----- Prologue -----
Dikala hujan tak seindah rinai
Dikala ingin menjadi senarai
Hanya engkau yang bisa memulai
Melantun kalbu melodi serunai
Ini adalah kisahku. Kisah biasa yang bisa kalian baca di berbagai karya penulis lain. Agak sedikit terkesan picisan memang bila dibandingkan dengan kisah romansa antara dua manusia yang menjalin kasih. Tapi biarlah ini kisahku, ini hidupku, karena aku tak selalu harus menyenangkan pembaca bukan? Aku hanya butuh menguraikan kisah ini, sepenggal kisah kebutuhanku akan dirinya. Ya, dia yang selama dua tahun terakhir selalu mengisi hari-hariku.
Sebenarnya, aku tak menyangka kalau hubungan kami akan berjalan cukup lama atau bahkan malah sebentar. Tergantung dari sudut mana kalian lihat. Cukup lama bila dilihat dari teman-teman sekelilingku yang memang mereka menjalin hubungan hanya hitungan bulan. Tapi sangat sebentar bila dibandingkan dengan mereka yang ingin membawa sebuah hubungan ke arah yang lebih serius. Serius dalam artian selama mungkin mempertahankan hubungan. Telah yakin dengan pasangannya dan hubungan mereka pasti sudah melampaui hitungan tahun. Tapi hubungan tetaplah hubungan. Hubungan bukan dinilai dari seberapa lama kita bersama dan seberapa sering kita bersama. Setidaknya menurutku hubungan dinilai dari seberapa berkualitas taraf kebahagiaan kita saat bersamanya, karena kebahagiaan tidak selalu bisa diukur dengan angka-angka.
Baiklah perlu kalian tahu, aku akan memulai penggalan kisahku saat aku belum bertemu dengan dirinya. Oh iya maaf aku belum memperkenalkan diri. Namaku Kafila. Rendra Kafila lengkapnya menurut akta lahirku. Well, aku mempunyai banyak panggilan. Panggilan rumah, panggilan kecil, panggilan pergaulan, panggilan akademis semuanya berbeda. Untuk kisah ini, kuperkenankan kalian memanggilku dengan sebutan Fila atau Ila. Meskipun aku selalu memperkenalkan diri dengan nama Fila, pasti kelamaan orang-orang disekitarku akan memanggil dengan Ila. Jujur sampai detik ini aku tak tahu pasti apa makna dari namaku ini. Tapi aku senang ini tetap hanya menjadi sebuah misteri, kalian juga pasti tahu kan karena tiap anak hidup dalam balutan doa orang tuanya.
Rasanya tidak afdol kalau bercerita tanpa memberitahu mengenai latar belakangku. Aku lahir dan dibesarkan di sebuah kota di bagian selatan Sumatera, namun begitu darah Sunda mengalir deras dalam nadiku. Saat kecil aku sangat heran mengapa ibu dan ayah kalau ngobrol selalu menggunakan bahasa yang begitu asing didengar. Kami, kelima anaknya kerap kali diajak belajar bahasa itu namun kami selalu kompak untuk menolaknya, dengan alasan bahasa itu tidak akan pernah dipakai. Tapi pemikiranku salah. Akupun tidak akan sadar betapa penting dan berpengaruhnya bahasa itu bagi hidupku hingga aku melanjutkan studi di tanah Pasundan. Sejujurnya awalnya aku tidak tahu kalau bahasa yang selalu dituturkan ibu dan ayahku itu adalah bahasa Sunda. Aku tahunya itu bahasa Jawa. Entahlah, orang-orang di sekitarku tidak terlalu memikirkan masalah kesukuan, mereka memanggil orang yang berasal dari Pulau Jawa itu sebagai "Orang Jawa" terlepas dari suku apa mereka berasal. Agak sedikit lucu memang, itu karena ketidaktahuan mereka atau ketidakpedulian mereka. Terlebih kedua orang tuaku tak pernah menyinggung dari suku mana kami berasal hingga aku yang bertanya karena ada tugas kuliah yang mengharuskan kami menulis silsilah keluarga hingga tujuh turunan ke atas. Awalnya aku menganggap remeh tapi kenyataannya jadi begitu penting dari yang bisa aku banyangkan.
Ya ampun aku ngoceh apa di atas, baiklah lupakan. Kurasa cukup perkenalannya, mari lanjutkan menutur penggalan kisahku ini. Kenapa aku selalu menyebutnya dengan penggalan? Karena aku akan menceritakan pertalian nasib antara aku dengan dirinya. Seorang yang begitu sabar menghadapiku, sangat berbeda namun mampu mengisi bagian kosong dari hidupku.
"Hey serius amat kamu. lagi ngapain sih?" dia menyapa sambil menepuk punggungku dengan lembut.
"Ah, ini mau coba mulai nulis lagi" jawabku lalu bergeser agar dia bisa duduk di sebelah.
"Wah bagus tuh. Udah berapa lama coba kamu ga nulis? Btw yang ditulis apaan emang?" dia melongok ke arah laptopku.
"Ish jangan diliat dulu. haha. Iya ya udah lama banget aku ga nulis. Sejak selesai kuliah kayaknya. Ini aku mau coba nulis tentang kita. hehe" agak sedikit memalukan memang. tapi biarlah toh nanti dia juga bakal tahu.
"Hih ngapain deh nulis begituan" alisnya terangkat menatapku heran.
"Haha ya gapapa. Yang penting nanti kamu bantuin jadi narasumber ya" godaku sembari menutup laptop.
"Ogah Banget. Ngarang sendiri aja sana. Kamu udah makan? yuk makan dulu, nanti kamu makin kurus lho." Dia pun lalu berdiri dari tempat duduk.
"Belum nih. Yuk." Ujarku sembari menyesap cokelat yang sedari telah menjadi dingin dianggurin karena aku keasyikan berkutat dengan laptopku.
Begitulah. Kebiasaan kami kalau menyempatkan diri untuk bertemu. Saling tunggu di sebuah tempat lalu pergi ke tempat yang dituju selanjutnya. Setelah selesai memasukkan laptop kembali ke dalam tas, kami pun meninggalkan Coffee Shop itu dan menuju ke tempat makan. Kebiasaan kami saat bertemu memang sangat biasa. Tapi karena hal-hal biasa itulah yang membuatku merasa jadi luar biasa. Mungkin kalian heran, tapi dengan menyimak penggalan kisah kami mungkin lambat laun kalian akan mengerti.
Biarlah rumput lambai mendayu
Tangkai ilalang meringkih sayu
Cerita kita sungguh kau tahu
Mengiring senja selagu rindu
Comments