Sebuah rumah bernomor lima belas berdiri di depanku, dengan cat warna biru langit. Aku tersenyum. Kakiku melangkah masuk, mengucapkan salam sekilas. Beberapa anak lelaki seusiaku melambai, menyapa. Meski itu hanya basa-basi, namun aku senang. Aku diterima di tempat ini. Ini rumah baruku sekarang. Selama empat tahun mungkin aku akan tinggal di sini, hingga aku berhasil memperoleh gelar Strata satuku. Halamannya luas, dengan sebuah pohon mangga manalagi di halamannya. Ketika musim mangga tiba, pasti anak kosan akan segera pesta rujak. Hem...! Air liurku menetes membayangkan hidangan menggiurkan itu, hingga aku tersadar. Kuusap air liurku dan terkekeh dengan wajah bodoh. Setidaknya aku masih punya waktu untuk menikmati masa kuliahku. Langkah kakiku makin masuk ke dalam halaman kos baruku. Ketika kakiku melangkah ke kamar nomor tujuh – calon istanaku yang kemarin sempat dikabarkan oleh bu kos di telepon – tiba-tiba aku dikejutkan sesuatu. Atau... seseorang.
Aku terpekik, lantas meneliti seseorang yang kini sudah berdiri di depanku. Lelaki ini tersenyum lebar dengan barisan gigi putihnya. Atau mungkin aku lebih luwes ketika menyebutkan dia sebagai cowok. Taring cowok di depanku ini sedikit mencuat, menimbulkan senyum menawan yang menurutku sangat lucu. Manis bersamaan. Tubuhnya hanya setinggi dadaku, matanya sipit, kulitnya putih dan tipe cowok-cowok yang sering kulihat berkeliaran di TV dengan label boyband. Lagi-lagi aku dibuatnya tersenyum.
"Sebentar!" keluhnya. Tangannya merogoh sesuatu dari balik celana jeans selututnya. Dia mengeluarkan secarik kertas dan sebuah kunci. Ada namaku di atas kertas itu. "Selamat datang, mas... eng Radipta Mulawarman Aditya! Semoga betah dan juga menikmati selama tinggal di sini." Cowok manis itu manggut-manggut. Ada nada lucu yang terdengar tiap kali dia bicara. Dia agak cadel huruf R. Aku tersenyum.
"Terima kasih. Jadi, kamarku yang nomor tujuh kan?" tanyaku cepat. Dia mengangguk, lantas merampas koper di tanganku. Aku belum sempat mencegahnya karena dia sudah berlari lebih dulu di depanku. Kaki pendeknya menghentak hingga akhirnya sampai di depan pintu kamar kosku.
"Yang ini, mas Radip."
Aku tergelak.
"Panggil Dipta saja," ucapku akhirnya. Dia mengerutkan keningnya, lalu mengangguk senang. Aku geli ketika dia memanggilku dengan nama R di depan. Dia agak cadel dan juga kesusahan saat mengeja namaku.
"Ah, belum kenalan!" Dia mengusap tangannya yang berkeringat di bajunya, lalu mengulurkannya padaku. Aku terkikik geli, lalu menyambut uluran tangannya. Kami berjabatan sekilas. Dia nyengir, menampakkan mata sipit dan juga gigi lucunya. Ada lesung pipi mungil ketika dia bicara ataupun tersenyum. Di sana, di bawah sudut bibirnya.
"Nama saya Rion, mas..."
"Lion?" tanyaku sambil mengerutkan kening.
Dia menggeleng kencang. Aku tahu kalau dia sedang mencoba mengucapkan sebuah fonem dengan susah payah. Dia mencoba menata lidahnya, meletakkan lidahnya di langit-langit mulut. Orang bahasa mengatakan itu dengan sebutan dental voice, karena bersinggungan dengan gigi-gigi. Aku terkikik geli, lalu menepuk kepalanya.
"Iya, iya.. aku tahu. Nama kamu Rion, kan?"
Dia mengangguk semangat.
"Panggil Ion saja, mas!"
"Jadi, kelas berapa sekarang?"
"Kelas tiga, mas Dipta!" Cowok itu mengangguk dengan wajah senang. "SMP," lanjutnya lagi. Aku tersenyum, lalu menepuk bahunya sekilas. Rion membantuku menarik koperku masuk ke dalam kamar baru.
"Kamu anak bu Ima?" Aku masih mencoba mengajaknya mengobrol. Cowok manis ini tersenyum, lalu mengangguk. Bu Ima adalah ibu kosku, pemilik kos cowok yang kutempati ini.
"Iya, mas Dipta! Kalau ada kesulitan hubungi Ion, ya!" Dia beranjak pergi dari kamarku. Ada sedikit rasa tidak rela ketika kaki mungilnya menjauh. Aku masih ingin mengobrol banyak hal dengannya. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat tertarik dengan seorang cowok. Atau mungkin karena dia terlalu manis hingga aku menganggapnya sebagai adikku?
Kakiku kehilangan kewarasannya, lantas mengikuti cowok manis itu keluar dan sedikit berjingkat. Dia masuk ke salah satu kamar yang berada di ujung. Kamar itu terlihat paling menarik perhatian. Pintunya dilukis dengan nama "RION'S ROOM" di atasnya. Aku tersenyum geli. Terkikik lucu. Anak itu begitu menawan dengan caranya.
Hari-hariku di kosan ini dimulai. Setiap pagi aku akan melihat Rion dengan seragam SMPnya, bersiap pergi ke sekolah. Ibunya selalu mengomel ketika anak itu berlarian dari dapur ke kamar mandi, berteriak soal buku pelajaran dan PR, lalu setelahnya dia akan mencium tangan sang ibu dan berlari ke garasi rumahnya. Anak itu mengayuh sepeda gunungnya ketika pergi ke sekolah. Pemandangan itu awalnya membuatku terkikik geli, namun perlahan aku menyadari kalau aku sudah mulai mencandu untuk mengawasinya.
Aku akan bangun ketika subuh, mengambil air wudhu, lalu sholat. Setelahnya aku tidak langsung mandi. Jadwal kuliahku tidak sepagi itu, jadi aku masih ada waktu untuk melihatnya. Rion selalu muncul dari balik pintu kamar warna-warninya, membawa handuk, dengan mata separuh terpejam, lalu disusul debuman. Biasanya dia akan jatuh karena terpeleset, atau karena menabrak pintu kamar mandi.
"Bisa lihat jalan?" Aku iseng menghampirinya ketika dia hendak masuk ke dalam kamar mandi. Kepalanya hampir saja menabrak pintu kamar mandi kalau aku tidak menahan lengannya.
Dia mengerjap. Mata sipitnya masih terpejam, lalu bibir tipisnya melantunkan kata yang tidak aku mengerti. Seperti keluhan, atau mungkin pemberitahuan.
"Aku baik-baik saja, mas." Akhirnya aku sadar kalau itu yang dia katakan. Rion mengangguk, menepuk bahuku sekilas, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Setelahnya, aku mendengar jeritan. "Dingiiinnn!!"
Aku terkikik geli karena tingkah polos namun menawan itu. Rion sudah bersiap berangkat sekolah, bergaya di atas sepeda gunungnya. Kedua tangannya sedang mengatur rambut yang sudah dia beri wax. Mulutnya menggigit sebuah roti tawar. Aku tersenyum geli, sangat menikmati pagiku setiap hari. Aku selalu terpaku ketika melihatnya, lantas seperti sedang mengakar pada tempatku berada.
Aku merasa kalau sudah jatuh sayang padanya....
Rasa kasat mata yang mungkin akan sulit kukatakan pada orang lain, meski pada akhirnya aku tahu kalau rasa ini muncul secara naluri. Aku tidak tahu kenapa aku sangat menyayangi anak itu. Kehadirannya selalu saja kutunggu. Sehabis maghrib, dia selalu berkunjung ke kamarku. Dia tahu aku kuliah di jurusan Matematika, jurusan yang selalu berhubungan dengan logika itu.
Cowok manis cadel itu selalu saja berhasil membuatku berjengit, tersenyum, lalu membuka pintu kamarku dengan raut senang.
"Aku lemah di Matematika, mas Dipta." Itu yang dulu dia ucapkan, ketika aku memergokinya sedang menghafalkan rumus-rumus Aljabar. Aku terkikik geli saat itu, sebab yang kutahu rumus Aljabar tidak perlu dihafalkan hingga mengerutkan kening seperti itu.
"Kamu hafalan rumus Aljabar?" Aku tergelak kencang.
"Iya, juga hafalan rumus-rumus fisika."
Saat itu aku menyadari kalau Rion adalah anak yang susah menghafal. Bahkan ketika dengan harap, aku menawarkan diri untuk mengajarinya. Anak itu mengerjap, tersenyum lagi dengan wajah melongo. Bibir itu tertarik ke samping, lengkap dengan lubang mungil di sudutnya dan gigi imut menggemaskan itu.
Entah sejak kapan aku merasa kalau aku sudah mulai mencandu senyum itu.
Rion akan datang ke kamarku, dengan setumpuk buku di pelukannya. Dia tidak hanya menjadikan kamarku sebagai basecamp-nya mengerjakan PR, namun juga menjadikan kasurku sebagai markas barunya.
"Kali ini mana yang belum bisa?" Aku mencoba bertanya. Rion menunjuk beberapa halaman yang sudah dia lipat. Aku menarik buku itu dari tangannya, lalu meneliti lagi apa yang tidak bisa Rion kerjakan.
"Kenapa kamu nggak bisa di materi ini, Ion?"
"Karena takdir, mas Dipta." Anak itu manggut-manggut sok paham. Aku tersenyum geli, lalu menepuk kepalanya dengan buku.
"Coba kerjakan dulu. Kemarin kan sudah mas ajari materi ini."
Rion mengangguk, tersenyum dengan percaya diri. Aku terdiam, lalu melanjutkan tugasku. Kubiarkan anak itu sibuk dengan bukunya sendiri. Setengah jam kamarku sunyi. Tidak ada yang berbicara. Aku tidak tahan untuk menoleh. Aku ingin melihat bagaimana perkembangan bocah cadel yang sudah mencuri hatiku itu. Ketika kepalaku menoleh, kudapati si cadel sedang tertunduk dengan raut serius. Mulutnya manyun-manyun, sementara matanya mengerjap menahan kantuk.
"Sudah?" tanyaku cepat. Rion terkejut, lantas mendongak ke arahku. Dia nyengir setelah itu, lalu menggeleng lemah. "Mana yang belum bisa?"
Lalu anak itu bergerak ke arahku, mendekat dengan raut senang bukan kepalang. Dia menarik bukunya, mendekat ke arahku. Bahunya menempel di lenganku. Saat itu tubuhku seperti sedang terjangkiti aliran listrik. Aku tidak konsentrasi dan fokus dengan apa yang Rion ucapkan. Yang kutahu, cowok cadel manis menawan ini sedang mengeluh karena dia tidak paham dengan apa yang ditulis di buku.
"Mas Dipta?" Matanya menatapku. Aku terpekik, menelan ludah dengan susah payah. Rion kembali tersenyum, tidak. Anak itu malah nyengir dengan wajah polos tak berdosa.
"Maaf, mas melamun tadi." Aku menjawab pelan. Dia menggeleng, menepuk punggung tanganku seolah dia mengatakan tidak apa-apa. Hanya saja, aku sudah mulai kehilangan separuh kewarasanku. Pertanyaan aneh muncul dari bibirku. Pertanyaan yang membuatku mungkin akan terdengar konyol di depan bocah menawan ini.
"Kamu sudah punya pacar?"
Aku sadar betapa bodohnya aku saat ini. Rion mengerutkan keningnya, lalu menggaruk tengkuknya malu. Jawabannya mulai ambigu. Bisa iya, bisa tidak. Mungkin dia malu karena dia punya, atau dia malu karena belum punya.
"Siapa yang mau dengan cowok cadel dan mungil ini, mas?"
Aku mendengar ada nada pesimis ketika dia bicara. Aku terhenyak. Kutepuk kepalanya, mengusap rambutnya seolah ingin menghiburnya. Jauh di lubuk hatiku, aku bersyukur tanpa sebab.
"Bagus, sekolah dulu ya yang benar." Aku mencoba menanggapi ala orang dewasa. Rion mengangguk, lalu tangannya memilin-milin ujung bajunya. Aku tahu, itu tingkah spontan. Namun tetap saja tingkah itu malah terlihat menggemaskan di mataku. Ilusi tiba-tiba terbayar jelas dalam ingatanku. Imajinasiku bergerak liar, membayangkan aku mengecup bocah menawan ini. Melumat bibirnya, mengunci pergerakannya.
Aku benar-benar sedang berfantasi kotor sekarang. Kuusap wajahku lagi. Aku mencoba sebisanya untuk menghalau pikiran-pikiran menjijikkan nista dalam otakku.
"Tapi, ada orang yang aku suka mas Dipta." Rion berbisik pelan. Aku terhenyak. Kutatap matanya dengan wajah ingin tahu. Rion sedang menunduk, wajahnya bersemu merah. Aku gemas sekali dengan pemandangan ini. Gemas karena dia sangat menggemaskan, dan juga gemas karena aku iri. Iri pada seseorang yang sedang dia sukai.
"Cantik, tidak?" tanyaku basa-basi. Hatiku menjadi nyeri ketika bibirku mengatakannya. Rion menggeleng kencang.
"Dia tidak cantik, mas."
Aku tahu kalau dia tipe cowok yang tidak akan memandang rupa ketika jatuh cinta. Rion masih terlalu naif dan juga apa adanya. Rasa cintanya mengalir begitu saja seperti angin. Mengalun, berbisik, menerpa.
"Lalu?"
"Dia...." Matanya menatapku dengan raut serius. Aku balas menatapnya, menunggu. Namun setelah itu dia memalingkan wajahnya. "Rahasia, ah!"
Hari itu aku tidak bisa tidur karena sibuk menerka dan bertanya-tanya. Hal yang bahkan harusnya bukan jadi urusanku. Aku tidak terlalu suka menebak dan ikut campur urusan orang lain, namun kali ini aku merasa seperti sedang diadili. Diadili untuk tahu. Juga, sedikit terusik.
***
Aku sampai di kamar kosku. Rion juga baru datang dari sekolah. Langkah kakinya yang sedikit menggebu itu menjadi isyarat tersendiri untukku. Aku membuka pintu kamarku spontan. Rion tersenyum, menyapaku sekilas, lalu masuk dalam kamarnya. Aku merasa kalau anak itu tidak seperti biasanya. Pasti dia ada masalah.
Ragu, namun aku yakin untuk melakukan ini.
Kuketuk pintu kamarnya, berharap Rion membuka pintu kamar itu dengan raut senang dan menggebu. Namun sekian lama aku mengetuk, tidak ada sahutan sama sekali.
"Ion, kamu di dalam?"
Ion berteriak kencang, seperti sedang mengatakan sesuatu. Aku mencoba membuka pintu itu, dan ternyata memang tidak dia kunci. Rion sedang bergulung di balik selimutnya, menekan perutnya kesakitan.
"Kamu sakit?" Aku berteriak kencang. Rion menggeleng, menahan lenganku. Aku panik dan bersiap memberitahu ibunya. Namun lagi-lagi Rion menarikku, lalu memelukku. Tubuhnya terasa lemah dalam pelukanku.
"Kamu kenapa, Ion?" Dalam situasi begini aku masih mencoba bertanya. Rion menggeleng kencang.
"Mas Diptaaaa...." bisiknya lembut, nyaris berbisik tak terdengar. Aku mencoba menatap wajahnya, namun Rion masih saja memelukku erat.
"Ayo ke rumah sakit!"
"Mas...."
"Iya, Ion?"
"Aku lapar."
Hari itu, aku mulai menyadari satu hal lagi. Aku sudah jatuh terlalu dalam padanya. Rion menggeliat dengan bibir mendesis kesakitan. Perutnya terdengar keroncongan setelah itu. Aku tergelak geli, lalu mulai menepuk punggungnya untuk melepaskan pelukan. Rion menggeleng.
"Traktir aku, mas. Traktir aku!"
Aku tahu, anak ini benar-benar unik dan juga menarik. Rion memelukku makin erat saat aku bersiap melarikan diri. Kata traktiran sangat sakral ketika diucapkan oleh seorang anak kos. Mereka tidak punya cukup modal untuk itu.
"Ibu sedang ke rumah nenek, mas. Nasinya habis."
Kali ini aku mulai menyadari kalau rasa sayangku sudah sampai di ubun-ubun. Persetan dengan krisis moneter yang sedang menjangkiti kantongku. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mengajaknya makan. Sekarang.
"Mau makan apa?"
"Cilok bakar."
Aku makin tergelak. Rion tersenyum, melepaskan pelukannya dan tersenyum ke arahku. Aku ingin... mengecup bibir itu.
Aku menggeleng kencang dan segera menariknya pergi. Hari ini aku sudah kehilangan kewarasanku. Tidak kutemukan rumus apapun untuk suasana hati seperti ini. Aku diajarkan untuk bersikap logis ketika kuliah, lalu mengerjakan angka-angka pasti yang muncul di makalahku. Namun aku tidak bisa menyelami rasa yang muncul dan terasa aneh ini.
Kami sampai di salah satu pedagang cilok bakar. Rion sudah menyuapkan cilok bakar itu dalam mulutnya dengan raut penuh binar. Aku tersenyum menatapnya, bangga membuncah begitu saja. Ketika kusadari, cintaku mulai berseberangan dengan logika yang sedang kurajut sendiri.
***
"Aku sayang mas Dipta."
Aku membuka mataku spontan. Mataku mengerjap, menoleh cepat ke samping kananku. Seorang cowok memelukku layaknya guling. Matanya terpejam, bibirnya mengerucut imut, sedangkan hidungnya kembang kempis seperti sedang menahan tangis. Namun, bukan itu yang membuatku harus membuka mata. Ucapannya tadi.
Aku tersenyum, mengusap pipinya perlahan. Lalu entah dorongan dari mana aku bergerak. Mencondongkan wajahku tepat di depan wajahnya. Kukecup lembut bibir tipis itu, berharap dia tidak akan terbangun karena ulah isengku. Rion masih terpejam.
"Aku sayang kamu sejak dulu, Ion!"
Mataku kembali terpejam dalam senyuman. Hingga kusadari kali ini wajah itu yang mendekat ke arahku. Lalu balas mengecup bibirku lembut.
Entah dia sedang mengingau atau karena halusinasi, namun satu hal yang kutahu. Aku belum tidur dan hanya memejamkan mata. Aku suka ciumannya. Atau mungkin... karena orang yang sedang menciumku itu adalah orang yang sangat kucintai. Selamat malam!
END
Tiba-tiba kepikiran buat bikin POV 1 ala Seme. Iseng aja.... sengaja dibuat cepet dan gantung karena angin... :v angin kan cepet
Comments