Saat kecil, ada satu mimpi yang kerap mendatangi tidurku. Terjadi berkali-kali. Aku selalu menceritakannya dengan judul Mimpi Taik. Mimpi yang dulu selalu datang subuh-subuh, berakhir persis saat aku mulai terbangun. Akhir-akhir ini mimpi itu kembali. Tapi datangnya tak lagi saat malam gelap atau saat mataku terpejam. Datangnya siang bolong. Saat mataku terbuka lebar dan aku sadar aku sedang mimpi di siang bolong. Kata Nenek mimpi selalu punya arti. Mimpi yang terjadi dulu memang tak sama dengan yang kumimpikan akhir-akhir ini, tapi aku menemukan arti mereka sama, itulah kenapa aku sama-sama menamai mereka Mimpi Taik.
Pertama kali aku didatangi Mimpi Taik ketika aku masih sangat kecil, ketika aku mulai mengolah setiap informasi dari dunia secara sadar, mulai mempertanyakan apa yang terjadi di sekitarku. Suatu siang, seorang Tukang Cendol mendorong gerobaknya di depan rumah Nenek. Dari sejak jauh aku sudah memandanginya. Dan dia berhenti persis di depanku entah sengaja aku tak tahu. Aku hanya bisa memandangi dari balik jeruji pintu untuk beberapa lama. Aku tahu cendol bisa dimakan, rasanya manis dan lezat, ada wangi nangkanya.
Lalu Nenek membuka pintu, mendekati gerobak cendol lantas aku mengikutinya dan memeluk pahanya. Nenek merogoh dadanya, dan dari balik kerah dasternya Nenek menarik kantong kecil berisi gulungan kertas. Diambilnya gulungan itu dan menarik karet gelang pengikatnya. Ditariknya selembar berwarna hijau dengan gambar monyet di salah satu sisinya lalu diserahkannya kepada Tukang Cendol. Lantas sebungkus cendol disiapkan dan diserahkan kepada Nenek yang langsung menyodorkannya kapadaku.
Saat itu aku terkagum-kagum dengan gulungan kertas dibalik daster Nenek. Aku tak lagi menghiraukan seplastik cendol ditanganku. Aku memikirkan kertas-kertas Nenek. Kenapa Tukang Cendol mau menukarkan cendolnya dengan kertas Nenek yang hanya bergambar kera. Apa lagi yang bisa ditukar dengan kertas Nenek? Apa Nenek mau memberikan beberapa lembar untukku?
Aku begitu terobsesi dengan kertas-kertas Nenek hingga malam harinya Mimpi Taik untuk pertama kalinya mendatangi tidurku. Aku bermimpi berada di balik tembok tinggi yang membentengi samping rumah Nenek dengan sebuah saluran parit. Parit yang mengalir di sepanjang belakang rumah orang-orang kampung. Parit yang sering dijadikan tempat berjongkok oleh mereka yang merasa tak perlu punya kakus. Parit yang tentu jadi sangat bau sampai-sampai Nenek harus membangun tembok tinggi yang bisa menghalau angin yang menyisir di sepanjang parit. Di dalam mimpiku, aku memunguti Taik di sepanjang parit lalu kumasukkan ke saku celana. Aku berkeyakinan tiap genggam yang kurogohkan ke celana akan berubah jadi kertas-kertas Nenek. Dengan bahagia yang luar biasa aku memasukkan sebanyak-banyaknya taik yang kubisa sambil tersenyum lebar, nanti saat di rumah Nenek aku akan memamerkan isi saku celanaku. Dan saat aku terbangun, aku langsung merogoh saku celana dan mendapatinya kosong. Lalu aku merasa sangat sedih tak ada kertas apapun disana. Mimpi ini datang berkali-kali sampai aku beranjak remaja, ketika malamku mulai didominasi mimpi-mimpi basah.
***
Belasan tahun berlalu dan sekonyong-konyong Mimpi Taik itu datang lagi. Tapi tidak dimalam hari. Dia datang pertama kali di siang bolong yang membosankan.
Aku sedang menerka-nerka titik bom dalam kotak-kotak Minesweeper di layar komputerku ketika tiba-tiba seseorang menghampiri kubikelku lalu menyapa dengan suara dalam , “Selamat siang, perkenalkan saya pegawai baru disini.”
Aku memutar kursiku. Selingkar pinggang ramping tepat berada di depan wajahku. Aku menahan diri untuk tidak menurunkan pandangku dan memaksakan diri untuk menengadah. Seketika memoriku memanggil sebuah nama dari judul film yang sering kutonton belakangan ini, Tyler Torro. Alis tebal, rambut tipis dan wajah klimis. Senyum tanggung dengan sederet gigi putih yang mengintip manis dari balik bibir yang sedikit terbuka. Tiga detik yang mendebarkan seolah memelar menjadi tiga menit yang menegangkan setelah pesawat lepas landas.
Aku menyambut uluran tangannya. Dia mengulurkan tangan kanannya lalu memperkenalkan diri, “saya Tora, duduk di kubikel ujung sana.” Tangan kirinya menunjuk ke salah satu sudut ruangan. Dari balik lengan kemejanya, menyembul beberapa ujung runcing rajahan tato. Ya Tuhan, apa yang telah kuperbuat sampai Kau menciptakan dua Tyler Torro di dunia ini dan salah satunya kau taruh seruangan denganku selama delapan jam sehari?
“Hmm, selamat bergabung.” “Pasti nama panjang kamu Tyler Tora dan kamu punya kembaran namanya Tyler Torro.”
“Lagi sakit, Mas? Tangannya dingin banget. Udah dulu ya, Mas. Mau keliling dulu, kenalan sama yang lain. Selamat melanjutkan pencariannya. Semoga semua bomnya ketemu.”
Aku segera menyambar sabun pencuci muka di tas dan berlari ke kamar mandi. Mengoles ulang minyak rambutku. Sisa hari itu kuhabiskan mondar-mandir antar kubikelku dan pantry. Membuat kopi dan teh berulang-ulang demi melewati sebuah kubikel berpenghuni baru yang berada tepat di depan ruang fotocopy di samping pantry. Berkali-kali aku menyemprot ulang leher dan ketiakku dengan minyak wangi. Ketika melewati ruang fotocopy, aku akan menggerakkan lenganku lebih agresif demi meninggalkan jejak minyak wangi.
Sejak hari itu aku mulai rajin ke kamar mandi membetulkan penampilan. Mencoba berbagai macam minyak wangi dengan harga lebih mahal dari minyak zaitun dari Yunani. Membeli baju-baju baru dengan mode terkini. Berusaha tak pernah tampil sama setiap hari. Aku mulai menghabiskan banyak uang demi menghiasi ujung kepala sampai ujung kaki. Tentu aku melakukannya dengan senang hati.
Sehabis dari kamar mandi, aku akan menemukan dokumen apapun untuk difotokopi atau sekedar membuat ulang segelas kopi. Yang penting aku bisa melewati kubikel itu, dan memindai ulang raut itu, menambah koleksi potret dalam album imajinasi di kepalaku. Aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Aku nyaris tak pernah mempertanyakan ini. Seperti kata orang, manusia akan berhenti bertanya saat mereka telah dewasa.
Tiga bulan berlalu, diisi dengan hari-hari yang kuakrabi dengan ruang pantry dan fotokopi. Kantor mengadakan agenda tahunannya, Gala Dinner di ballroom salah satu hotel mewah. Setiap pegawai di kantor hadir disana dengan pasangannya masing-masing. Lalu disana aku dihampiri oleh Tora.
“Kenalin, Mas. Ini Lindy, tunangan saya...” Ada sakit yang perlu ditahan yang datang dari dalam, membuatku tak selera melanjutkan pembicaraan. Aku hanya diam dan membalik badan, berjalan menjauh tak karuan. Lamat-lamat memudar aku mendengar kalimat yang tak kalah menyakitkan. “Dia kenapa? Kok diajak kenalan malah pergi?” “Dia emang gitu orangnya, suka agak aneh. Gak usah dipikirin. Kenalan sama yang lain aja, yuk?”
Seketika itu aku seperti tersentak dari mimpi panjang. Aku tersadar, tiga bulan terakhir aku kembali diserang mimpi yang saat kecil kunamai Mimpi Taik. Tapi kali ini mimpi itu datang di siang hari diantara kesibukan kantor yang tak henti. Hari-hariku telah dipenuhi tingkah menjijikkan. Saat aku mengoles ulang minyak rambutku lalu sengaja berjalan melambat di depan kubikel Tora, sesungguhnya aku sedang mengoleskan Taik di kepalaku. Saat aku menyiramkan parfum baru di ketiakku lalu sengaja mengibaskan tangan saat berlalu di depan kubikel Tora, sesungguhnya aku sedang menyiram Taik di Tubuhku. Saat aku berkali-kali membasuh mukaku di kamar mandi sebelum membawa dokumen tak penting ke ruang fotokopi, sesungguhnya aku sedang membilaskan Taik di pipiku. Hari-hariku telah dipenuhi taik, tingkah-tingkah menjijikkan, untuk apa? Untuk harapan bahwa taik-taik itu akan berbuah manis? Aku marah, ingin meninju mukaku berkali-kali. Aku mengepalkan kedua tanganku lalu memasukkan ke saku celana. Aku terbangun dengan kecewa.
Comments
iya kasihan, nasib ya nasib, terlahir berlumuran taik. hufet
Saya sempat mengira ini pengalaman pribadi. Eh atau emang pengalaman pribadi? Hahaha.
Tapi mimpi soal taik pas masih kecil kok avant-garde sekali ya. Bisa sampai berkali-kali lagi.
ini sih terinspirasi dari curhatan teman yang bilang kalau naksir sama straight itu ibarat menggenggam taik terus berharap taiknya berubah jadi emas. Kita selalu berusaha tampil impressif di depan orang itu, dengan tanpa sadar berhadap dia impressed, lalu apa? Lalu dia naksir balik? Bukankah itu sungguh perbuatan yang chandelier-chandelier a.k.a Sia-Sia.