BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Permen Gulali Joya

1356714

Comments

  • engga apa-apa ko @Obipopobo ... :)
  • Ahhh ahhhhhhhhh .. ummm aku pingin main in celana abang ..
    Aku gak mao main sama joya.. anak kampungggggg .. kata seorang anak tengil
  • Hai hai abang!

    Hahah, ini bang Obi next lagi ‘Permen Gulali Joya’-nya. Obi ingin abang merasakan manisnya gulali Joya sekali lagi. Miniseri yang sengaja Obi buat khusus untuk forum BF tercinta ini.

    Yap, seperti biasa sebelum memulai mengikuti chapter miniseri ‘Permen Gulali Joya’, Obi ingin mengenakan tarif buat abang-abang semua (hahah..). Berapa tarifnya? Murah kok, liat rincian di bawah:

    1. Baca cerita Obi, bayar dengan 1 ‘Like’ atau 1 ‘LOL
    2. Atau dalam beberapa kasus tertentu, abang bisa membayarnya dengan 1 ‘Kesal
    3. Kasih Obi 1 komentar (wajib).

    Yap! Wajib berkomentar, Obi ingin mendengar suara dan tanggapan abang sama temen-temen semua (❀*´ `*). Itu aja deh, selamat mengikuti (❀*´ `*).



    Chapter 2. Janji Mulia


    ...Jaga adikmu, rawat dia, kelak bahagiakanlah semampumu...


    ‘Uhu’ burung hantu terdengar jelas. Mungkin ada satu-dua ekor hinggap di genteng salah satu rumah. Salah satu rumah di pemukiman bantaran sungai itu. Kumuh. Kadang bau. Suara hewan malam itu menemani dua insan anak manusia satu lagi melewati malam. Tanpa ayah, tanpa ibu. Mereka saling berpelukan. Saling berbagi kehangatan. Saling berbagi kenyamanan. Apapun itu. Asal bisa terbebas dari dinginnya angin malam yang berhasil menembus masuk ke dalam rumah kecil mereka.

    Lihatlah si bungsu malam itu. Ia gelisah. Sulit tidur. Sebungkus nasi kucing yang porsinya setara dengan empat-lima sendok makan, gagal mengganjal perutnya yang makin keroncongan. Seharian hanya sekali makan. Kasihan dia. Dia bangkit, melepas pelukan hangat abangnya. Mengamati ruang tengah. Ruang dimana terdapat sebuah meja kecil bertengger disana. Si bungsu berjalan menuju kearahnya. Membuka penutupnya. Berharap ada sesuatu untuk mengganjal perutnya malam itu. Namun hanya ada mangkuk dan periuk tanpa isi. Kosong. Hampa. Ya! Memang kosong. Malam itu tidak ada sisa makanan lebih. Permen gulali hanya laku lima tusuk saja. Sayang sekali. Si bungsu kembali berbaring. Mengusap-usap perutnya yang makin mendengkur. Lapar. Si bungsu lapar.

    Joya terbangun.


    “Kau lapar?” tanyanya.


    Si bungsu menoleh. Pertanyaan itu mendapatkan sebuah anggukan pelan sebagai jawabannya. Mata sayu si bungsu menatap wajah abangnya.

    Sial. Bagaimana ini. Tidak ada uang lebih untuk membeli makanan. Uang hasil laba tadi sudah dipergunakan untuk membeli makanan sedapatnya. Apa yang harus Joya lakukan?

    Ahh, tunggu. Joya mengambil sebuah kotak harta karun yang ia letakkan di atas lemari. Sengaja ia letakkan disana. Agar tikussang pencuri licik, tidak dapat mengusik kotak harta karunnya. Ia mengambil satu tusuk permen gulali berbentuk bunga. Lucu sekali bentuknya.


    “Ini..., makanlah pelan-pelan,” ia mengulurkan permen gulali tersebut untuk adiknya.


    Si bungsu tau itu adalah barang dagangan abangnya. Hasil dari penjualan permen gulali itulah yang menghidupi mereka empat bulan terakhir. Memakannya satu sama saja mengurangi hasil penjualan. Tapi apa mau dikata. Perut sukar diajak kompromi. Bahkan untuk menahannya sampai matahari nampak dari ufuk timur pun, si bungsu tidak akan sanggup. Si bungsu dengan terpaksa menerima permen gulali tersebut untuk memanjakan perutnya.

    Joya membelai lembut rambut si bungsu. Ia menyesali seandainya ia berusaha lebih keras lagi menjajakan permen gulali itu, tentunya si bungsu tidak akan merasa kelaparan seperti ini. Ia masih kecil dan lugu. Kasihan jika sampai kelaparan seperti ini.

    Ahh, bagaimana dengan Joya sendiri? Tentu saja ia juga merasa lapar malam itu. Sehari hanya sebungkus nasi kucing yang ia makan. Jatah yang hanya dia peroleh. Tapi ia sudah besar. Ia bisa lebih tahan. Dan harus begitu. Dalam kehidupannya yang tanpa ayah-ibu ini, semua beban hidup terpikul di kedua bahunya. Jika bukan dia yang menjadi tulang punggung keluarga, siapa lagi yang akan menafkahi adiknya? Dan selayaknya tulang punggung, ia harus kuat. Harus kokoh. Tidak boleh rapuh sedikitpun. Layaknya tiang kering yang mudah terhempas badai besar. Karena jika ia rapuhkarena lapar, tidak akan ada lagi yang bisa menopang hidup adik kesayangannya itu dan menguatkan hatinya.

    Dalam gelap malam itu, Joya teringat ketika mendiang ibunya masih hidup. Ketika mereka berdua laparJoya dan si bungsu, ibunya selalu membuat bubur gurih untuk mereka. Ia masih ingat bagaimana harumnya bubur gurih tersebut ketika santan kental mulai dipadukan dalam didihan panas bubur. Ia masih ingat bagaimana rasa gurihnya bisa begitu sedap. Kepulan-kepulan asap yang memenuhi dapur itu. Aroma harum itu. Bahkan mereka sudah bisa kenyang hanya dengan melihat dan menciumnya saja. Tangan ibunya yang gemulai menabur garam diatas bubur gurih tersebut, masih tergambar jelas di ingatan Joya. Seakan-akan ia bisa melihat dengan jelas gambaran kasih sayang ibunya di depan tungku api kala itu.

    Setelah selesai menyuapkan bubur untuk mereka, si ibu selalu memberikan mereka sepotong cerita penghantar tidur. Tentang dongeng-dongeng kerajaan. Tentang cerita fabel. Tentang dunia hijau yang mereka tinggali. Asik sekali. Tak urung si bungsu kerap kali langsung tertidur karena kenyang mendengar cerita tersebut. Di penghujung ceritanya, si ibu selalu memberikan ‘wejangan’ untuk Joya” Jaga adikmu, rawat dia, kelak bahagiakanlah semampumu...”.

    Ahh, andai ibu mereka tidak tewas dalam kecelakaan naas itu. Mungkin bubur hangat sudah siap santap di meja kecil itu. Mengisi mangkuk kosong yang terdiam menatap adiknya yang kelaparan. Mungkin pula cerita-cerita penghantar itu masih nyaring terdengar menyenangkan di telinga mereka.

    ‘Uhu’ burung hantu masih jelas terdengar. Bersahut-sahutan dengan serangga malam. Menciptakan sebuah irama yang menenangkan. Menyenangkan sekali. Cahaya rembulan redup memasuki celah-celah atap rumah. Menerangi dua anak manusia ini. Yang satu membelai, yang satu menjilat pengganjal perut yang tak lazim itu. Sungguh malam itu sangatlah tenang.

    Tibalah waktu dimana si bungsu menjilati sisa permen gulali pada tusuk bambu yang ia pegang. Bersih. Habis tak tersisa. Detik kedepannya, tidak ada lagi yang bisa ia jilat. Jatah malam itu cuma satu tusuk. Tidak boleh lebih. Masih lapar? Ohh, tentu saja. Tapi ia tau diri. Gelisah karena lapar hanya akan menambah beban bagi abangnya. Ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Kelaparan bukanlah hal langka yang ia alami. Jika boleh mengucap, tiada hari baginya tanpa merasa lapar. Ya Tuhan. Wahai Bapa di surga, jika Engkau berkenan, isilah mangkuk kosong di meja itu demi mereka. Isilah periuk-periuk itu sebagai pelepas dahaga. Kenyangkanlah mereka wahai Bapa yang ada di surga. Kenyangkanlah mereka. Berikan mereka sebuah keajaiban hidup sebagai tanda kuasaMu.

    Joya masih membelai lembut rambut adiknya. Si bungsu belum kembali terlelap. Dalam remang, masih terlihat samar pancaran sinar bulan terpantul dari kedua matanya yang sayu.


    “Tahanlah..., esok akan lebih baik,” ucap Joya sembari membelai rambut si bungsu.


    Si bungsu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.

    ‘Uhu’ burung hantu berhenti. Tergantikan derik jangkrik-jangkrik rumahan. Saling bersahutan. Samar-samar terdengar suara radio dari rumah sebelah. Siaran pagelaran wayang kulit. Mungkin tukang becak sebelah yang sedang mendengarkannya. Hampir setiap malam mereka bisa mendengarkan siaran radio tersebut dari dalam rumah. Suaranya samar melantun menemani malam.

    Joya berhenti mengelus rambut Joya. Melempar pandangan sekitar. Mengamati sebuah rak buku. Banyak buku-buku disana. Kebanyakan adalah buku-buku pelajaran. Timbulah gagasan untuk meloakkan buku-buku tersebut. Hasilnya memang tidak akan seberapa. Namun asalkan bisa mengenyangkan perut adiknya, itu sudah lebih dari cukup.


    “Besok akan kujual semua buku bekas itu, kita sudah tidak membutuhkannya lagi,” Joya menoleh kearah adiknya.


    Sekali lagi si bungsu hanya bisa mengangguk. Si bungsu adalah anak penurut. Tidak pernah sekali pun ia membantah abangnyasatu-satunya keluarga yang ia punya.


    “Hei, kau tahu? Suatu saat, aku akan mempunyai uang banyak. Aku akan membeli rumah mewah seperti yang ada di pinggir jalan sana. Rumah mewah yang bertingkat-tingkat. Dan kita akan tinggal di dalamnya. Aku akan membeli banyak pakaian bagus untukmu. Aku akan mempekerjakan koki-koki profesional agar memasakkan hidangan hangat dan lezat untukmu. Kau tidak akan kelaparan setiap hari seperti ini. Apapun yang kau inginkan, aku akan membelikannya. Aku akan bekerja keras untuk itu. Sampai waktunya tiba, bisakah kau menunggunya? Tahanlah rasa laparmu. Aku berjanji akan mewujudkannya!” suara Joya terdengar mantab. Tidak ada sebuah keraguan sedikit pun dalam ucapannya barusan. Terdengar naif memang. Apa yang bisa ia lakukan untuk mewujudkannya? Ia hanya penjual permen gulali biasa yang baru berusia tidak lebih dari dua belas tahun. Pun putus sekolah. Bukankah harus berjenjang pendidikan tinggi untuk bisa mapan seperti pejabat-pejabat televisi itu? Mereka bisa membeli semuanya. Bahkan hukum sekalipun! Ya! Marak sekali kabarnya di berita-berita pagi.

    Tapi, walau begitu, tidak salahkan memiliki angan-angan yang tinggi? Semua orang boleh berangan-angan. Tidak terkecuali Joya. Tidak ada yang melarang kan?


    “Kau dengar kan? Aku sudah berjanji,” Joya memecah keheningan.


    Sekali lagi si bungsu mengangguk. Ia paham betul apa yang sedang diandai-andai oleh abangnya. Walau ia tahu bahwa itu hanyalah angan-angan semu. Tapi ia berharap agar suatu saat, abang terkasihnya mampu mewujudkan janjinya.


    “Bagus, tidurlah! Tahan laparmu! Aku akan menemanimu menghabiskan sisa malam ini,”


    ‘Uhu’ burung hantu kembali terdengar. Menggantikan suara jangkrik yang hilang entah kemana. Mungkin suara radio tukang becak sebelah menakuti mereka si hewan malam. Cahaya rembulan masih setia menyinari ruang kecil itu. Masuk melalui celah kecil-kecil. Cahaya tersebut menyelimuti mereka bak sayap malaikat yang terbentang lebar.

    Biarlah mereka memimpikan semangkuk bubur gurih nan hangat buatan ibu mereka malam ini. Biarlah mereka bermimpi mempunyai rumah mewah. Memiliki pakaian bagus. Memiliki semuanya. Dan mulai malam itu juga, sebuah takdir besar telah dituliskan Sang Penguasa bumi untuk mereka. Sebuah takdir besar untuk Joya.

    Mereka berdua kembali saling berpelukan. Kembali berbagi kehangatan. Kembali berbagi kenyamanan. Biarkan mereka menghabiskan sisa malam ini sejenak. Esok, ketika fajar menampakkan wajahnya di cakrawala timur, maka itu adalah hari baru buat mereka. Hari baru buat Joya untuk merajut asa. Mewujudkan angan-angannya. Menjalani tulisan takdir dalam buku besar Tuhan. [Bersambung]



    p.s “Jangan lupa tarif sama komentarnya yah bang (❀ *´ `*)”
  • Haih, bolded ( ̄■ ̄;)!?, Obi re-upload deh bang ( ̄■ ̄;)!?
  • Hai hai abang!

    Hahah, ini bang Obi next lagi ‘Permen Gulali Joya’-nya. Obi ingin abang merasakan manisnya gulali Joya sekali lagi. Miniseri yang sengaja Obi buat khusus untuk forum BF tercinta ini.

    Yap, seperti biasa sebelum memulai mengikuti chapter miniseri ‘Permen Gulali Joya’, Obi ingin mengenakan tarif buat abang-abang semua (hahah..). Berapa tarifnya? Murah kok, liat rincian di bawah:

    1. Baca cerita Obi, bayar dengan 1 ‘Like’ atau 1 ‘LOL
    2. Atau dalam beberapa kasus tertentu, abang bisa membayarnya dengan 1 ‘Kesal
    3. Kasih Obi 1 komentar (wajib).

    Yap! Wajib berkomentar, Obi ingin mendengar suara dan tanggapan abang sama temen-temen semua (❀*´ `*). Itu aja deh, selamat mengikuti (❀*´ `*).



    Chapter 2. Janji Mulia


    ...Jaga adikmu, rawat dia, kelak bahagiakanlah semampumu...


    ‘Uhu’ burung hantu terdengar jelas. Mungkin ada satu-dua ekor hinggap di genteng salah satu rumah. Salah satu rumah di pemukiman bantaran sungai itu. Kumuh. Kadang bau. Suara hewan malam itu menemani dua insan anak manusia satu lagi melewati malam. Tanpa ayah, tanpa ibu. Mereka saling berpelukan. Saling berbagi kehangatan. Saling berbagi kenyamanan. Apapun itu. Asal bisa terbebas dari dinginnya angin malam yang berhasil menembus masuk ke dalam rumah kecil mereka.

    Lihatlah si bungsu malam itu. Ia gelisah. Sulit tidur. Sebungkus nasi kucing yang porsinya setara dengan empat-lima sendok makan, gagal mengganjal perutnya yang makin keroncongan. Seharian hanya sekali makan. Kasihan dia. Dia bangkit, melepas pelukan hangat abangnya. Mengamati ruang tengah. Ruang dimana terdapat sebuah meja kecil bertengger disana. Si bungsu berjalan menuju kearahnya. Membuka penutupnya. Berharap ada sesuatu untuk mengganjal perutnya malam itu. Namun hanya ada mangkuk dan periuk tanpa isi. Kosong. Hampa. Ya! Memang kosong. Malam itu tidak ada sisa makanan lebih. Permen gulali hanya laku lima tusuk saja. Sayang sekali. Si bungsu kembali berbaring. Mengusap-usap perutnya yang makin mendengkur. Lapar. Si bungsu lapar.

    Joya terbangun.


    “Kau lapar?” tanyanya.


    Si bungsu menoleh. Pertanyaan itu mendapatkan sebuah anggukan pelan sebagai jawabannya. Mata sayu si bungsu menatap wajah abangnya.

    Sial. Bagaimana ini. Tidak ada uang lebih untuk membeli makanan. Uang hasil laba tadi sudah dipergunakan untuk membeli makanan sedapatnya. Apa yang harus Joya lakukan?

    Ahh, tunggu. Joya mengambil sebuah kotak harta karun yang ia letakkan di atas lemari. Sengaja ia letakkan disana. Agar tikussang pencuri licik, tidak dapat mengusik kotak harta karunnya. Ia mengambil satu tusuk permen gulali berbentuk bunga. Lucu sekali bentuknya.


    “Ini..., makanlah pelan-pelan,” ia mengulurkan permen gulali tersebut untuk adiknya.


    Si bungsu tau itu adalah barang dagangan abangnya. Hasil dari penjualan permen gulali itulah yang menghidupi mereka empat bulan terakhir. Memakannya satu sama saja mengurangi hasil penjualan. Tapi apa mau dikata. Perut sukar diajak kompromi. Bahkan untuk menahannya sampai matahari nampak dari ufuk timur pun, si bungsu tidak akan sanggup. Si bungsu dengan terpaksa menerima permen gulali tersebut untuk memanjakan perutnya.

    Joya membelai lembut rambut si bungsu. Ia menyesali seandainya ia berusaha lebih keras lagi menjajakan permen gulali itu, tentunya si bungsu tidak akan merasa kelaparan seperti ini. Ia masih kecil dan lugu. Kasihan jika sampai kelaparan seperti ini.

    Ahh, bagaimana dengan Joya sendiri? Tentu saja ia juga merasa lapar malam itu. Sehari hanya sebungkus nasi kucing yang ia makan. Jatah yang hanya dia peroleh. Tapi ia sudah besar. Ia bisa lebih tahan. Dan harus begitu. Dalam kehidupannya yang tanpa ayah-ibu ini, semua beban hidup terpikul di kedua bahunya. Jika bukan dia yang menjadi tulang punggung keluarga, siapa lagi yang akan menafkahi adiknya? Dan selayaknya tulang punggung, ia harus kuat. Harus kokoh. Tidak boleh rapuh sedikitpun. Layaknya tiang kering yang mudah terhempas badai besar. Karena jika ia rapuhkarena lapar, tidak akan ada lagi yang bisa menopang hidup adik kesayangannya itu dan menguatkan hatinya.

    Dalam gelap malam itu, Joya teringat ketika mendiang ibunya masih hidup. Ketika mereka berdua laparJoya dan si bungsu, ibunya selalu membuat bubur gurih untuk mereka. Ia masih ingat bagaimana harumnya bubur gurih tersebut ketika santan kental mulai dipadukan dalam didihan panas bubur. Ia masih ingat bagaimana rasa gurihnya bisa begitu sedap. Kepulan-kepulan asap yang memenuhi dapur itu. Aroma harum itu. Bahkan mereka sudah bisa kenyang hanya dengan melihat dan menciumnya saja. Tangan ibunya yang gemulai menabur garam diatas bubur gurih tersebut, masih tergambar jelas di ingatan Joya. Seakan-akan ia bisa melihat dengan jelas gambaran kasih sayang ibunya di depan tungku api kala itu.

    Setelah selesai menyuapkan bubur untuk mereka, si ibu selalu memberikan mereka sepotong cerita penghantar tidur. Tentang dongeng-dongeng kerajaan. Tentang cerita fabel. Tentang dunia hijau yang mereka tinggali. Asik sekali. Tak urung si bungsu kerap kali langsung tertidur karena kenyang mendengar cerita tersebut. Di penghujung ceritanya, si ibu selalu memberikan ‘wejangan’ untuk Joya” Jaga adikmu, rawat dia, kelak bahagiakanlah semampumu...”.

    Ahh, andai ibu mereka tidak tewas dalam kecelakaan naas itu. Mungkin bubur hangat sudah siap santap di meja kecil itu. Mengisi mangkuk kosong yang terdiam menatap adiknya yang kelaparan. Mungkin pula cerita-cerita penghantar itu masih nyaring terdengar menyenangkan di telinga mereka.

    ‘Uhu’ burung hantu masih jelas terdengar. Bersahut-sahutan dengan serangga malam. Menciptakan sebuah irama yang menenangkan. Menyenangkan sekali. Cahaya rembulan redup memasuki celah-celah atap rumah. Menerangi dua anak manusia ini. Yang satu membelai, yang satu menjilat pengganjal perut yang tak lazim itu. Sungguh malam itu sangatlah tenang.

    Tibalah waktu dimana si bungsu menjilati sisa permen gulali pada tusuk bambu yang ia pegang. Bersih. Habis tak tersisa. Detik kedepannya, tidak ada lagi yang bisa ia jilat. Jatah malam itu cuma satu tusuk. Tidak boleh lebih. Masih lapar? Ohh, tentu saja. Tapi ia tau diri. Gelisah karena lapar hanya akan menambah beban bagi abangnya. Ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Kelaparan bukanlah hal langka yang ia alami. Jika boleh mengucap, tiada hari baginya tanpa merasa lapar. Ya Tuhan. Wahai Bapa di surga, jika Engkau berkenan, isilah mangkuk kosong di meja itu demi mereka. Isilah periuk-periuk itu sebagai pelepas dahaga. Kenyangkanlah mereka wahai Bapa yang ada di surga. Kenyangkanlah mereka. Berikan mereka sebuah keajaiban hidup sebagai tanda kuasaMu.

    Joya masih membelai lembut rambut adiknya. Si bungsu belum kembali terlelap. Dalam remang, masih terlihat samar pancaran sinar bulan terpantul dari kedua matanya yang sayu.


    “Tahanlah..., esok akan lebih baik,” ucap Joya sembari membelai rambut si bungsu.


    Si bungsu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.

    ‘Uhu’ burung hantu berhenti. Tergantikan derik jangkrik-jangkrik rumahan. Saling bersahutan. Samar-samar terdengar suara radio dari rumah sebelah. Siaran pagelaran wayang kulit. Mungkin tukang becak sebelah yang sedang mendengarkannya. Hampir setiap malam mereka bisa mendengarkan siaran radio tersebut dari dalam rumah. Suaranya samar melantun menemani malam.

    Joya berhenti mengelus rambut Joya. Melempar pandangan sekitar. Mengamati sebuah rak buku. Banyak buku-buku disana. Kebanyakan adalah buku-buku pelajaran. Timbulah gagasan untuk meloakkan buku-buku tersebut. Hasilnya memang tidak akan seberapa. Namun asalkan bisa mengenyangkan perut adiknya, itu sudah lebih dari cukup.


    “Besok akan kujual semua buku bekas itu, kita sudah tidak membutuhkannya lagi,” Joya menoleh kearah adiknya.


    Sekali lagi si bungsu hanya bisa mengangguk. Si bungsu adalah anak penurut. Tidak pernah sekali pun ia membantah abangnyasatu-satunya keluarga yang ia punya.


    “Hei, kau tahu? Suatu saat, aku akan mempunyai uang banyak. Aku akan membeli rumah mewah seperti yang ada di pinggir jalan sana. Rumah mewah yang bertingkat-tingkat. Dan kita akan tinggal di dalamnya. Aku akan membeli banyak pakaian bagus untukmu. Aku akan mempekerjakan koki-koki profesional agar memasakkan hidangan hangat dan lezat untukmu. Kau tidak akan kelaparan setiap hari seperti ini. Apapun yang kau inginkan, aku akan membelikannya. Aku akan bekerja keras untuk itu. Sampai waktunya tiba, bisakah kau menunggunya? Tahanlah rasa laparmu. Aku berjanji akan mewujudkannya!” suara Joya terdengar mantab. Tidak ada sebuah keraguan sedikit pun dalam ucapannya barusan. Terdengar naif memang. Apa yang bisa ia lakukan untuk mewujudkannya? Ia hanya penjual permen gulali biasa yang baru berusia tidak lebih dari dua belas tahun. Pun putus sekolah. Bukankah harus berjenjang pendidikan tinggi untuk bisa mapan seperti pejabat-pejabat televisi itu? Mereka bisa membeli semuanya. Bahkan hukum sekalipun! Ya! Marak sekali kabarnya di berita-berita pagi.

    Tapi, walau begitu, tidak salahkan memiliki angan-angan yang tinggi? Semua orang boleh berangan-angan. Tidak terkecuali Joya. Tidak ada yang melarang kan?


    “Kau dengar kan? Aku sudah berjanji,” Joya memecah keheningan.


    Sekali lagi si bungsu mengangguk. Ia paham betul apa yang sedang diandai-andai oleh abangnya. Walau ia tahu bahwa itu hanyalah angan-angan semu. Tapi ia berharap agar suatu saat, abang terkasihnya mampu mewujudkan janjinya.


    “Bagus, tidurlah! Tahan laparmu! Aku akan menemanimu menghabiskan sisa malam ini,”


    ‘Uhu’ burung hantu kembali terdengar. Menggantikan suara jangkrik yang hilang entah kemana. Mungkin suara radio tukang becak sebelah menakuti mereka si hewan malam. Cahaya rembulan masih setia menyinari ruang kecil itu. Masuk melalui celah kecil-kecil. Cahaya tersebut menyelimuti mereka bak sayap malaikat yang terbentang lebar.

    Biarlah mereka memimpikan semangkuk bubur gurih nan hangat buatan ibu mereka malam ini. Biarlah mereka bermimpi mempunyai rumah mewah. Memiliki pakaian bagus. Memiliki semuanya. Dan mulai malam itu juga, sebuah takdir besar telah dituliskan Sang Penguasa bumi untuk mereka. Sebuah takdir besar untuk Joya.

    Mereka berdua kembali saling berpelukan. Kembali berbagi kehangatan. Kembali berbagi kenyamanan. Biarkan mereka menghabiskan sisa malam ini sejenak. Esok, ketika fajar menampakkan wajahnya di cakrawala timur, maka itu adalah hari baru buat mereka. Hari baru buat Joya untuk merajut asa. Mewujudkan angan-angannya. Menjalani tulisan takdir dalam buku besar Tuhan. [Bersambung]



    p.s “Jangan lupa tarif sama komentarnya yah bang (❀ *´ `*)”
  • wah jadi dua ...^^ enggak apa-apa bolded juga @obipopobo ... puitis kata-katanya nih ... takdir besar apa ya buat Joya ...? jadi penasaran ...
  • lulu_75 wrote: »
    wah jadi dua ...^^ enggak apa-apa bolded juga @obipopobo ... puitis kata-katanya nih ... takdir besar apa ya buat Joya ...? jadi penasaran ...

    Hahah..., ahh bang @lulu_75 (❀ *´ `*) , makasih bang udah sempetin mampir buat ngerasain gulalinya Joya bang (❀ *´ `*) . Ditunggu next nya yah bang (❀ *´ `*) . Bang @lulu_75 selalu Obi nanti disini (❀ *´ `*) . Sekali lagi makasih banyak bang (❀ *´ `*) !
  • Huhuhuhuhu.. gak tahann gak kuattt
    Lanjut kan Bii .. bikin abang baper tingkat dewa ..
    Note: suara burung hantunya jngn sekali ..
    UHU .... UHU .
    Coba di baca ulang Bi .. paskek nya
    Uhu ... uhu
  • komenku

    kok aku engga di tag :(
  • isi konten nya lbh dalem bi. keren. tp gw kurang kuat baca yg sedih sedih haha
  • dwippa wrote: »
    Huhuhuhuhu.. gak tahann gak kuattt
    Lanjut kan Bii .. bikin abang baper tingkat dewa ..
    Note: suara burung hantunya jngn sekali ..
    UHU .... UHU .
    Coba di baca ulang Bi .. paskek nya
    Uhu ... uhu


    Hahah,haih abang, ini kan cuma fiktif, Obi udah bilang kemaren (❀ *´ `*) . Joya baik-baik saja bang (❀ *´ `*) . 'Uhu' nya mau berapa kali bang (❀ *´ `*) ?
  • komenku

    kok aku engga di tag :(

    Naahh abang (❀ *´ `*) , Obi kira abang engga baca bang (❀ *´ `*) . Abang baca 'Permen Gulali Joya'?
  • isi konten nya lbh dalem bi. keren. tp gw kurang kuat baca yg sedih sedih haha

    Hahah, makasih bang udah sempetin ngerasain gulalinya Joya (❀ *´ `*) . Harus kuat bang, kali ini happy ending kok (❀ *´ `*)
  • Huaaaaaaaaaaahuhuhuhuhu~~~~~~~~
    Kya~~~~~~~~
    Tit Tit
    Tok Tok
    Tetttttttttt
    Plak!
    Whoaa!!!!!!!!
    Hikss!!!!!!!!

    Aku Mo Protezzzzz!!!!!!!!
    Aku Mo Tuntutz Obi!!
    Kasian Joyaaaa!!!! Pokoknya hruz Happy Ending! aku gk Mo Joya berakhir mengnaskan atau pun berakhir gila!!!!
    hiks hiks~`~~
Sign In or Register to comment.