BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

When You Say You Love Me

edited March 2018 in BoyzStories
[Part 01]


"Kamu bukan gay, kalau kamu... enggak tau Mariah Carey, Dek."

Aku yang sedang duduk bersandar dalam dekapanmu, menoleh dan menatap kearah wajahmu. Wajah yang selalu tersenyum dengan tatapan mata teduh saat sedang memandangku.

"Berarti... selama ini aku straight dong, Mas?"

"Iya." Jawabmu kalem. "Kan sekarang kamu sudah tau MiMi. Jadi-"

"MiMi? Istrinya Anang itu?" Aku menyela. Tapi dengan gemas, jarimu meraih bibirku. Menariknya hingga aku menjerit tertahan. Tidak sakit. Tapi cukup untuk membuatku terkejut.

"Bukan, hih!! Itu nama panggilan Mariah."

Aku cuma merengut dan mengusap bibirku. Tapi dengan jari yang kamu pakai untuk mencubit bibirku tadi, kamu meraih daguku. Wajahmu merunduk, lalu memagut bibirku. Melumatnya dengan sangat lembut.

Aku kembali terkejut. Bukan karena lumatan bibirmu membuat bibirku sakit. Melainkan karena setiap kamu melakukan itu, mencium dan melumat bibirku, selalu terasa ada aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku. Membuatku terpaku. Terlena.

"Aaahhh... Kok cepet?" Aku merengek dengan membuka kedua mataku.

Kita saling bertukar pandang selama beberapa detik. Lalu kupejamkan lagi kedua mataku saat wajahmu kembali merunduk.

Kurasakan aliran listrik itu lagi saat bibirmu bertemu dengan bibirku. Dimana bibir kita saling menyapa detik berikutnya dalam lenguhan tertahan. Dimana kedua tanganmu memelukku semakin erat.

Dimana aku merasakan kedamaian dalam eratnya dekapanmu. Membuatku lupa dengan banyak hal tak menyenangkan yang terjadi diantara kita berdua tak lama sebelum hari ini. Detik ini.

"I love you, Dek..." bisikmu lirih disela lumatan yang kamu lakukan pada bibirku.

"I love you too, Mas..."

••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••

Aku hanya bisa duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Rasa panas di pipi kiriku... juga perih di sudut bibirku, tak seberapa dibandingkan dengan sakit di dalam dadaku.

"MASUK KAMU KE DALAM KAMAR!! MULAI SEKARANG, KAMU HARUS LANGSUNG PULANG SETIAP PULANG DARI SEKOLAH!!"

Tanpa membantah, aku bangkit dan dengan lunglai berjalan menuju ke kamarku. Setelah menutup pintu, aku langsung tidur telungkup dengan membenamkan wajahku ke bantal. Tak mempedulikan suara Ibu dan Bapakku yang sedang bertengkar di luar.

Aku menjerit sekuat yang kubisa, dengan menyumpal mulutku menggunakan bantal. Yang kurasakan saat ini, bukan sedih. Hanya sakit. Dan amarah.

••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••

"Yang Uti... boleh minta duit?" Tanyaku pada Eyang Putri. Beliau sedang menikmati sarapan paginya di dapur. "...buat jajan." Aku melanjutkan.

"Bapak endak ngasih duit, lagi?"

Aku mengangguk pelan, sebagai jawaban dari pertanyaan Eyang Putri.

Setelah menoleh ke segala arah, terutama ke arah ruang tamu yang terlihat dari meja makan di dekat dapur, Eyang Putri mengangkat kedua tangannya. Beliau merogoh sanggulnya.

Aku tersenyum. Karena aku tau, Eyang Putri selalu menyimpan uang yang Beliau punya di tempat-tempat kuno yang sangat tidak umum. Kalau tidak di Be-Ha-nya, ya di dalam sanggulnya.

Eyang Putri lalu menyelipkan selembar uang kertas ke saku kemeja seragam sekolahku. Aku tidak sempat melirik jumlahnya. Karena disaat yang bersamaan, aku segera menghampiri Ibu yang menungguku di teras rumah.

"Ada seratus bungkus."

Ibu mengulurkan kantung plastik besar berwarna hitam. Isi dari kantung plastik itu adalah Nasi Uduk yang di bungkus dengan kertas nasi berwarna cokelat.

Seratus bungkus Nasi Uduk. Dan aku harus membawanya dengan berjalan kaki menuju Sekolah. Padahal, jarak dari rumah ke Sekolah, sekitar lima belas kilo meter. Padahal isi tas ranselku sudah penuh dengan buku-buku tebal. Masih ditambah dengan seratus bungkus Nasi.

"Bismillah..." Ucapku setelah mencium punggung tangan Ibu, dan mengangkat kantung plastik itu dengan mengumpulkanmu segenap tenaga yang kupunya.

Beruntung sekolahku selalu masuk pagi. Jadi aku bisa memanfaatkannya sebagai olah raga. Dan keberuntungan kedua, saat aku sudah hampir mencapai ujung Gang rumah, aku berpapasan dengan Amelia dan Munaroh.

Amelia, biasa kupanggil Melly. Dia adalah sepupuku. Sementara Munaroh, biasa kupanggil Mumun. Dia adalah sahabat Melly sekaligus tetanggaku. Sementara rumah Melly tepat bersebelahan dengan rumahku, lokasi rumah Mumun berjarak dua rumah dari rumahku.

Setiap pagi, kami bertiga selalu berangkat bersama. Kami tidak satu sekolah. Tapi sekolah kami bertetangga.

Melly berlari kecil menghampiri. Tanpa aku minta, ia meraih kantung plastik yang ku bawa.

"Jangan susah gitu dong mukanya." Melly berujar sambil mengedipkan matanya. "Yuk. Kita bawa bareng."

"Suwun*..." Aku menyahut dengan senyuman tipis. (*Makasih)

Mumun sempat ingin bertanya padaku sewaktu ia melihat luka di sudut bibirku. Tapi Melly meraih pergelangan tangannya, lalu memberikan isyarat dengan menggelengkan kepalanya pada Mumun. Melarangnya bertanya padaku.

Setelah itu, Melly hanya tersenyum canggung saat melirik kearahku. Ia menggigit bibir bawahnya sendiri. Sementara aku hanya mengangkat kedua alisku, bertanya tanpa mengeluarkan kata-kata "Ada apa?" pada Melly.

"Maaf." Melly berujar lirih.

Sementara aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. "Bukan salahmu."

"Iya... Tapi salah Eyang Kakung-ku."

"Harusnya dia yang minta maaf. Bukan kamu, Mel." Aku menyahut. Setelah itu, kami bertiga berjalan menuju ke sekolah dalam diam.

Padahal sebelum kejadian Bapak memukulku, gara-gara Eyang Kakung yang tinggal di rumah Melly mengadu pada Bapakku, kami selalu berbicara tentang banyak hal. Misalnya, tentang komik yang dia sewa setiap akhir pekan. Novel yang aku baca di perpustakaan umum. Atau Mumun yang memberikan tips dan trik membuat kue pada si tomboy Melly.

Seperti biasanya, Melly sampai terlebih di sekolahnya. Disusul Mumun. Dan terakhir adalah aku. Dengan bantuan dari Melly tadi, paling tidak aku sudah menghemat sedikit tenaga saat aku masih harus berjalan ke sekolahku dengan seratus bungkus Nasi Uduk dan juga tas ransel berisi buku-buku tebal.

Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju kantin. Menitipkan Nasi Uduk buatan Ibu-ku disana. Aku sendiri yang meletakan dan menatanya di meja kantin. Lalu mengambil sebungkus untuk makan siangku nanti.

"Sembilan puluh sembilan bungkus, Bu." Aku berujar pada Ibu kantin. Kemudian aku berjalan menuju kelas. Tak mengindahkan pertanyaan Ibu Kantin saat melihat luka di sudut bibirku. Aku malas menjelaskan. Malas bercerita kepada siapapun. Karena kalau tidak...

Ah!!

Kepalaku pusing!!

••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••

"Mas... Sepulang sekolah nanti, aku ke Surabaya, ya?"

°Tapi kan jauh, Dek...°

"Jadi aku sudah endak boleh kesana?"

°... Kamu kenapa, Dek? Ada masalah di rumah?°

"Nanti aku cerita langsung. Sudah ya, Mas... Kalau sudah sampai, nanti aku kabari."

°Ke Surabaya naik bus atau kereta, Dek?°

"Bus, Mas. Seperti biasa, aku pulang sekolah jam dua siang. Ditambah perjalanan lima jam ke Surabaya, mungkin aku sampai jam tujuh malam."

°Yowes... Hati-hati di jalan, Dek.°

"Enggih, Mas... Sudah dulu ya Mas? Mau bel masuk"

Aku menyeka air mata yang menetes dan membasahi pipiku dengan lengan kemeja seragam. Lalu keluar dari bilik wartel dan membayar biaya panggilan telepon interlokal yang barusan kulakukan.

••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••

"Bapak yang mukul kamu, Dek?" Kamu bertanya dengan ekspresi wajah cemas. Tanganmu mengusap luka di sudut bibirku dengan lembut. Sementara aku hanya mengangguk lemah.

Kuraih pergelangan tanganmu dengan tangan kiriku. Aku tak ingin tangan ini melepaskanku. Karena aku pun tak pernah punya minat untuk melepaskannya.

"Bapak tau... tentang hubungan kita, Mas."

Harusnya bukan aku yang terkejut saat mengatakan hal tersebut. Tetapi kamu hanya tersenyum dan menunjukan ekspresi wajah yang sangat tenang. Mencoba membuatku agar tidak panik. Ataupun semakin merasa sedih. Padahal bisa kurasakan, kalau tanganmu yang sedang kucengkram erat ini, sedang gemetar usai mendengar penjelasan singkatku barusan.

"Cepat atau lambat... semua orang pasti tau. Termasuk kedua orang tuamu, Dek."

"Mas..." Panggilku tanpa menatapnya.

"Iya, Dek? Kenapa?" Kamu melepaskan tangan yang sedang kucengkram. Seketika aku takut. Tapi ternyata, tanganmu melingkar di bahuku. Menarikku lembut, dan kamu pun memelukku erat.

"Aku... tinggal denganmu ya, Mas?"

"Lalu sekolahmu?"

"Aku endak peduli!! Aku mau selalu di dekatmu, Mas!!"

"Tapi Mas-mu ini bukan orang berduit banyak lho, Dek..."

"Aku bisa kerja apa saja! Yang terpenting, kita bisa hidup bersama... Ya Mas, ya??"

••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••

Sepulang sekolah, aku hanya bisa terpaku di ambang pintu ruang tamu. Kulihat kamu duduk di hadapan Ibu dan Bapakku. Aku langsung merasa takut detik itu juga. Aku takut Bapak marah seperti tempo hari. Aku tidak mau Bapak menyakitimu, Mas.

Kamu berdiri dengan senyum lebar. Meraih sebuah tas besar yang tergeletak di dekat kakimu. Lalu menghampiri dan berdiri di sebelahku. Kita berdiri berdampingan. Dengan orang tuaku yang duduk di depan kita.

"Mulai hari ini, kamu tinggal dengan Mas."

"Maksud...nya?"

Mendadak Bapakku berdiri. Sebelum pergi meninggalkan ruang tamu, Bapak berujar tanpa menoleh, "Kamu ikut saja dengan dia! Jangan pernah kembali!! Kamu bukan anakku lagi!! Bikin malu orang tua saja!!"

Air mataku menetes. Seluruh tubuhku gemetar. Tapi tanganmu yang melingkar di bahuku, berhasil menenangkanku. Terlebih... senyummu.

"Ayo..."

Kuraih uluran tanganmu. Kau pun menggenggam tanganku erat.

Meskipun air mataku masih mengucur deras, tapi aku bisa tersenyum. Karena meskipun wajahmu selalu tersenyum, dan senyummu selalu bisa menenangkanku, kamu tetap tak bisa menutupi kegundahan dan ketakutan di dalam hatimu. Lantaran tangan yang sedang menggenggam tanganku ini, basah dengan keringat dingin.

••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••


Kita jalan terus
Entah apa nanti
Jangan berhenti percaya cinta
Jangan berlari dari cinta
Kita yang tahu
Kita yang punya cinta
Cinta

Jalan Terus - Afgan


••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••


** Cerita ini akan di posting juga di Wattpad dalam versi revisi ;)

Comments

Sign In or Register to comment.