SEMANTIC SATIATION
Prolog
Pria itu terpaku di balik pintu berkaca ketika melihat sahabatnya terbaring tanpa daya di dalam ruangan ICU. Tubuhnya ikut lemas, seakan ia merasakan rasa sakit yang di derita sahabatnya.
“Bangun, Ja. Lo pasti kuat.” Rapal pria itu sia-sia.
Hening. Yang dia dengar hanyalah bunyi Elektro Kardio Gram dari dalam ruang ICU yang dihuni sahabatnya. Suara obrolan bahkan sampai suara tangisan orang-orang yang berada di lingkup ICU ini pun tidak lebih berarti dari itu. Separuh nyawanya seakan tertanam di dalam diri sahabatnya, dan itu sekarat.
Dia memandang lurus ke depan, menebus lubang pintu tertutup kaca bening yang sengaja di
design agar para penjenguk pasien dapat melongkok si penghuni ruangan. Pandangannya tertuju kepada
bedside monitor, dengan garis fluktuatif di tengahnya yang sama sekali tidak dia mengerti.
“Math,” sahabatnya yang lain memegang pundaknya.
“Rajata pasti sembuh, kan. Kar?” tanya Math dengan suara serak yang bergertar. “Ini bukan pertama kalinya Rajata kayak gini,” ucap Math lebih kepada dirinya sendiri. “Dan dia selalu sembuh. Dan kali ini, dia pasti akan sembuh lagi kan Kar?” tanyanya retoris.
Kar membisu, dia mencoba mengenyahkan perkataan dokter mengenai kondisi Rajata. Sebenarnya, Kar juga ingin marah kepada Math karena menanyakan pertanyaan retoris itu. Namun, Kar tahu, hal itu tidak akan mengubah apapun. Yang terjadi, ataupun yang belum terjadi.
Pandykara atau yang kerap disapa Kar lahir di Borneo dua puluh enam tahun yang lalu. Dia yang paling pandai dibandingkan ke dua sahabatnya. Cowok
nerd, bertubuh kurus, berambut agak panjang dan berponi ini lulusan Namseol University jurusan Desain Komunikasi Visual. Kar memiliki sifat jenaka diluar perkiraan orang-orang, beberapa orang kadang merasa terganggu dengan kejenakaannya itu namun tidak dengan ke dua sahabatnya. Mathew dan Rajata.
Mathew, bukanlah nama sebenarnya pria berorientasi biseksual ini. Ke dua sahabatnya tentu tahu nama asli dari seorang Mathew namun tak pernah sekalipun menyebutnya. Itu semua karena rasa saling menghormati keinginan masing-masing dari mereka sangat kental. Mathew paling dewasa diantara ke dua sahabatnya. Pria yang mempunyai postur tubuh ideal ini sangatlah ramah, tak jarang sifatnya yang ramah membuat beberapa orang merasa diberi harapan palsu olehnya. Sayangnya, Math tidak pernah belajar akan hal itu.
Terakhir, Rajata. Laki-laki yang bisa dikatakan paling bodoh dan slank diantara sahabatnya. Pelupa. Kontrol diri yang sangat minim dan sifat-sifat buruk lainnya yang dia miliki. Tetapi itu semua tidak membuat Kar dan Math meninggalkannya. Mereka tahu, bahwa Raja memiliki hal besar yang dia sendiri tidak ketahui. Mereka percaya hal itu ada, hanya saja belum mereka sadari sepenuhnya. Raja sangat suka berpakaian kasual, bahkan jika Math dan Kar tidak memarahinya, laki-laki itu pasti berani berpakaian kasual di hari atau acara-acara penting yang bertema formal.
“Rajata pasti sembuh, kan. Kar?” Math mengulang pertanyaanya, seakan belum puas dengan yang pertama.
Mendengar pertanyaan itu diulang, sesuatu di dalam dada Kar serasa mencelos jatuh dan tertelan lantai rumah sakit. Cowok itu menggigit bibir ramunnya yang tidak pernah tersentuh rokok. Dia sedang memikirkan jawaban apa yang paling bijak untuk pertanyaan Math.
“Lo baru landing langsung ke sini Math?” tanya Kar setelah mendapatkan sebuat ide untuk menghidari perbincangan mengenai keadaan Rajata. Namun Math terlihat masih pada pertanyaanya. “Kita makan yuk, lo pasti laper, kan?” ajak Kar gugup. Pandangannya bergerak ke kanan dan ke kiri. Seperti mengharapkan bantuan dari orang-orang yang—sama bingungnya—berada di lingkup ICU ini.
“Kalo lo nggak laper, gue yang laper. Temenin gue yuk!” tanpa meminta persetujuan Math, Kar bergegas menarik tangan Math agar mengikutinya ke kafetaria rumah sakit ini.
“Raja gimana?” protes Math. Pria itu memutar balikan cengkraman Kar. Kini Kar yang tertahan di depannya. Math terlalu kalut untuk mengerti bahasa tubuh Kar. Pria itu cepat-cepat menunda semua pertemuan bisnisnya di negeri tetangga saat mendengar kabar dari sahabatnya bahwa Raja kembali masuk rumah sakit.
“Dia akan baik-baik aja, Math.” Kar menekan nada suaranya serendah mungkin. Entah kenapa, dia merasa emosinya mencuat cepat. Seperti, mereka akan membicarakan hal buruk yang akan segera terjadi. Menurut Kar, hal itu sangatlah bodoh. Namun, dikondisi mereka yang seperti ini, Kar terlalu takut untuk mencoba menjelaskan apa yang ada di dalam kepalanya.
“Baik-baik aja?” debat Math. Kar mendesah frustasi. “Lihat dia Kar! Dia sekarat!” Math menunjuk sembarang ke arah belakang dengan pandangan terpaku kepada Kar. Menuntut.
Kar bingung. Penat dikepalanya membuat denyutan yang sangat tidak nyaman di sana. Rasanya ingin muntah. Tenggorokannya kering dan dia terlalu lelah untuk melewati hari ini.
Kar memang sudah mengkhawatirkan kondisi Raja yang semakin lemas beberapa hari ini. Bodohnya, Rajata merasa lelah mengkonsumsi obat-obatan yang seharusnya dia lakukan. Puncaknya siang tadi. Di meja makan Kara menunggu Raja keluar dari kamarnya hingga matahari tepat di atas langit Jakarta.
Tetapi, Raja belum memberikan tanda-tanda kehidupan dari kamarnya. Hingga Kar memutuskan untuk meletakan kuasnya, dan mengetuk pintu kamar sahabatnya. Tidak ada jawaban. Kar mengeluarkan ponselnya, menelepon Rajata. Lagu
Take Your Time milik Sam Hunt berkumandang dari dalam kamar Raja, namun jawaban urung Kar dapat.
Di saat itu juga Kar berpikir cepat dan tepat. Dia tidak mungkin menggedor keras-keras kamar Raja, sahabatnya menderita penyakit jantung. Dengan gerakan cepat, Kar berlari keluar rumah dengan tangan yang masih penuh noda cat air.
“Raja,” panggil Kar setelah membuka jendela kamar Raja yang—sengaja—tidak dikunci dari dalam. Susah payah, Kara mengulurkan tangannya mencoba mencari celah diantara teralis besi yang menghalanginya.
Kar berhasil meraih kaus yang Raja kenakan, cowok itu menarik tubuh Rajata agar bisa ia sentuh.
Dingin.
Hati Kar mencelos, “RAJA!” panggil Kar setengah berteriak, dia hampir saja kehilangan kontrol diri. Segera Kar menelepon Math namun nomer yang dituju tidak bisa dihubungi. Kara mengumpat frustasi. Dia sadar, Math dua jam lalu baru saja meninggalkan rumah. Pesawat yang ditumpangi sahabatnya pasti belum mendarat di Changi Airport.
Dia berlari lagi ke dalam rumah yang mereka sewa bertiga untuk ditinggali. “Ambulans” seru Kar panik sambil melakukan sesuatu kepada ponselnya.
Kara kembali—dari ingatannya—saat mendengar suara Math “Dan elo masih mikirin perut, lo?!” sentak Math emosi. Mereka semua kalut.
“Gue?! Iya, gue. Gue yang dobrak pintu kamarnya, ngedapetin dia sekarat diatas ranjangnya, bolak-balik rumah-rumah sakit untuk ngelengkapin data-datanya, sepanjang hari ini gue selalu khawatir kalo Raja bakalan tinggalin kita!” Kar menjatuhkan diri ke kursi terdekat. Kepalanya pusing, semua yang dipandangnya berputar.
Cowok itu melepas kacamatanya, menghapus air mata yang mengembang dipelupuk mata. Math tahu dia melakukan kesalah, lagi. “Gue emang egois, gue ngerasa kita butuh istirahat di saat-saat sahabat kita sekarat. Gue egois emang.” Tangis Kar dalam pelukan Math.
Math mendesis mencoba menenangkan sahabatnya. Pria itu merasakan betul kekacauan jiwa dan raga sahabatnya, persis seperti yang dia rasakan juga. “Maafin gue, Kar.” Mohon Math. “Raja pasti kuat, ini bukan pertama kalinya untuk dia.” Sambung Math tidak tahu apa yang dia katakan.
Kar menggelengkan kepalanya. Seakan, dia seseorang yang pemberani seperti Rajata.
“Dokter bilang, Rajata nggak lagi sanggup. Dia nggak lagi punya kesepatan, dia terlambat.” Suara Kar sengau, kalut tak lagi bisa dia tahan. Tangisnya pecah. Air mata Mathew membasahi kepalanya.
“Kita kehilangannya, Math,” lirih Kar. “Gue kehilangannya,” ucap Kar hampir tak bersuara, tentu saja Math tidak mendengarnya. Seperti, kata-kata itu ditujukan langsung kepada Raja.
“Kar...” panggil Ira dengan wajah lega. Ira adalah dokter rumah sakit ini yang kebetulan bertugas di ICU ini, kenalan Kar karena keluarga si dokter penggemar lukisan yang dibuat olehnya.
Mereka berdua berdiri sambil menghapus air mata masing-masing. “Keajaiban, dia siuman.” Ucap sang dokter takjub pada kuasa pemilik semesta.
“Kami boleh masuk?” pinta Kar lebih seperti sebuah pernyataan bahwa mereka akan masuk.
“Salah satu dari kalian,” Ira menegakkan otoritasnya.
Kara menatap Ira dengan pandangan tidak percaya. Namun, Math dengan kerendahan hati, merendahkan tubuhnya. Memohon kepada sang dokter agar mereka berdua diizinkan masuk. Dan itu berhasil.
Bunyi
bip yang bersumber dari Elektro Kardio Gram mengisi ruangan ini. Math dan Kar duduk di ke dua sisi Rajata. Mereka mengulurkan tangan, menyentuh tangan sahabatnya yang tak sehangat biasanya.
Rajata mencoba sekuat tenaga untuk berbicara, namun bibirnya kelu. Seakan malaikat maut tak memberinya dispensasi untuk mengucapkan kata-kata terakhir kepada ke dua sahabatnya.
“Lo masih aja ganteng, dikondisi lo yang kayak gini ya,” puji Math sambil menyisir rambut Raja dengan jemari tangannya. Suaranya serak, tanda kesedih yang coba dibenam.
Rajata tersenyum, sebenarnya, bibirnya hanya bergerak sedikit saja. Namun, Math dan Kar tahu, itu adalah sebuah senyum terindah yang pernah Raja berikan kepada mereka. Kar menghirup nafas banyak-banyak, menghapus air matanya dengan penuh keberanian. Sesuatu yang sangat jarang didapati dari seorang Kar.
Cowok itu menatap Math dengan pandangan yang terasa ambigu. Tetapi, Math menyadarinya, mengetahui apa yang ingin Kar lakukan. Math tersenyum lebar, mereka berdua menggengam tangan Raja dengan erat namun tidak menyakitkan. Karena, mereka tidak pernah menyakiti satu sama lain.
Bukankan sejatinya, cinta tidak saling menyakiti?
“Lo semakin tampan saat lo senyum, Ja.” Kata Kar sengau, dia membenci dirinya sendiri karena hal itu. Kar mengutuk dirinya karena tidak berani mengikhlaskan Raja, tidak di waktu ini.
Rajata hanya merespon dengan mengedipkan mata yang setengah terbuka.
Tubuh Kar begetar, nelangsa di nadinya. Dia menangis tanpa suara, seolah-olah ada parang yang dikalungkan ke lehernya.
Beberapa saat dia terdiam, kemudian mengangguk-anggukan kepalanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia mampu melepaskan Rajata.
Kara memulai, “Lo nggak harus lagi berlelah-lelah demi menamani kami, Ja.” Dia berhenti. Sunggung, batin cowok itu meraung saat ini.
Math menggengam tangan Rajata lebih pasti, membuat Rajata sadar bahwa ada yang ingin disampaikan oleh sahabatnya. “Kelam tak selalu bermakna sendiri, sunyi belum tentu sepi. Karena sesungguhnya, gelap melindungi kita dari rasa lelah.” Math berhenti, dia tidak mampu lagi berkata.
“Tidur, Ja. Lo nggak perlu takut apapun. Ada kami disini,” sambung Kara terisak.
“Saat lo terjaga, nanti. Kita akan bertemu lagi, di kehidupan yang baru.” Tambah Math sekuat hati.
Tangis keduanya pecah saat Rajata mencengkram erat tangan mereka. Nafas terakhir yang Rajata hembuskan terasa seperti kata-kata perpisahan yang panjang dan sakral.
Kami akan selalu mengenangmu, namun tidak dengan cara mengulang namamu berkali-kali karena rindu. Kami tidak mau, kamu menjadi fenomena semantic satiation.
Comments
Update terus yaw
Kayaknya, penulisnya udah ngasih penjelasan kasar tentang semantic deh di akhir prolog
Hidup itu apa?
Cinta itu apa?
Mati itu apa?
Laki-laki itu menatap gugus orion di langit malam cerah yang mahaluas. Tiga kata sakral itu dia ulang terus-menerus. Tak ada pemahaman dari repetisi yang dia lakukan. Parahnya, kata-kata itu kini sempurna hanya menjadi susunan huruf dalam pembendaharaan katanya saja. Makna dari hidup, cinta, mati benar-benar lenyap. Asing. Sama persis saat laki-laki bertubuh tegap itu bercermin.
Malam itu sepi seperti biasa. Dia benci sepi. Namun, dia takut ramai. Dia pesohor yang tidak terlihat. Siapa dia, tujuan serta gunanya hidup pun dia tidak tahu. Dia tidak mati tetapi juga tidak mempunyai kehidupan. Malang memang.
Terkadang, dia mempimpikan terlahir sebagai salah satu dari ke dua sahabatnya. Math ataupun Kar, manapun asalkan tidak menjadi Rajata.
Math, memiliki karir yang bagus di perusahaan multinasional. Berperawakan hampir sempurna sebagai kaum Adam. Dia juga terlihat tidak pernah mengambil pusing masalah-masalah seperti yang dialami oleh Rajata. Mungkin bagi Math, problema yang dihadapi Rajata hanyalah sisa nasi goreng di atas piring bekas sarapan paginya yang sama sekali tidak berarti. Math juga tipe manusia yang berperan sebagai penikmat serta pengamat, dia tidak menghakimi sebagaimana dirinya yang benci dihakimi. Math layaknya danau tenang yang dalam. Sangat kontradiksi bila dibandingkan dengan Rajata.
Sedangkan, Kara. Cowok berwajah manis, dengan rambut agak panjang menutupi kepalanya yang berisikan kristal. Kara tahu banyak hal. Kara mengerti di mana dia harus memulai dan berhenti. Dia paham betul apa yang dia katakan dan orang sampaikan. Cowok itu punya selera humor tinggi yang membuatnya tidak pernah kesepian. Semua orang ingin berteman dengannya, memburu ide-ide yang tercipta dari pemikirannya yang tidak biasa. Kara, si jenius yang sederhana. Sangat bertolak belakang dengan Rajata.
Dia memejamkan mata, menikmati deruan angin yang menjilati badan telanjangnya. Dengan rokok di tangan yang sesekali dia buat menari disela-sela jari. Dipandang dari ketinggian seperti ini, langit terasa jauh lebih indah tetapi tak sempurna. Seolah, atap bumi yang menghitam bertabur bintang itu adalah sebuah puzzle berlubang, seperti, ada kepingan yang hilang.
Ponsel disakunya bergetar. “Udah aku transfer ya,” celoteh kliennya dari atas tempat tidur. Rajata mengeluarkan ponselnya, melihat pemberitahuan dari aplikasi M-banking-nya. Wajahnya tak berekspresi seolah dia sedang melihat walpaper ponselnya saja. Padahal, nominal yang tertera di ponselnya dua kali lipat dari pembayaran yang seharusnya dia terima.
Rajata menelan ludah kemudian membalik badannya. Dia tersenyum ke arah pria paruh baya yang masih asik bersarang di atas kasur. “Aku bayar dua kali lipat, lho,” tutur kliennya butuh pengakuan.
“Makasih, Pak DPR.” Ucap Rajata lues. Saat pertama kali mereka berkenalan dan saling berbisnis, pria paruh baya itu sendiri yang meminta dipanggil Pak DPR. Reaksi Rajata saat itu adalah mencibirnya habis-habisan, meski hanya dilakukannya dalam hati. Sungguh, dia muak berpura-pura, tapi laki-laki itu tidak bisa berhenti. Karena kepura-puraan itu sendiri adalah kehidupannya.
“Kalo lagi berdua seperti sekarang, panggil aku, Om.” Rajuk Pak DPR. “Om , aja, ya. Biar lebih romantis,” tambah pria itu sambil terkekeh. Suaranya nasal, gesturnya juga begitu genit. Terlihat sangat menjijikan jika dilihat dari fisik dan umurnya saat ini.
Rajata tidak merespon, dia memakai kausnya yang baru saja dipungut dari lantai. Atmosfer di dalam ruangan itu terasa amat buruk, ditambah satu polutan hidup yang terbungkus selimut. Dia rasa jantungnya akan berhenti berdetak jika harus lebih lama lagi di tempat itu.
Hampir setiap bulan, teman-teman baiknya pergi. Mereka telah terbebas dari tidur yang berhimpitan, menu makan yang tak beragam, serta ritual-ritual dalam rumah ini yang cukup membosankannya. Bukan berarti Rajata ingin diadopsi seperti sejawatnya. Dia hanya merasa semakin sendiri.
Sejak pertama kali Rajata mengerti makna kasar kehidupan, dia sudah mempertanyakannya. Dan setiap dia melihat bekas luka di dadanya, kematian pun menjadi pertanyaan selanjutnya.
Rajata tidak mengutuk Tuhan karena telah menciptakannya tanpa tahu Ibu dan Bapaknya. Tidak juga meruntuki karunia sang maha pencipta berupa penyakit jantung yang dititipkan kepadanya. Dia hanya mempertanyakannya.
Waktu bergulir, tanda tanya itu tak kunjung menyingkir. Rajata mulai mencari tahu apa jawaban dari pertanyaanya selama ini, tetapi yang dia temukan hanya gagasan mengambang yang dianggap fundamental oleh kebanyakan orang.
“Hey!” Math menyikut rusuknya pelan. Menarik Rajata yang sedang berkecimpung di genangan kenangan.
“Mana Kara?” sahut Rajata linglung. Kepala bergerak seraya matanya meneliti orang-orang di hadapannya.
“Nggak tau, ponselnya masih belum aktif.” Sahut Math sambil menatap ponselnya setelah melakukan panggilan telepon kepada Kar—“Nah, itu dia.” Math melambaikan tangan ke arah Kar.
Rajata melirik Kar sebentar. Kemudian kembali sibuk dengan froyo miliknya yang sempat ditinggal mengenang masa lampau. Saat mengunyah kiwi yang menjadi topping froyo-nya, Rajata merasa ada sepasang mata yang sedang mengamatinya.
“Terkutuklah Jakarta yang ngebuat penduduknya tua di jalanan,” keluh Kar setelah duduk di hadapannya. Perhatiannya kembali tertuju kepada Kar. Satu pertanyaan muncul di kepala Rajata. Mengapa bisa, cowok semanis Kara tidak memiliki ketertarikan seksual dengan siapapun?
Kara menarik kupluk yang membungkus kepalanya, rambutnya yang agak panjang tersingkap dan terlihat memesona. Jika saja Kara bukan sahabatnya, sudah dipastikan Rajata akan mencoba memacarinya. Namun itu semua tidak akan pernah terjadi, Rajata terlalu brengsek untuk Kara. Dan Kara pun tidak mungkin mau. Kepuasan batinnya didapat dari pekerjaan sekaligus hobinya, untuk hal seksual? Mungkin tangan, pelumas, sabun serta dinding kosnya saja yang tahu akan hal itu.
Rajata terdiam sebentar, sepasang mata itu kembali mengawasinya. Dengan mantap Rajata menatap balik. Seorang pria tersenyum penuh makna kepadanya, kepala si pria itu bergerak membentuk sebuah kode abstrak. Namun, Rajata terlalu berpengalam untuk menerjemahkan maksud si pria tersebut.
“Gue ke toilet dulu, ya.” Tanpa mendengar persetujan sahabatnya, Rajata melangkah menuju toilet. Benar saja, pria itu membuntutinya.
“Gue nggak untuk fun. Gue pro,” ucap Rajata to the point saat pria tersebut berdiri di urinoir sebelahnya.
“Oh, kucing? Berapa?” tanya pria tersebut sambil berusaha menyontek Rajata. “Shit!” umpat pria itu kagum.
“Mereka belom dateng?” tanya Rajata sekembalinya dari toilet.
Kara ber-hmm ria setelah menunda kegiataan melukisnya. “Belum. Tau tuh, Math, gimana sih temen-temen lo?” limpah Kar tidak mau ambil pusing.
“Mereka lagi otw,” sahut Math santai. Pria itu kembali menenggelamkan pandangannya ke iPad yang dia genggam. Menjadi pegawai di perusahaan multinasional membuat Math memiliki kesibukan yang lebih ketimbang ke dua sahabatnya, namun tidak menghalaginya untuk bersosialisasi.
“Jadi gimana, sama tuh orang? Udah deal harganya?” celetuk Kar sambil terus mencoretkan pensilnya ke kertas ukuran A4 yang dia pegang.
Rajata pura-pura tuli. Dan Math terlalu bodoh untuk mengerti kepada siapa pertanyaan itu diajukan. “Lo nanya siapa?” tanya Math yang telah selesai dengan iPad-nya. “Gue nggak ngeuh, tadi.” Tambah Math, membuat Rajata mendecak sebal.
“Belum, gue tadi cuma ngasih kartu nama, terus balik lagi ke sini. Tau nggak sih, nungguin orang-orang nggak jelas–oke, temen-temen lo maksud gue, Math—ngebuang kesempatan berbisnis gue,” seloroh Rajata tanpa beban. Sebenarnya, ada sedikit rasa jengah terhadap kedua sahabatnya jika pertanyaan sudah tergiring ke arah bisnis yang Rajata lakukan.
Kar mulai menyiapkan cat airnya.
“Lo belom lihat mereka aja sih—jangan sampe lo suka sama cowok yang paling unyu diantara mereka ya, dia milik gue!” aku Math cepat-cepat. Math tahu betul tipe cowok seperti apa yang menggugah selera bercinta Rajata. Dan diantara mereka yang akan datang, salah-satunya memang benar-benar tipe cowok idaman Rajata untuk fun.
Rajata tidak percaya cinta, tidak juga dengan komitmen. Namun dia memiliki deretan mantan pacar yang tidak habis bila dituliskan dalam satu lembar kertas folio. Rajata bukan seorang hipokrit, dia hanya berusaha menjadi normal dengan menyematkan label pacar kepada beberapa orang dari sekian banyak teman tidurnya.
“Manusia itu mahluk merdeka, ya, nggak ada satupun dari kita yang bisa saling memiliki.” Tutur Rajata mengutip kata-kata yang pernah Kar ucapkan.
“Pahit!” celetuk Math dengan makna ganda, setelah menyesap kopinya.
Mereka semua tertawa.
“Lagi ngelukis apa?” tanya Rajata menggeser kursinya lebih dekat kepada Kar.
“Abstrak, buat majalah di Korea,” jawab Kar singkat, dia tahu betul Rajata kurang peduli detilnya.
“Lukisan gue nggak pernah jadi?” tanya Rajata lagi. Ya, seumur persahabatan mereka Kar mengaku belum pernah menyelesaikan lukisan wajah Rajata. Padahal, dia sudah berulang-ulang kali menyelesaikan lukisan wajah Math dengan bermacam gaya.
“Lo jelek, susah banget ngelukis elo. Muka lo aneh,” ejek Kar sambil menunduk, mencari sesuatu di bawah kakinya. Rajata menelusuri pandangan Kar. Tidak ada apa-apa di bawah sana keculai abu rokok milik Rajata.
“Gue ganteng, ya!” sahut Rajata sambil mencubit pipi tembam Kar. Dari seluruh bagian tubuh Kar, memang hanya pipinya lah yang gemuk.
“Hei!—tuh mereka,” Math berdiri, melambai ke arah jalanan. Secara tidak langsung menunda pertengkaran Rajata dengan Kar. Rajata menoleh ke arah pandang Math. Sedangkan Kar menenggak air mineral yang entah sejak kapan ada di meja tersebut.
“Apa kabar, Rev?” sapa Math menjulurkan tangan antusias, Revi teman satu kantornya. Dia tidak sendiri, pria itu bersama tiga orang lainnya.
“Baik, Ham.” Jawab Revi. Dengan cepat Math menatap Revi dengan pandangan yang langsung bisa dia artikan. “Math” ralatnya cepat.
“Oh, ya. Kenalin, sister gue, Kar,” Kar sontak memukul Math yang terkekeh menggunakan kuasnya. “Dan yang ini, brother gue. Rajata.” Math membuat gestur mempersilakan. Mereka mulai berjabat tangan.
“Rifan.”
“Yuda.”
“Dio.”
“Revi.”
Benar kata Math, Rajata langsung terpesona melihat salah satu dari mereka. Yuda. Dia yang paling kurus dari yang lain, tatapannya lembut dan garis wajahnya menggambarkan seberapa pintar seorang Yuda. Entah benar atau tidak, namun begitulah Rajata si penilai.
“Lo bisa ngelukis?” tanya pria berkemeja kotak-kotak. Dio. Ada nada kagum di sana.
Kar tersenyum kecil. “Masih belajar, bukan pro.” Ujar Kar merendah. Sontak Rajata yang sedang menghisap rokoknya terbatuk. Math tertawa sambil menepuki punggung sahabatnya.
“Seriously? Bukannya lukisan lo pernah dimuat oleh salah satu majalah luar yang dijual di sini juga, ya?” sambar cowok berambut pendek yang mengenakan kaus hitam. Yuda.
Kar terdiam. Air wajahnya berubah seperti saat Rajata menanyakan prihal lukisan wajahnya. “Gambar anak kecil nangis, korban perang Suriah, kan?” tambah Yuda memperjelas. “Correct me if I’m wrong!”
“Oh, ya?” tanya Dio antusias. Kar mematung, tidak tahu harus bereaksi apa.
“Lo baca majalah juga—Yuda?” tanya Rajata tidak kalah antusias. Ada hasrat yang bergolak dalam diri Rajata. Seperti menemukan sebatang lilin yang benderang ditengah gelapnya malam. “Gue kira, dosen muda kayak lo. Cuma baca-baca hal-hal bertema berat untuk kemakmuran umat aja.”
“Tau darimana lo, kalo gue dosen?” tanya Yuda heran. Matanya memicing tajam ke arah Revi. Yang dipandang memucat sebentar, lalu melirik Math tidak kalah mengintimidasinya. Math refleks kikuk dihujami pandangan menghakimi.
“Shit!” umpat Rajata saat kakinya ditendang Math pelan. Rifan orang yang tertawa pertama kali, disusul Dio dan Kar.
“Dia si maha tahu segalanya,” seloroh Rifan mengambang.
“Actually, setiap tulisan adalah informasi. Yah, balik ke diri sendiri sih, bagaimana cara pandang kita terhadap sesuatu. Kalo pikirannya jelek, mau baca hal sebagus apapun akan jelek jadinya. Bahkan ngebaca status-status facebook anak-anak remaja kekinian pun bisa dijadikan sebuah pelajar. Buat gue, semua hal yang ditulis itu bermakna. Kalo nggak bermakna, kenapa mesti ditulis?” jelas Yuda dengan gaya kasual.
Kar yang sudah kembali melukis tersenyum mendengar kata-kata dosen muda tersebut. Sedangkan Rajata terlihat tidak memikirkan ucapan Yuda sedikitpun.
“Anyway, lo udah ngomongin soal liburan kita ke mereka, Math?” tanya Revi.
“Harusnya sih udah, prihal apa pekerjaan gue aja mereka udah tau.” Nyinyir Yuda.
Rajata kembali meng-aduh ketika kakinya ditendang Math, lagi. Dia merasa, Rajata lah yang paling bertanggung jawab atas kondisi yang membuat dia jengah setengah mati berada di sana.
Kar meletakkan lukisannya di atas paha. Mencoba menolong Math sebisanya. “Minggu depan pas long weekend, kan?” tanya Kar dengan nada yang agak keras. Sama keras dengan usahanya agar perhatian tertuju kepadanya. Supaya, Math tidak lagi merasa malu. Bukankah itu fungsi sahabat?
“Kami bisa, kok. Ah, udah lama juga nggak ke villa. Lari-lari di tengah kebun teh sambil bawa-bawa syal. Terus Rajata muncul deh tiba-tiba sambil goyang-goyangin bahunya,”
Mereka semua tertawa. Mencair seperti froyo di dalam cup milik Rajata. “Oh, ya. Aku mau pesan minum. Mas Dio, sama Yuda mau pesen apa? Sekalian.” Rifan berdiri mengambil sebuah kartu yang asungkan oleh Revi kepadanya.
“Gue, apapun deh asal jangan yang bahan dasar kopi,” pesan Yuda. Rifan mengangguk tanpa interupsi apapun.
“Aku, Espresso aja, Rif.” Pinta Dio. Lagi, Rifan mengangguk paham. Terlihat jelas bahwa Rifan jenis orang yang tidak suka mencampurkan bumbu berlebih dalam hidupnya.
“Aku, biasa ya.” Jawab Revi tanpa ditanya. Rifan mengangguk mengerti, kemudian berjalan dan hilang dibalik pintu kaca.
“Gimana tugas luar kotanya?” tanya Math kepada Revi.
“Aceh? Kayaknya gue nggak akan mau lagi kalo disuruh untuk ke sana. Nggak ada kehidupan malamnya,” Math dan Rajata tertawa mendengarnya.
“Kayaknya, kalo gue hidup di sana, gue harus minta sumbangan dari rumah ke rumah, dari minimarket ke minimarket dan dari restoran ke restoran, deh, ya?” celetuk Rajata spontan.
Sedetik kemudian, Rajata menyesal dengan ucapannya. Dia mengutuk diri saat pandangan ingin tahu dari orang-orang yang baru dia kenal ditujukan kepadanya. “Ah, omong-omong, pekerjaan lo apa—Bang Dio?” sela Rajata sebelum Dio bertanya tentang pekerjaannya. Rajata sudah mengantisipasi hal ini. Setidaknya, saat Dio menjawab pertanyaanya nanti. Rajata bisa berpikir kebohongan apa yang akan dia ucapkan untuk menutupi pekerjaan dia sebenarnya.
“Ternak ayam,” jawab Dio cengengesan.
“Ayam?” imbuh Rajata dengan alis sebelah kanan yang terangkat.
“Iya, ayam.” Dio mengkonfirmasi dengan mengangkat ke dua jari telunjuk dan tenganya ke udara kemudian menggerakkannya membentuk tanda kutip.
@andi_andee
@lulu_75
@shrug
Nanggung deh
Btw tetep mention ya~