Di angkat dari cerita nyata yang di dramatisir
Orok adalah namaku, tertulis singkat dengan hiasan emoticon bergambar botol dot di kiri dan kanan, tak ada yang tau kenapa aku memilih nama itu, karena aku tak pernah menceritakannya.
Nama orok ku sematkan di semua akun sosial media milikku, termasuk bigo live.
Ternyata nama singkat ini mencuri banyak perhatian, alhasil banyak mereka yang menggunakan aplikasi ini menjadi teman dekatku di dunia tersebut.
Tentu aku merasa senang, kehadiranku di setiap mereka sedang siaran sangat di harapkan,
bukan hanya lucu, aku juga sudah menjadi bagian di setiap kegiatan yang mereka tampilkan, itu pendapat mereka, dan aku tidak keberatan dengan hal itu.
Sore ini aku masuk ke roomnya kak Alvin, cowok muda, tampan, ramah dan baik.
seolah tiada cacat di saat Tuhan menciptakannya.
Aku senang saat melihat kak Alvin menarik sebelah alis matanya dengan bibir merah yang di majukan, terlihat lucu seperti bayi, seharusnya dia lebih pantas memakai nama orok di ID-nya.
Kak Alvin menyapa semua penggemar yang hadir di roomnya, memberi kecupan bertingkah seperti melihat penontonnya secara langsung, aku senyum sendiri, merasa dia melakukan itu untukku.
"Alvin kesayangan aku, orok kangen" tulis ku di kolom komentar
"Aku juga kangen sama orok, orok kemana aja?" Alvin menjawab dengan tawa renyahnya, hatiku semakin senang
Komunikasi dua arah terus berlanjut, semua penonton juga di tanggapi olehnya dengan keramahan yang sama, tentu saja yang mendominasi kolom tersebut para wanita muda.
Alvin selesai siaran, total stiker yang ku hadiahkan padanya sebanyak ratusan diamond, yang kalau di uangkan mungkin seratus ribu rupiah, tak apa bathinku berkata, yang penting Alvin merasa senang, lagipula aku masih memiliki banyak stok diamond untuk ku bagikan padanya di lain hari, jika habis aku tinggal mengisi ulang, cara membelinya juga mudah.
Aku pindah ke roomnya Maya, gadis cantik berwajah oval ini juga temanku, suaranya merdu, ia kerap bernyanyi saat live di roomnya, yang membuatku terkagum mengapa mereka yang fisiknya sempurna tetap tidak sombong kepada semua penggemarnya, bahkan kepada pembenci yang selalu berkata tidak sopan Maya tetap menanggapi dengan baik, itu lah yang aku suka dari Maya.
"Kak Maya, nyanyiin lagu D'Masiv dong, jangan menyerah, ntar aku kasi kombo triple" tulisku di kolom komentar,
Maya tersenyum
"wah lagunya galau nih, orok lagi galau ya" candanya, aku menganggukkan kepala, Maya kembali tersenyum, dan senyumnya semakin lebar
Intro gitar accusticnya bermain, nada indah menebar dan menembus hatiku
"Ini lagunya khusus buat orok nih, setelah dengerin lagu ini, orok jangan galau lagi ya" aku mengangguk semakin kencang
Bait lagu dinyanyikan, suaranya bagus, pesan dari lyric yang ia nyanyikan tersalurkan dengan baik, dan benar Maya memang menyanyikan lagu ini khusus untukku, aku merasakan nya
"Jangan menyerah. . ." Part akhir lagu pun berakhir, tak terasa air mataku jatuh, Maya tersenyum pias
"Orok jangan nangis" katanya, dia tidak bisa melihat aku karena kami sedang tidak melakukan panggilan video, tapi karena kedekatan kami, mungkin dia bisa merasakan walau dia jauh di Kuala lumpur sana.
Seperti janjiku, aku memberikan triple combo, yang berarti jumlahnya sama persis yang aku berikan ke Alvin.
"Aku out dulu ya guys" pamitku, karena ini sudah terlalu sore, mama juga sudah menyiapkan semuanya dari tadi,
Setelah log out, aku menggeser posisi dudukku untuk mendekati mama yang bertengger di pojok sudut kasur.
"Gimana Andi, hari ini dapat teman baru?" Itu lah namaku, Andi.
Aku menggeleng menjawab pertanyaan mama
"Enggak ma, tapi Andi dinyanyiin sama kak Maya, suaranya bagus banget, mama ntar dengerin deh pas dia siaran" terang ku antusias
"Oh ya? Emang lagu apa sayang?"
"Jangan menyerah, Andi yang request" aku merapatkan posisi duduk kami, dan memeluk mama,
Mama menerawang, matanya tertuju pada langit langit kamar, tapi matanya kosong.
Aku memperhatikan geraknya,
Dan tiba-tiba seperti ada yang menusuk-nusuk di dadaku.
"Ntar mama mau request juga" katanya tiba-tiba seperti kembali tertarik ke atmosfer bumi
"Lagu dangdut" katanya, jahil
aku tertawa, mama juga berusaha menahan senyum, hening yang sempat menyelimuti itu, hilang begitu saja, aku tau, mama tak ingin membuat aku sedih, karena makna lagu tersebut teramat dalam untukku
"Andi gak mau request lagu dangdut sama kak Maya, ntar Andi di ejek sama anak-anak bigo"
"Andi kok gitu, mama kan gak punya bigo, titip kamu aja ya sayang request-nya" aku menggeleng keras keras, mama pura-pura sebal, dan kami kembali tertawa . . .
* * *
Sudah hampir Maghrib, waktunya aku untuk mandi, dari tadi mama kerepotan sendiri menyiapkan peralatan mandiku, mulai dari handuk, memasak air panas, menggeser posisi tubuhku dari kasur ke kamar mandi yang jaraknya cukup jauh ke belakang dapur,
Di sela aktivitas mandi, kami tetap ngobrol dan bercanda, aku senang di manja sama mama seperti ini.
"Ma, kuota internet Andi udah mau abis" mama menggosok-gosok punggung belakangku, rasanya nyaman,
aku tak bisa melakukan nya sendiri di area itu, tanganku tak sampai
"Ntar ya, mama jual kardus yang didepan dulu ke bang agus, kemarin loak-an nya banyak jadi gak sempat mampir ke rumah buat ngambil kardusnya, sabar ya sayang" terang mama, sambil menyiramkan air ke punggungku, sisa sabun mengalir ke lantai, bau nya harum, aku suka sekali.
Aku mengangguk, mama bersenandung kecil menyelesaikan sisa mandiku.
Terkadang aku berpikir, apakah aku terlalu membebani mama,
Di usia yang menginjak 27 tahun, aku merasa tidak pernah memberikan kontribusi yang berarti untuk kehidupan kami.
papa meninggal karena kecelakaan tiga tahun yang lalu, kecelakaan tersebut lah yang merubah semua arah peta hidup kami,
Dulu papa adalah pengusaha kelontong semasa hidupnya, kehidupan sosial kami juga di rasa cukup mapan, aku selalu membantu nya di sela waktu kuliah,
seperti berbelanja di grosir besar, menyusun barang di toko, melayani pelanggan dan lain-lain.
kehidupan kami sejahtera kala itu,
Mama adalah wanita yang paling beruntung saat itu, mendapati pria yang bertanggung jawab penuh untuk keluarga seperti papa.
Tapi peristiwa naas itu seolah bencana, sore itu aku dan papa bergegas ke pasar untuk berbelanja stok toko yang tinggal sedikit,
papa mengemudikan Carry (pick up), sementara aku disebelah nya duduk nyaman dengan earphone yang menempel di telinga tapi musiknya tak ku hidupkan, hujan turun sangat deras, aspal pun menjadi licin, ketika melintas di jalur bebas hambatan mobil angkutan bermuatan besar tiba-tiba menerobos kiri jalan, papa banting setir ke kanan hingga nyaris menghantam bahu jalan, aku kira itu semua sudah berakhir, keterkejutanku bertambah ketika mobil berukuran raksasa itu semakin dekat. panik, papa pun lepas kendali, bannya tergelincir di belokan tajam, bodi mobil menghantam kuat penghalang jalan, ketika mobil kami berputar dan tersangkut di ujung belokan saat itu lah akhir nafas papa, papa di hantam mobil besar sialan itu, jika aku menceritakan hal tersebut, semuanya kembali menampilkan adegan tersebut seperti gerakan lambat, aku teramat membencinya, karena disetiap gerakan lambat, maka akan terlihat semua detail kejadian, dan kejadian tersebut teramat pedih. Aku skip saja bagian itu.
Di rumah sakit aku tetap tersadar, rasa panas di lutut ini tersamarkan mendengar kabar papa yang saat itu tewas di tempat, percaya atau tidak, aku dan mama merelakan semua hal dengan hati yang lapang di tinggalkan papa. Aku resmi menjadi anak yatim kini.
Seolah tak cukup menderita, aku di hadapkan pada realita hidup yang lebih kejam, saat kecelakaan itu terjadi, lutut dan kakiku terjepit antara kursi dan dashboard, petugas evakuasi sempat kualahan karena kaki kananku remuk karena terjepit,
saat tabrakan terjadi, demi tuhan aku bisa mendengar suara tulang-tulangku yang yang remuk karena tergencet, dan suaranya renyah sekali.
Mama mengurus semua keperluan biaya operasi, mulai dari BPJS, dan menyiapkan semua kebutuhan,
tapi aku lah masalahnya, aku terlalu trauma untuk menjalani operasi amputasi, patahan tulang itu terlalu banyak, dan solusi yang paling benar adalah memotong kaki kananku, jelas lah keinginan hatiku bertolak belakang,
Angin segar berhembus dari rumah sakit besar di ibu kota, dengan rujukan dari kotaku, mama dan aku bertolak ke kota tersebut, dokter yang menjamin kelengkapan operasi berkata, meski cara ini kesembuhan nya tidak seratus persen berhasil, setidaknya kita berusaha tidak memotong kakinya, benar ucapku dalam hati.
Operasi berlangsung aman, total baut dan mur yang tertanam di kaki ku ada sebelas buah,
dalam bayangan indah bathinku, saat telah sembuh nanti aku akan membawa kaki dengan sebelas baut didalamnya, membanggakan kepada semua orang bahwa hanya aku manusia yang seperti ini, manusia robot.
Harapan berbangga hati pun musnah, ketika pembengkakan dimulai, kaki ku berubah membesar, ukurannya jadi dua kali lipatnya kaki kiri, aku panik, mama juga bingung,
kami kembali konsultasi ke dokter ortopedi yang menangani operasi ku waktu itu,
Setelah di diagnosa, ternyata baut yang menopang tulangku yang telah rapuh tersebut tidak cukup kuat, dan patahan kedua tersebut membelah beberapa urat syaraf penting, dokter menjelaskan beberapa hal yang aku tidak mengerti istilah kedokteran nya, yang intinya infeksi luka syaraf tersebut menjadi sel kangker yang ganas.
Kangker tulang itu merambat hingga kini, menjalar hingga ke bagian paha, dokter menyarankan amputasi, memotong bagian kangker ganas tersebut agar tak menyebar ke bagian tubuh yang lain, tapi biaya nya terlalu besar, untuk biaya operasi pertama saja mama harus menjual toko kami,
Mama memohon kepada pemerintah, dan instansi yang terkait agar mohon kiranya dibantu pendanaan, ternyata meminta bantuan kesehatan tidak mudah, malah cenderung sulit, alhasil ya seperti sekarang ini, aku harus menerima nasib, menjadi beban hidup untuk mama.
Sekali waktu mama pernah berkata
"Demi Tuhan, mama tidak merasa direpotkan, asal Andi senang, mama ikhlas, kalau posisi nya mama seperti andi, tentu Andi juga melakukan hal yang sama bukan buat mama" aku mengangguk kencang dengan air mata yang mengucur, mama juga menangis.
Aku menerima takdir yang Tuhan beri, aku dan mama ikhlas menjalani semuanya, meski hidup ku hanya sepetak kamar yang ukurannya tidak terlalu luas, tapi aku punya mama yang luar biasa hebat, aku juga punya teman di dunia luas tak berbatas, dunia maya yang hanya bisa di sentuh dengan jari, untuk menjejak dunia itu aku tak butuh kaki, mereka yang tak menilai dari sisi fisik, tapi menilai dengan kebaikan hati.
Aku tak tau, kak Alvin dan kak Maya akan berlaku seperti biasanya atau tidak jika tau kondisi fisikku yang seperti ini, tapi setidaknya aku tau, aku masih bisa punya teman di dunia ini, meski persahabatan yang terjalin tergantung seberapa besar sisa kuota internet yang aku punya.
Ngomong-ngomong, orok adalah nama lain yang di sematkan mama untukku, karena mama merawat ku layaknya bayi yang masih kecil, aku tidak ingin sahabatku seperti kak Maya dan kak Alvin tau tentang hal itu, karena mereka bisa mengejek ku habis-habisan jika tau, mandi saja aku harus di bopong-bopong ke dapur.
Di balik keceriaan ku di dunia media sosial, mereka tidak tahu bahwa ada cerita suram yang ku pendam, dan tak akan aku ceritakan kepada mereka semua sampai kapanpun,
mereka cukup mengerti saja, ketika orok hadir Meraka akan tertawa-tawa. . .
Comments
@mustaja84465148
@adinu
@Tsu_no_YanYan
@reenoreno
@elul
@san1204
@alfa_centaury
@3ll0
@d_cetya
@rezadrians
@Gabriel_Valiant
@kimo_chie
@bodough
@rezka15
@Xia
Minta pendapatnya boleh ya?