BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Kisah Orion dan Gemini (TAMAT)

edited November 2016 in BoyzStories
Halo, gua nubi gan, mohon bimbingan, hehe
pengen posting cerita yang pernah gua post di Dunia Kata Nayaka, itu loh web nya Nay Al Gibran, penulis idola gua xp
semoga cerita gua bisa diterima di sini xp

Sinopsis: Pandu merasa shok saat tahu dirinya gay, dan Arkan, sahabatnya, malah memilih untuk bersikap brengsek, ini cerita bagaimana keduanya saling berdamai satu sama lain xp
«13

Comments

  • Part 1/16

    “Hei, Jagoan.”

    Itu kalimat pertama yang kudengar saat aku membuka mata.

    Pandanganku masih kabur, semua tampak buram di sekelilingku. Dimana aku berada? Aku ingat sesaat tadi, sebelum kelopak mataku terbuka, aku bersama Bunda, kami berkeliling di kebun sayuran organik vertikal, mirip sekali dengan yang di halaman belakang rumahku, namun ukurannya jauh lebih besar. Jauh lebih indah.

    Aku berani taruhan kalau surga itu ada, bentuknya pasti seindah ini. Apakah aku berada di surga? Apakah Tuhan mengijinkan aku menemani Bunda di sana? Aku tidak yakin. Tuhanku dan Tuhannya berbeda, apakah Tuhan kami sepakat mempertemukan kami kembali, mungkin merasa kasihan pada kami, pada seorang ibu dan anak yang terpisah selama bertahun-tahun karena alasan yang tidak aku mengerti kenapa? Kurasa tidak mungkin. Karena Tuhan-Tuhan kami tidak ingin kami bersama. Itu kah alasan Bunda dulu meninggalkanku, membawa pergi belahan jiwaku?

    Lagipula aku telah berbuat bodoh, tindakan yang mungkin diganjar dengan siksa api neraka seumur hidup, atau seumur mati? Bagaimana rasanya disiksa selama-lamanya, seperti yang pernah kudengar dari pendeta saat mengikuti kebaktian? Apakah aku akan dicelupkan ke dalam kuali berisi lahar panas mendidih? Atau ditusuk dengan besi panas dari lubang dubur hingga tembus ke mulut seperti sate? Aku bergidik membayangkannya.

    Apakah aku benar masuk neraka? Pikiranku kembali pada Bunda yang tadi menggenggam jemari tanganku penuh kerinduan, dedaunan cabe dan tomat terhampar tinggi melebihi pucuk kepalaku di sekeliling kami. Rasanya begitu damai. Sebelum tiba-tiba Juna datang dan menampari kedua pipiku dengan begitu ganasnya. Adikku itu terlihat mengamuk. Tentu saja dia berhak untuk marah, pikirku getir. Aku telah membuatnya kecewa, membuat semua orang yang peduli padaku kecewa. Ada banyak kah orang seperti mereka? Manusia yang peduli padaku? Aku tidak yakin. Ini membuatku sedih.

    Aku tahu aku pantas diperlakukan seperti itu oleh Juna. Dia menendang bokongku hingga tubuhku terpelanting, masuk ke dalam lingkaran cahaya yang membutakan. Apakah Juna sengaja mendepak aku dari surga? Masa sih dia setega itu menjatuhkan aku ke neraka? Aku kan abangnya satu-satunya.

    Abang kesayanganku, aku ingat Juna selalu mengucapkan itu sambil mencium pipiku saat ulang tahun, membuat seringai lebar menghiasi wajahku. Rasanya sudah lama sekali. Terakhir kali Juna memelukku erat-erat begitu ketika ulang tahunku kesepuluh. Ayah dan Bunda memberi kami pelukan beruang, momen paling bahagia dalam hidupku.

    “Jagoan?” suara itu lagi, kali ini sedikit bergetar, panik.

    Aku menoleh ke asal suara. Sebuah wajah yang tampan dan gagah menatapku lekat-lekat, tersenyum lemah, dengan sorot mata meneduhkan. Lelaki paruh baya ini terlihat seperti jelmaan malaikat yang turun ke Bumi. Pasti lah begitu.

    “Ayah,” panggilku lemah.

    “Ya, Jagoan?” Dia memberiku tatapan penuh cinta.

    “Kirain Pandu udah di surga, sama Bunda,” bisikku.

    Mata ayahku mengerjap, pedih.

    Tangannya mengelus rambutku. Dia terlihat lelah. Entah sudah berapa lama dia tidak tidur. Aku tahu Ayah pasti enggan beranjak dari sisi ranjang.

    “Tadi sore Bunda datang ke mimpi Ayah,” balas ayahku sambil tertawa, mungkin berusaha melucu. Aku tidak ikut tertawa, mataku masih menerawang ke luar jendela. “Bunda kamu bilang, belum waktunya kamu ketemu Bunda, jadi kamu masih harus bersabar dulu, menemani Ayah lebih lama lagi.”

    Aku menghela napas.

    “Di luar hujan,” kataku letih.

    Ayah mengikuti pandanganku ke luar jendela, sebaris kilat berenang-renang di langit malam seperti ular. Aku memucat, tanganku berusaha menggapai lengan kokoh Ayah, namun rasa sakit menusuk menahanku diam. Keningku mengernyit, sudut mataku berair. Entah kebodohan apa yang membuatku menyakiti diri sendiri.

    Seperti bisa menebak pikiran, Ayah menggenggam lembut tanganku.

    “Ayah sengaja menaruh kamu di kamar ini, karena Ayah tahu kamu suka melihat laut,” dia mengerling ke arah jendela.

    Kelopak mataku menutup. “Pandu takut sama petir,” aku mengaku.

    Pengakuanku membuat Ayah tertawa kecil. Tangannya mengacak rambutku. “Ayah selalu tahu,” katanya sambil mengecup keningku. Bisa kurasakan sosoknya menjauh dari tempat tidur, melangkah menuju jendela.

    Saat aku kembali membuka mata, tirai tebal telah menutupi kaca jendela, menghalau kilau cahaya petir di luar sana. Ruangan kamarku kedap suara. Satu-satunya yang tidak aku sukai adalah aroma obat yang begitu tajam, dan jarum suntik yang bersarang di lengan kananku.

    Dulu aku menyukai rumah sakit, sekarang tidak lagi.

    “Apa saja yang Ayah pikir tahu soal aku?” tanyaku tiba-tiba.

    Tubuh jangkungnya tersentak. Kurasa aku telah salah bicara. Apa dia mengira aku sedang bersikap sinis? Padahal tidak. Aku cuma penasaran, apakah Ayah benar-benar tahu semua rahasia yang kusembunyikan darinya? Soal aibku yang paling dalam? Rahasia tergelap dalam hidupku? Ya Tuhan, kuharap tidak. Aku belum siap jika ada orang lain lagi yang tahu. Cukup satu kali saja aku mendapat penolakan.

    Ayah memaksakan sebuah senyum. Dia kembali duduk di tepi tempat tidur, jemari tangan menyusup di sela-sela rambutku. Tatapan matanya janggal. Ayah tidak pernah menatapku begitu sebelumnya, sorot mata yang intens, penuh cinta kasih, seolah aku sebutir permata paling ajaib di dunia, hartanya paling berharga.

    Perutku terasa hangat oleh sayangnya.

    “Ayah tahu kamu selalu ranking satu, dari kelas satu sampe kelas sembilan.”

    “Emm, mungkin semester ini nggak,” keluhku.

    “Kalopun begitu juga nggak apa.” Ayah mengangkat bahu, cuek. “Kamu tetep kebanggaan Ayah sama Bunda.”

    Aku berpikir sejenak, sebelum kemudian mengangguk. “Jadi Ayah cuma tahu soal itu? Em, semua juga tahu kalo Pandu pinter,” kataku sombong, yang disambut sebuah gelak tawa. Kali ini tawanya terdengar lepas, tidak dipaksakan.

    Tangannya kembali mengacak rambutku. “Kamu suka melihat ombak lautan.”

    “Ayah sudah mengatakan itu tadi, alasan memilih kamar ini, ingat?”

    “Emm, benar juga,” katanya dengan nada menyerah. “Apalagi ya,” gumamnya, mata Ayah mengerling jenaka. “Ayah tahu terlalu banyak soal kamu, jadi sulit untuk memulai darimana,” dia berujar dengan muka serius.

    “Ayah lagi ngeles,” tuduhku datar.

    “Kamu tuh dari dulu pinter ngomong di depan Ayah sama Bunda,” katanya seraya memencet hidungku. “Kamu pinter memanipulasi orang tua sendiri, kamu selalu tahu gimana caranya supaya Ayah mau ngasih uang jajan lebih, gimana caranya supaya Bunda nggak ngomel sama Juna waktu adikmu berulah.”

    “Pandu kan abangnya,” aku membela diri. “Pandu harus melindungi Juna.”

    “Dari Ayah sama Bunda?”

    “Dari siapapun yang mau menjewer adikku satu-satunya,” jawabku nyengir.

    Ayah kembali terbahak.

    “Pandu kangen sama Juna,” kataku lirih.

    “Ayah tahu.”

    “Nggak, Ayah cuma pura-pura tahu!” tudingku.

    “Ayah sayang sama kamu,” katanya sambil tersenyum.

    Tatapan kami bertemu. Tenggorokanku tercekat. Aku tidak mau terlihat cengeng, tapi sudut mataku mulai terasa berat. Sebaris air mata turun ke pipi tanpa bisa kucegah. “Maapin Pandu, Yah,” bisikku terisak.

    Ayah tidak membalas, hanya menatapku sayang, sorotnya meneduhkan, seolah dia berkata ‘jangan khawatir, karena tidak ada di dunia ini yang bakal bikin kamu sedih lagi, tidak selama Ayah masih di sini’.

    Isak tangisku makin hebat. Kuminta maapku berulang-ulang sambil Ayah menarikku dalam dekapan bahunya yang kokoh, membiarkan aku meluapkan semua emosi dalam hatiku. Tubuhku terguncang dalam peluknya. Aku menangis hingga tertidur pulas seperti bayi. Kurasa hari ini aku menangis lebih banyak dibanding seumur hidupku digabung jadi satu.

    Aku tidak peduli. Hatiku sejuk dalam rengkuhnya.

    Kata-kata ayahku terus menggema di telinga, seperti irama sebuah lagu.

    “Sssssh… semua bakal baik-baik saja… Ayah janji.”
  • Part 2/16

    “Mbak Diana tuh perawat apa psikolog?”

    Seorang wanita muda awal dua puluhan menoleh padaku. Satu alis terangkat. Tangan yang sedang membuka bungkusan plastik sarapanku berhenti di udara, seperti membeku. Dia tersenyum padaku, senyum yang bisa membuat cowok manapun klepek-klepek.

    Aku terkekeh.

    “Bukan dua-duanya,” dia menjawab enteng. “Mbak cuma tetangga reseh yang suka minta diambilin jambu.”

    “Mbak nggak reseh,” bantahku. “Tapi kalo soal jambu, emang bener.”

    “Kamu bikin mbak khawatir aja,” katanya mengeluh. “Nanti siapa coba yang mau ngambilin jambu kalo mbak lagi ngidam.”

    Aku memicingkan mata. “Kawin aja belum, masa udah ngidam!”

    Dia balas tertawa renyah.

    Ini hari Sabtu pagi, hari keempatku di rumah sakit, hari keduaku setelah kembali membuka mata. Aku kehilangan banyak darah, dan golongan darahku cukup langka, O rhesus negatif. Untung sejak aku masih kecil, keluargaku ikut semacam komunitas sesama golongan darah rhesus negatif, sehingga kalau terjadi apa-apa, kami bisa saling tolong satu sama lain, meskipun aku sendiri belum pernah donor darah karena belum tujuh belas.

    Tubuhku masih terasa lemas, tapi kini jauh lebih baik. Secara fisik mungkin aku sudah bisa pulang untuk rawat jalan, tapi Ayah memaksa tinggal lebih lama. Aku tidak keberatan, karena ada Mbak Diana merawatku.

    Dia lulusan Poltekkes Tanjung Karang, dan kini sudah setahun lebih menjadi perawat di sini. Lebih dari itu, Mbak Diana juga tetanggaku. Rumah kami persis bersebelahan. Kami menjadi akrab karena selain sama-sama anak tunggal – oke, sekarang aku bisa dibilang anak tunggal karena Juna tidak tinggal bersama kami – Mbak Diana juga suka minta tolong sama aku untuk memanjat pohon Jambu Jamaika yang tumbuh menjulang di depan rumahku untuknya. Mbak Diana sudah seperti mbakku sendiri.

    “Sini adek mbak yang ganteng disuapin dulu,” katanya memanjakan.

    Aku tertawa sambil membuka mulut. Suapan bubur ayam masuk ke atas lidah, lalu kutelan dengan lahap.

    “Bubur rumah sakit kok bisa enak begini?” komentarku terheran-heran. “Mbak tambahin micin ya?” tuduhku pura-pura kesal. “Huuu, ntar kalo Pandu jadi bego, Mbak Diana harus tanggung jawab!”

    Sebagai balasan, tangannya menjitak kepalaku.

    “Aduh, sakit geh mbak!” protesku. “Orang sakit bukannya disayang, malah dijitak!”

    Dia tertawa melihat tingkahku. “Manja!” tuduhnya.

    “Biarin!” kataku memeletkan lidah.

    Aku senang berada di dekat Mbak Diana. Entah kenapa dia suka sekali memanjakan aku, padahal selama ini aku lah yang harus banyak mengalah pada adikku, pada Juna. Dan pada Arkan. Jangan pikirkan soal dia! sudut kepalaku bersungut-sungut. Jangan pernah lagi mikirin cowok itu, pengkhianat bangsa negara!

    “Kok tahu-tahu manyun?” selidik Mbak Diana. Mungkin dia melihat perubahan wajahku saat sosok Arkan melintas di kepala.

    “Nggak…” aku menghindar. “Ayah kemana mbak?”

    “Om Indra pulang sebentar, tadi dia nitipin kamu sama mbak.”

    Ayah emang sengaja meminta pihak rumah sakit untuk menyediakan tenaga perawat yang khusus menanganiku, dan pilihannya jelas jatuh pada Mbak Diana. Toh kami emang sudah akrab di rumah.

    “Emangnya aku barang, pake dititip-titip,” keluhku.

    Mbak Diana melirikku sambil menghela napas. Tangannya terus aktif menyuapi aku bubur disela-sela obrolan.

    “Kamu tahu nggak dek, Om Indra tuh nyaris nggak tidur nungguin kamu, apalagi pas kamu masih di ruang operasi.”

    Aku terdiam, mati kutu.

    “Mbak nggak pernah ngeliat Om Indra sekacau malam itu,” Mbak Diana lanjut cerita. “Dia jerit-jerit keluar sambil membopong kamu. Untung tangan kamu sudah dibebat. Kemejanya darah semua, mama mbak sampe mau pingsan liatnya. Kalo bukan papa mbak yang nyetir mobil, mungkin Om Indra udah nabrak orang saking pengen ngebut.”

    Nada suara Mbak Diana lembut, tidak menyalahkan, tapi aku tahu dia sengaja cerita begitu supaya aku sadar apa yang telah aku perbuat, bahwa tindakanku salah. “Maap mbak, Pandu udah bikin susah semua orang,” kataku tercekat.

    Mbak Diana meremas lembut bahuku. “Om Indra tuh sayang banget sama kamu dek, kamu harusnya nggak boleh ngerasa seputus asa ini, masih banyak orang yang peduli sama kamu, ada ayahmu, ada mbak, papa mama mbak, dan adik kamu si Juna. Masa kamu tega bikin kami semua bersedih?”

    Aku menggeleng. Suaraku macet di tenggorokan. Aku tahu aku bakal nangis lagi kalo bicara. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah melanggar janjiku sama Bunda, sudah bikin ayahku terluka. Dan bisa-bisanya aku melupakan Juna. Gimana perasaan adikku kalo tahu abangnya nekat begini? Apa sih yang ada di otakku?

    Kami berdua terdiam sementara Mbak Diana terus menyendok bubur, memindahkannya ke mulutku sampai habis. “Maap dek, mbak malah bikin kamu sedih lagi,” kata Mbak Diana. Tangannya menyingkap sedikit rambut yang jatuh ke dahiku. “Kamu tuh kayak adek mbak sendiri, mbak sedih ngeliat kamu begini.”

    “Pandu yang salah mbak.”

    “Kamu janji ya, nggak boleh begini lagi,” desaknya lembut.

    Kepalaku terangguk. “Iya, Pandu tahu kalo ini salah,” jawabku. “Pandu nyesel mbak, nggak mau lagi bikin Ayah kecewa.”

    “Nah, itu baru adek mbak.” Dia tersenyum.
  • Part 3/16

    “Cuacanya mendung lagi,” keluh ayahku.

    “Emang lagi musim hujan, mau gimana lagi, Yah.”

    Ayah melirik gemas. “Tapi kan percuma Ayah ambil kamar view laut, kalo ujan terus begini,” sesalnya. “Yang ada tirainya ditutup terus, gara-gara kamu pake acara astraphobia segala.”

    Aku terbahak geli. Ayahku lucu deh, masa anaknya terbaring di rumah sakit begini masih sempet-sempetnya ngeributin kamar view laut. “Pandu cuma separo phobia, Yah!” seruku protes. “Kalo phobia beneran Pandu udah sembunyi di dalem lemari kalo ngeliat petir.”

    “Sama aja!” Ayah mendengus.

    Tawaku kembali membahana. Rupanya kerianganku menular padanya. Ayah ikut tertawa lebar bersamaku. Dia tampak jauh lebih rapih dan gagah dibanding saat aku melihatnya kemarin. Kurasa sepagian tadi dia sudah sempat tidur, mandi dan bercukur. Usia ayahku baru tiga puluh delapan, jangkung dan tampan.

    Kalau kata Mbak Diana, ayahku idola emak-emak. Aku sama sekali tidak setuju, karena aku tahu banyak mahasiswi kesengsem sama Ayah. Selain memiliki firma konsultan arsitektur sendiri, Ayah sering diundang sebagai dosen tamu di sejumlah Universitas.

    “Ayah nggak lembur?” tanyaku.

    Hari ini kan Sabtu. Ayahku libur dua hari seminggu, setiap Sabtu dan Minggu, namun Sabtu adalah hari favoritnya untuk lembur. Sejak Bunda pergi, Ayah emang terlalu giat bekerja, seorang workaholic sejati. Mungkin ini menjadi semacam pelarian untuknya. Jadi Ayah punya alasan untuk menjauh dariku.

    Aku melihat rasa bersalah di matanya. Pertanyaanku tadi kulontarkan secara reflek, tanpa maksud apa-apa, meskipun aku tidak jamin, apakah secara tidak sadar aku sedang menyudutkan ayahku? Menjadikan kesalahanku menjadi kesalahannya juga? Sedikit banyak dia ikut andil dalam membuatku tertekan, sejujurnya itulah yang terjadi.

    “Ayah nggak akan kemana-mana, Ayah pengen nemenin kamu di sini.”

    “Maap, kerjaan Ayah jadi terbengkalai gara-gara Pandu.”

    Ayah mengacak rambutku. “Nggak usah kamu pikirin, semua beres sama Om Nino.” Pria itu tangan kanan ayah di kantor.

    “Pandu harus minta maap juga sama Om Nino, dia jadi lembur sendirian.”

    Ayah berusaha tertawa.

    “Kalo Ayah rindu sama kerjaan, Pandu nggak apa kok ditinggal, udah ada Mbak Diana juga,” kataku lagi. Entah apa yang ada di kepalaku sampai berulah begini. Aku ingat kalimat semacam ini sering dilontarkan Juna untuk membuat kedua orang tuaku merasa bersalah saat akan pergi kerja, terutama ketika ada pemberitahuan lembur.

    “Apa Ayah terlihat seperti orang tua yang suka mengabaikan anak?”

    “Kurasa terkadang begitu.”

    Ayah menatap penuh sesal. “Ayah tahu kamu sedang menyalahkan Ayah, dan emang Ayah banyak salah sama kamu, kurang perhatian sama kamu, kalo itu alasan kenapa kamu berbuat nekat kemaren, Ayah minta maap, dan Ayah janji nggak bakal begitu lagi.”

    “Bukan salah Ayah,” kataku setengah berbohong.

    “Ayah sayang sama kamu.”

    Aku tertawa. Sepertinya Ayah punya kalimat favorit baru ketika bingung harus berkata apa padaku. Ayah sayang sama kamu!

    Simpel, tapi sangat berarti.

    “Ayah seneng liat kamu cengengesan begitu.”

    Dia duduk di sebelah ranjangku, dengan kepala bertumpu pada kedua tangan yang dilipat di atas kasur. Selama di rumah sakit, tingkah ayahku semakin aneh saja. Aku ingat biasanya dia suka menjaga jarak. Sikapnya sering terlihat cuek, juga tegas dalam mengambil keputusan. Ayah tidak pernah main tangan, tapi sangat galak kalau sedang marah.

    Singkatnya dia tidak pernah memanjakan aku.

    Bahkan kami tidak pernah bicara seakrab ini, ngomongin soal cuaca dan rasa takutku sama petir, rasanya seperti dalam mimpi. Ayah kembali menjadi dirinya dulu, riang dan hangat, sebelum berubah dingin saat Bunda pergi membawa Juna.

    “Pandu nggak mau Ayah sedih lagi,” kataku jujur.

    Senyum ayahku semakin lebar, sudut bibirnya tertarik seolah terbuat dari karet. “Kalo kamu nggak mau Ayah sedih, kamu harus janji untuk selalu gembira,” pintanya. “Kalo kamu ada masalah, langsung cerita sama Ayah.”

    Aku mengangguk, ingin mengatakan sesuatu, tapi saat aku hendak buka mulut, seseorang mengetuk pintu kamar.

    Bibirku kembali terkatup.

    Kami sama-sama menoleh. Ayah pergi ke depan untuk membukakan pintu. Aku tidak bisa melihat siapa yang datang karena terhalang dinding kamar mandi yang membentuk koridor kecil menuju pintu kamar.

    Tak lama kemudian Ayah kembali menghampiri ranjang dengan senyum merekah. “Teman kamu datang menjenguk,” dia memberitahu.

    Sesosok tubuh ramping mengintip malu-malu dari belakang punggung Ayah.

    Tubuhku membeku di tempat.

    Orion Arkan al-Jauza. Cowok itu masih sama seperti yang terakhir kulihat beberapa minggu lalu pada saat pembagian rapor. Tubuhnya masih sama tinggi denganku, ramping tapi tidak terlalu kurus, berkulit putih susu dengan mata agak sipit, khas orang Lampung. Pipinya sedikit jerawatan. Arkan terlihat seperti bule celup dengan pipi bintik-bintik merah muda. Bahkan dengan bintik-bintik jerawat, dia tetap keren dan gagah.

    Ayah heran melihat ekspresiku seperti melihat hantu.

    Hanya sesaat, karena detik berikutnya aku berhasil menghentikan rengutan pada wajahku, membuatnya kembali datar.

    Ayah tidak boleh tahu soal itu, cukup aku dan Arkan saja.

    Sejenak cowok itu terlihat canggung, bingung untuk bersikap gimana. Ya, sebenarnya kami sama-sama canggung. Tapi seperti halnya aku, Arkan dengan cepat menutupi rasa jengahnya. Dia tersenyum lebar, entah terpaksa atau tidak, aku tidak tahu. Arkan bisa jadi aktor terkenal kalau dia mau. Selain punya tampang, dia juga pintar akting.

    Aku sudah menjadi sahabat terdekatnya sejak kami kelas tujuh. Jadi aku tahu semua borok dan sifat jeleknya. Dia senang dan jago mengadali guru-guru kami di sekolah. Sementara aku… aku orang yang selalu membelanya, berbohong untuknya, mengomelinya ketika dia berbuat salah. Dia sering menuduhku cerewet seperti emak-emak, padahal aslinya aku pendiam, hanya untuknya aku rela membuat mulutku lelah bercuap-cuap.

    Salahku emang. Aku menyayanginya seperti adik sendiri, seperti sayangku pada Juna.

    Dan dia mengkhianati aku.

    Teganya dia berbuat begitu! Jantungku seperti diiris-iris dengan pisau, rasanya begitu sakit, menyisakan ruang kosong dalam hatiku.

    “Ori,” kataku datar, menyebut nama panggilannya di sekolah.

    Kulihat matanya mengerjap, apakah benar yang aku lihat? Adakah kilatan sesal dan bersalah pada binar matanya?

    “Hei, Pan… seneng ngeliat elu udah baikan,” katanya lirih. “Dan selamet ulang tahun, bro!” tambahnya menyorongkan sebuah cake.

    Kulirik sekilas lapisan kue merah bata diselingi krim warna putih, dengan potongan stroberi segar mengelilingi sebuah lilin angka lima belas. Red velvet, tidak kusangka Arkan masih ingat kue kesukaanku.

    “Makasih,” jawabku sambil melirik Ayah.

    Sepertinya Ayah memahami arti lirikanku, dia langsung berdehem tidak enak hati. Seperti biasa, dia melupakan ulang tahunku.

    “Sebetulnya Ayah udah kepengen beli kue buat kamu, tapi malah keduluan si Arkan,” kata ayahku ngeles.

    Aku mendengus. Kenapa dia selalu membuatku kecewa, bahkan saat aku dirawat di rumah sakit begini?

    “Bohong!” tuduhku kasar.

    Yang tidak kusangka, Ayah memberiku tampang terluka. Dia berjalan menuju sofa tamu, mengambil tas gunung yang dia bawa-bawa ke rumah sakit, lalu mengaduk-aduk isinya, menarik sebuah bungkusan dari dalam sana.

    “Kamu suka buruk sangka sama Ayah,” dia mengeluh, tangannya menaruh bungkusan tadi tepat di atas pangkuanku. “Lihat, kadomu udah Ayah siapin.”

    Aku jadi merasa bersalah. “Maap, biasanya Ayah selalu lupa.”

    “Ayah nggak bakal lupa lagi,” janjinya.

    Aku mengangkat bahu. “Terus gimana Pandu buka kadonya?” tanyaku, memamerkan kedua lengan yang tidak berdaya.

    Jarum opname sebesar pena masih menancap di lengan kananku, sementara lengan kiriku, yah, lukanya emang masih sakit. Setiap kali berusaha menggerakkan jari-jariku, aku masih merasa ngilu. Sebenarnya hal ini membuatku cemas, apakah nanti tanganku akan baik-baik saja? Tapi aku terlalu malu untuk bertanya. Bisa dibilang, ini kan emang mauku sendiri. Siapa suruh begitu bodoh mengiris lengan sendiri?

    “Kadonya nanti saja Ayah bantu bukain,” komentar Ayah, mengambil kembali hadiah dan meletakkannya di meja di sebelah ranjang. “Sekarang tiup lilin dulu, masa Arkan kamu diamkan saja dari tadi,” tegur ayahku.

    Pandanganku kembali teralih pada cowok yang dari tadi sabar memegangi kue ulang tahun sambil tersenyum lemah. Ayah mengambil korek dari sakunya dan menyalakan lilin. Arkan kembali menyodorkan kue hingga sejengkal di depan hidungku.

    “Make a wish, bro!” dia menyemangati.

    Dengusanku terdengar tanpa bisa aku tahan. Make a wish sontoloyo, makiku dalam hati. Pengen rasanya aku berharap cowok bintik-bintik di depanku ini hilang ditelan bumi, atau berubah jadi batu seperti di cerita malin kundang. Cowok keparat ini emang durhaka sama aku. Biar jadi batu sekalian! Batu jerawatan.

    Seolah bisa membaca semua hal buruk yang terlintas di kepalaku, Arkan mengernyit pasrah. “Bikin harapan jangan yang jelek-jelek, nanti kalo sampe terkabul, elu nyesel lagi,” katanya dengan nada bercanda.

    Ayah memperhatikan suasana tegang di antara kami dengan mata memicing, membuatku tidak bisa berkutik. Aku harus pura-pura bahwa semua baik-baik saja di antara aku dan mantan sahabatku ini. Ya, benar sekali, Arkan sudah lama kucoret dari daftar teman terbaik sepanjang masa yang listnya emang tidak banyak.

    “Rugi amat buang-buang harapan dengan doa yang jelek-jelek,” aku pura-pura membantah. Padahal dalam hati aku sudah meneriakkan seribu satu macam kutukan agar cowok ini ketiban sial, minimal saat pulang dari sini, kuharap dia jatuh ke got atau semacam itu.

    Arkan tertawa dipaksakan.

    “Kalo udah doanya, cepet tiup lilin, biar nggak netes ke kue,” Ayah mengingatkan.

    “Nggak pake nyanyi?” tanyaku.

    “Suara Ayah jelek, nanti kamu malah pingsan.”

    Secara reflek kami menoleh pada Arkan, membuat cowok itu terbatuk gugup. “Arkan juga nggak bisa nyanyi Om,” akunya pada Ayah.

    Aku kembali mendengus. “Jangan percaya, Yah. Bohong tuh! Pas nembak Nadia, Ori pake acara nyanyi di depan kelas.”

    Ups, apakah aku emang berkata begitu? Bisa-bisanya aku keceplosan? Kan terdengar seolah aku cemburu padanya. Maap ya, padahal tidak!

    Arkan terbelalak, seolah menuduhku ‘kok elu tega-teganya buka aib gua?’.

    Ayah tersenyum melihat tingkah kami. “Kamu sama Arkan lagi marahan ya?” Ayah bertanya blak-blakkan, membuat kami berdua terhenyak. Aku dan Arkan saling pandang, tanpa sadar sepakat untuk membantah.

    “Ya nggak lah, Yah!” kataku.

    “Nggak kok, Om!” protes Arkan.

    Reaksi kami serentak seperti paduan suara. Aku jadi ingat kami emang selalu kompak saat menghadapi musuh bersama di sekolah, misalkan Pak Erwansah, guru matematika super killer yang hobinya menampari siswa yang ketahuan merokok. Entah sudah berapa kali aku menyelamatkan jerawat di pipi sahabatku dari tangan besi Pak Erwansah. Sudah tidak terhitung seberapa banyak kebohonganku untuknya.

    Kedua alis ayahku menyatu, dia tampak sangsi. “Sejak kapan kamu manggil dia Ori?” selidik Ayah. “Biasa juga manggilnya Arkan.”

    “Itu panggilan Ori di sekolah,” jawabku cepat.

    “Semua teman manggil begitu, Om,” Arkan menambahkan.

    “Tapi kalian bukan cuma sekedar teman,” kata ayahku perlahan. “Ayah tahu selama ini kamu manggil Arkan dengan nama panggilannya di rumah, karena kalian sudah lama bersahabat.” Ayah emang kenal dengan Arkan dan keluarganya, karena keluarga kami sama-sama anggota komunitas rhesus negatif. Ya, Arkan juga memiliki golongan darah yang sama denganku, O rhesus negatif, ini salah satu alasan kami dulu cepat akrab.

    Kami berdua terdiam.

    Emang salahku juga. Dalam kemarahanku padanya, aku tidak lagi memanggil dengan nama panggilan yang diberikan orang tuanya di rumah. Rasanya terlalu akrab, padahal kami tidak seperti dulu. Arkan pergi menjauh dariku.

    Ayah menghela napas. “Ayah harap apapun masalah di antara kalian, nggak bakal berlarut-larut,” katanya seraya menoleh padaku dengan tatapan menilai. “Cari teman itu susah loh, apalagi sahabat, yang gampang itu cari musuh,” tambahnya menohok.

    “Iya, Yah.” Kepalaku terangguk lesu.

    Arkan diam saja di tepi ranjang.

    “Kalo gitu sekarang tiup lilinnya,” perintah Ayah. “Tuh lihat, sudah netes-netes di atas kue, sayang kan.”

    Setelah itu kami berdua mengobrol dengan keramahan palsu. Aku dan Arkan. Sementara ayahku sibuk menatap awan mendung di luar jendela, asik dengan pikirannya sendiri. Tidak lama kemudian Arkan pamit. Aku tersenyum penuh pura-pura padanya. Dia membalas dengan cengiran dipaksakan. Kami saling mengenal terlalu baik. Ayah mungkin bisa termakan dengan akting kami, seolah kami sudah baikan, namun baik aku maupun Arkan sama-sama tahu, hubungan kami masih retak, mustahil kembali baik-baik saja.

    Itu semua sembilan puluh sembilan persen kesalahannya, Orion Arkan al-Jauza, si cowok bintik-bintik, mantan sahabat terbaikku.
  • Wah rumah sakitny mewah ya kayak hotel, bs liat laut. Jarum infusnya pun besar.

    Bagus ts, keren. Lanjut mention yak
  • Pandu itu kenapa ... bunuh diri ...? jadi penasaran nih ...dilanjut ...
  • sorry, im just being cheesy

    itu si gemini ditolak orion ya ceritanya?
  • ooo... ini yang di blog dunia kata nayaka ya. mmm.. bagus kok ceritanya

    apakah @Pandu_gemini ini penulis aslinya?

    kalau ia tolong dong cerita ini dilanjutkan jd cerbung. kayaknya ceritanya masih ngantung ni. terutama yg di ending tu ttg tetangga baru itu? juga sama om Nino dan Ayahnya (penasaran ni mungkin gak ya ada hub spesial diantara mereka slain hub kerja)

  • Part 4/16

    “Kamu masih marah sama Arkan?”

    Suara Mbak Diana.

    Kali ini dia sedang menyuapiku makan malam. Ayah tadi pergi sebentar untuk mandi dan berganti pakaian di rumah. Katanya persiapan untuk lembur malam ini menemani putranya tidur, membuatku tertawa mendengar kata-kata gombalnya.

    “Darimana mbak tahu?” tanyaku kaget.

    “Sejak kamu naik kelas sembilan, dia nggak pernah lagi maen ke rumah.”

    “Dia sibuk pacaran,” jawabku separo jujur.

    Mbak Diana menarik napas, terlihat ragu-ragu mengatakan sesuatu. Sikapnya membuatku gelisah. Saat tatapan mata kami bertemu, kulihat dia seperti membulatkan tekad. Jantungku mulai berdetak lebih kencang. Apakah selama ini kecurigaanku benar? Kumohon, apapun yang dia tahu, beberapa hal lebih baik tidak pernah dibicarakan.

    Sayang, harapanku tidak terkabul.

    “Kamu suka sama Arkan?” tanya Mbak Diana lembut, tidak ada nada menghakimi di sana, tidak pula tatapan jijik.

    Hanya sebuah pertanyaan. Lugas, tapi penuh pengertian.

    “M-maksud mbak?” tanyaku gelagapan.

    Mbak Diana kembali menarik napas, kali ini lebih panjang, dia terdengar letih. “Mbak nggak pengen ngomongin hal-hal yang pribadi buatmu, tapi mbak takut ini ada kaitannya sama tindakan kamu kemaren,” katanya hati-hati. “Mbak cuma pengen kamu tahu, gimanapun kamu, mbak bisa menerimanya, dan mbak yakin mbak nggak sendiri. Kamu punya banyak orang yang sayang sama kamu, yang bisa menerima kamu apa adanya.”

    Lidahku kelu, hatiku mencelos mendengar gombalan yang keluar dari mulut mbak Diana. Semua itu dusta, aku tahu. Tidak banyak orang yang bisa menerima kondisiku, begitulah faktanya. Bahkan mungkin tidak juga ayahku. Kurasa Ayah bakal mengusirku kalau sampai tahu seperti apa sebenarnya aku.

    Tapi bukan itu yang aku takutkan saat ini, ignorance is bliss, tak ada gunanya mencemaskan reaksi ayahku, orang yang tidak tahu apa-apa soal ini. Yang bikin aku ketar-ketir adalah Mbak Diana. Darimana dia tahu?

    Apakah waktu itu Mbak Diana sudah bisa nebak?

    Aku seperti tersambar geledek. Ya, Tuhan, kalau emang benar seperti itu, artinya wanita di depanku ini sudah lama tahu, hampir selama aku sendiri. Tubuhku terasa panas dingin. Tapi kalau benar begitu, kenapa sikapnya padaku selama ini tidak berubah? Apa dia tidak merasa canggung, muak padaku?

    Aku saja jijik pada diriku sendiri.

    Tiba-tiba kudengar suara halilintar menggema di luar, membuatku berkeringat dingin. Saat kulihat kilat menyambar di sela-sela kegelapan malam, membuatku seolah terhisap kembali pada kenangan sepuluh bulan lalu.

    Waktu itu bulan Februari, usiaku empat belas tahun dua bulan, dan musim hujan semakin menjadi-jadi. Gemuruh langit seolah mencerminkan suasana hatiku yang lagi mendung. Ini Minggu ketiga ayahku lembur berturut-turut. Aku tidak masalah kalau ini hari Sabtu, tapi Ayah kebangetan banget menelantarkan aku di hari Minggu, sudah tiga kali beruntun pula. Dia bahkan tidak sempat mengantarku ke Gereja.

    Aku kesepian seorang diri di rumah.

    Salahku sendiri, kenapa aku harus rela Arkan membatalkan acara menginapnya di rumahku karena cowok bintik-bintik itu harus mengantar Nadia naek angkot untuk beli buku di Fajar Agung, disusul jajan ringan di Bakso Marem, modus pendekatan super romantis buah pikir seorang Pandu Wiratama Atmaja.

    Ya, aku lah sahabat terbaik, atau terbodoh, terserah, yang merancang metode pendekatan Arkan untuk menaklukkan pujaan hatinya, Nadia Lakshita Deviana, cewek paling cantik di kelasku, sekaligus rivalku memperebutkan posisi nomor satu paling pintar di kelas delapan. Oke, ini sedikit tidak tepat. Karena aku mutlak nomor satu, dan dia mutlak nomor dua. Sudah begitu dari pertama kami masuk kelas unggulan di kelas tujuh. Aku emang sepintar itu, dan senarsis ini, gimanapun dia berusaha, secara akademis Nadia tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Untuk yang satu ini aku yakin seratus persen.

    Lain halnya soal perasaan Arkan.

    Aku cukup tahu diri. Seorang sahabat tidak akan pernah bisa menyaingi seorang gebetan. Sudah lama aku mengikhlaskan diri jika suatu saat posisiku sebagai yang nomor satu di hati Arkan harus tergusur oleh ledakan hormon bernama Nadia. Aku ikhlas berada di posisi kedua, bahkan aku rela membantu melengserkan diri sendiri.

    Dulu Nadia pernah suka sama aku. Cewek itu menembakku diam-diam, mengirimiku surat cinta pink lope-lope yang diselipkan di antara halaman buku cetak yang kupinjam darinya. Jadi aku memberinya jawaban secara diam-diam juga, menyelipkan surat penolakan warna biru kotak-kotak pada buku yang sama.

    Aku menolak Nadia bukan karena kondisiku begini. Tidak, aku masih belum sadar waktu itu. Aku tidak punya perasaan khusus untuknya, kecuali rasa tidak mau kalah, banyak-banyakan angka sembilan di rapor. Ya, sesuatu yang sekonyol itu. Tapi ini penting bagiku. Kupikir kalau nilai-nilaiku selalu jadi yang terbaik, Ayah akan bangga padaku. Mungkin dia akan berhenti lembur, tidak lagi mengabaikanku. Pikiran kanak-kanak yang terlalu naif.

    Meskipun aku menolaknya, sikap Nadia tidak berubah memusuhiku. Dia masih selalu sama, tersenyum jika kami berpapasan, menanyakan seberapa yakin aku dengan jawaban ulangan harian kami setelah tes berakhir, apakah aku mengerjakan semua pe-er, kapan ulang tahunku, apa merek cokelat kesukaanku. Omong-omong Nadia bertanya soal cokelat seminggu sebelum valentine, jadi ketika aku menemukan sepak ferrero rocher kemasan besar tanpa nama di dalam laciku, aku tahu cokelat ini ulahnya.

    Waktu itu aku menganggap tingkahnya sangat manis.

    Padahal dia cewek dan aku cowok, harusnya aku yang bersikap manis padanya, memberinya sebatang cokelat dibungkus kertas kado lope-lope.

    Itu tidak kulakukan, tentu saja.

    Aku mulai memanipulasi perasaan Nadia padaku supaya dia mau melirik sahabatku. Seperti yang dituduhkan Ayah, dari dulu aku pandai memanipulasi orang. Arkan tidak tahu Nadia pernah menembakku, jadi sahabatku itu dengan lugunya curhat kalau dia menyukai Nadia. Ya, kupikir tidak ada salahnya jika orang yang dulu suka padaku jadian dengan orang yang aku sayangi, aku mulai memakcomblangi mereka.

    Sepertinya usahaku kini menuai hasil. Arkan mulai mengantar Nadia kemana-mana, meski cuma naek angkot karena mereka belum bisa bawa kendaraan dan tidak punya SIM. Awalnya aku merasa senang. Namun aku tidak bisa bohong, kini terkadang aku merasa iri pada Nadia. Cewek itu mencuri waktuku bersama Arkan. Dan apa yang dicurinya tidak lah sedikit, saat ini misalnya, jadwal menginap kami diserobotnya.

    Aku berusaha menegur diri sendiri, tapi rasa iri tidak dengan mudahnya hilang begitu saja. Karena itu lah aku bermuram durja, dengan awan kelabu menggumpal di langit, duduk melamun di tepi ranjang.

    Lalu kilat mulai menari di langit siang yang tanpa matahari. Aku terlonjak dari lamunanku, memucat oleh suara geledek dan cahaya petir. Napasku mulai setengah-setengah, serangan panik melandaku. Aku benci hujan, tepatnya lagi aku tidak suka petir. Saat melihat pantulan kilat di langit, selalu terbayang gimana rasanya jika aku sampai tersengat, kulit terbakar hangus. Pikiran itu begitu menakutkan.

    Asmaku kontan langsung kambuh.

    Kutarik inhaler di saku celana di sela-sela napas yang terputus. Kuhirup dengan rakus obat asmaku, lalu aku ngacir turun ke bawah.

    Kamarku terletak di lantai dua, sarang paling nyaman, dengan jendela lebar memamerkan keelokan panorama Teluk Lampung. Aku selalu terhanyut saat menatap cakrawala di kejauhan, tempat penuh sihir dimana langit biru bertemu lautan yang tidak kalah birunya. Rasanya seperti di negeri dongeng.

    Tapi tidak dalam cuaca jelek begini.

    Jendela keparat itu berubah menjadi musuhku paling jahat, bagai pedang bermata dua.

    Bahkan kalau aku memberanikan diri mendekati jendela untuk menutup tirai, cahaya petir masih sanggup menerobos masuk, seolah ada pengkhianat yang mengijinkannya lewat. Aku benci petir, saat ini aku juga benci kamarku!

    Satu-satunya pelarianku jika sudah begini adalah ruang baca Ayah, kantor keduanya yang tidak pernah dia gunakan, kecuali ketika aku sedang sekolah. Tentu saja Ayah lebih suka lembur di kantornya di Jalan Ki Maja daripada menggunakan ruangan ini. Kalau tidak begitu gimana dia bisa menghindari aku, mahluk polos yang selalu setia tanpa kata, menunggu sosok jangkungnya pulang membuka pintu depan.

    Jaket kulit ayahku terhampar di kursi kebesarannya. Baunya memenuhi ruangan, tercampur dengan aroma buku-buku yang berjajar di lemari. Aku suka di sini, ruangannya kedap suara, tanpa jendela, tidak ada cahaya petir menerobos masuk, tidak ada geledek memekakkan telinga, dan bisa kubaui aroma segar ayahku. Aroma yang dulu selalu membuatku nyaman, bergelung manja dalam dekapnya.

    Oke, sudah cukup aku mengasihani diri sendiri.

    Ini tidak seperti dirimu, Pandu! ingatku dalam hati. Juna bakal terbahak kalo dia ngeliatmu begini!

    Di tengah serangan rasa bosan, aku otomatis mencari satu-satunya pelipur lara yang ada di ruangan ini, koleksi majalah ayahku. Ayah langganan National Geographic. Hobinya membaca telah lama menular padaku, dan ini majalah kesukaanku.

    Tanpa sadar aku mulai membalik-balik halaman Natonal Geographic edisi bulan Februari. Seperti kutebak artikel utamanya soal cokelat dan hari valentine. Aku skip karena ini bikin aku ingat sama Nadia, dan pada gilirannya membuat aku ingat sama Arkan. Aku bisa gila kalau lebih lama lagi mikirin si cowok bintik-bintik, mahluk super tega yang meninggalkan sahabatnya melamun seorang diri tanpa tujuan di hari Minggu. Oke, cukup soal dia. Aku sudah cukup kecewa dengan Ayah, tidak perlu ditambah-tambah lagi.

    Kutelusuri daftar isi dengan jariku. Skip semua tentang cokelat. Skip tentang valentine. Skip semua soal cinta. Tunggu dulu. Jariku berhenti bergerak pada sebuah judul artikel. Artikel tentang cinta, ya ampun, ngapain aku lama-lama baca yang begini! Tapi, artikel ini berbeda. Napasku mulai memburu. Jantungku melompat-lompat.

    Perasaan apakah ini? Yang memanggil-manggil agar aku tidak hanya menatap bego judul artikel dengan huruf besar-besar, tapi melahap habis isinya sekalian, tulisan dengan latar belakang pink lope-lope.

    Aku tak kuasa menolak hasrat untuk membaca.

    Artikel itu membuatku terhanyut. Aku merasa syok, terkejut tidak terperi. Kalimat-kalimat dalam tulisan itu terus berkelebatan dalam kepala, seperti mantra. Hampir tanpa sadar aku bangkit meninggalkan kursi kebesaran Ayah dan duduk di pojok ruangan. Kedua kaki kutekuk dan kupeluk melingkar dengan lengan. Kurebahkan kepalaku pada dengkul. Aku bahkan tidak sadar kapan air mataku menetes dalam diam.

    Waktu seolah berhenti berputar. Yang ada dalam otakku hanyalah artikel itu saja. Kata demi kata, paragraf demi paragraf, simbol pink lope-lope menari di depan mata. Apa sih yang baru saja kubaca? Kenapa aku harus baca artikel begitu? pikirku penuh sesal. Apa sih yang ada dalam otakku, apakah aku sudah mulai gila?

    Tidak kudengar suara pintu ruang baca dibuka.

    “Dek, kamu sembunyi di sini lagi?”

    Pintu ditutup kembali.

    “Kamu selalu ngumpet di sini kalo hujan, bikin mbak gemes aja.”

    Masih hening. Aku tidak merespon, karena aku emang tidak mendengarkan. Aku tidak mau mendengar apapun saat ini.

    Kudengar suara napas terkesiap. Langkah seseorang mendekatiku. Lalu sosok itu duduk di sebelahku, perlahan melingkarkan lengannya pada bahuku. “Kamu kenapa, dek?” katanya sambil meremas pundakku. “Jangan bikin mbak khawatir,” tambahnya lirih.

    Aku sudah lama berhenti terisak. Kurasa air mataku sudah kering.

    Kuberanikan menatap matanya. Mbak Diana! Pasti dia mau minta tolong diambilkan jambu, pikirku otomatis. Aku tersenyum sumbang. “Mbak bikin kaget aja,” kataku parau. “Emang ujannya udah reda? Kalo udah nanti Pandu ambilin jambu.”

    “Huu, masa hujan-hujan begini makan jambu, entar tambah kedinginan,” balasnya. “Mbak bawain kamu Bakso Sonny nih, yuk ambil mangkok, kita makan bareng-bareng.” Dia memamerkan bungkusan di tangan satunya yang bebas, tidak memelukku. Seperti tersengat lebah, aku jadi malu sendiri dengan situasi ini. Masa sih aku mewek di pelukan cewek? Gimana pun aku ini tetep cowok, egoku meraung. Cepat-cepat aku bangkit, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Mbak Diana pun tidak bertanya lebih lanjut. Dia emang selalu pengertian, kupikir dia lebih cocok jadi psikolog dibanding perawat. Aku bersedia dikonseling olehnya.

    Setelah itu kami makan bakso, dan kejadian itu tak pernah lagi diungkit-ungkit. Sampai aku lupa itu pernah terjadi.

    Jadi dia menyadarinya saat itu? pikirku getir.

    Tatapan Mbak Diana saat ini membenarkan dugaanku. Setidaknya, dia sudah tahu soal aku, tentang diriku sebenarnya. Entah darimana pun dia tahu, faktanya tidak berubah. Dia tahu! Aku merasa mual.

    “Jadi benar kamu suka sama dia?” ulang Mbak Diana.

    Aku menggeleng. Mana mungkin aku ngaku?

    “Kamu tuh manis banget,” komentar Mbak Diana tiba-tiba, senyumnya dikulum. “Kalo kita seumuran, pasti mbak sudah klepek-klepek sama kamu.” Tangannya yang menyuapiku bubur kini mengacak rambutku.

    Mulutku ternganga. “Gombal!” tuduhku tanpa pikir.

    Dia tertawa heboh sendiri, mau tidak mau aku jadi tertular sedikit keceriannya, tawaku ikut menggema.

    “Beneran dek, kamu tuh ganteng,” kata Mbak Diana berusaha meyakinkan aku. Sebenarnya tidak perlu, aku cukup sadar diri kalo aku emang cakep, biarin aja dibilang narsis, karena kenyataan berkata begitu.

    “Pasti banyak tuh yang klepek-klepek sama kamu,” tambahnya lagi. Aku mulai menebak ke arah mana muara pembicaraan kami berakhir. “Cowok itu nggak cuma Arkan,” gumamnya lembut, membuatku pengen teriak sekencang-kencangnya, kalau aku sama sekali tidak tertarik sama cowok bintik-bintik itu!

    “Mbak… nggak aneh ngomong begini sama aku?” tanyaku lirih.

    “Kenapa harus aneh?” dia balas bertanya.

    “Pandu kan cowok mbak,” kataku lesu.

    “Kamu emang cowok, ganteng pula, tapi cowok kan manusia juga. Pasti pernah jatuh cinta seperti semua orang.”

    “Cowok harusnya suka sama cewek.”

    Kepala Mbak Diana terangguk setuju. “Harusnya sih begitu, tapi teori sama praktek kadang nggak sejalan,” ujarnya. “Namanya juga perasaan dek, emangnya bisa dipaksakan? Kalo pun begitu jatohnya cuma pura-pura saja kan?”

    Aku membisu, tidak tahu harus berkata apa.

    “Intinya dek, kamu harus sabar. Emang kondisimu lebih susah buat nyari orang yang tepat, tapi kamu nggak boleh putus asa. Dengan tampang kamu ini, mbak yakin banyak juga cowok yang bakal ngejar-ngejar kamu.”

    Mataku membelalak. Mbakku ini serius ngomong apa yang baru saja dia omongin? Apa tidak salah? Kurasa aku lupa mengorek telinga semalam.

    Mbak Diana kembali tertawa melihat ekspresi takjub di wajahku. “Oke, sarat dan ketentuan berlaku,” tambahnya cengengesan.

    “Saratnya berat mbak, cowok itu harus sama kayak Pandu,” kataku getir.

    “Sama-sama ganteng, tinggi dan berbodi atletis?” Mbak Diana memotong geli. “Kamu suka pilih-pilih dari dulu.”

    Aku memutar bola mata.

    “Bukannya maksud Mbak Diana tuh sama-sama aneh, nggak normal?” desahku mengasihani diri sendiri.

    “Emm, biarin aja aneh, abnormal, yang penting ganteng, terus sifatnya baik.”

    Kembali aku kehabisan kata-kata.

    “Kamu dari dulu nggak pernah egois, selalu mikirin orang lain terlebih dahulu,” kata Mbak Diana mantap. “Mbak kan merhatiin dari kamu kecil dulu, dari pertama pindah jadi tetangga mbak lima tahun lalu. Si Arkan yang rugi kalo dia nggak sadar kebesaran hatimu dek. Kamu jangan sampe kecil hati dengan kondisimu.”

    Aku jadi tersentuh mendengar kata-kata Mbak Diana. Cuma satu saja yang aku tidak suka. “Kenapa dari tadi mbak nyebut-nyebut Arkan terus sih?” protesku dengan tampang dilipat-lipat, merengut kelas kakap.

    “Tuh, kan benar, kamu suka sama dia!”

    Ya, Tuhan, ini sudah ketiga kalinya dia menuduhku suka sama Arkan.

    “Aku belum pernah jatuh cinta!”

    Alis Mbak Diana terpaut menampilkan wajah sangsi. Kalau ekspresi bisa ngomong, kurasa Mbak Diana sedang menuduhku berbohong. Dia menatap seolah aku sudah gila, bahwa aku terlalu depresi untuk mengakui perasaanku sendiri.

    “Sumpah, Pandu nggak bohong,” kataku lelah. “Terserah mbak mau percaya ato nggak.”

    “Terus?”

    “Terus apa?”

    “Kalo kamu belum pernah jatuh cinta,” katanya perlahan. “Kok kamu bisa sadar kamu suka sama cowok?”

    Harus ya ditanya blak-blakan begitu? rutukku dalam hati. Aku masih jengah dengan obrolan semacam ini. Gimana aku bisa dengan santainya ngomong soal aibku sendiri? Harusnya ini rahasia yang kusimpan rapat-rapat sampai mati, tidak pernah dan tidak pantas dibicarakan. Andaikan aku sedang mematut diri di depan cermin, pasti lah aku mendapati mukaku sudah semerah tomat. Kok bisa aku seterbuka ini pada Mbak Diana?

    Apa karena dia berbakat jadi psikolog?

    Meskipun tidak bertanya lebih lanjut, tatapan matanya masih menyiratkan bahwa dia tetap menunggu jawaban.

    “Pandu udah pernah mimpi basah,” akhirnya aku mengaku.

    Aku berani taruhan kulitku tidak bisa lebih merah lagi dari ini, mungkin aku lebih merah dari kuah sarden buatan Ayah. Dan lebih kecut juga. Kepalaku terasa panas, bisa-bisa nanti ada uap yang keluar dari lubang telingaku.

    Kelopak mata Mbak Diana mengerjap, lalu dia mulai terpingkal-pingkal. Rambutku habis diacak olehnya.

    “Mbak tega banget, Pandu diketawain,” kataku lesu.

    “Maap dek, abisnya mbak nggak sangka jawaban kamu begitu.”

    “Huuuu, kejam!” keluhku.

    Seakan masih belum puas membuatku malu, Mbak Diana kembali melontarkan pertanyaan tidak peka. “Kamu mimpi sama Arkan?”

    Whaaaaaat? Kok bisa-bisanya aku tadi mengira mbakku ini calon psikolog? Dia orang paling tidak sensitif sejagat raya!

    “Nggaaaak!” bantahku sengit.
  • Part 5/16

    Arkan kembali berkunjung ke kamarku. Kali ini pagi-pagi, saat aku sedang asik disuapi bubur sama Mbak Diana. Sebenarnya aku tidak punya pantangan makan, karena aku kan tidak sakit, cuma sedikit kekurangan darah akibat tindakan nekat, seperti menyayat pergelangan tangan. Ya, hal-hal bodoh semacam itu lah. Intinya aku bebas makan apa saja, tapi aku malah minta dibawakan bubur, entah apa yang dicampur di dalamnya, aku resmi tergila-gila makan bubur rumah sakit. Mungkin mereka menambahkan ganja atau apa, pikirku ngawur.

    Seperti biasa Ayah kembali menghilang untuk mandi dan berganti pakaian di rumah setelah semalam suntuk ‘lembur’ menjagaku. Dia tidak tidur semalaman, aku tahu. Entah dia pikir aku bakal kembali menyayat tanganku pake jarum suntik jika dia tertidur, atau menurutnya sikap manisnya membuatku merasa diinginkan, entah lah.

    Yang pasti aku tahu Ayah sedang berusaha menjadi orang tua yang lebih baik, meskipun kadang dia terlalu keras berusaha. Dia jadi sering mengacak rambutku, berulang kali mengatakan kalau dia sayang padaku, dan yang paling bikin aku jengah, menggodaku soal cewek. Semalam aku cuma bisa pasrah ketika Ayah membahas daftar cewek-cewek cantik di sekolah yang konon katanya rela antri buat pacaran sama aku.

    Ini pasti ulah Arkan, darimana lagi coba Ayah bisa mendapatkan sederet nama cewek teman sesekolah, dari kelas tujuh sampai kelas sembilan. Aku benar-benar malu, rasanya pengen hilang ditelan bumi. Aku kan tidak suka cewek!

    Jadi saat aku melihat muka mantan sahabatku yang bintik-bintik oleh jerawat, rasanya aku pengen bangkit dari ranjang dan menerkamnya, ingin kupotong-potong dan kumasukkan dia dalam koper, terus kubuang ke tempat penimbunan sampah.

    “Hei, Pan!” sapanya, cengar-cengir gelisah.

    Arkan selalu begini, pikirku. Mungkin mukanya gatel-gatel kalau tidak cengengesan barang semenit, tingkahnya kekanakan sekali.

    Aku memberinya pelototan paling jutek yang bisa kubuat. Ayahku tidak ada, jadi tidak perlu pura-pura kalau aku tidak sedang benci padanya. Lagipula Mbak Diana, satu-satunya saksi mata di kamar ini, emang sudah tahu soal aku.

    “Ori,” balasku datar.

    Tadinya aku pengen ngomong, ‘eh, lo ngapain dateng lagi?’ tapi rasanya terlalu kejam dan tidak sesuai dengan personalitasku. Sebenci apapun aku padanya, aku masih terlalu lembek untuk bersikap sejahat itu.

    “Sori ya Pan, kemaren Om Indra nanya soal mereka-mereka itu,” Arkan langsung bergumam lesu, sepertinya membahas daftar cewek-cewek yang dimiliki ayahku semalam. Apa dia tahu aku pengen melabraknya soal ini? Biasanya dia tidak terlalu peka, bersikap seenak jidat. “Gua nggak bisa berkutik ditanya begitu,” tambahnya.

    Dia memberiku tatapan sesal yang biasa dia pamerkan di depan guru, mungkin dikiranya aku amnesia, begitu mudah dikibuli. Dia lupa aku lah yang selama ini jadi sutradara atas semua akting bobroknya di sekolah.

    “Emang lo ditanya apa sampe keluar semua list primadona sekolah?”

    Suaraku terdengar ketus.

    Mbak Diana yang melihat gelagat tidak enak segera memotong percakapan kami, berpura-pura sibuk dan meminta Arkan menggantikan dirinya menyuapi aku sarapan, tidak mengindahkan semua protesku.

    “Nanti mbak ke sini lagi,” katanya sambil buru-buru menghilang di balik pintu, mungkin tak ingin terjebak dalam perang dunia kesepuluh.

    Tentu saja dia bakal balik lagi, Mbak Diana kan digaji untuk itu!

    “Em, jadi elu udah baikan?” Arkan menyodorkan sendok buburku, membuatku merasa risih, kenapa harus dia sih yang nyuapin aku?

    Aku mengangguk setengah hati.

    “Tangan elu… masih sakit ya?” tanyanya lirih.

    “Kalo uda nggak sakit, gua bisa makan sendiri,” jawabku jutek.

    Arkan menghela napas. “Makan yang banyak nih,” gumamnya. “Biar elu cepet sembuh, cepet keluar dari sini.”

    “Gua nggak sakit!” aku membantah, kemudian terdiam. “Tapi kayaknya emang lo nganggep gua sakit.” Aku sengaja memberi penekanan pada kata terakhir.

    Tubuhnya tersentak di sebelahku. Tangan Arkan yang sedang terangkat di depan wajahku berhenti, jari-jarinya gemetar. Dia menatapku tajam. Aku balas menatapnya, kulihat kilatan pada matanya, hitam pekat seperti malam.

    Untuk pertama kali aku gagal membaca arti sorot matanya. Arkan cukup mudah ditebak, biasanya aku bisa membaca emosinya semudah membalik halaman buku, namun tidak kali ini. Aku mendadak sedikit gugup.

    Sama gugupnya seperti saat aku cerita padanya soal diriku lima bulan lalu.

    Ya, aku dulu coming out padanya, Orion Arkan al-Jauzi, cowok bintik-bintik yang kukira akan menerima diriku apa adanya, sama seperti aku bisa menerima dirinya dengan semua keegoisan dan kebengalannya.

    Hari yang akan menentukan nasibku itu jatuh pada hari Selasa. Seperti biasa setelah ekskul basket selesai Arkan berkunjung ke rumahku, naek angkot karena Ayah tidak bisa menjemput kami. Sebetulnya aku bisa bareng sama Ayah dengan catatan langsung pulang, namun karena aku harus menunggu Arkan selesai ekskul dulu, waktunya bertabrakan dengan jadwal ayahku.

    Lihat kan, kurang apa aku berkorban untuknya?

    Aku menemaninya maen basket, padahal aku ada asma dan tidak bisa terlalu banyak gerak. Aku juga rela pulang naek angkot, tidak dijemput agar dia bisa maen ke rumahku. Lalu sampai di rumah, Arkan memaksa maen dota, padahal aku tidak bisa dan tidak suka, tapi demi memuaskan egonya untuk membantai seseorang, karena selama ini dia yang kena bantai orang lain, lagi-lagi aku merelakan diri dipecundangi oleh Treant Protector, yang konon menurut Arkan cuma hero support super cupu, entah dia serius atau tidak.

    Aku tidak paham. Ya, aku emang secupu itu maen dota, dibantai Arkan berkali-kali sampai dirinya puas, sementara akunya lemas. Kalah mulu, siapa coba yang tidak merasa lelah hati dan pikiran? Setelah lima sesi berdarah-darah, akhirnya aku tidak bisa tidak mengumumkan kalau aku muak maen dota.

    “Ah, elu… masa baru maen sebentar minta udahan, nggak sportif amat, mentang-mentang kalahan,” Arkan merepet panjang lebar.

    “Coba maen civilization lima, dan kita lihat siapa nanti yang bakal merengek-rengek minta berhenti,” balasku jengkel.

    Cowok itu langsung cengengesan.

    “Galak amat sih elu, bro,” komentarnya sambil merapikan kabel LAN. Kami bermain pake komputer desktop dan laptopku, karena terlalu repot kalau harus mengambil laptop Arkan dulu di rumahnya. “Ada bokep baru nggak bro? Minta dong,” gumamnya sambil mengubek-ubek isi folder laptopku yang sedang dia pake. Aku menatapnya serba salah. Semenjak aku tahu seperti apa diriku lima bulan lalu, aku jadi sensitif soal hal-hal begini.

    “Gua nggak simpen yang begitu,” jawabku jujur.

    Arkan langsung memonyongkan bibir. “Elu kayak bukan cowok aja, masa sih kagak punya bokep? Emang nggak pernah coli apa?”

    Langsung kujitak kepalanya. “Di kamar gua nggak boleh ngomong vulgar!”

    “Kayak ada siapa aja,” katanya bersungut-sungut. “Adek elu kan nggak ada di sini.” Arkan melirik bingkai foto aku dan Juna yang kuletakkan di atas meja belajar. Foto itu diambil saat ulang tahunku kesepuluh, seminggu sebelum Juna menghilang bersama Bunda. Kami berdua berangkulan akrab, pamer senyum.

    “Lah yang di depan gua ini apa dong,” gumamku. “Anak bebek?”

    Arkan melirikku cengar-cengir. “Gua mah adek ketemu gede,” katanya sambil tertawa.

    Aku mendesah. Gara-gara omongan Arkan soal bokep, aku jadi teringat dengan artikel yang merubah hidupku. Sudah lima bulan ini aku merasa gelisah. Bisa dibilang aku tertekan. Entah sudah berapa kali aku mau cerita pada sahabatku ini, namun aku terus menunda-nunda dengan berbagai alasan. Selama ini tidak ada rahasia di antara kami. Aku merasa tidak adil kalau aku tidak cerita padanya. Meskipun rasanya menakutkan, aku yakin Arkan bisa mengerti aku. Kurasa lebih dari apa pun, aku butuh seseorang menerima kondisiku.

    “Kan!” panggilku.

    “Hmmm?”

    “Ada yang mau gua liatin nih sama lo.” Tanganku menarik sebuah majalah dari sudut meja belajar. National Geographic.

    Arkan memindai majalah di tanganku. Wajahnya terlihat heran.

    “Edisi Februari?” tebaknya.

    “Kok tahu?” aku menyodorkan majalah itu.

    “Di rumah Papa juga langganan,” jawabnya enteng. “Lagian kover pink lope-lope norak gini, nggak bakalan lupa lah.”

    Aku terbahak.

    Lalu aku membalik-balik halaman hingga ketemu artikel yang mau aku tunjukin padanya. “Yang ini, coba geh dibaca!” perintahku.

    Arkan terdiam sambil melirikku sekilas. “Ini artikel soal cowok maho kan?” tanyanya datar, wajahnya mengernyit seolah mengingat sesuatu. Tangannya kini membalik-balik artikel yang cuma diliriknya sebentar.

    “Lo uda baca?” tanyaku bingung.

    “Waktu itu, sepintas lalu,” jawabnya tak acuh.

    Aku jadi semakin bingung, kalau Arkan sudah baca, terus apa? Padahal niatku membiarkan Arkan baca dulu, menilai reaksinya, terus mengakui kondisiku kalau suasana mendukung. Ternyata semua rencanaku berantakan. Dan sialnya, aku tidak punya plan B. Sepertinya aku terpaksa harus berimprovisasi.

    “Menurut lo gimana?” tanyaku akhirnya.

    “Gimana apaan?”

    “Itu… artikelnya?”

    “Ya, nggak gimana-gimana juga sih,” jawabnya bingung, matanya memicing padaku penuh tanya. “Cuma gua sedikit heran…”

    “Heran?”

    “Kok cowok itu bisa nggak sadar kalo dia maho?”

    Kurasakan aliran darah ke wajahku terhenti, membuatku memucat. Aku tidak suka pada pemilihan kata yang digunakan Arkan. Maho. Kata-kata itu terlalu agresif buatku, membuat hatiku sakit mendengarnya.

    “Mungkin semua butuh proses?” tebakku lirih.

    “Iya, lucu juga sih, masa dia baru sadar pas umurnya udah empat belas.” Arkan menggaruk-garuk kepala. “Apa dia sadar karena mulai puber ya?” cowok itu ikut menebak-nebak. “Tahu kan,” katanya sambil nyengir kuda, “pasti gara-gara mimpi basah tuh, tindih-tindihan pake pedang sampe lengket.” Arkan terbahak-bahak.

    Aku ikut tertawa setengah hati. Kata-katanya kembali menyakiti hatiku. Arkan emang suka bercanda, pikirku berbaik sangka. Kurasa cowok normal manapun akan risih ketika harus ngobrol tentang hal seperti ini.

    Kuperhatikan Arkan suka menjadikan segala sesuatu yang membuatnya resah jadi lelucon, teknik klasik untuk lepas dari kecanggungan, agar dia bisa menertawakan kesialan yang dialami, mengusir hal-hal jelek dalam hidup.

    Lalu apakah aku termasuk salah satu hal jelek itu? pikirku sedih.

    Kucoba peruntunganku, bisa dibilang aku sudah nekat, tidak peduli lagi apapun yang bakal terjadi. “Gua juga baru tahu kalo gua gay.”

    Saat itu posisiku duduk menyandar pada kepala dipan, sementara Arkan tidur telungkup di sebelahku. Kepala kami berhadap-hadapan, tubuh kami saling sejajar. Arkan mengangkat kepalanya dari majalah, tatapan kami bertemu.

    Dia kelihatan sangat terkejut.

    “Elu… ngomong apa barusan?”

    Aku tersenyum pahit. Kuulangi perkataanku dengan raut wajah datar.

    Kening Arkan berkerut. Tubuhnya sedikit tersentak. Sejenak dia terus memandangiku tanpa bicara. Mukanya serius banget, tidak cocok dengan sifatnya yang selengekan. Aku tidak tahu berapa lama dia mematung. Detik demi detik berlalu, bagiku rasanya seperti seumur hidup. Aku terus diam menunggu. Seperti apa kira-kira dia bereaksi?

    “Elu udah gila!” semburnya.

    Arkan menyeringai, lalu terbahak-bahak sambil melempar majalah tadi ke tubuhku.

    “Gila, gila… elu emang edan! Muka serius begitu dipake buat becanda, cacad!” Arkan terus menyumpah-nyumpah sambil tertawa. “Ah, gua aja nyaris kena tadi, bro! Elu tuh… dasar kunyuk! Belajar akting dimana lah kamu nak, nak!”

    Melihat Arkan tertawa ngakak begini membuatku pasrah, entah aku harus ikut tertawa atau menangis. Buset ni bocah! Aku lagi coming out, dia malah ngakak. Kok tega bener, pikirku merana. Dikira gampang mengaku kalau aku gay? Anjrit!

    Setelah puas tertawa histeris akhirnya Arkan berangsur-angsur terdiam, sepertinya bingung melihat tampangku yang masih serius. Keningnya kembali berkerut. “Udahan ah, becandanya, Pan. Kalo kebanyakan nggak lucu lagi tahu.”

    “Tapi gua nggak lagi becanda,” balasku tersenyum tipis.

    “Eh, elu beneran, bro?”

    Kaget. Dia terbelalak. Mulutnya sampai membentuk huruf O besar-besar. Mungkin sesuatu pada nada bicaraku akhirnya membuat dia percaya. Bagus lah! Rasanya aku tidak kuat kalau harus ditertawai lagi olehnya. Bisa-bisa aku nangis guling-guling.

    “Beneran nih… elu bener-bener serius?” ulangnya.

    Aku cuma bisa mengangguk lesu.

    Arkan kembali terdiam, lebih lama dari pertama tadi, sepertinya sibuk mencerna pengakuan dariku. Lalu dia membuka mulutnya, tampak hendak mengatakan sesuatu, namun bibirnya kembali mengatup. Dia terlihat gelisah.

    Aku tahu ada yang salah dari caranya menatapku. Tatapannya berbeda dari biasa, tidak ada lagi binar-binar ceria di sana, tidak ada lagi kehangatan. Pupil matanya memicing. Dingin. Matanya menatapku seperti es.

    Benar, aku mulai panik. Ini coming out pertamaku. Arkan satu-satunya sahabat terdekatku. Kenapa dia malah diam saja? Bukankah ini saat dimana dia seharusnya memberiku semangat dan menanyakan perasaanku, meyakinkan bahwa aku tidak perlu bersedih karena semua akan baik-baik saja. Aku merasa seperti ada bunga es menjalar di sepanjang tulang punggungku. Sekarang aku bisa merasakan ada yang keliru.

    Sangat keliru!

    Karena aku tahu semua tidak akan pernah baik-baik saja.

    Setelah beberapa saat, akhirnya Arkan kembali bersuara, tapi kata-katanya serasa menusuk jantungku. “Elu… suka sama gua?” tanyanya lemah, bisa kurasakan nada panik di sana. Mata kami kembali bertemu.

    Arkan membuang muka.

    Tapi aku sempat melihat kilau ketakutan di sana, pada bola matanya. Dia melihatku seolah aku alien yang suka makan cowok cakep. Jujur aku tidak pernah ada rasa dengan Arkan. Ya Tuhan, cowok bintik-bintik ini sudah seperti adikku sendiri, mana mungkin aku jatuh cinta pada Juna, sama tidak mungkinnya aku suka sama Arkan!

    Dan teganya dia menatapku begitu, penuh praduga dan prasangka! Seolah setiap cowok gay bakal naksir sama dia. Mungkin sebagian besar emang bakal klepek-klepek di depannya, tapi tidak denganku!

    “Gua dulu sayang sama lo, seperti gua sayang sama Juna,” jawabku datar.

    Arkan terkesiap. “Dulu?” bisiknya lirih.

    “Dulu!” aku menegaskan. Kali ini aku yang menatapnya dingin.

    Saat kepala kami beradu, kembali kulihat serangan panik pada wajahnya yang bintik-bintik. Arkan seperti terkena serangan jantung. Wajahnya mengernyit. Bibirnya membuka lalu menutup bergantian. Dia seperti berjuang hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata-kata yang berhasil menyelinap dari mulutnya.

    Begitulah coming out pertamaku gagal total.

    Tidak hanya itu, aku juga kehilangan seorang sahabat. Sejak kejadian itu, Arkan tidak pernah lagi main ke rumahku. Dia bahkan menghindariku di sekolah, seolah aku pembawa virus dan takut tertular. Kami baru saja naik kelas sembilan. Seperti biasa kami kembali satu kelas. Meskipun nakal Arkan cukup pintar untuk masuk kelas unggulan. Dia resmi berpacaran dengan Nadia, membuatnya punya alasan semakin menjauh.

    Aku tidak peduli lagi.

    Penolakan Arkan atas kondisiku menorehkan luka mendalam di hati, kehampaan yang tidak mungkin bisa terisi kembali. Seperti apapun usahanya, sosok Arkan yang dulu sudah lama mati di hatiku, terkubur dalam-dalam di relung hatiku paling kelam.

    Jadi saat kulihat wajah bintik-bintiknya sekarang di ranjang rumah sakit, dengan sendok di tangan menyuapi aku bubur, sama sekali tidak ada rasa hangatku untuknya. Aku tahu Arkan datang kemari untuk mengubur rasa bersalahnya, atas andilnya menyayat pergelangan tanganku.

    Aku tidak menyalahkan siapa pun, kecuali diriku sendiri, atas apa yang telah kuperbuat. Tapi kalau Arkan merasa bersalah atas hal ini, aku juga tidak akan memberinya kalimat basa-basi untuk menenangkan hati.
  • @boyszki siap!
    @seabird itu RS nya emang sebelahan sama Hotel xp
    @lulu_75 biasa, bocah labil dia
    @digo_heartfire worse than that, kayaknya, btw kalo potong nadi memanjang serem amat ya bayanginnya
    @putra_pelangi udah ada lanjutannya di tempat Nay, judulnya Gemini Tales, baru 2 act sih xp
  • tapi sepertinya Arkan suka Pandu ...? penasaran ...
  • Part 6/16

    “Tadi Arkan datang lagi ya?” tanya ayahku.

    Kenapa sih semua orang bertanya soal Arkan? Aku saja bosan mendengar namanya terus disebut-sebut. Kuberi anggukan malas pada Ayah.

    “Wah, gigih juga dia. Artinya selama kamu di rumah sakit, Arkan udah tiga kali dateng buat jenguk kamu,” komentar Ayah.

    Aku tidak paham sama pujian di awal kalimatnya tadi. Gigih juga dia? Apa maksud ayahku berkata begitu? Seolah Arkan pengen nembak aku saja. Emangnya pedekate cowok itu sama Nadia dulu? Itu baru bisa disebut gigih!

    Eh, tunggu dulu. “Tiga kali?” aku balas bertanya. “Kayaknya baru dua deh.”

    “Sekali waktu pertama dulu… pas malam itu,” jawab Ayah sedikit enggan. “Ya, kamu masih belum sadar lah, masih terkapar begitu kok di ruang operasi, bikin ayahmu ini jantungan saja!” dia mengeluh.

    Kalimat ini sukses mengunci mulutku. Aku seperti kena skak.

    “Emang Arkan tahu darimana, Yah? Kok bisa dia menjenguk malam itu?”

    “Waktu sampe di rumah sakit kamu harus langsung operasi, darahmu nyaris kering, begitu dokter bilang,” jawab ayahku. “Ayah ketar-ketir langsung posting di grup BBM, minta tolong sama siapa saja yang bisa, supaya langsung dateng ke sini buat donorin darah buat kamu. Arkan dan Pak Soetarjo yang pertama sampe.”

    Pak Soetarjo papanya Arkan. Ayah pasti menghubungi komunitas rhesus negatif.

    “Oh.” Aku manggut-manggut.

    “Tahu nggak, Pan?” kata ayahku menerawang.

    “Kenapa, Yah?”

    “Malem itu Ayah nggak terlalu merhatiin, pikiran Ayah fokus sama kamu, sementara buat masalah donor mendonor, Ayah serahin semua ke papanya Arkan buat jadi koordinator untuk kerja sama dengan pihak rumah sakit,” cerita ayahku panjang lebar.

    Aku menyimak dengan sabar.

    “Nah, pas pertama dateng si Arkan langsung ngotot mau ikut donor darah buat kamu, dia sampe nangis-nangis segala, maksa banget.”

    Aku terbelalak, bisa kubayangkan cowok manja itu memaksa papanya supaya dia bisa ikut donor darah, padahal Arkan belum tujuh belas, masih belum dianjurkan dokter. Aku tak tahu harus tertawa atau gimana.

    “Jadi akhirnya dia ikut donor?”

    “Ya, nggak, toh yang dateng udah lebih dari cukup.”

    “Terus?”

    “Sahabat kamu itu nggak mau diajak pulang sama papanya. Dia maksa mau nemenin Ayah di ruang tunggu operasi, Ayah bisa denger kalo dia nangisin kamu semaleman, nggak berenti-berenti nyedot ingus.”

    Aku tidak bisa lagi menahan tawa, sungguh geli ngebayangin cowok beringas seperti Arkan terisak sambil nyedot ingus semalam suntuk.

    “Lah kamu malah enak-enak ketawa!” tuding ayahku. Kepalaku kena jitak.

    “Maap, tapi buat Pandu ini lucu.”

    Aku kembali dijitak. “Apanya yang lucu?” tegur ayahku. “Kami semua beneran waswas, dia nangis karena khawatir sama kamu.”

    Tiba-tiba aku terdiam. Benar juga yang dibilang sama Ayah. Kok aku bisa tidak berperasaan, tertawa begini? “Maap, Pandu udah bikin semua jadi cemas,” kataku penuh sesal. Kalau dipikir lagi sikap Arkan malam itu benar-benar manis.

    Ayah menghela napas. “Kamu juga harus terima kasih sama orang grup, mereka rela dateng malam-malam buat nolongin kita.”

    Mendadak aku merasa sangat bersalah. Aku sama sekali tidak kepikiran dengan orang-orang itu, yang dengan senang hati pergi ke rumah sakit malam-malam hanya untuk mendonorkan darah mereka padaku. Aku jadi merasa tidak tahu diri.

    “Umur tujuh belas nanti, Pandu bakal rutin donor darah tiga bulan sekali,” tekadku.

    “Bagus itu!” Ayah menyemangati.

    “Dan Pandu janji, Yah… kalo suatu saat ada orang yang butuh sama darah Pandu, meskipun malam-malam atau subuh-subuh sekalipun, Pandu bakal dateng buat bantu donorin darah Pandu, meskipun harus naek angkot!”

    “Emang kalo malam atau subuh ada angkot?”

    “Kan hiperbola sedikit, Yah,” gerutuku. Namun beberapa saat kemudian wajahku mengeras penuh tekad. “Tapi Pandu serius, Yah. Kebaikan mereka yang udah nyelametin nyawa Pandu, nggak bakal pernah Pandu lupain. Kalopun Pandu nggak bisa bales langsung ke mereka, Pandu bakal bales pada orang yang butuh, seperti kita kemaren.”

    Mendengar kata-kataku yang sedikit lebay, tapi murni dari hati terdalam, Ayah mengacak rambutku dengan mata berkaca-kaca. “Ayah bangga sama kamu,” pujinya. “Ayah harap kamu nggak pernah lupa janjimu ini, karena Ayah pun udah bertekad seperti itu, sejak malam orang-orang yang tidak terlalu kita kenal mau mengulurkan tangan untuk bantu nyelametin nyawa anak Ayah!” suara ayahku bergetar.

    Tanpa sadar setetes air mata jatuh di pipiku.

    Aku jadi menyadari betapa berharganya hidup, dan masih banyak orang baik di luar sana, orang yang rela berbagi demi kebaikan orang lain.
  • Part 7/16

    “Kata Papa, Om Indra bakal ngajak elu balik kampung?”

    Hari ketujuh aku menginap di rumah sakit. Kondisiku sudah benar-benar pulih. Dokter akan mencabut selang infusku hari ini. Dan luka sayat tipis namun dalam di lengan kiriku sudah tidak lagi terasa sakit. Kata dokter aku harus bersukur karena tidak ada saraf yang rusak, artinya jari tanganku bakal berfungsi normal seperti sedia kala.

    Suasana hatiku sedang bagus karena akhirnya kedua lenganku akan kembali bisa kugunakan bebas. Tapi rencana Ayah untuk balik kampung sedikit membuatku gelisah. Aku sama sekali tidak mencemaskan kondisi kampung ayahku, karena meskipun kami menyebutnya kampung, tempat itu telah menjadi sebuah kotamadya puluhan tahun lalu.

    Bumi Telaga Dalom, yang terletak antara Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus, berada di lingkar wilayah Pegunungan Bukit Barisan, sebuah kota resort yang kental akan budaya, sekitar seribu meter di atas permukaan laut, dengan cuaca yang dingin dan lembap, dan tidak kalah besar dengan Bandar Lampung, ibukota provinsi yang aku tinggali saat ini.

    Menurut ayahku, kota itu lebih asik dibanding Bandar Lampung yang terletak di tepi pantai dan bercuaca panas dan kering. Satu-satunya ganjalan adalah aku harus meninggalkan temanku di kota ini. Bukan berarti dalam lima belas tahun hidupku aku punya segudang teman untuk ditangisi ketika aku pindah, namun membayangkan untuk berpisah dari Mbak Diana sukses membuat sudut mataku berair.

    Ayah cukup tegas dengan keputusan untuk pindah. Aku kehilangan hak vetoku. Alasannya dapat kuterima, Bandar Lampung telah menggoreskan banyak luka di hati kami. Pertama masalah Bunda yang pergi membawa Juna, meskipun setelahnya kami pindah rumah, dan aku bertetangga dengan Mbak Diana lima tahun lalu, baik aku dan Ayah masih belum bisa melupakan itu, terbukti dengan sikap Ayah yang nyaris mengabaikanku hingga aku berakhir di rumah sakit seperti saat ini, yang menjadi masalah kedua kami.

    Masalah ketiga adalah pekerjaan ayahku. Klien terbesarnya dulu dan sekarang tetap Telaga Dalom Resort, raksasa ekonomi yang bercokol kuat di Bumi Telaga Dalom. Setiap tahun resort ini semakin berkembang, dan tahun ini Ayah mulai mengerjakan proyek besar yang mengharuskannya menghabiskan banyak waktu di lokasi site, yaitu di kampungnya. Ayah enggan melepas proyek ini, namun juga enggan jika harus meninggalkan aku ke luar kota dalam jangka waktu yang cukup lama. Sejak aku mengiris pergelangan tangan, Ayah jadi sangat posesif.

    Artinya keputusan kami untuk pidah sudah tidak bisa diganggu gugat, bahkan kalau langit runtuh sekalipun, Ayah pasti tidak bakal mengubah pendiriannya. Aku harus menguatkan diri untuk tidak lagi bertetangga dengan Mbak Diana.

    Dan harus bersabar dengan pertanyaan berulang-ulang dari cowok bintik-bintik yang entah kenapa datang berkunjung setiap hari.

    “Emang elu beneran kepengen pindah, Pan?” tanya Arkan kesekian kalinya.

    Sejak Ayah cerita soal hari pertama Arkan datang menjenguk, dimana cowok itu termehek-mehek sambil menyedot ingus, aku berhasil sedikit memberinya maaf. Hubungan kami tidak serta merta kembali menjadi best friend, tapi setidaknya aku tidak lagi bersikap sinis padanya sepanjang waktu.

    Aku bahkan kembali memanggilnya ‘Arkan’, hal yang membuat dia melonjak gembira tanpa alasan jelas.

    “Kenapa gua nggak pengen pindah?” aku membalik pertanyaannya.

    Arkan menatapku dengan sorot terluka, seolah dia anjing setia yang ditendang sama anak majikan gara-gara menjilat sembarangan. “Elu… nggak bakal pernah bisa maapin gua ya?” bisiknya parau.

    “Ge-er amat, emang lo pikir gua pindah gara-gara lo doang?” tukasku.

    Arkan kembali menatapku seperti di hari aku mengaku padanya, tatapannya lama terpaku padaku, sorotnya panik, bercampur dengan emosi yang tidak bisa kutebak. Sama seperti hari itu, Arkan mencoba untuk mengutarakan sesuatu, secepat bibirnya terbuka secepat itu pula kembali menutup, sepertinya dia menelan kembali apa yang ada dalam pikirannya. Aku jadi gemas sendiri melihat Arkan yang galau seperti ini.

    Biasanya cowok itu kan penuh energi, cengar sana cengir sini.

    “Emangnya lo bakal kangen kalo gua pindah?” tanyaku kepedean.

    “Pasti lah!” gumamnya.

    Aku mendengus tidak percaya. Selama semester kemarin saja dia sama sekali tidak terlihat kangen saat menjauhiku seperti penyakit menular.

    Arkan mengangkat bahu pasrah, kemudian pergi ke depan lemari es, mengambil sebutir Pir Korea ukuran raksasa yang tadi jadi buah tangannya. Aku sempat kaget juga, ternyata Arkan tidak amnesia selama nyaris satu semester menghindariku. Cowok itu masih ingat semua yang aku suka, juga yang tidak aku suka.

    Misalkan Pir Korea di tangannya, aku tergila-gila sama buah satu itu!

    “Gua potongin ya buat elu,” katanya lembut, memamerkan senyum sayu yang bikin cewek satu sekolah klepek-klepek.

    “Kan, lo inget nggak pertama kali kita ketemu pas MOS?” tanyaku ketika dia mencuci pir dan memotongnya dengan pisau.

    Dia nyengir padaku. “Gara-gara Pir Korea ini kan.”

    Aku mengangguk.
Sign In or Register to comment.