How if. Sudah berapa lama kita selalu berteman baik dengan kata-kata ini?
Bagaimana jika kita pergi ke New York dan merasakan tinggal disana?
Bagaimana jika kita berlibur ke Ubud dan menyewa satu private villa?
Bagaimana jika aku mengatur perjalanan untuk birthday escape?
Bagaimana jika aku dan kamu takkan satu?
Aku sedang menikmati Papaya Smoothies di tengah hamparan sawah di pelosok Ubud. Terima kasih kepada Kak Ghana yang sudah mereferensikan tempat ini. Aku sedang berlibur berdua dengan Kean, sahabat sedari kuliah dulu. Rela naik motor dari Jimbaran karena bosan dengan pantai. Jadilah kami setelah sarapan di hotel dan berbekal arahan pool attendant serta aplikasi waze berangkat ke Ubud.
Kean bukan pemakan daging. Agama melarang umatnya menyentuh daging merah. Ia hanya makan unggas dan hidangan laut. Sedangkan aku terlahir sebagai omnivora. Lebih rakus sebagai karnivora. Mendambakan Nasi Babi Guling Bu Oka atau Pak Malen, namun harus berpuas diri dengan Nasi Ayam Kadewatan yang ternyata buka cabang di Seminyak.
"Mana Oka?", Kean.
Aku mengedikkan bahu. Memisahkan potongan cabai dari piringku.
"Whatsapp sih."
"Lagi sembahyang kali?", aku menjawab sambil mengarah ke meja sebelah. Sepasang suami dan isteri baru memesan minuman dan masih berbalut kebaya dan safari serta kain sarung dan udeng.
"Kita jadi ke Puri?", kembali ke cafe ditengah sawah ini, Kean masih asyik dengan handphonenya.
Aku mengangkat bahu. "Entah."
"Aku masih di Pomegranate."
"Mungkin habis ini balik ke Rimba."
"Yuk balik.", aku meminta bill.
"Apaan?"
"Pengen berendam."
"Lo nyetir."
Aku mengambil kunci motor. Memeriksa handphone namun belum ada balasan.
"Malam Pak, mau di turndown?", seorang room attendant tersenyum kepada kami.
"Boleh. Sekalian minta refill air minum sama handuk ya.", Kean membuka pintu. Aku berjalan ke arah balkon.
"Pak, bathtubnya mau diisikan air hangat?"
"Boleh.", Kean.
Aku mengambil handphoneku.
"Maaf baru balas. Malam ini ada acara?"
"Enggak. Baru sampai hotel abis dari Gusto."
"Kean?"
"Ada."
"Aku jemput kamu ya?"
"Kemana?"
"Dinner. Sama ibu dan bapak."
"Oke."
Aku bergegas ke arah lemari memilih baju. Hilang sudah rencana berendam di bathtub sampai keriput.
"Apa kabar, Bu?", aku meraih tangan Bu Cok, seperti itu beliau biasa dipanggil. Bernama lengkap Dewa Ayu Dranisasmita. Ia adalah isteri dari Cokorda Sasmita, seorang keturunan Puri Ubud. Beranak tiga, Anak Agung Putera Sasmita, Anak Agung Ayu Sasmita dan Anak Agung Coka Kembara. Dua anak pertama terlahir kembar di Australia mengingat Cok Sas, biasa dipanggil sempat melanjutkan kuliah di Adelaide. Sedangkan anak bungsunya lahir di Ubud, ditangan seorang dukun bayi.
"Baik. Ken ken?", tanya Bu Cok kembali. Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Stress sama kerjaan kamu?", Cok Sas menimpali sambil tersenyum. "Sudah dibilang pindah saja ke Bali. Masih saja menggerus kesenangan diri untuk kesenangan duniawi."
"Begitulah Cok Sas. Makanya juga ini saya liburan."
"Liburan juga nanti kembali lagi. Bu Cok sudah bilang ke Oka. Suruh kamu pindah sini."
Aku tersenyum. Oka mengelus bahuku.
"Yuk, udah lapar kan?", Bu Cok menggamit lenganku.
"Jadi begitu?", Oka membuka pintu mobilnya.
"Iya! Kenapa?"
"Ya pokoknya aku ngga suka kamu ambil kerjaan itu! Bahaya!"
"I need that money!"
"I can buy it for you! Tapi kamu nggak mau kan? Kenapa sih kamu ngga mau terima sepeserpun uang aku?"
"Aku bukan barang ya! Dan aku masih bisa usaha sendiri untuk membiayai kuliahku!"
"Kita pulang!"
"Shut up! Aku bisa pulang sendiri!"
Dan aku hanya ingat mobil sedan hitam menabrakku.
Kejadian itu sudah sekitar tiga tahun yang lalu. Oka dengan telaten menemaniku di rumah sakit. Semua biayaku ditanggung oleh Oka. Malam sebelumnya aku mendengar Oka menelepon Bu Cok, menceritakan tentangku. Bu Cok mengirimkan senilai uang yang sekiranya cukup. Latar belakang dari keluarga single parent, ibuku sudah membanting tulang untuk membiayai kos dan uang makan untukku. Oka tidak pernah membahas masalah percekcokan kami, pekerjaan di sebuah night club yang sedang naik daun di Bandung sebagai greeter yang ditawarkan oleh teman kuliahku. Kami padahal habis merayakan hari jadi kami yang ke tiga bulan.
"Kamu pulang kapan?", tanya Cok Sas sambil mengambil piring berisi Udang Bakar Madu.
"Besok lusa, Cok. Flight jam sembilan pagi. Harus catch up meeting sorenya."
"Nggak bisa di reschedule? Bu Cok ada mau nitip sama kamu."
"Nitip?"
"Ada barang yang Bu Cok baru ketemu waktu beres beres lemari kemarin. Sekarang lagi Bu Cok benarkan sedikit."
"Kalau boleh tahu apa ya?"
"Makanya kamu datang ke Puri ya lusa? Besok sore biar Oka jemput kamu saja terus menginap ya?"
"Sudahlah Bu, nanti saja. Kasihan Nala kalau harus sampai reschedule flightnya. Lagian kan dia ada meeting.", Oka memasang wajah tidak setuju.
"Yasudah. Nurut saja sama Oka. Tapi Oka kan juga mau ke Bandung? Titip Oka saja ya?"
Oka mengangguk. Aku memasang wajah bingung. Oka menggenggam tanganku.
"Kalian apa ngga bisa kaya dulu lagi?", Bu Cok bertanya kepada kami sambil berbisik. Cok Sas sedang mengangkat telepon.
Aku terkejut. Memang hanya Bu Cok yang tahu hubungan kami. Namun nampaknya Cok Sas juga sudah mencium gelagat kami berdua. Cok Sas hanya tahu kalau kami berteman dekat. Sangat dekat.
"Bu.", Oka.
"Bu.", Aku.
Bu Cok menghela napas. Cok Sas mengakhiri percakapan teleponnya.
"Sudah jadi.", ucap Cok Sas kepada Bu Cok yang menyambut dengan senyum sumringah.
Aku menatap benda ini. Sebuah cincin dengan ukiran rumit bermata satu dari kecubung sesuai dengan hari lahirku.
"Itu cincin Cok Sas.", Oka duduk disampingku. Kean sedang berenang di kolam renang di hadapan kami.
"Pesan Ibu jangan lupa dipakai. Sini aku pakaikan.", Oka meraih cincin. Meraih tangan kiriku dan memasukkan cincin ke jari manis.
"Jadi kamu ingat siapa yang memakaikan.", Oka memamerkan deratan giginya yang rapi. Aku tersenyum.
"Thank you."
Oka memeluk bahuku. Aku menyenderkan kepala ke dadanya. Terdengar desah napasnya.
"Nala, aku masih menolak lupa."
"Tentang?"
"Kita."
"Akupun.", ucapku dalam hati. Lirih.
"Biar waktu yang menjawab.", ucap bibirku. Bohong.
"Aku ke Bandung Senin besok ada meeting dengan buyer."
"I see."
"Can we meet?"
"I will check."
Aku memandang Kean yg sedang timbul tenggelam di kolam renang. Aku memandang Oka yang juga memandang Kean. Kulitnya masih sawo, rahangnya kokoh, gigi rapi, rambut yang tertata rapi. Aku menelusuri badannya. Jakun yang naik turun, lengan hasil latihan basket, kaki kokoh. Ia masih Anak Agung Coka Kembara. Seorang yang masih kutunggu kehadirannya kembali setiap malam. Seorang yang kurindu.
*
Comments
Aku mengencangkan safety belt dan membenarkan sandaran duduk. Atap-atap rumah dan gedung bersambut tersibak oleh gumpalan awan tipis.
"Selamat datang Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara Bandung. Waktu setempat pukul sepuluh lebih dua puluh menit. Waktu di Bandung lebih lambat satu jam dari waktu di Bali. Terima kasih sudah terbang bersama kami.", seorang Senior Cabin Crew memberikan announcement. Aku menunggu pesawat taxi hingga berhenti sempurna. Membuka safety belt, dan menunggu hingga beberapa penumpang turun dari pesawat. Sesampainya di terminal kedatangan, aku harus segera mengambil barang, pulang sebentar ke apartemen dan berangkat lagi untuk menghadiri pembukaan salah satu sister hotel.
"Should I take this?", Ayu bertanya padaku. Kami sedang berada di Periplus Setiabudhi Building, habis lunch meeting dengan clientnya Ayu. Aku mengelus perutku kelar menyantap Nasi Hainan Ayam Rebus di Mangkok Ayam.
"Are you stressed?", aku mengambil Monocle dari rak buku. Ayu masih memegang colouring book for adult it. Anti-stress therapy tulis sampulnya.
"After I lost my Kenzo sih gue masih kepikiran.", aku mengelus punggungnya.
Ayu kehilangan Kenzo, tunangannya dalam kecelakaan mobil di Nagreg satu minggu setelah acara tukar cincin. Kenzo dan Ayu sudah berhubungan sedari SMA, sempat berpisah ketika Kenzo mengambil course di Australia selama satu tahun. Aku menaruh respect yang sangat tinggi kepada Ayu. Aku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan orang terkasih.
"You should buy it then.", aku mengambil colouring book for adult untuk anti-stress dari tangan Ayu.
"Balik yuk ah. Gue harus ngirim quotation ke Bu Irma.", Ayu mengambil handphonenya. "Sialan nih reservasi salah booking kamar." Ayu lalu sibuk dengan handphonenya. Aku berjalan menuju kasir.
Aku baru landing.
Hello?
Dua pesan dari Oka. Aku hanya membacanya. Melepas dasi dan melepas semua baju kerjaku. Berjalan ke arah kamar mandi, guyuran air hangat.
Aku mendengar ketukan pintu. Siapa? Aku melirik jam dinding diatas TV. 19.15.
"Aku message cuma di read?", Oka. Membawa beberapa kantung makanan. Aku membuka pintu lebih lebar.
"Lupa balas. Maaf."
"Sudah makan?"
Aku menggeleng. Menatap layar laptop yang masih terbuka menampilkan kotak-kotak Excel.
"Ada laporan apa?"
"Biasa, monthly."
Oka diam. Ia menyisir ruang TV slash ruang duduk slash ruang makan slash mini pantry. Apartemenku hanya satu kamar tidur.
"Kok mau tinggal disini? Hati-hati dengan satpam dibawah. Ngga sopan."
Aku mengedikkan bahu. Kos-kosanku yang lama hanya menerima mahasiswa. Tidak ada saudara di Bandung dan uang gajiku cukup untuk membayar sewa.
"Masih nyaman rumah di Kedonganan."
"Masih di bahas?"
Oka membahas sebuah properti di Kedonganan, dekat Uluwatu. Sebuah rumah dua kamar atas nama Oka. Aku dan Oka sudah sepakat akan tinggal di rumah itu dulu. Aku sudah memilih pekerjaan di Bali, dulu di sebuah hotel di Jimbaran. Tapi semua itu hanya rencana, kami memutuskan berpisah dua bulan sebelum pindah ke Bali.
"Stay dimana?", aku bertanya sambil membuka bawaan Oka. Burger King, Whooper tanpa bawang bombay.
"Biasa, Novotel."
"I see. Nih.", aku mengangsurkan burger pesanan Oka. Whooper lengkap extra tomat.
"Malam ini aku tidur sini ya?", Oka menggigit burgernya.
Aku menimbang-nimbang. "OK."
Aku membawa burgerku kedepan laptop. Memasang posisi bekerja kembali. Oka membuka kemejanya. Tubuhnya hanya berbalut kaos hitam polos. Ia berbaring disebelahku.
"Rindu.", Oka ndusel di bahuku. Tubuhku berasa disetrum.
"Thank you!", ucap Jane sambil menyalami Oka dan aku. Hari ini pulang kantor Oka sudah muncul di lobby hotel. Putri si receptionist tergopoh-gopoh menuju cubicleku tadi di kantor.
"A! Ada yang nyariin siah!", Putri yang asli Cicalengka masih kental logat Sundanya.
"Siapa?"
"Lalaki. Kasep." Laki-laki. Ganteng.
"Da si eta mah emang magnet lalaki, Put!" Dia memang magnetnya lelaki.
"Setan lo!", aku pada Jessica rekan sebelah cubicleku."Siapa sih?", Jessica memutar tubuhnya.
Aku memberi tatapan "Mana kutahu." sambil membenahi dasi dan memakai blazer. Aku melirik jam dinding diatas kabinet. 17.20. Berjalan ke arah lobby sambil bertanya-tanya siapa yang datang sesore ini. Seingatku aku tidak ada janji bertemu client sore dan malam ini.
"Pulang yuk!", aku mendapati Oka yang duduk di sofa dekat jendela.
"Ngapain kamu disini?"
"Jemput. Temenin ketemu client."
"Masih ada kerjaan."
"Apa?"
"Kirim penawaran."
"Emang ga ada admin?"
"Ada sih."
"Yaudah."
"Tunggu lima belas menit di pintu belakang."
Aku bisa disemprot Pak Harris kalau ketahuan pulang lewat lobby. Belum juga absen pulang di pos security belakang sekalian body check.
"OK."
So here I am. Di sebuah coffeeshop di Jalan Sukajadi. Aku menghirup Flat White yang tinggal separuh. Sementara Oka mengantar Jane keluar coffeeshop. Aku sempat tergoda dengan Herb Roasted Chicken yang terkenal enak di coffeeshop ini, tapi di jalan tadi Oka sudah menyinggung Ayam Bakar Padang di belakang Monumen Perjuangan di daerah Dipati Ukur. Anyway who can resist dada ayam bakar dengan bumbu rendang dan kol goreng yang entah aku hanya bisa dapatkan di Bandung. Aku pernah request kol goreng di Semarang dan pelayan yang mencatat pesananku hanya melongo.
"Akhirnya ketemu juga sama si Jane.", ucap Oka sambil menghirup Chai Tea Lattenya.
"Siapa sih?"
"Buyer aku. Dari Swedia."
"Oh."
Oka punya toko barang antik yang terkenal di Bandung. Ia sengaja memilih Bandung dan bukan Bali karena akan lebih dekat kalau ada urusan di Jakarta. Karena kebanyakan buyer akan datang via Jakarta, bukan Bali, kecuali kalau mereka mau lanjut liburan dan sudah pasti akan menginap di Bale Oka, 11 private villas with infinity pool menghadap hamparan sawah di Ubud sana.
"Laper?", tanya Oka. Ia memasukan MacBook dan iPadnya kedalam tas. Membereskan notes dan alat tulisnya. Aku mengangguk.
"Shall we?"
Nothing's happened last two nights, y'all know. Maaf sudah membuat kalian kecewa. Mungkin berharap kita having some explicit content? No. Aku membereskan laptopku ketika email yang aku kirimkan ke bossku sudah bertengger di folder sent items dua hari lalu. Oka masih tidue disebelahku. Dengkuran lembut penanda tidur yang pulas. Aku mengambilkan selimut untuknya. Dan aku? Tidurlah di kasurku. Habis dari coffeeshop ngapain? Makan. Habis makan? Pulang. Oka juga balik ke hotel karena harus mengambil barang titipan buyernya. So nothing's happenened. But in my heart, oh yes. I miss that lips. I miss his breath. I miss his body. I miss him. Fanta uniform charlie kilo!
"Iya Nala, ke Jakarta ya. Sudah final. Aku sudah ngurusin semua persyaratannya." Briefing pagi yang kurang menyenangkan. I should spend a week in Jakarta for work. Madam Boss mengirimku untuk mengikuti tradeshow yang akan dihadiri buyer dari beberapa negara tetangga hingga China dan Russia.
"Kapan tadi bu?"
"Besok kamu siap-siap. Aku minta list client yang mau kamu visit. Aku titip visit Garuda ya. Lusa kamu berangkat."
"Tapi bu?"
"Apalagi?"
"Ngga bisa yang lain bu?"
"Siapa? Jessica udah sering aku kirim ke Jakarta sampe nyantol sama client disana. Ayu? Kemarin baru balik dari Surabaya. Anton bentar lagi ke Kuala Lumpur juga."
Aku mengehela napas. "Oke deh bu."
“Sabtu gue ke Jakarta. Seminggu. KERJA.”, aku whatsapp Kean.
“Bagus lah. Stay di?”, Kean.
“Hotel yang deket Sudirman. Gue harus lapor corporate dulu.”
“Sabang aja Sabang.”
“Iya, gue udah request. Sama Thamrin.”, aku menyebut dua sister hotel. Aku memang diwajibkan untuk tinggal di sister hotel kalau sedang tugas di luar kota bahkan luar negeri. Kecualo kalau memang hotel include di dalam package seperti tradeshow. Dan resenya lagi, kita harus request ke hotel yang bersangkutan kalau kita mau stay di hotel mereka. Yang artinya aku masih harus menunggu kabar kalau requestku sudah di approve atau tidak oleh General Manager hotel tersebut.
“Asyik deh. Gue temenin mau ngga lo?”
“Numpang?”
“Sialan. Btw, minggu si Tiara married di Balai Kartini. Yuk?”, Tiara adalah teman satu angkatan waktu kuliah.
“Yaudah.”
“Lumayan cuci mata. Udah yah, gue udah di lirikin boss gue mainan hape mulu.”
“Sepong aja udah sepong si Pinoy sexy itu.”, dibalas dengan emoji poo oleh Kean. Kean bekerja sebagai Account Executive di sebuah perusahaan semacam Agoda dan Expedia. Atasannya adalah seorang Filipina yang menurutku sih sexy. Hmmmm… Kamu tahu Ronald Liem? Iya, Editor in Chief-nya DestinAsian majalah travel itu. Kind of hot daddy lah.
"Jadi kamu ke Jakarta?", tanya Oka. We are having our coffee at Two Hands Full.
"Iya Sabtu. Seminggu. Jadi tadi ga kemana mana. Bikin budget sama bikin appointment."
"Naik apa?"
"Kereta."
"Udah book?"
"Udah email sih ke Resti. Suruh bookingin."
"Yaudah aku pulang dari Jakarta aja."
"Kenapa deh? Bukannya udah issued tiket?"
"Ya ngga apa-apa dong."
"Ya apa-apa dong. Senengnya bikin ribet sendiri deh."
Oka mengambil handphonenya, menelepon customer care maskapainya.
"Ok. Makasih Mba. Iya, saya tunggu emailnya."
"Done.", Oka tersenyum lebar.
Aku hanya menghela napas. Sakarepmu Mas, sakarepmu. Terserah kamu Mas, terserah kamu.