BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

High Tension

1
*
Aku tak punya kordinasi yang bagus antara kaki dan mataku, dan hal itu sering kali membuatku ketakutan setengah mati, takut kalau entah bagaimana aku menabrak truk saat sedang berjalan pulang dari sekolah. Tapi beruntungnya hal itu tak pernah terjadi sepanjang 16 tahun kehidupanku. Sayangnya, keberuntungan tak pernah bertahan lama menempel di kulitku.

Aku sedang membaca pesan Messenger dari sahabatku di Amerika saat itu, tidak terlalu memperhatikan kemana kakiku bergerak, karena kebetulan saat itu suasana koridor sedang sepi. Jam pelajaran sih sebenarnya, aku tadi mengada-ada saja minta izin ke toilet karena kebelet, padahal sebenarnya aku ingin membalas pesan James. Aku sungguh tak menyangka akan menabrak sesuatu yang lebih buruk dari truk.

Saat berbelok masuk ke koridor lain yang menuju kelasku, sesuatu menabrakku dari arah berlawanan, sesuatu yang keras dan kokoh, membuatku terlempar dan terhempas ke lantai yang keras dan kotor. Ponselku meluncur bebas entah kemana, aku tak melihatnya, karena mataku terpejam saat hantaman bodoh itu terjadi.

"Aduh!" Pekikku secara otomatis, seperti alarm yang sudah disetel untuk berbunyi di jam tertentu. "Kalau jalan hati-hati dong!"

Aku membuka mataku untuk melihat siapa kiranya yang baru saja menabrakku, atau yang baru saja aku tabrak, terserah. Seketika aku langsung menyesali keputusanku untuk berbohong pada Pak guru. Sebab orang yang aku tabrak itu tak lain dan tak bukan adalah Al, cowok Arab bodoh yang suka sekali menggangguku.

Dia kelihatan sangat kacau dilihat dari dua bola mataku, rambutnya berantakan seperti dia baru saja tertidur di suatu tempat yang penuh hal-hal mengerikan, dan dia juga punya kantong mata itu. Hitam dan mengerikan. Aku bertanya-tanya apa yang terjadi pada kehidupannya belakangan ini, tapi tidak cukup rasa peduli dalam diriku untuk menanyakannya keras-keras.

Al menatapku dengan mata bulatnya, membuatku gugup dan khawatir karena dia sangat mungkin mengarahkan tinjunya pada mukaku sekarang juga. Tanganku bergerak tidak nyaman dalam antisipasi, siap melindungi mukaku bila hal terburuk akhirnya menjadi kenyataan.

Dia mengangkat tangannya ke arahku, tanganku bergerak lebih cepat dan melindungi wajahku, dengan ketakutan menanti datangnya rasa sakit. Tapi setelah sekitar dua menit rasa sakit itu tidak juga datang, membuatku penasaran.

Ada sepasang tangan yang memegang sisi lenganku, memanduku untuk berdiri, dan perlahan, aku menurunkan tanganku. Al berdiri di depanku seperti sebuah patung dewa depresi, menjulang tinggi, sehingga aku harus sedikit mendongkak untuk melihat wajahnya. Ada sesuatu di sana yang membuat jantungku berhenti berdetak selama beberapa milisekon.

Dengan salah satu tangannya di menarik tanganku, menarik sesuatu dari saku celananya, dan menaruh ponselku di atas telapak tanganku yang kosong. "Ini," katanya, dengan suara lembut yang tak pernah aku dengar sebelumnya. "Hati-hati,"

Setelah memastikan aku menerima ponsel itu, dia tersenyum tipis, sangat hati-hati seolah dia khawatir akan melukai wajahnya, dan harus aku akui senyum itu membuatnya kelihatan lebih tampan dari yang biasanya. Dia lalu melanjutkan perjalannya menuju entah-kemana-nya itu dan meninggalkanku yang masih shock berdiri di tengah koridor kosong.

*

"Kau tidak akan percaya apa yang baru saja aku alami," aku berkata dengan nada tidak percaya, nyaris kagum, pada Lydia yang sedang membuat bangau kertas di salah satu sudut perpustakaan. "Kau pasti tidak akan percaya,"

"Adrian," kata Lydia dengan suara manis, melipat kertasnya beberapa kali lagi sebelum menarik beberapa bagiannya, dan membuat kepala dan ekor untuk bangau buatannya. "Tarik nafas. Santai, baru bicara. Aku tidak mau kau menimbulkan hujan yang tidak diinginkan,"

Aku mengontrol debaran jantungku, memperbaiki pola tarikan nafas ku, dan mencoba lagi. "Kau pasti tidak akan percaya,"

"Apa sebenarnya yang sedang kau bicarakan?" Lydia mengangkat alis dan mendongkak, menatapku dengan ekspresi heran. "Kau bertemu dengan Jeanine atau apa?"

"Jean -- astaga! Wanita itu bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang baru saja aku alami. Nah, setidaknya sekitar satu jam yang lalu," aku mengambil tempat duduk di seberangnya dan menautkan jemariku seolah sedang bersiap melakukan pengakuan terhadap sesuatu yang tidak seharusnya aku lakukan. "Al baru saja membantuku berdiri setelah aku menabraknya di koridor. Dan dia menyuruhku untuk berhati-hati,"

Alis Lydia terangkat sangat tinggi sampai aku pikir mereka entah bagaimana berhasil bersembunyi di balik poni cewek itu. "Apa katamu? Kau bercanda kan?"

"Sudah aku bilang kau tidak akan percaya," aku tidak bisa menahan nada sombong di dalam suaraku. Aku hanya tidak ingin menahannya. "Tapi percaya padaku, apa yang aku katakan, adalah 100% kebenaran. Lagi pula ini tidak seperti aku cukup bodoh untuk memulai rumor tentang cowok itu, karena setelah aku putar ulang apa saja yang pernah dia lakukan padaku, aku sebenarnya tidak ingin lagi berurusan dengannya. Tapi kau tentu tahu dunia tidak pernah berpihak padaku kalau soal keberuntungan,"

"Pertama, aku masih setengah percaya padamu. Dan kedua," Lydia melipat lengan di depan dadanya yang sebesar semangka. "Berhenti menyalahkan dunia atas semua penderitaanmu. Itu tidak akan memperbaiki keadaan dan hanya membuatmu lebih depresi dari apa yang sudah kau rasakan,"

"Ugh. Terserah kau saja lah," kataku, menggelengkan kepala tak peduli, dan menyomot salah satu bangau kertasnya dan memperhatikan betapa rapinya hasil kerja tangan Lydia. "Tapi aku masih penasaran kenapa dia melakukannya,"

"Maksudmu, kenapa dia mem-bully-mu dulu?"

"Bukan, maksudku, kenapa dia membantuku bangun tadi," kataku mengoreksi. "Menurutmu dia terkena semacam amnesia atau kenapa?"

"Kalau aku tidak kenal dia, aku pikir dia sedang mencoba menjadi orang baik," Lydia mengangkat bahu. "Banyak orang yang berubah, tapi aku tidak terlalu yakin apa yang sedang terjadi dengan cowok itu,"

Menjadi orang baik? Apakah itu caranya meminta maaf? Kenapa dia baru melakukannya sekarang? Apakah karena aku melaporkanya pada Kepala Sekolah? Apakah itu berarti dia tidak benar-benar tulus dengan perbuatannya? Mungkinkah dia hanya sedang main-main denganku? Mungkinkah ini salah satu caranya untuk mem-bully-ku? Lagi?

Tapi lalu aku teringat dengan ekspresi wajahnya, dan mendadak, semuanya jadi tambah membingungkan. Bahkan urutan langkah pembuatan bangau kertas ini jadi sangat susah untuk aku ingat.

"Berhenti melakukannya," protes Lydia tiba-tiba, aku menatapnya, dan mengangkat sebelah alisku. "Berhenti memasang ekspresi seolah kau sedang menghadapi perdebatan sengit dalam kepalamu itu. Itu sangat mengganggu tahu,"

Aku mendengus dan tidak mempedulikannya, kembali menghadiri perang opini penuh konspirasi dalam pikiranku yang sedang dilanda badai hujan tropis. Lydia memutar bola matanya dan kembali fokus pada bangau kertas setengah jadi di tangannya. Al. Kenapa aku jadi kepikiran tentangnya seperti ini?
Tagged:
«1

Comments

  • aaaaak keren
  • 2
    *
    Seminggu berikutnya kehidupanku jadi lebih membingungkan dari apa yang sudah aku jalani 16 tahun belakangan ini. Nah, sekarang semuanya memang jadi lebih baik, tapi tetap saja terasa aneh. Siswa-siswi yang berpapasan denganku sekarang suka menyapaku kalau bertemu di koridor. Yang paling aneh, Al selalu tersenyum setiap kali dia melihatku.

    Awalnya aku hanya menganggapnya sedang tersenyum pada seseorang di belakangku, tapi lalu Lydia menyikutku, dan menyadarkanku bahwa cowok itu beneran sedang tersenyum padaku. Aku tidak pernah bisa membalasnya karena aku terlalu terkejut bahkan hanya untuk menggerakkan satu otot di wajahku.

    Pada hari Jum'at, saat semua orang memakai pakaian olahraga dan berbaris untuk melakukan jalan santai bersama, Al bahkan menyapaku dan menanyakan bagaimana kabarku. Aku menjawabnya dengan suara terbata-bata dan nyaris tidak kedengaran kalau saja cowok itu tidak mendekatkan telinganya padaku. Dia bahkan berdiri di sampingku, mengusir seorang cowok berkacamata yang selalu berbaik hati berdiri di sebelahku setiap hari Jum'at.

    Al di sebelahku hanya membuatku menjadi semakin gugup dari yang biasa aku rasakan. Kepalaku berkabut dan mataku serasa ingin melompat keluar dari tempatnya, membuatku susah berpikir dan melihat kemana jalanku. Kakiku sampai terkilir karena aku menginjak batu yang salah di jalanan, hampir jatuh ke kubangan air di dekatku, kalau saja Al tidak gesit dan menahan tubuhku.

    "Hei, hati-hati," katanya dengan nada khawatir, membantuku berdiri sementara serombongan anak-anak yang penasaran memandang kami bergantian. "Kau tidak apa-apa?"

    "Y -- ya," kataku, berusaha menyeimbangkan diri dengan bantuan lengan kokoh Al. "Aku -- tidak apa-apa,"

    "Kau masih bisa jalan?" Aku mencoba berjalan, mengerang saat kakiku menyentuh aspal, dan berusaha tidak kelihatan terlalu lemah di depan orang sebanyak ini. "Tidak, kau tidak boleh jalan dulu,"

    "Aku tidak apa-apa," kataku, keras kepala. Saat Al memandangku dengan tatapan tak percaya, aku menganggukan kepala seperti anak kecil. "Sungguh. Aku masih bisa berjalan beberapa puluh meter lagi,"

    "Tidak, kau tidak bisa," kata Al, sama keras kepalanya seperti aku. "Aku antar kau kembali ke sekolah,"

    Karena kami berjalan di barisan terakhir, hampir terakhir, karena barisan ujung adalah tempat anak-anak menyebalkan yang suka menggangguku, jadi saat Al membantuku berjalan dengan tanganku di pundaknya, punyanya ada di pinggangku, kami sudah hampir menghilang dari pandangan barisan anak-anak yang lain.

    Saat sampai di gerbang sekolah, akhirnya aku tak tahan lagi. "Kenapa?"

    "Hn?" Guman Al dengan nada kebingungan. Dia tidak memandangku, malah sibuk memperhatikan jalan dan kaki kiriku yang tidak berfungsi dengan baik.

    "Kenapa kau berbuat baik padaku?" Aku tidak bermaksud mengatakannya dengan penuh kemarahan dan keputusasaan, tapi tetap saja aku tidak bisa menahannya. Aku bahkan yakin suaraku bergetar di ujungnya, seolah aku akan menangis dalam beberapa detik ke depan. "Kau benci padaku,"

    Dia tidak menjawab pertanyaanku, tidak juga mengatakan apapun dan terus diam sampai akhirnya aku dia bawa masuk ke Ruang UKS. Ibu Tri yang sedang bertugas di sana langsung bergegas menghampiri kami.

    "Kenapa ini?" Tanyanya dengan nada khawatir. "Kecelakaan atau kenapa?"

    "Kakinya terkilir, Bu. Tadi kepeleset di jalan," Al menjawab untukku. Bu Tri memandangnya dengan pandangan skeptis, seolah sedang berusaha menemukan kebohongan diantara kata-katanya. Aku tahu benar kenapa dia melakukan itu. "Bisa ibu tolong bantu kami?"

    "Oh, ya. Sana, baringkan Adrian di ranjang, biar Ibu panggil Pak Gus dulu,"

    Pak Gus adalah nama salah satu guru kami, sudah tua, dan dikenal karena kemampuan memijatnya yang legendaris.

    Bu Tri lalu berlalu dan dengan hati-hati, Al membantuku membaringkan badanku di ranjang yang berkeretek berisik. Aku menghela nafas dan memandang ke segala arah, kemanapun kecuali cowok di depanku.

    "Dengar," katanya tiba-tiba, dengan nada lelah yang membuatku nyaris iba. "Aku.. aku tidak pernah membencimu,"

    "Aku mungkin akan percaya, kalau saja kau tidak menendangku dulu di belakang sekolah," aku berkata dengan suara tajam, seperti pisau dapur yang biasa Mamah gunakan di rumah. "Sayangnya, kau sudah melakukannya, jadi aku tidak percaya,"

    "Ya -- ya, aku tahu, aku melakukannya, dan aku sangat menyesal," aku menoleh, memandang matanya yang sekarang tampak setengah jalan menumpahkan air mata. "Aku tahu apa yang aku lakukan padamu itu sangat jahat, dan aku tahu kau pasti sangat benci padaku. Tapi aku sungguh menyesal telah melakukannya padamu dan aku minta maaf atas semua hal itu,"

    Aku diam sebentar, memandangnya dengan tatapan keras, mencoba mencari tanda kalau dia sedang berbohong. Tapi setelah lima menit observasi yang panjang aku tidak menemukan sedikitpun kebohongan di sana, yang tidak begitu saja membuatku percaya padanya.

    "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak sedang berbohong sekarang?" Tanyaku tanpa belas kasihan, sebagaimana yang dia lakukan padaku saat aku meminta ampun karena dia tidak berhenti memukulku. "Bagaimana. Aku. Bisa. Tahu. Kau. Mengatakan. Yang. Sebenarnya?"

    "Aku mengatakan yang sebenarnya!" Al sekarang berteriak, kehilangan kontrol akan dirinya. Aku hanya berharap dia tidak mengambil keuntungan dari kondisiku sekarang. "Aku -- aku -- katakan saja apa yang kau ingin aku lakukan supaya kau percaya padaku?"

    Aku berpikir sebentar mempertimbangkan kata-katanya. Aku tidak tahu apa-apa tentang Al selain fakta bahwa dia adalah bajingan tak berperasaan yang suka menindas orang yang lebih lemah darinya. Dan kalau dia menginginkan aku memaafkan semua perbuatannya padaku.. hmmn, dia harus menderita juga supaya dia mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan setiap kali dia dan teman-temannya menyerangku.

    "Pergi," kataku dingin, tidak memandangnya dan memfokuskan perhatianku pada jempol kakiku. "Pergi dari sini dan jangan ganggu aku,"

    "Ap -- Rian!" Al berkata dengan nada tidak percaya, aku lebih tidak percaya lagi karena dia baru saja memanggilku 'Rian'. Hanya keluarga dan teman dekatku lah yang memanggilku dengan nama itu. "Aku tidak -- aku ingin memperbaiki semua kesalahanku padamu! Bukan menambah masalah dengan meninggalkanmu begitu saja,"

    "Tapi aku mau kau pergi," kataku dengan nada dingin yang sama. "Aku tidak mau melihat wajahmu, karena tiap kali melakukannya, yang aku ingat hanyalah bagaimana kau berusaha membuat sebanyak mungkin memar di tubuhku dulu,"

    "Rian, aku sungguh -- aku tak mau -- aku menyesal --"

    "Pergi!" Aku memotongnya, berteriak dengan tidak sabar. "Pergi dari sini dan jangan ganggu aku! Aku benci padamu dan selamanya akan begitu! Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk memperbaikinya,"

    Al mulai terisak pelan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan akan dia lakukan, tapi toh dia memang melakukannya. Aku mendongkak karena rasa penasaran, melihat air mata meleleh di pipinya yang pucat, dan aku senang karena tidak merasakan sedikit pun rasa bersalah meskipun tahu aku lah yang menyebabkannya. Cowok ini harus belajar bagaimana caranya memperlakukan orang lain.

    "Oke," katanya dengan suara serak. "Kau mungkin hanya perlu waktu, dan kau.. kau harus tahu aku takkan menyerah begitu saja. Aku akan kembali dan terus kembali sampai kau memaafkanku,"

    Dengan itu dia berbalik, berjalan dan membuka pintu dengan sedikit emosi, seolah entah bagaimana pintu itu telah menyinggung perasaannya. Aku terkejut saat ternyata dia tidak menutup pintu dengan suara yang berlebihan.

    *

    Pada hari Sabtu, saat aku sedang mengerjakan beberapa soal latihan UN bersama Lydia di kantin, aku melihat Al lagi yang sedang memakan makan siangnya bersama beberapa temannya yang berengsek. Mereka masih memandang sinis padaku, tapi aku mengabaikannya dan berusaha fokus pada soal-soal ku.

    Al kelihatan sangat kacau, lebih kacau dari yang aku lihat dahulu, tapi masih kelihatan tampan. Ugh, aku tak tahu kenapa aku mengatakannya, tapi aku tahu percuma saja mengabaikannya. Dia memang tampan, dan bukan salahku kalau aku menyukai wajahnya. Wajahnya lho, bukan orangnya.

    "Mereka memandangimu lagi," desis Lydia dari balik modulnya, mencolek lenganku dengan pensilnya. "Aku kira mereka sedang merencanakan sesuatu yang buruk buatmu,"

    "Percaya padaku, Lyd," kataku dengan suara pelan, menggambar sebuah segitiga dengan hati-hati. "Aku tahu, dan kali ini, aku pastikan mereka akan merasakan apa yang mereka perbuat padaku sebagai balasannya,"

    Lydia kelihatan terpesona, dan aku bisa mengatakannya bahkan tanpa menatapnya. Sulit sekali tidak mengetahuinya bila cewek itu melotot seolah berusaha mengebor kepalamu. Aku hanya mengangkat bahu dan kembali mengerjakan soal latihan ku.

    Sampai akhir jam pelajaran sekolah, aku tidak lagi mendapat gangguan dari Al dan kroninya, dan aku menemukan diriku sendiri tersenyum senang dan melangkahkan kaki keluar dari gedung sekolah dengan semangat yang membuatku khawatir. Ini tidak biasa, dan seperti yang aku ketahui dengan baik, hal baik dan menyenangkan tidak pernah bertahan lama.

    Tepat saat aku sedang melintasi halaman sekolah, Hendra, salah satu teman Al, menghadang jalanku dengan motor merah besarnya. Aku berusaha untuk tetap berdiri tegar saat cowok itu membuka helmnya dan melotot padaku.

    "Hei, cebol," katanya, dengan nada jijik yang sangat aku kenal, tersenyum sinis memandang penampilanku. "Mau kemana, hah? Mau kabur dan menyelamatkan diri ke pelukan bunda lagi?"

    Aku mendengus dan berjalan memutari motornya, hanya untuk kembali di hadang oleh cowok berotak penis itu. "Apa maumu?!"

    "Oh, udah berani sekarang kau, ya?" Dia turun dari motornya dan mendorong pundakku dengan keras. Aku tersentak dan jatuh ke aspal di bawahku. Baru saja kemarin aku melukai kakiku, sekarang aku harus melukai telapak tanganku juga. "Cuma gara-gara kemarin Kepala Sekolah ngebelain kamu, bukan berarti aku akan diam saja dan melupakan urusan kita yang belum selesai,"

    Beberapa siswa yang lewat di dekatku memandang gelisah ke arah kami, tapi tidak melakukan apa-apa, seolah menurut mereka berpura-pura tidak melihat adalah tindakan terbaik. Tentu mereka berpikir seperti itu, Hendra kalau sudah marah seperti kajah kesetrum.

    "Aku tidak punya urusan denganmu," desisku kesal, mengelap telapak tanganku yang sedikit berdarah karena gesekan dengan kerikil tajam di bawahku. "Jadi berhenti menggangguku!"

    Mendengarnya, Hendra jadi makin marah, dan mengangkat tangannya dengan gaya siap menghantamkan kepalan tangan bajanya ke rahangku. Kalau dulu aku selalu berlindung di balik telapak tanganku, sekarang aku tidak akan melakukannya lagi. Selain karena tanganku terluka, aku juga sudah bosan hanya diam menerima apa yang tidak sepantasnya aku terima.

    Aku mengangkat dagu dengan gaya menantang, mengepalkan tangan dan bersiap menyerang duluan, tapi lalu berhenti saat ada tangan lain yang menahan lengan Hendra.

    Al berdiri di antara aku dan cowok itu seperti seorang pangeran dengan perisai baja, punggungnya menghadap ke arahku, membuatku entah bagaimana merasa terlindungi. Kalau aku merasa terkejut melihatnya, bagi Hendra, terkejut tidak lah cukup untuk menggambarkan ekspresi wajahnya.

    "A--Al?" Kata Hendra tak yakin. "Ap--apa yang--apa yang--"

    "Jangan ganggu dia lagi," kata Al dengan nada dingin, sesuatu yang baru aku dengar kali ini. Dia selalu berkata dengan nada penuh semangat bila itu berarti memukulku sampai tak bisa berjalan pulang. "Tinggalkan dia sendiri,"

    Hendra mengenakan lengannya dan melotot memandang Al seolah cowok itu baru saja berkata bahwa dia telah memblokir semua situs porno favoritnya. "Apa yang sedang kau katakan?"

    "Tinggalkan Rian sendiri," kata itu lagi. Aku berusaha mengabaikan debaran tak wajar yang menguasai dadaku saat Al mengucapkan namaku. "Dia sudah mendapat lebih dari apa yang tidak seharusnya tidak dia terima. Kita harus berhenti memperlakukannya seperti itu,"

    Aku bangkit berdiri dan mengusap telapak tanganku ke celana dengan tidak nyaman, masih merasakan kerikil halus menempel di sekitar lukaku.

    "Al, kau ini sebenarnya kenapa? Kau kan biasanya yang paling--"

    "AKU BILANG TINGGALKAN DIA SENDIRI! APA KAU TIDAK BISA MENGERTI APA YANG AKU KATAKAN?!"

    Aku mematung di tempatku berdiri, darah mendadak serasa terkuras dari wajahku saat mendengar teriakan Al. Itu teriakan yang lebih mengerikan dari apa yang biasa aku dengar. Di dalamnya terselip rasa benci, kesedihan, terganggu, dan amarah yang tak bisa lagi dia tangani.

    Hendra mendengus keras, keras sekali seperti kuda, sebelum berbalik ke motornya dan setelah itu berlalu seperti seorang berengsek dia itu. Al menarik nafas dalam dan berbalik padaku. Aku mengambil selangkah mundur hanya karena itu lah yang biasa aku lakukan bila melihat Al.

    "Kau terluka," itu bukan sebuah pertanyaan, dan aku menemukan diriku sendiri menganggukan kepala seperti seorang yang baru bangun dari tidur super panjang. "Ikut aku, biar aku obati dulu lukamu itu,"
  • wow ... Al perhatian banget ...
  • 3
    *
    Aku tidak tahu bagaimana aku akan mengklasifikasikan mimpiku yang satu ini. Sebuah mimpi dimana aku bermain petak umpet dengan Al yang tertawa renyah tiap kali aku berhasil menemukannya, menutup mataku dari belakang dan bertanya 'tebak siapa?' di dekat telingaku, atau menggandeng tanganku di tengah keramaian koridor sekolah.

    Tapi setelah aku pikir-pikir, sepertinya mimpi itu layak diberikan label mimpi buruk. Sebab tanpa harus berpikir terlalu keras, aku tahu benar segala hal yang ada hubungannya dengan Al adalah bencana buatku. Bahkan meskipun itu hanya lah sebuah mimpi.

    Aku mengusap wajahku dengan frustasi, duduk di atas tempat tidurku, dan memandang lantai putih yang baru saja aku pel kemarin sore. Kenapa, oh, kenapa hidupku tidak bisa lepas dari cowok bernama Al itu? Kenapa aku tidak bisa untuk sekali saja berhenti memikirkannya? Kenapa aku tidak bisa mengenyahkan harapan kecil nan bodoh dalam dadaku tentang dia dengan kepribadian yang lebih baik dan menyukaiku?

    Kemarin sore saat Al membersihkan lukaku dan menempelkan beberapa plester di sana, aku bisa merasakan perasaan hangat yang menguar dari telapak tangannya yang seolah menimbulkan radiasi yang membuatku tak bisa berhenti membayangkan moment itu. Moment ketika tangan besarnya menyentuh punyaku dengan lembut, seolah aku adalah sesuatu yang terbuat dari kaca dan bisa pecah dengan satu sentuhan salah sasaran.

    Nah, kalau aku pikir-pikir lagi, cowok itu sudah menyelamatkanku dari dua kejadian yang sangat mungkin akan membuatku jadi semakin malas berangkat ke sekolah. Pertama, saat aku keseleo. Dan kedua, saat Hendra hendak memukulku di halaman. Hanya dalam dua hari, dengan dua tindakan sederhana, aku sudah merasa berhutang se-truk emas 24 karat padanya.

    Apakah dia melakukan semua itu karena dia juga merasa berhutang padaku? Setelah menghabiskan dua tahun dengan mengacaukan dan mempersulit kehidupanku? Apakah dia pikir dengan berbuat baik setidaknya dia bisa sedikit memudarkan luka yang telah dia torehkan dalam hatiku?

    Tentu saja dia berpikir begitu, otakku yang tak berperasaan memberitahuku, dia mengatakan ingin memperbaiki semua kesalahannya.

    Aku memperhatikan telapak tanganku yang masih menampilkan beberapa luka yang mulai mengering sisa kemarin. Itu adalah luka yang sama yang Al bersihkan di UKS sore itu, luka yang sama dimana jemari lembut Al mengelusnya pelan, luka yang sama dimana mata tajam Al memandangnya dengan penuh kesedihan.

    Aku berharap aku bisa melupakan apa yang telah Al lakukan padaku kemarin sore, tapi aku bukan orang berengsek seperti itu. Kebaikan sekecil apapun yang telah diberikan orang lain padaku, bahkan kalau pun itu hanya sapaan hangat, takkan pernah bisa aku lupakan dan akan selalu aku usahakan untuk kubalas dengan sesuatu yang setimpal atau kalau bisa lebih baik lagi.

    Al sudah menyelamatkanku dua kali, membersihkan lukaku, menempelkan plester di lukaku, dan bahkan mengantarkanku pulang dengan sepeda motor hitam besar nan mengkilapnya itu. Mungkin aku harus mulai mempertimbangkan untuk membalas kebaikannya.

    Dengan pikiran yang menenangkan itu aku kembali tertidur dan kembali bermimpi tentang petak umpet dan Al, malahan sekarang jadi lebih mengerikan karena ada musik romantis yang mengiringinya. Aku tidak terlalu menyesalinya saat aku bangun untuk kedua kalinya.

    *

    Lydia ingin aku datang ke rumahnya dan belajar bersama di sana. Karenanya setelah memastikan semua cucianku tergantung dengan aman di jemuran, aku langsung memakai sepatu dan melangkahkan kakiku menuju rumah Lydia yang letaknya hanya dua belokan dari kosanku yang sederhana namun penuh kenyamanan itu. Aku berjalan dengan santai sambil menikmati angin pagi yang menerpa wajahku, menikmati alunan klakson kendaraan yang saling bersahutan, dan untuk sejenak melemaskan pikiran dan psikologis ku yang berantakan seperti benang kusut.

    Cewek itu sudah menungguku di depan rumahnya sambil memainkan ponselnya, dan begitu aku ada di depannya, langsung menarik tanganku dan membawaku ke dalam rumahnya yang selalu rapi dan beraroma segar. Ibu Lydia sedang ada di rumah, dan aku menyapanya dengan sopan, mendapat hadiah senyum ramah dan ciuman di pipi sebagai imbalan.

    "Nah, aku dengar kemarin Hendra menyerangmu lagi," Lydia berkata begitu kami sampai di lokasi belajar favoritnya. Di depan tv sambil memakan beberapa cemilan. "Apakah itu benar?"

    "Ya," kataku, dengan tidak nyaman memainkan pensil di tanganku. "Dia hampir memukulku,"

    "Dia benar-benar berengsek! Karena itu lah aku tidak mau menjadi pacarnya," sudah menjadi rahasia umum kalau Hendra sudah menyukai Lydia sejak SMP, dan fakta bahwa aku dan Lydia bersahabat, benar-benar tidak disukai cowok itu. "Aku masih belum mengerti kenapa dia tidak menyerah juga dan mencoba mencari cewek lain untuk dia telanjangi,"

    "Ya, benar juga. Tapi aku tidak tahu dan tidak mau peduli mengenai hal itu,"

    "Aku juga," Lydia setuju dan menganggukan kepalanya. Membalik halaman modulnya dengan hati-hati. "Btw, kau bilang tadi Hendra hampir memukulmu. Apa yang terjadi?"

    Aku berdebat sebentar dalam kepalaku, memikirkan keuntungan dan kerugian yang aku dapat bila aku menceritakan yang sebenarnya pada Lydia, tapi toh aku sudah tahu apa jawabannya. Aku tidak pernah bisa menyimpan rahasia terlalu lama dari jangkauan cewek itu.

    "Rian," katanya dengan suara semanis madu. "Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu. Ceritakan padaku sekarang,"

    Aku menarik nafas dalam sebelum menceritakan yang sebenarnya pada Lydia, semuanya tanpa terkecuali. Aku bahkan menceritakan dengan detail seperti apa tangisan Al yang depresi ingin aku memaafkan semua kesalahannya dan memberikannya kesempatan untuk memperbaiki segalanya di hari sebelumnya. Sampai pada bagian Hendra yang siap memukulku, cewek itu menarik nafas dengan kasar. Dia sudah seperti Dementor saja.

    ".. dan akhirnya dia mengantarkanku pulang ke kosanku. The end," aku mengakhiri ceritaku dan menuliskan beberapa rumus tambahan di buku catatanku yang sudah seperti diary anak TK.

    "Wow," kata Lydia kagum. "Dia pasti sangat ingin kau memaafkannya,"

    "Ya, tapi seperti yang kau ketahui, aku tidak akan begitu saja memaafkannya. Setidaknya, sampai dia kukira cukup mendapatkan apa yang sudah dia berikan padaku sebelumnya,"

    "Dasar," kata Lydia, menyeringai kecil. "Balas dendam itu tidak baik, Rian. Kenapa kau bahkan berpikir kau bisa melakukannya pada Al dan gerombolannya?"

    "Oh, aku sedang berusaha memikirkannya," kataku, melambaikan tangan ke udara seolah semua jawaban atas pertanyaan Lydia ada di udara yang melayang-layang di bawah hidung kami. Aku melihat ada sekardus penuh burung bangau kertas di pojok ruangan ini.

    *

    Malam itu sebelum tidur aku berpikir keras memikirkan apa kiranya yang akan aku lakukan untuk membuat Hendra menjauh dari kehidupanku selamanya. Cara yang paling mudah tentu saja membunuhnya, tapi itu hanya akan membuatku dalam masalah yang lebih besar, dan aku tidak berencana untuk menghabiskan sisa hidupku di balik jeruji besi.

    Saat sedang membeli bantalku agar bisa merasakan bagian dinginnya menyentuh wajahku, mendadak sebuah ide muncul dalam kepalaku, seperti sebuah lampu pijar super terang yang hanya akan mati bila aku ledakan.

    Kupeluk erat lampu itu, dan meskipun terasa panas, berusaha membaca baik-baik tulisan yang terdapat di atas bola kacanya. Di sana tertulis : 'Lemparkan lah sebuah bunga bila ada seseorang yang jahat padamu; hanya ingat untuk melemparkan potnya sekalian'.

    Aku berusaha meresapi kalimat itu dalam kepalaku, menguraikan makna tersembunyinya, dan menarik berbagai kesimpulan yang tak terhitung jumlahnya. Pada satu titik pikiranku mendarat di wajah tak berdaya dan depresi Al.

    'Lemparkan lah sebuah bunga bila ada seseorang yang jahat padamu; hanya ingat untuk melemparkan potnya sekalian'

    Bisakah kalimat itu berarti melakukan kebaikan sekalian dengan kejahatan yang menyertainya? Apa itu akan membuatku menjadi orang yang munafik dan menjijikan? Sepertinya tidak ya, soalnya aku melakukan kejahatan itu di depan mukanya, bukan di belakangnya seperti kaum kafir bodoh itu. Aku hanya perlu memastikan korbanku tidak terlalu pintar untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang berusaha aku lakukan.

    '.. aku ingin memperbaiki semua kesalahanku padamu!..'

    AHA! Aku punya ide yang luar biasa cemerlang. Saikou ka yo! Fantastic! Luar biasa! Yang perlu aku lakukan hanyalah memejamkan mata dan bersiap untuk memulai permainan ini. Aku yakin Al takkan keberatan membantuku sedikit.
  • 4
    *
    Aku sangat gugup sampai rasanya aku bisa muntah dan pingsan saat ini juga. Beberapa siswa-siswi yang lewat di depanku memandangku dengan khawatir, si cowok berkacamata yang selalu berdiri di sebelahku di hari Jum'at bahkan bertanya ada apa denganku. Aku hanya melambaikan tanganku dan menyuruhnya pergi.

    Saat ini aku sedang berdiri di depan papan pengumuman yang berada tepat di bawah tangga, tangga yang menuju kelasku, menunggu Al untuk segera memulai rencana luar biasaku ini.

    Rencananya aku akan membujuk cowok itu untuk melakukan sesuatu untukku, sesuatu yang bisa membuatku berada di bawah kulit Hendra, membuat cowok itu murka sampai mukanya hijau dan tidak bisa bicara sama sekali. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan aku lakukan, tapi rencana ini terlalu luar biasa untuk aku abaikan begitu saja.

    Akhirnya setelah sepuluh menit menunggu, Al memunculkan hidung Arab -- nya, kelihatan sangat terkejut dan senang saat melihatku.

    "Hei," sapanya penuh keriang-gembiraan. Dia tersenyum dengan seluruh giginya. "Bagaimana tanganmu?"

    "Eum, sudah baikan," kataku pelan, menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. "Thanks buat yang kemarin. Aku.. aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau kau tidak datang.. menolongku,"

    "Ah, itu bukan apa-apa," kalau mungkin, Al kelihatan malu dengan dirinya sendiri, dan mendadak jadi sangat tertarik dengan sesuatu di sepatunya. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sejak dulu,"

    Aku berusaha mengabaikan balon-balon sialan yang memantul-mantul di dalam dadaku, seperti mereka punya kaki dan melompat-lompat di atas trampolin mereka itu, dan menggelengkan kepala. "Nah, soal itu.. ada yang ingin aku bicarakan.. sebenarnya,"

    "Ya?" Kata Al lembut, memandangku dengan senyum yang lebih tipis namun sama manisnya, seolah mengundangku untuk datang dan segera menciumnya. Siapa aku dan Apa yang telah aku lakukan pada Adrian yang asli? "Apa itu?"

    "Aku rasa.. aku mau.. itu," aku semakin keras menggaruk belakang kepalaku. "Memberimu.. kesempatan,"

    "Apa?"

    "Aku tahu kau mendengarkan," aku memutar bola mataku tanpa dapat kutahan. "Jangan paksa aku mengulanginya,"

    "Tidak, maksudku, apa? Kau memberiku kesempatan? Sungguh?" Ekspresi wajahnya seperti dia adalah anak lima tahun yang baru saja diberi hadiah sepeda.

    Nah, aku memang bukan sepeda, tapi mungkin Al masih bisa 'mengendarai'--ku dengan beberapa improvisasi. Astaga, aku bahkan tidak tahu dari mana datangnya pikiran kotor itu. Seseorang, segera lakukan pencarian untuk menemukan anak 16 tahun berambut hitam berantakan, tingginya 160 cm, bermata sipit nyaris terpejam, dan punya banyak bekas luka di balik pakaiannya.

    "Ya," kataku, memandangnya sambil tersenyum kecil. "Aku ingin memberimu kesempatan untuk membuktikan bahwa kau layak aku maafkan,"

    "Aku takkan mengecewakanmu," Al menggelengkan kepala dan kelihatan berusaha keras untuk tidak melakukan sesuatu dengan tangannya. Memelukku? Menamparku? Mengajakku ber--high five? Fist bump? "Nah, datanglah nanti ke lapangan, ada pertandingan bola antara sekolah kita dengan sekolah tetangga. Aku bermain nanti,"

    "Oh," kataku sebagai respon. Aku tak tahu apa hubungannya menonton pertandingan sepakbola dengan Al yang berusaha melayakkan diri untuk aku maafkan. Nah, mungkin dia mau pamer kemampuannya padaku. "Boleh,"

    "Bagus. Nanti aku mau mengajakmu ke suatu tempat setelah pertandingan," dia tak bisa lagi menahan tangannya dan melakukan sesuatu yang sama sekali tidak berbahaya pada kepalaku. Dia mengacak-acak rambutku seolah mereka belum cukup berantakan. "Sampai jumpa nanti,"

    Al berlari menaiki tangga dengan wajah yang lebih cerah dari yang biasa dia pakai beberapa hari belakangan ini. Aku memperhatikan punggungnya sampai menghilang di puncak tangga sebelum mengikuti langkahnya dan menaiki tangga menuju kelasku. Hei, jangan begitu. Senyum bodoh di wajahku ini bagian dari rencana.

    *

    Lydia dan aku sedang berjalan bersama di antara lautan putih abu yang memusingkan, berusaha tidak menabrak siapapun sambil mencari jalan menuju ke kantin. Nah, meskipun kami berusaha sebaik mungkin menghindari mereka, tetap saja selalu ada beberapa orang yang terlalu menyebalkan untuk sekedar memberikan kami jalan.

    Tiga orang cowok yang aku kira berasal dari Tim Sepakbola sekolah memblokir jalan kami dengan apa yang aku kira mereka maksudkan sebagai superioritas. Lydia menyikutku di pinggang, aku mengangkat alis pada cowok-cowok itu. Mereka adalah beberapa orang dari Tim Sepakbola yang pernah menggangguku dulu bersama Al.

    "Adrian," kata salah satu dari mereka, dengan suara berat yang aku kenali adalah milik cowok bernama Marco. "Kami ingin meminta maaf padamu atas segala hal yang pernah kami perbuat padamu dulu,"

    Sekarang, bukan cuma sebelah, tapi seluruh alisku terangkat sampai aku yakin mereka bersembunyi di balik poni lemparku. Wah, ini tidak terduga.

    "Tidak usah dijawab, kami tahu kau tidak akan begitu saja memaafkan kami," kata Marco lagi. "Kami hanya ingin kau tahu kalau kami sangat menyesal telah melakukan hal itu padamu. Oh, iya, kalau kau tidak punya kegiatan lain, kami akan senang kalau kau mau datang menonton pertandingan nanti sore," Marco mengerling nakal ke arah Lydia. "Kalian berdua, kalau kalian mau,"

    "Oh -- ya, tentu saja," aku menganggukan kepala, tak tahu lagi harus mengatakan apa. "Kami akan -- datang dan -- er -- menyemangati Tim Sekolah,"

    "Bagus," Marco tersenyum, lalu mengomandoi teman-temannya agar pergi dan mengikutinya ke arah yang berlawanan. Mereka saling mendorong pundak satu sama lain sambil bercanda.

    "Yang barusan itu beneran atau aku cuma berhalusinasi?" Guman Lydia sambil menatapku. Aku mengangkat bahu.

    "Yang mana? Marco meminta maaf padaku, atau Marco yang menggodamu tanpa malu?" Aku tertawa saat Lydia mencubit pinggangku. "Adoh! Ampun, sakit, Lyd!"

    Kami berjalan bersama menuju kantin sambil bercanda dan saling cubit satu sama lain.

    *

    Aku belum pernah menonton pertandingan Tim sepakbola sekolah sebelumnya, karena kebanyakan, anak tim sepakbola tidak ingin aku ada di jarak pandang mereka saat mereka sedang bermain. Tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Kapten Tim Sekolah secara terang-terangan mengundangku, dan karena itu berarti jalanku untuk menjalankan rencana busukku terbuka lebar, tentu aku takkan menyia-nyiakannya begitu saja.

    Bersama dengan Lydia, aku memasuki lapangan yang tidak terlalu ramai, hanya serombongan anak-anak dari sekolahku dan sekolah lawan yang datang untuk menonton di tepi lapangan, dan kami mengambil posisi bersama beberapa anak dari sekolahku. Aku tidak kenal sebagian dari mereka, sepertinya adik kelasku, tapi aku mengenali cowok berkacamata itu dimana pun aku melihatnya. Dia melambaikan tangan padaku, aku memutar bola mata dan berusaha menemukan Al.

    Tidak sulit sebenarnya mencari cowok itu, dia seperti sebuah mercusuar yang memancarkan cahaya dan dindingnya berhias miliaran keping berlian, dia sedang melakukan pemanasan di sisi lain lapangan dan tidak kelihatan memperhatikan sekitarnya. Nah, bagaimana pun, Hendra sekarang memperhatikanku, atau Lydia, barangkali tepatnya kami berdua.

    "Lyd, Hendra memperhatikanmu tuh," kataku, menyikutnya dan tertawa. Lydia mendengus dan tidak mengatakan apa-apa.

    Al yang sekarang sudah berdiri dan mendaratkan pandangannya ke arahku, mungkin sebenarnya ke arah para penonton, terserah saja, dan dia melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Aku tersenyum sebagai balasan, dan bahkan dari jarak seperti ini, aku sangat yakin cowok itu sedang tersenyum-senyum seperti orang bodoh.

    Hendra melihat apa yang sedang Al lakukan dan langsung berbalik dengan marah untuk melakukan hal lain yang menurutnya lebih berguna.

    Pertandingan kali ini berjalan dengan sangat sengit, aku bahkan tidak perlu menjadi seorang penggemar untuk mengetahuinya. Tim lawan melakukan penyerangan dengan buas, seperti hewan liar yang kelewat ambisius, tapi beruntungnya, pertahanan tim sekolah masih lebih baik. Nah, meskipun begitu, pada menit ke 30 tim lawan akhirnya mencetak skor pertama.

    Anak-anak dari sekolahku yang menonton, terutama anak cewek, memutuskan untuk melakukan teriakan-teriakan yang dimaksudkan untuk menyemangati tim sekolah kami. Para pemain tim sekolah kami yang mendengarnya seolah mendapat angin segar dan energi baru yang mengaliri kedua kaki jenjang mereka.

    Al maju dan menggiring bola, saling oper dengan Marco dan beberapa anak lainnya, dan akhirnya di menit-menit terakhir babak pertama, tim sekolah berhasil menyamakan kedudukan. Aku dan anak-anak yang lain berteriak bersama karena senang.

    Skor itu bertahan sampai akhir babak kedua, betapapun kedua tim sudah berlumuran keringat dan menarik nafas keras dari mulut mereka, tidak ada satu tim pun yang berhasil mencetak skor. Nah, kalau aku lihat, bola sepertinya hanya bergulir tak jauh dari garis tengah lapangan. Dan begitulah, peluit tanda akhir permainan berbunyi, kedua tim saling bersalaman dan entah mengatakan apa, dan perlahan, kerumunan orang pun bubar.

    Al menghampiriku dan Lydia di pintu masuk lapangan.

    "Hai," sapanya, tersenyum lebar sampai aku khawatir mukanya akan terbelah jadi dua.

    "Hai, Al. Permainan bagus tadi itu," kataku, tersenyum dan berusaha tidak memerah karena mengatakannya.

    "Oh, ya? Thanks," sahut Al, menggaruk belakang kepalanya. Kecanggungan bodoh ini bertahan selama beberapa saat dan akhirnya berhenti saat Marco menghampiri kami dengan rambut basah dan menempel di keningnya.

    "Hai, Al," cowok itu menyapa, aku tersenyum padanya. "Lydia,"

    "Hai, 'Co," sapa Lydia balik, tersenyum manis. "Permainanmu bagus banget tadi. Aku kagum,"

    "Ah, yang benar? Tadi aku tidak mengeluarkan seluruh kemampuanku sih," Marco berkata, dan aku mendengar nada sombong dalam suaranya. Bukan dalam artian buruk, tapi aku rasa dia hanya senang dipuji oleh Lydia.

    "Oh, ya?" Kata Lydia, mulai kedengaran penasaran. "Seberapa hebat kamu sebenarnya?"

    Sebelum adegan ini berubah jadi ajang saling merayu satu sama lain yang lebih mengerikan, aku menarik tangan Al, dan membawanya menuju parkiran. Saat sampai di parkiran aku baru menyadari apa yang sedang aku lakukan.

    Kulepaskan genggaman tanganku dan berbalik menatap Al yang memandangku dengan tatapan yang tak bisa aku baca. Ah, sial. Tidak mungkin kan aku mengacaukan segalanya sekarang? Tidak saat aku baru memulai rencanaku.
  • 5
    *
    Aku memacu otakku untuk berpikir lebih keras dari biasanya, mencari jalan keluar dari permasalahan konyolku ini. Akhirnya, aku mendapat jawaban yang memuaskan. Kutatap wajah beku Al dan menjentikan jariku di depannya.

    "Al? Hei, Al?"

    Cowok itu mengerjap seperti baru bangun dari mimpi dan menatapku dengan linglung. Aku menemukan diriku sendiri tersenyum melihatnya.

    "Ya..?" Tanya Al tak yakin, memieringkan kepalanya ke arah kiri.

    "Kau tidak apa-apa?" Tanyaku dengan suara manis, tersenyum dan menepuk debu tak kasat mata di pundak lebar cowok itu.

    "Aku hanya -- kau sangat -- aku tidak --" Al berhenti sebentar, seolah kebingungan menemukan kata yang tepat dalam kamus pribadinya untuk menjelaskan bagaimana perasaanku. "Tidak, lupakan saja. Ayo, ke rumahku dulu, aku mau mandi dan ganti baju,"

    "Terus bagaimana dengan Lydia? Aku tidak bisa meninggalkannya di sini,"

    "Aku yakin Marco takkan keberatan mengantarkannya," Al tersenyum dan mulai memakai helmnya. "Ayo,"

    "Oke," aku naik ke boncengannya dan dia pun mulai memajukan motornya memasuki jalanan.

    Rumah Al letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi tidak bisa dibilang dekat juga. Halamannya luas dan dan dipenuhi tanaman hias sserta satu pohon rambutan besar yang aku curigai berhantu. Meskipun begitu aku perhatikan ada sebuah rumah pohon kecil.di salah satu cabangnya.

    "Aku membuatnya bersama kakakku dulu," kata Al saat menangkap kemana sorot mataku terpaku. "Kami sering menginap di sana saat malam Minggu dulu,"

    "Wow," kataku kagum, merasa sedikit iri pada kehidupan Al. "Pasti asyik banget,"

    "Kita bisa melakukannya juga," kata Al menyarankan, dengan suara yang sepertinya dia harapkan tidak terlalu kedengaran antusias. Bagaimanapun dia gagal melakukannya. "Hanya jika kau.. mau,"

    "Aku mau," kataku tanpa berpikir, tidak memikirkan apa efek yang akan aku timbulkan dengan mengatakannya. "Kapan-kapan kita bisa melakukannya,"

    Al tersenyum cerah dan mengajakku masuk ke rumahnya. Aku mengikutinya dengan setia di belakang punggungnya.

    Al membawaku ke kamarnya yang lumayan besar, masih besaran kamar kosku, tapi itu tidak penting. Ada sebuah ranjang yang kelihatannya hanya muat untuk satu orang, dua orang kalau mereka seukuran aku, dengan satu bantal dan selimut yang dilipat rapi di atasnya. Di salah satu sudut ruangan, tepat di sebelah lemari pakaian, ada sebuah meja belajar yang penuh dengan buku dan laptop yang tertutup.

    "Wah, kamarmu lebih rapi dari punyaku," aku berkata dengan nada kagum, benar-benar kagum. Karena aku tidak pernah membayangkan Al sebagai orang yang suka merapikan kamarnya. Bahkan kaca jendelanya pun kelihatan baru saja dibersihkan. "Aku tidak tahu kau suka merapikan kamarmu,"

    Al tertawa dan menaruh tas sekolahnya dengan santai ka atas kursi, lalu mengeluarkan isinya, dan menumpuk mereka di sebelah laptopnya. "Ibuku selalu bilang kalau kamar yang kotor akan membuat kita bermimpi buruk setiap malam, aku mempercayainya saat masih kecil,"

    "Kau masih percaya sampai sekarang?" Tanyaku penasaran, duduk di atas kasur super empuk di dekatku.

    "Tidak," kata cowok itu, kedengaran geli dengan perkataannya sendiri, berbalik padaku. "Mimpi buruk tidak datang karena ruangan yang kotor, tapi karena hati dan pikiranmu yang tidak tenang,"

    Aku tertawa mendengar perkataannya, dia juga tertawa dan langsung pamit untuk mandi sebentar. Dia bilang aku boleh keluar mengambil minuman di dapur, tapi kalau tidak mau, aku juga boleh diam saja di kamarnya.

    Karena tidak merasa haus, aku putuskan untuk diam saja dan berbaring sebentar di kamar Al sambil menunggunya selesai mandi, bermain games di ponselku. Sepuluh menit kemudian dia kembali ke kamarnya dengan hanya berbalut handuk putih ukuran sedang. Mataku tak bisa lepas dari perut kotak-kotaknya.

    "Sorry, ya lama," kata Al, menarik terbuka lemarinya dan mencari-cari sesuatu di antara tumpukan bajunya. Pada akhirnya dia menarik sebuah celana dalam merah yang nyaris bisa aku bayangkan melekat di tubuh cowok itu. "Airnya tadi sedang tidak dalam kondisi prima,"

    "Tidak apa-apa," kataku, berusaha keras untuk tidak mengintip saat Al memakai celana dalam dari balik handuknya. "Tadi cuma sebentar, kok,"

    Al menoleh dan tersenyum sambil memakai kaosnya. Dia melepaskan handuknya dan memakai celana jeans-nya sambil membelakangiku. Mataku melotot memandang bongkahan pantatnya yang kelihatan keras dan kenyal. Bagaimana, ya rasanya kalau tanganku bermain-main di sana?

    Al menyemprotkan parfum ke beberapa bagian tubuhnya, menata rambutnya dengan gel rambut, dan memakai jaket hitam kesukaannya. Kubilang begitu karena dia sering memakainya ke sekolah, dan karena aku ingin mengatakannya. Saat dia menyambar dompet dan kunci motornya di atas meja, aku menemukan diriku sendiri menunduk memandang diriku sendiri. Wah, sepertinya aku harus ganti kostum nih.

    "Ayo, Yan, nanti keburu sore," kata Al sambil menenteng handuk yang tadi dia pakai.

    "Ayo," kataku dan bangkit mengikutinya ke luar kamar.

    Al membawaku ke sebuah pusat perbelanjaan di kota terdekat untuk bermain game, lalu mengajakku makan ramen di tempat yang sama, dan karena saat itu sudah hampir jam sembilan malam, dia membawaku ke sebuah taman yang tidak terlalu ramai tapi juga tidak sepi. Ada beberapa pedagang dan pengunjung yang melakukan berbagai hal yang tak perlu aku sebutkan.

    Kami memesan kopi dan makanan ringan dari salah satu pedagang, membawanya ke undakan tangga yang disulap jadi tempat duduk, dan menyeruput kopi kami hampir di saat yang bersamaan. Al tertawa dan menyikutku dengan main-main.

    "Kau senang?" Tanyanya, dan aku mendengar nada khawatir di sana, yang membuat dadaku terasa hangat. Jelas tak ada hubungannya dengan kopi.

    "Ya," kataku, tak ingin berbohong padanya, dan kembali meminum kopiku. Al mengehembuskan nafas lega dan menarik sesuatu keluar dari saku jaketnya. Wah, kapan dia mengantongi rokok itu? "Kau merokok?"

    "Ya.." guman Al, seperti teringat telah melupakan sesuatu yang sangat penting, tapi tidak yakin apa itu masih penting saat ini. "Tidak apa-apa, kan? Aku bisa menyimpannya kalau ka --"

    "Ya," kataku terlalu cepat. "Ya, maksudku, aku tidak keberatan. Kau boleh kok merokok di dekatku, atau dimana pun sesuka hatimu. Kecuali di tempat yang ada tulisan dilarang merokoknya,"

    Al menyeringai dan tak lama kemudian asap rokok mulai mengepul dari hidung dan mulutnya, seperti lokomotif kereta super tampan. Aku menemukan diriku sendiri meminum kopiku sambil memandangnya.

    "Kenapa?" Tiba-tiba cowok itu bertanya. Aku mengerutkan kening tak paham. "Kenapa apanya?"

    "Kau memandangiku," dia menoleh, memandangku dengan alis terangkat, ekspresi wajahnya sangat menyebalkan. "Aku penasaran kenapa,"

    "Siapa yang memandangimu?" Tanyaku dengan nada ketus, berpaling darinya, meskipun perasaan hangat mulai menyambangi wajahku, membuat darahku bergolak di balik kulitku. "Aku sedang melihat udara kosong, tahu,"

    "Udara kosong yang tampan, maksudmu?" Al tidak berhenti begitu saja. Dia mencolek pinggangku membuatku menggelinjang tak nyaman dan nyaris menumpahkan kopiku.

    "Udara kosong tidak punya wajah, Al," kataku, berusaha menahan tawa karena sekarang Al makin gencar menyerangku. "Aku hanya suka saja memandangnya,"

    "Nah, jadi kau suka memandangi wajahku, ya? Iya, kan?"

    Aku mendorongnya menjauh dariku, tertawa saat tangannya yang terampil menahan tanganku dan menggelitikku lagi. Sudah sangat lama aku tidak tertawa seperti ini, aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali melakukannya. Dan sekarang aku sedang tertawa karena cowok yang duku sangat suka menggangguku sedang menggelitikku dengan ekspresi kekanak-kanakan.

    Puas menggelitikku dia mencuri minum dari gelasku, menghabiskan setengah kopiku dengan sekali teguk, dan langsung berbaring di sebelahku seperti babi kekenyangan. Aku mendengus dan ikut berbaring di sebelahnya, memandangi miliaran bintang di atas kami.

    "Yan.." guman Al pelan, nyaris tidak terdengar kalau saja telingaku tidak berada tepat di sebelah wajahnya.

    "Hmm?"

    "Aku.. aku senang menghabiskan waktu denganmu," kata Al lagi, dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya. Aku menoleh, melihatnya yang masih memandang bintang, dan rona merah yang menghiasi pipinya. "Aku ingin melakukannya lagi kapan-kapan,"

    "Ya, aku juga,"

    "Sungguh?" Al menatapku dengan tidak percaya, matanya membulat lebar dengan sangat menggemaskan.

    "Tidak, aku benci menghabiskan waktu denganmu," kataku dengan nada datar, menatap matanya. Dia kelihatan terluka dan aku menghela nafas. "Ya, aku senang menghabiskan waktu denganmu juga dan ingin melakukannya lagi kapan-kapan," kucubit hidung mancungnya supaya dia percaya padaku, dan senyum langsung merekah di wajahnya.

    "Kita akan melakukannya lagi," kata Al, lebih kedengaran seperti berjanji dari pada sekedar mengatakannya, dan balon-balon sialan itu kembali memantul-mantul dalam dadaku.

    Aku mengalihkan pandanganku ke langit berbintang dan dia pun melakukan hal yang sama. Setelah beberapa saat akhirnya Al mengajakku untuk pulang karena besok kami masih harus berangkat ke sekolah. Aku tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi selanjutnya, tapi saat aku tersadar, aku sudah ada di halaman depan kosanku.

    Aku turun dari boncengan dan hanya berdiri seperti patung di sebelah Al. Cowok itu melepas helmnya dan menatapku, seolah menungguku mengatakan sesuatu, melakukan apapun. Apa dia ingin aku menciumnya?

    "Thanks sudah mengajakku jalan-jalan," kataku dengan suara pelan.

    "Sama-sama. Kau tidak perlu berterima kasih, karena aku lah yang seharusnya melakukan itu," kata Al, tersenyum sedih, dan aku tahu benar apa yang akan dia katakan selanjutnya.

    "Aku mau minta maaf," kataku, memotong apapun itu yang hendak dia katakan. "Karena berteriak padamu waktu itu. Saat di UKS,"

    "Oh, ya.. aku mengerti bagaimana perasaanmu saat itu," Al menganggukan kepalanya. "Aku mengerti dan aku tahu aku pantas mendapatkan sesuatu yang lebih buruk dari dari itu,"

    "Nah, kalau begitu aku mau masuk," kataku akhirnya, tak tahan lagi dengan percakapan ini. "Kau mau ikut atau..?"

    "Aku pulang saja, Ibu pasti sudah menungguku," kata Al sambil memakai helmnya. "Sampai ketemu besok di sekolah,"

    "Dah!"

    Al membunyikan satu klakson sebelum memutar dan meninggalkanku, aku diam di tempatku sampai punggungnya tak terlihat lagi. Begitu dia menghilang dari pandangan, saat itu lah aku menyadari satu hal penting yang lupa aku lakukan. Kenapa aku tidak bertanya tentang Hendra padanya tadi?
  • Ceritanya bagus. Mengalir. Seperti dapat melihat adegan demi adegan dalam cerita itu.
  • @azura makasih mass :*

    Jangan sedih dan jangan menyerah, meski yang like & comment masih sedikit. Soalnya pengunjung boyzforum memang turun drastis karena kadang susah untuk bisa buka boyzforum. Sering kena blokir.
  • Hendra cemburu ...? makin akrab nih ...
  • @azura pantesan, aku heran sendiri kenapa forumnya sepi gini.. pdahal udah lumayan lama buka akun
    @lulu_75 bisa jadi :v
  • 6
    *
    Dua hari setelah kejadian yang aku tahu takkan mungkin aku lupakan seumur hidupku itu, Al datang menghampiriku yang sedang melakukan sebuah riset mendalam terhadap sebuah buku untuk bahan belajarku. Cowok itu melangkahkan kakinya dengan canggung di antara meja dan rak buku. Kutebak dia tidak sering datang ke sini.

    "Hei," sapaku saat dia sudah ada dalam jangkauan dengar.

    "Hei," dia menyapa balik dan duduk di sebelahku. "Kau sedang membaca buku apa?'

    "Cuma buku tentang tenses. Grammarku payah," aku mengangkat bahu dengan cuek. "Kau mau mencari buku apa?"

    "Aku tidak ke sini untuk membaca buku," kata Al, tersenyum dengan gaya misterius sampai keningku berkerut sedemikian rupa, mencoreng ketampananku yang tak berbatas.

    "Lha, terus ngapain kamu ke perpustakaan kalau bukan mau membaca buku?"

    "Aku cuma mau ketemu kamu," aku Al dengan nada malu-malu. Aku menahan dorongan hati untuk segera jatuh ke pelukannya. "Duduk di dekatmu,"

    Aku tertawa kecil dan menyenggol bahunya dengan punyaku, membuat cowok itu tersenyum lebar karena kontak fisik itu, dan kalau mungkin, menjadi kelihatan lebih tampan. Astaga, dunia ini sangat tidak adil. Wajah tampan dan tubuh atletis seharusnya tidak bisa menyatu seperti itu.

    "Dasar tukang gombal," gumanku kembali membaca buku di hadapanku.

    Selama sepuluh menit selanjutnya kami diam dalam keheningan yang nyaman. Al memandangku dengan wajah bertumpu pada salah satu tangannya, aku membalik halaman bukuku beberapa kali, dan berusaha mengabaikan teriakan samar di luar perpustakaan. Sialnya, makin aku abaikan, suara itu makin keras.

    "Suara apa sih itu?" Keluhku tak senang, memandang keluar jendela, mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang sedang dilakukan anak-anak di sana.

    Al mengcopy gerakanku, berbalik untuk mendapat pandangan yang lebih baik, tepat saat suara baku hantam yang memekakan telinga dan menggetarkan tulangku terdengar. Ada yang sedang berkelahi di luar sana.

    Kami bergerak dengan cepat, insting pertama orang Indonesia saat ada masalah adalah bergerak mendekat, dan begitu kami berada di luar pintu, aku bisa melihat dua orang cowok saling menghantamkan kepalan tangan pada wajah satu sama lain. Hendra sudah sangat berantakan dengan hidung berdarah dan memar di beberapa bagian wajahnya, Marco mulutnya seperti dia baru saja berkumur dengan darah. Hampir seluruh kancing bajunya hilang entah kemana.

    "Hendra! Marco! Berhenti!" Di suatu tempat di tengah kerumunan, aku mendengar Lydia berteriak dengan suara serak, seperti sedang menangis. Aku bergerak maju untuk menemukan cewek itu tapi lengan Al memblokir badanku.

    "Jangan mendekat, biar aku saja," katanya, suaranya tegas dengan nada memerintah, dan mendadak aku terpesona. Hanya sedikit, karena perasaan yang lebih dominan adalah rasa takut. Ekspresi itu.. Wajah itu.. Aku ingat benar bagaimana wajah itu saat Al mendorongku ke toilet dahulu kala.

    Aku menarik nafas dalam dan berusaha memberitahu diriku sendiri bahwa Al tidak sedang berusaha menyakiti diriku, dia berjanji akan memperbaiki semua kesalahannya, dia adalah bagian dari rencanaku.

    "Oke," kataku akhirnya, kedengaran tak berdaya dan lemah. Saat Al bergerak maju untuk memisahkan mereka, aku menahan sikutnya. "Eum.. hati-hati,"

    Cowok itu menganggukan kepalanya dan dengan lembut melepaskan lenganku sebelum melompat ke tengah pertempuran. Aku melihatnya memberi kode pada dua cowok di tengah kerumunan dan mereka bergerak seolah pikiran mereka terhubung dengan koneksi nirkabel. Al berusaha menahan Marco dan menariknya mundur dari Hendra yang sedang dipegangi oleh dua cowok yang kelihatan kewalahan.

    Setelah memastikan kondisi cukup aman, aku bergerak maju dan mendekati Lydia yang sekarang menangis tersedu-sedu di dekat seorang cewek berambut ikal panjang.

    "Lydia!" Seruku sambil memegang pundaknya. "Kau tidak apa-apa?"

    Cewek itu kelihatan berantakan. Beberapa noda make up mencoreng wajah cantiknya, bercampur dengan air mata yang meleleh dari sudut matanya.

    "Lepas! Lepaskan! Lepaskan aku!" Hendra berteriak seperti orang gila, menendang-nendang dan kelihatan berusaha melemparkan kedua penahannya dengan kibasan tubuhnya. "Aku mau menghajar bajingan itu! Lepaskan aku!"

    Marco di sisi lain kelihatan terlalu emosi untuk sekedar mengucapkan kata-kata. Wajahnya merah padam dan tatapan matanya liar, bergerak tak nyaman di antara jerat tangan Al yang menahan erat tubuhnya. Al tidak kelihatan berusaha terlalu keras, tapi aku tahu bukan perkara mudah menahan orang yang sudah hampir kehilangan akalnya.

    Anak-anak di belakangku berbisik dan saling dorong satu sama lain, berusaha mendapat penglihatan yang lebih baik. Aku memeluk Lydia dengan sebelah tangan di pundaknya, mencoba menenangkannya yang sekarang sesegukan dengan air mata melelah di kedua sisi tubuhnya.

    Saat itu seseorang menerobos masuk ke dalam lingkaran, seorang pria berseragam dan bermuka masam, yang aku kenali sebagai Kepala Sekolah. Dia memandang dua anak yang babak belur itu, pada tiga orang yang menahannya, kerumunan anak-anak, padaku dan Lydia, lalu menyapukan pandangannya lagi sambil berkata, dengan nada yang sangat gusar.

    "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?!"

    "Hendra dan Marco berkelahi, Pak," seseorang berkata di antara kerumunan, dan aku tidak terlalu repot untuk mencari tahu siapa kiranya orang itu. Aku tidak terlalu terkejut saat cowok berkacamata itu maju dan memandang Kepala Sekolah dengan tenang. "Al dan dua temannya berusaha memisahkan mereka sebelum keduanya mulai membuat lebih banyak keributan,"

    Aku menunduk dan memandang Lydia yang memandangku dengan mata berair, merah, dan kelihatan berurat di beberapa tempat. Aku mengangkat alis, meminta penjelasan, dan cewek itu hanya menggelengkan kepala.

    "Hendra, Marco ikut ke ruangan saya sekarang! Yang lainnya bubar! Lakukan sesuatu yang lebih berguna!"

    Al dan dua temannya masing-masing melepaskan Hendra dan Marco, membuat kedua cowok itu mengibaskan pundak mereka dengan terganggu, mengikuti Kepala Sekolah tanpa melepaskan pandangan pada satu sama lain. Lydia dengan sigap mengikuti mereka.

    "Hei," aku menahan lengannya, membuat cewek itu menoleh dengan ekspresi penasaran. "Kau mau kemana?"

    "Aku harus menjelaskan pada Kepala Sekolah apa yang sebenarnya terjadi," kata Lydia, suaranya tegas meskipun air mata dan ingus merusaknya. "Bagaimanapun juga aku terlibat dalam kerusuhan ini,"

    Al menghampiri kami sambil memijat pergelangan tangan kirinya, berdiri di sampingku dengan ekspresi yang sulit untuk aku baca. Lydia melepaskan tanganku dengan lembut dan melangkahkan kakinya menjauh tanpa menatapku lagi.

    "Kau tidak apa-apa?" Tanya Al khawatir. Pasti mukaku pucat sekali sekarang.

    "Ya, aku -- aku tidak apa-apa," aku harus berbohong, karena itu lebih mudah dilakukan dari pada mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan. "Bagaimana denganmu?"

    Cowok itu mengangkat bahu, tersenyum tipis, dan mengajakku kembali ke perpustakaan. Aku mengikutinya sambil berpikir keras. Apapun yang sedang terjadi dengan Hendra dan Lydia, menjadi semakin rumit dan tak tertahankan lagi sekarang. Marco sepertinya beruntung masih bisa melakukan perlawanan.

    *

    Aku tidak terlalu menekan Lydia untuk mengatakan apa sebenarnya yang terjadi antara dia, Hendra, dan Marco. Tapi meskipun begitu aku tetap menemaninya belajar di rumahnya. Cewek itu seolah ingin memfokuskan seluruh pikirannya pada hal lain, apapun selain perkelahian tadi, dan aku tidak bisa menyalahkannya.

    Setelah setengah jam keheningan menyelimuti kami, hanya diselingi suara pensil menggesek permukaan kertas dan suara kue kering yang hancur di antara gigiku, akhirnya Lydia mengangkat mukanya dan memandangku.

    "Aku sedang ngobrol dengan Marco," Lydia berkata tanpa intonasi, sebelum berdehem dan memperbaiki tenggorokannya. "Lalu tiba-tiba Hendra datang dan langsung memukuli Marco,"

    Aku mengerutkan kening, kebingungan dengan pola pikir cowok itu. "Kenapa menurutmu dia melakukannya?"

    "Karena dia suka padaku dan dia pikir aku pacaran dengan Marco," kata Lydia, mengalihkan pandangannya pada sesuatu di belakang kepalaku, dinding putih yang bebas noda. "Alasan paling konyol yang selalu cowok pikirkan,"

    Dari caranya mengatakan itu, aku tahu ada sesuatu yang salah. Lydia menyembunyikan sesuatu dariku, sesuatu yang penting, yang aku tahu kalau tidak dia katakan, akan membuat cerita ini jadi semakin sulit dipahami.

    "Kau bisa menceritakan apapun padaku, Lydia," aku berkata dengan nada tulus dan sedikit menuntut. Aku tidak bisa menahannya, aku penasaran. "Kau tahu kau selalu bisa melakukannya,"

    "Aku hanya -- aku --" Lydia kelihatan sedang berusaha mengumpulkan pecahan-pecahan dirinya yang berceceran di sekitar kami, menyusunnya kembali dengan tangan yang terluka karena bagian tepinya yang tajam, tergopoh-gopoh seperti dikejar anjing. "Aku tak bisa,"

    "Kenapa?" Tanyaku dengan nada terluka yang kedengaran menyedihkan bahkan bagi telingaku sendiri. Dia masih tidak memandang mataku, tapi sekarang, dia memfokuskan kembali matanya pada setumpuk soal di hadapan kami.

    "Bagaimana caranya menyelesaikan soal nomor 10 ini? Aku lupa rumusnya,"

    Aku menghela nafas dan mengingatkannya bahwa sekarang kami sedang mengerjakan soal latihan Bahasa Inggris alih-alih Matematika.
  • oh jadi Hendra suka Lidya ...
Sign In or Register to comment.