangan.
Kami berdua segera menatap. Aku melihat seorang wanita dengan rambut panjang. Parasnya sangat cantik dan sepertinya aku kenal dengan wanita itu. Seorang mahasiswa dari jurusan ekonomi yang berhasil memenangkan Miss Kampus tahun lalu.
"Teman-teman sudah menunggu di dalam."
Dia hanya diam dan meninggalkan aku tanpa sepatah katapun. Dia melewati wanita itu dan kembali masuk ke dalam ruangannya.
Sekarang hanya ada aku dan wanita itu. Tiba-tiba wanita itu menatapku dengan sinis. Aku seakan-akan menjadi musuh lamanya.
"Kamu, lebih baik jangan dekat dengan David."
Aku hanya bisa diam. Bingung dengan keadaan ini. Wanita itu siapanya David?
--------------------------×××-----------------------------
> oh ... ^^ kasihan Friga ...
iya nih ;(
Beberapa waktu sebelumnya. Friga terlihat cemas, dia merasa panik merasakan amarah dari pelatihnya. Berkali-kali pelatihnya memperingatkan jangan sampai bermasalah dengan David, anak seorang donatur kampus. Tapi tetap saja Friga teledor dan terlibat perkelahian dengan David, anak Sang Donatur Kampus.
Friga berjalan penuh takut karena pelatihnya tiba-tiba membawanya ke ruang rapat dosen. Di sana sudah menunggu beberapa dosen. Ada dosen wanita muda, dosen yang menggunakan kacamata lumayan besar dan tentunya seorang dosen tua.
"Ayo cepat, biar selesai dengan cepat." ujar salah seorang dosen yang terlihat cukup tua. Suaranya bergetar menyuruh Friga untuk duduk di salah satu sudut meja rapat. Dosen yang diutus dari bagian Kemahasiswaan Universitas.
Friga pun duduk sendiri, seperti berada disebuah ruang persidangan. Disekelilingnya ada beberapa dosen dan pelatihnya juga yan duduk beberapa meter darinya. Satu persatu mereka menyelidiki kejadian tersebut. Mereka pun menilainya tanpa kehadiran David, padahal yang memulai perkelahian adalah David.
"Pesan dari Pak Jhohanes apa?" tanya salah satu dosen yang terlihat muda. Pakaiannya terlihat lebih modis dibandingkan dosen-dosen lainnya. Mungkin karena dia wanita yang masih terlihat muda.
"Hukuman skors tidak bermain futsal selama 3 bulan dan..." ucap dosen yang tadi menyambut Friga. Friga hanya bisa diam, terlihat wajahnya tegang. Bagaimana tidak, dia tidak diperbolehkan bermain futsal padahal kompetisi kampus sebentar lagi dimulai.
"Dia harus meminta maaf diacara ulang tahun kampus," tambahnya.
"Apa? Kenapa harus begitu?" protes dosen satunya. Dosen berkacamata itu berkali-kali membenarkan posisi kacamatanya. "Apakah itu tidak berlebihan?"
"Aku rasa kita harus mengikutinya," jawab dosen tua itu lagi. "Kita tidak mungkin melawan."
Friga hanya tertunduk lesu. Tidak tahu dia mau membela seperti apa lagi. Bahkan pelatihnya bisa berdiam diri semenjak rapat dimulai. Memang tidak mungkin membantah hasil ini, daripada dia akan mengalami hal yang lebih buruk.
Tiba-tiba pintu rapat itu terbuka. David masuk dengan senyum penuh kemenangan.
"Maaf Bapak Ibu Dosen, saya masuk begitu saja," ucapnya. "Seharusnya saya juga dilibatkan dirapat ini."
Semua dosen yang hadir hanya bisa diam. Mereka seakan-akan dikunci oleh suatu kondisi yang bisa disebut "kepasrahan terhadap donatur".
"Silahkan saudara Friga, maaf kami tidak memanggil kamu," jawab dosen tua itu lagi.
"Terima kasih," David berjalan dan duduk tepat di samping Friga. "Saya mau membahas soal Presiden Kampus juga, dan mungkin selesai rapat saya mau meminjam tempat ini untuk berbicara berdua dengan Friga."
-------------------------××××-----------------------------
Rapat pun selesai, sekarang yang tertinggal hanya David dan Friga. Sebenarnya pelatihnya terlihat tidak yakin meninggalkan mereka berdua tetapi David bisa meyakinkan kalau tidak akan terjadi apa-apa. Lagipula dia sudah memaafkan kesalahan Friga.
"Kamu mau apa lagi?" tanya Friga.
"Aku mau Denis lagi."
"Buat apa?" Friga terlihat tegang. Tangannya terkepal di atas meja.
"Rileks bro," jawab David santai. "Aku tahu kesalahanku dulu, makanya aku akan memperbaikinya lagi."
"Sudahlah, jangan berharap lagi. Denis bukan milikmu lagi."
"Juga bukan milikmu."
Friga hanya bisa diam. David benar, dia hanya seorang teman dekat Denis, tidak lebih. Hanya saja dia tidak suka Denis dekat dengan David apalagi dulu David lebih banyak melakukan hal buruk terhadap Denis.
"Menjauhlah dari Denis," ucap David.
"Kamu mengancam?"
"Ya"
Friga tidak menjawab dan beralih berdiri ingin meninggalkan ruangan itu segera. Dia terlihat muak dengan tingkah laku David.
Dengan cepat David berdiri dan menarik tangan Friga. Karena pegangannya yang kuat Friga terhentak dan membentur dada David. Mereka berdua pun saling menatap.
Friga langsung mendorong David. "Aku akan terus menjaga Denis."
David hanya bisa diam dan melihat Friga semakin menghilang dari pandangannya.
--------------------------××××----------------------------
Friga terasa sangat lelah. Dia memilih untuk tidak turun kuliah dan menyendiri di kamar kostnya. Berkali-kali dia mengingat keadaan Denis dulu. Bagaimana David memperlakukan Denis secara tidak baik. Ada satu kejadian yang membuatnya kecewa terhadap David. Saat David meminta Denis untuk menunggunya dipagar sekolah malam hari. Ternyata David tidak datang, beruntung Friga lewat dan melihat Denis berdiri sendirian ditengah malam yang sedang turun hujan deras yang akhirnya membuat Denis dirawat di rumah sakit besok harinya.
"Kenapa kamu bisa cinta dengan orang seperti itu."
Friga membalikkan badannya. Terlihat dia sangat gelisah. Hatinya sangat cemas memikirkan ancaman David kemaren. Disatu sisi dia juga tidak ingin berurusan terlalu panjang dengan kampusnya. Tidak mungkin dia pindah dari kampus itu karena David. Friga ingat bagaimana dia menyakinkan kedua orang tuanya untuk satu kampus dengan Denis.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamarnya.
"Friga," panggil Denis. "Kamu di dalam?"
Friga pun beranjak dan membuka pintu kamarnya.
"Kamu kenapa tidak ikut kuliah?" terlihat Denis mendekati Friga. Friga hanya bisa diam dan memilih berbaring diranjangnya.
"Friga?" panggil Denis. "Masalah..."
"Tidak usah dibahas", jawabnya. Friga membalikkan badannya
"Kamu kenapa?" Denis terlihat berusaha mencari tahu.
Friga tiba-tiba menarik tangan Denis. Denis pun terjatuh kedalam pelukannya. Berbaring bersamanya diranjangnya.
"Friga, jangan aneh-aneh, pintumu belum ditutup."
"Jangan pergi...," suaranya mulai terdengar bergetar. Apakah Friga menangis?
----------------------------××××--------------------------