BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepotong Roti yang Membenci Angin (Oneshoot - Gaystory)

edited March 2016 in BoyzStories
#Roti

Ingin duduk dan mendengarkan sebuah cerita?

Ini hanya sekelumit kisah. Ketika tak hanya awan yang harus membenci angin. Kisah ini hanya soal sepotong roti, yang dikerat angin hingga harus membenci. Seperti gunung yang akan kokoh diterpa angin, roti juga punya kisahnya sendiri. Saat tak ada bibir yang mencibir, atau menggigit dan menelan remahannya. Roti tetap berlabuh ke pelukan angin yang menerbangkannya. Meski sudah jelas kalau roti membenci angin. Meski roti tahu, angin sudah mencintai banyak hal.

Ini hanya sekelumit kisah, hanya sekerat cerita. Bukan soal kisah panjang mendebarkan dan melesak penuh konflik. Sekali lagi ini hanya sebuah mimpi dan janji. Sekelumit harap yang mengintip tabir nasib seseorang bernama Aroti Gunawan. Ingin tahu?

Dalam hidup seorang Aro, ada tiga hal yang kini mulai mengusik pikirannya. Dia tidak segan-segan untuk mengumpat apabila tiga hal ini disinggung, meski atas nama canda dan keisengan belaka. Aro sudah belajar tentang banyak hal, namun tiga hal ini mulai mengguncang prinsip dan logika yang telah dia susun sejak dini.

Pertama, dia benci kalau ada orang yang memanggilnya dengan sebutan Roti, atau Gun, atau bisa juga Hoy, dan sejenisnya. Panggil saja Aro. Kedua, dia tidak suka saat seseorang melambai ke arahnya dengan sok akrab. Apalagi kalau orang itu menepuk bahunya kencang seolah sedang bermain pukul-pukulan. Aro tidak suka itu. Bahunya bukan destinasi tepat untuk mengulik latihan mereka soal memukul. Ketiga, dia benci dengan orang yang selalu menanyakan privasinya terlebih soal hidupnya. Apalagi kalau orang itu ngintil ke sana ke mari dengan wajah bodoh menjijikkan.

Aro terdiam. Terusik. Terngaga.

Seorang lelaki berlari ke arahnya, dengan baju basah dan rambut kumal. Lelaki itu melambai riang, dengan cengiran bodoh menjijikkan seperti biasa. Hal yang paling Aro benci di dunia ini.

"Rotiiii....!" Dia melambai senang, memeluk Aro manja. Aro begidik geli, mengabaikan tatapan orang yang sudah mulai menuntutnya dengan pertanyaan. Aro tidak kenal lelaki ini. Sama sekali tidak kenal. Atau mungkin... baru kenal.

"Untuk apa mas di sini?" Aro bertanya pelan. Lelaki itu sumringah, menampakkan giginya yang putih dan rapi. Aro harus tahan nafsu untuk tidak melayangkan bogem ke gigi-gigi itu.

"Jemput kamu, lah!" Lelaki itu tersenyum lebar. Namanya Angin. Lengkapnya Angin Bagas Pancaka. Aro memanggilnya mas Angin. Lelaki ini tinggal di rumahnya, menginap di rumahnya selama dua tahun ini. Ayah mengatakan kalau Angin adalah anak sahabatnya. Angin kuliah di salah satu Universitas yang dekat dengan rumah Aro. Karena itulah Angin sengaja menumpang selama beberapa tahun.

Sejujurnya, Aro tidak suka.

Angin tidur bersamanya setiap hari. Itu artinya Aro harus berbagi kamar dengannya. Meski pada akhirnya Ayah membelikan kasur bertingkat agar mereka tidak tidur berhimpitan, namun tetap saja Aro terganggu. Ada satu kepala lagi yang tinggal di ruangan yang dulu dia klaim sebagai istananya ini. Ada orang lain yang mulai mengusik privasinya sekarang. Aro tidak suka.

"Untuk apa mas jemput saya?"

"Untuk dibawa pulang, Roti!"

Hal pertama yang Aro benci sudah Angin lakukan. Angin sudah memanggil nama yang paling Aro hindari.

"Saya tidak pernah meminta mas menjemput saya," keluh Aro ketus. Angin terkikik, lalu merangkulnya.

Hal kedua yang Aro benci juga sudah Angin lakukan. Lelaki yang sedang merangkulnya dengan cengiran sok akrab ini bahkan sudah menepuk-nepuk bahunya.

"Tapi kan mas ingin jemput. Sekalian kita makan siang bareng. Kamu nggak lagi sibuk, kan?"

Angin bahkan sudah melengkapi apa yang Aro benci. Angin sudah melakukannya. Lelaki di depannya ini sudah bertanya tentang hal-hal privasi padanya. Atau mungkin bukan tiga hal itu yang Aro benci. Aro hanya membenci Angin, lalu menciptakan tiga alasan tertinggi untuk menanamkannya.

"Saya suka makan di rumah." Aro tidak akan pernah mundur meski Angin merayunya dengan berbagai macam cara. Angin tersenyum geli.

"Tapi ibu kamu lagi kondangan. Pulangnya aja baru ntar malem. Tadi lupa belum masak karena ada pesanan kue. Kamu mau kelaparan sampai nanti?"

Alis Aro berkedut.

"Saya bisa buat mie instan."

"Mie instan juga sudah habis."

Kalau Aro tidak lupa, tiap malam lelaki di sebelahnya ini selalu membuat mie instan. Ayahnya sudah menasihatinya kalau terlalu banyak makan mie instan itu tidak baik, namun Angin tetap saja keras kepala. Dia akan menjawab dengan intonasi santai seperti biasa. Mungkin Angin sudah kecanduan mie instan.

"Saya bisa be..."

"Ibu kamu lupa belum nitipin uang. Gimana, hayo? Mas traktir, deh Roti!" Angin masih mencoba baik padanya. Aro terusik lagi. Lelaki ini memang benar-benar membuatnya kesal. Aro benci padanya. Sangat.

"Terima kasih, tapi saya tidak suka merepotkan orang lain."

Angin terbahak meski Aro mengatakan kata super pedas padanya. Mungkin Angin menikmati ucapan ketusnya. Aro ingin bicara dengan nada super tajam, namun lagi-lagi dia harus menelan kembali ucapannya. Angin bukan destinasi yang tepat untuk merangkai ucapannya menjadi nasihat di otaknya.

"Jangan kaku begitu, Roti!"

Nyatanya, Angin masih menjadi jiwa bebas yang Aro benci. Angin tidak pernah terikat oleh aturan apapun. Aro iri. Sekaligus benci.

"Saya tidak suka dipanggil Roti. Panggil saya Aro."

Satu kekehan nampak di wajah Angin. Angin masih mengulum senyum, dengan ekspresi menyebalkan yang membuat Aro makin muak. Kali ini apa lagi yang akan dilakukan oleh Angin? Aro tidak suka sifat ceria dan juga cengengesan yang muncul tiap kali Angin bicara.

"Anggap itu nama sayang, Roti!" Angin merangkulnya. Ketika Aro ingin menjauh, lagi-lagi Angin menarik bahu itu mendekat. Aro terdekap dalam rangkulannya.

"Tapi saya tidak mau jadi orang yang mas sayang!"

Angin terbahak. Rangkulannya terlepas, berganti dengan gestur menjijikkan dan tak tahu malu. Angin menekan perutnya, terkikik gemas dan juga geli setengah mati. Aro melotot ganas. Dia sangat membenci tingkah Angin yang seperti ini juga. Apa mungkin Aro harus menambahkan tingkah ini sebagai hal yang paling dia benci juga?

"Ayo mas traktir!"

Setelahnya Angin menyeret tas Aro, masuk ke dalam mobilnya. Aro bungkam. Dia sudah terdorong masuk ke dalam mobil Angin.

"Kamu mau makan apa?" Angin bertanya antusias saat Aro sudah mencoba duduk nyaman di sampingnya. Angin berada di balik kemudi, menatap matanya dengan raut penasaran.

"Apa saja. Saya mau yang bisa dibawa pulang."

"Mas belikan gerobaknya mau?"

"Saya tidak cukup bodoh untuk percaya."

"Kamu kaku, ya Roti! Kan mas bercanda...."

Angin membelokkan mobilnya di kawasan pertokoan. Aro menatap toko-toko yang menjual berbagai makanan. Dia ingin sekali makan soto. Matanya melirik Angin. Angin masih saja bernyanyi, menggumam dengan lirik asal.

"Mau makan soto?"

Pertanyaan itu seolah memukul Aro tepat di perutnya. Bagaimana mungkin Angin tahu? Spontan Aro menoleh, menatap Angin yang sedang fokus di balik kemudi.

"Penasaran kenapa mas bisa tahu?" Angin sedang bertanya pada diri sendiri sepertinya. Aro tidak ingin tahu, meski sejujurnya dia sangat penasaran.

"Saya tidak ingin tahu."

"Jelas lah mas tahu. Tuh iler kamu netes gitu pas lihat kios soto."

Satu decakan lolos dari bibir Aro.

"Lalu kalau mas memang tahu, kenapa mas tidak berhenti?"

"Di depan sana ada warung soto yang lebih enak."

Pada praktiknya, Angin tidak benar-benar membawanya ke warung soto enak seperti yang telah dia jelaskan tadi. Mereka hanya berputar tak tentu arah, sesekali mampir ke pom bensin untuk mengisi bahan bakar, lalu mobil Angin melaju lagi. Aro sudah lelah menunggu. Perutnya kian perih karena kelaparan. Hari sudah mulai sore, bahkan bedug maghrib mulai terdengar. Televisi mulai menampilkan azan di layarnya. Aro sudah tidak tahan lagi.

"Dari tadi kita berputar-putar tidak jelas. Kenapa kita tidak kembali ke tempat semula? Apa tujuan mas sebenarnya?" Aro mendengus, mengeluarkan emosi yang sejak tadi dia simpan di otaknya. Angin terlonjak kaget mendengar respon Aro. Tangannya terkepal dan mencengkeram kemudi.

"Mas hanya ingin jalan-jalan sama kamu, Roti!"

"Paling tidak, belikan saya makanan!"

Angin terdiam. Aro benci kalau Angin diam. Aro lebih suka Angin yang biasanya, yang akan balas terkekeh ketika Aro mengomel. Angin kembali fokus di balik kemudi. Entah apa yang lelaki itu pikirkan sekarang. Aro tidak peduli. Dia hanya ingin segera makan. Perutnya makin melilit.

"Mas tahu saya punya penyakit lambung? Asam lambung saya..." Aro mengernyit. Angin bungkam. Kakinya reflek menginjak rem hingga mobil itu berdecit mendadak. Untung saja tidak ada kendaraan di belakang.

"Kenapa kamu nggak bilang sebelumnya?!" Angin menggebu. Kaki dan tangannya kembali bergerak di balik kemudi, melajukan mobilnya kencang. Aro menjerit ketakutan. Di sebuah warung kecil, Angin menghentikan mobilnya.

"Mas ingin membunuh saya?"

Angin menggeleng, bergerak dengan wajah panik. Melepas seat belt, membuka pintu lalu berlari dan memaksa Aro turun. Tangannya bahkan sudah menyeret Aro masuk ke warung kecil itu.

Hari itu....

Aro belajar satu hal lagi.

Jangan pernah membuat Angin panik.

#Angin

Lelaki itu terpejam damai di sofa ruang keluarga, dengan seragam yang masih menempel di tubuhnya. Televisi masih menampilkan tayangan dangdut dan komedi-komedinya.

Angin tersenyum, menatap wajah mungil nan manis yang selalu berkata pedas ke arahnya itu. Angin mengulurkan tangannya, menyentuh bulu mata lentik yang menghiasi mata itu. Hidung mungilnya juga, lalu... tangan Angin berhenti. Pada sebuah lengkungan di bawah bibir itu. Bagian wajah yang paling dia suka, yang selalu berkata ketus ke arahnya. Bibir.

Angin menyukai banyak hal.

Namun lelaki ini masih menempati singgasana nomor satu di hatinya. Angin tersenyum lagi. Baginya, Roti sudah merenggut sebagian kewarasannya tentang cinta. Angin sengaja membuat lelaki yang lebih muda ini marah karenanya.

Roti menggeliat tak nyaman ketika jemari Angin mengusap sayang bibir itu. Angin tersentak dengan wajah merah padam. Degub jantung mulai menggila di hatinya. Roti, lelaki yang Angin panggil begitu hanya bergerak sebentar setelah dia terlelap kembali.

"Roti, bangun!" Angin mencoba mengguncang lengannya. Namun lelaki manis itu hanya terdiam, melenguh beberapa detik, mengomel dengan gumam.

"Ganti baju dulu." Angin masih mengguncang pelan tubuh anak itu. Roti diam tak bergerak. Angin belum putus asa.

"Pindah ke kamar sana. Badan kamu nanti sakit semua kalau tidur di sini."

Roti tetap terpejam, mengabaikan ucapan Angin yang sedari tadi mengguncang lengannya. Lelaki manis itu masih saja melanglang-buana ke alam mimpi.

"Kalau kamu nggak mau bangun, mas cium lho!" Angin terkekeh, mengancam dengan nada menyebalkan. Angin sengaja melakukannya. Roti benci sekali bersentuhan dengan orang lain. Lelaki ini selalu membangun tembok di sekitarnya. Angin ingin membobol tembok itu untuk dirinya sendiri.

"Mas hitung."

Roti masih saja terpejam.

"Tiga."

Roti masih menutup mata.

"Dua."

Roti tetap tertidur.

"Satu!!"

Angin mengecup cepat pipi Roti. Roti masih terpejam. Angin yang awalnya sudah bersiap melarikan diri kini menghentikan pergerakannya. Matanya menelisik wajah Roti lagi. Lelaki manis di depannya ini masih saja tertidur dengan nafas teratur. Jadi sejak tadi Roti memang sudah tidur dan tidak mendengarkan ucapannya?

Angin terkekeh.

Dia sadar betapa bodohnya dia sejak tadi.

Roti sudah membuatnya gila. Sering. Sekarang lelaki manis ini membuatnya gemas setengah mati.

Jujur, Angin jatuh cinta padanya.

Sejak pertama kali menatap mata bulat bening yang mengerjap padanya dengan polos itu, jantung Angin seperti punya detaknya sendiri. Bergerak cepat seperti melakukan maraton. Otaknya tidak mampu mengimbangi laju jantungnya, sementara hatinya sudah mulai merespon.

Kedua kalinya Angin menatap Roti, hatinya mulai terusik. Apalagi ketika lelaki manis itu memanggilnya untuk yang petama kali.

"Mas Angin, ya?"

Jantung Angin seperti meledak begitu saja. Angin jadi cinta pada namanya sendiri. Namanya terdengar sangat indah sekarang.

Ketiga kalinya Angin menatap Roti, sudut lain hatinya mulai memberontak. Waktu itu dia melihat Roti yang sedang tertawa kencang melihat acara di televisi. Tawa itu kembali membuat hatinya mengenyahkan segala macam pertahanan yang baru dia bangun.

Keempat kalinya Angin menatap Roti, otak dan seluruh tubuhnya menginginkan lelaki manis itu.

Angin tahu diri. Angin tidak ingin menuruti hatinya dan menguasai Roti untuk dirinya sendiri. Angin tahu diri untuk itu. Meski dia harus meradang tatkala melihat Roti bermain bersama teman-temannya, meski dia harus menahan marah kalau melihat Roti tertawa bersama mereka.

Lalu ujung tekad Angin berubah.

Kalau orang yang membuat Roti tertawa sangat banyak, kali ini dia harus menjadi satu-satunya orang yang membuat Roti marah. Tidak masalah kalau Roti membencinya, asalkan Roti mengingatnya sebagai orang lain yang spesial. Yang berbeda.

Angin bedialog dengan hatinya, bermonolog dengan dirinya sendiri.

"Kamu kenapa membuat mas kehabisan akal, Roti? Hm?" Angin bertanya pelan pada dirinya sendiri, menunduk menatap lelaki yang masih bermain di alam mimpi tersebut.

"Itu karena kamu tidak pernah menggunakan akalmu ketika berada di sampingnya, Angin!" Hatinya menjawab yakin. Angin terkekeh.

"Bagaimana cara mas mengatakan semua ini, Roti?"

"Kamu cukup menunjukkan tingkah kurang ajarmu itu, Angin!" Lagi-lagi hatinya seolah sedang memberikan jawaban.

"Bagaimana kalau kamu selalu menempatkan mas di sisi yang kamu benci? Bagaimana kalau kamu lelah untuk membenci mas?"

"Maka dia akan mencintaimu." Hatinya menyimpulkan dengan kurang ajar. Angin menyentuh alis tebal yang menukik di atas mata Roti. Lalu hidung mancung mungilnya. Dagu dan bibirnya juga.

"Mas merasa hina karena sudah berani memberikan hati ini untukmu, Roti. Padahal mas tahu kalau belum tentu kamu mau menerimanya."

Angin terkekeh lagi. Roti masih saja tidak mendengar ucapannya. Roti masih tertidur dengan damai. Angin tersenyum kali ini, lalu kembali mengecup Roti. Kali ini dengan berani. Dia mulai memberanikan diri mengecup bibir Roti. Hanya sekilas.

Bibir Angin melebar.

Rasa bibir Roti membuatnya mencandu. Angin ingin mengecupnya lagi.

Lalu dia mengecupnya lagi.

Roti masih terpejam.

Oh, lihat itu.

Ketika hatinya sudah mulai menuntut Angin melakukan hal yang lebih lagi, otaknya mengingatkan. Hanya sebentar, karena setelah itu bisikan setan juga mendukung hatinya. Angin mendekatkan wajahnya lagi. Menatap wajah Roti yang sangat manis dan juga menawan. Ujung hidunya menyentuh hidung Roti.

Wajahnya mendekat.

Ketika beberapa centi lagi bibirnya menyentuh bibir Roti, mata Roti terbuka. Angin tercekat sekilas, namun akhirnya menarik kepala lelaki itu mendekat. Kalau memang mencium orang diam-diam dikatakan sebagai tindak kejahatan, maka izinkan Angin melumat bibir itu dengan sadar.

Angin sudah menjatuhkan klaim atas bibir Roti. Lelaki yang lebih tua itu melumat bibir lelaki yang lebih muda ini. Menarik kepala Roti dan merasakan jantung miliknya yang berdegup gila-gilaan.

Lima detik pertama Roti masih melongo.

Pada detik ke enam Roti mulai terhanyut. Dia balas melumat bibir Angin meski canggung. Angin bersorak dalam hati. Seluruh tubuhnya girang bukan kepalang. Roti merespon semua perbuatannya.

Angin ingin meneruskan ini kalau dia tidak paham Roti sedang terengah-engah karena ciumannya. Angin melepaskan bibirnya, lalu menatap mata Roti. Bibirnya mengecup kening Roti hingga lelaki manis itu tersenyum.

"Saya sudah bangun sejak mas berhitung tadi." Roti berbisik pelan.

Gugup melanda Angin. Angin menelan ludahnya.

"Maaf...."

"Kenapa mas harus minta maaf?"

"Karena sudah begitu lancang mencintai kamu."

"Saya juga jalang karena membalas ciuman mas."

"Tetaplah jalang kalau begitu!"

Roti melotot ke arahnya. Angin terkekeh, lalu menghujani wajah Roti dengan kecupan. Dari kening, mata, hidung, pipi, dagu, dan lagi-lagi Angin menjatuhkan bibirnya di bibir Roti.

"Saya masih benci mas karena memanggil saya dengan nama Roti."

"Mas akan tetap memanggil kamu seperti itu."

"Saya benci mas."

"Mas mencintaimu."

Angin masih tidak bisa berpikir jernih saat ini. Roti yang selalu memandangnya dengan raut ketus dan tajam itu ternyata juga memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya. Angin tersenyum bangga, mengatakan kalau dia bahagia sekali. Sangat bahagia. Apalagi sekarang semua sudah jelas.

Meski Angin sama sekali tidak ingin mengikat Roti dalam dekapnya.

Angin akan selalu berhembus, namun dia akan selalu kembali ke pangkuan roti. Angin akan selalu memeluk lelaki manis di depannya ini. Menghujaninya dengan cinta, memberinya semua yang dia minta. Meskipun Angin tahu Roti tidak akan pernah meminta apapun padanya.

Tidak.

Angin akan selalu ada di sana, melakukan apapun yang Roti butuhkan.

Hari itu...

Semuanya berbeda. Roti tidak lagi menatap Angin sebagai musuh besarnya. Roti akan menganggap Angin menerbangkan kacang padanya.

Kita tahu, Roti dan kacang adalah kombinasi yang luar biasa.

Selamat makan!

END

Hai.... Ini kisah pendek yang Gaachan tulis. Kisahnya pendek sampai kesannya menye-menye, ya? Tapi kalau harus dibuat series, nggak sanggup. Hehehehee....
Tagged:
«1

Comments

  • uke super tsundere; plotnya cliche sih.. tapi karena one shot dan nama prot yg aneh jadi tertarik untuk baca ceritanya.. haha

    anyway, sedikit agak terganggu dengan repetisi kata 'destinasi', dan beberapa kata2 kiasan disini yang kurang kupahami.. but thats my own problem

    you deserve a thumbs up for your hard work.. tetaplah berkarya disini ya :D
  • ahirnya di share di mba @Ghaachan ... ceritanya selalu kereen ...

  • Selamat datang Gaachan...
  • @burgerpants : perbendaharaan kata dalam menulis itu banyak... lihat diksi yg dipilih dulu...
    @Lulu_75 : aku terdampar di sini... tp aku bingung mau ngapain... udh maen di wattpad dan fb soalnya
    @Sogotariuz : Terima kasih... :)
  • @burgerpants : perbendaharaan kata dalam menulis itu banyak... lihat diksi yg dipilih dulu...
    @Lulu_75 : aku terdampar di sini... tp aku bingung mau ngapain... udh maen di wattpad dan fb soalnya
    @Sogotariuz : Terima kasih... :)
  • Kak gaachan nongol disini juga kak..?????hehhehehe
  • baru juga kmren cb bikin @liezfujoshi
    tp aku bingung aku mau ngapain di sini... wattpad aja udh rame kok...
  • Pilihan katanya puitis, aduhai sekali didengar.

    Roman seperti ini memang klise tapi tidak pernah akan bosan untuk dibaca dan dinikmati.
  • @shrug : Ini cuma oneshoot dan agak buru2, sih... terima kasih...
  • @shrug : Ini cuma oneshoot dan agak buru2, sih... terima kasih...
  • Menurut saya, cerita Gaachan yang ini lebih bagus dari pada yang di wattpad. Singkat dan simple, pemilihan diksinya juga bagus. Keep writing ya :)
  • @RaraSopi : ini juga ada di sana kok
  • @Gaachan mnrt q ramenan di watpad kak....
  • kak @Gaachan, sbenarnya aq udah sering baca ceritamu di wattpad tp cuma jd SR aja :( sorry bkn gak mengapresiasi karyamu yg ok ok kak, tp kdg suka error kalau mau Voment di sana, tp kalau misal cerita yg lain di post di sini pasti aq kasih like sama koment. pokoknya aq suka bgt sama semua karyamu apalagi RnP series itu favorit bgt. tetep berkarya ya kak :)
  • Bagus nih. Ada yang lain kah?
Sign In or Register to comment.