Hello. Ini cerita keempat saya di sini dan cerita bersambung ketiga saya. Well, cerita bersambung saya yang dua lainnya belum selesai dan tidak akan selesai. Alasannya karena saya benar-benar stuck dan tidak memiliki ide lanjutan lainnya. Namun untuk yang ini saya akan berusaha sampai ending, berhubung saya juga sudah menyiapkan endingnya seperti apa.
Langsung saja. Semoga suka.
Senja dan Bagaimana Semuanya Berakhir
Chapter 01
Juno
Selama apapun aku berusaha berlari, aku tak pernah mampu meninggalkan kelas itu.
Sejauh apapun aku pergi, aku tak pernah mampu menemukan kafe selain di depan stasiun sore itu.
Sebanyak apapun aku tertawa, aku tak pernah mampu tertawa sebagaimana tawa di masa itu.
Bisa dibilang bodoh namun karena kebodohan itulah aku masih berdiri sampai sekarang.
Terbukti ketika aku kembali menatap punggungnya setelah sekian lama, dadaku masih sakit dalam artian ambigu.
Entah itu karena bahagia atau kesedihan mendalam yang belum juga sirna.
Bahkan sebelum aku melihat wajahnya aku sudah tahu bahwa itu dia. Berbalut setelan rapi dengan segelas anggur di tangan.
Karena aku masih belum bisa melupakan bahu bidangnya, sejak dulu bahkan hingga sekarang.
A A A A A
Aku menyukainya sejak SMP. Ia tidak pernah tahu, atau begitulah pikirku.
Ketika menginjak kelas tiga SMP kami sekelas, sepiket, dan bersebelahan. Aku merasa mungkin Tuhan mau aku mempergunakan kesempatan ini sebaik mungkin.
Kami tidak pernah berbicara sebelumnya, kami berbeda kelas dan rumah kami berjauhan. Aku masih ingat obrolan pertama kami. Ia sedang mendengarkan lagu menggunakan earphone-nya, seorang teman penasaran dan mencabut earphone itu tiba-tiba. Ia selalu mendengarkan musik ketika kelas kosong dan bergumam tidak jelas. Well, dia bukan penyendiri, dia bahkan akrab dengan teman-temannya, hanya saja ketika kelas kosong – bukan istirahat – ia akan mendengarkan musik dari ponselnya dan tidak ingin diganggu. Tentu saja itu membuat teman-temannya penasaran.
Musiknya terdengar dan tanpa sadar aku menyebutkan judulnya. Well, itu lagu kesukaan kakakku ketika aku masih SD. Aku tidak terlalu menyukainya, itu lagu kuno, tapi kakakku sering sekali memutarnya kencang-kencang. Katanya biar kami sadar secara perlahan bahwa lagu itu luar biasa.
Ia tampak terkejut dan menoleh.
“Lagu apa ini?” Temannya tertawa menyindir. Mungkin dia dan yang lainnya tidak tahu. Itu lagu kuno, sudah kubilang.
Dia tak menghiraukan dan menghadapku, “Kau suka lagu ini juga?”
Ia kelihatan sangat bersemangat dan tanpa sadar aku mengiyakannya. Aku tidak bermaksud berbohong. Tidak pernah.
A A A A A
Mengapa aku menyukainya?
Bisa dibilang cinta pada pandangan pertama. Klise namun itulah yang sebenarnya. Meskipun ini bukan cinta pertamaku. Aku pertama kali jatuh cinta ketika SD.
Ada satu waktu ketika seorang yunior di-bully oleh senior. Senioritas masih kental di sekolahku. Tidak ada yang berusaha membantunya, tak ada yang mau berurusan dengan senior-senior nakal. Tapi tiba-tiba saja dia muncul. Dia awalnya mengajak mereka berbicara namun tak ada yang mendengarkan. Mereka malah menertawainya. Mereka berkelahi akhirnya dan dia kalah. Tentu saja, bagaimana mungkin dia melawan lima orang senior sekaligus? Dia bukan Superman.
Tapi dia tampak bahagia. Aku menyaksikannya. Dan kalimat pertama yang dia ucapkan setelah para senior pergi, “Kau tak apa-apa?” dengan sengiran kesakitannya.
Ia seolah-olah lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri dan ada bagian di dalam diriku yang menyukai hal itu.
Semua orang bertepuk tangan, termasuk aku.
Dia menjadi hero dan disukai banyak orang sejak saat itu.
A A A A A
“Maaf, aku berbohong!” Ucapku setelah pulang sekolah, kelas sudah kosong.
Ia mengernyit heran, “tentang?”
Aku menggigit bibirku.
“Aku sebenarnya tidak benar-benar menyukai musik itu. Aku hanya sering mendengarnya karena kakakku menyukainya. Karena itulah aku tahu judulnya. Aku tidak ingin kau salah paham.”
Hening sebentar sebelum dia akhirnya tertawa.
Aku mengangkat kepalaku. Apakah dia selalu tertawa tiap kali ada orang yang meminta maaf padanya?
“Kau jujur sekali.” Lalu ia tertawa lagi.
Aku tidak mengerti maksudnya dan menunggu dia selesai.
“Aku tidak pernah menjumpai orang sepertimu.”
Begitu saja. Ia mengajakku pulang bareng kemudian. Sejak percakapan yang aneh itu ia mulai sering mengajakku ngobrol. Aku tidak menolak, bahkan suka, hanya saja ia ternyata cukup aneh.
A A A A A
Ia menyukai langit senja. Kebetulan sekolah kami pulang sore dan dia selalu memintaku menemaninya tetap di kelas. Menatap langit yang mulai memerah jingga. Kami duduk berhadapan di sebelah jendela dengan satu meja membatasi kami.
“Aku pernah mengajak teman-temanku menungguku seperti ini. Tak ada yang mau, mereka bilang apa bedanya melihat langit di sini dengan di rumah?” Ucapnya dengan mata menengadah ke langit.
Aku tidak menjawab, menunggunya melanjutkan.
“Mungkin bagi mereka biasa saja, tapi melihat langit sore dari sini terasa berbeda. Di sini aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. Seolah-olah dia telanjang. Dan aku menyukainya. Langit ini, aku sangat menyukainya.”
Sejenak aku terpana bagaimana raut wajahnya berbicara ketika dia mengucapkan hal itu. Ia tampan sekali. Well, dia memang tampan tapi sore ini dia seakan semakin memikat di mataku.
Ia menoleh lalu memasang earphone-nya.
“Mau dengar?” Tawarnya.
Aku mengangguk dan memasang kepala earphone-nya yang satu ke telingaku. Lagu itu lagi.
“Kau benar-benar menyukai lagu ini huh?” Aku tersenyum.
“Ya. Rasanya semakin lengkap jika sambil menatap langit. Menenangkan.”
Aku diam sebentar.
“Kakakku juga sangat menyukai lagu ini.”
Ia menoleh. Mendengarkan.
“Ia selalu memutarnya setiap hari, bahkan sampai sekarang. Bedanya dulu dia memutarnya lewat speaker, sekarang dia mendengarnya hanya untuk dirinya saja. Ia seolah-olah tenggelam ke dalam musik itu.”
Dia terus mendengarkan.
“Dan jujur aku menyukai bagaimana dia menikmati lagu itu. Ia terlihat begitu tenang, sejuk. Sama seperti dengan kau sekarang ini. Aku menyukainya.”
Ia terdiam. Dan barulah aku tersadar betapa bodohnya hal yang kukatakan barusan. Wajahku seketika memerah. Wajahnya juga memerah namun ia memalingkan wajahnya, malu.
Tiba-tiba saja dia kemudian tertawa, tanpa alasan jelas. Aku tidak mengerti namun aku juga ikutan tertawa. Aku bukan pura-pura tertawa, ini memang tawa sungguhkan.
Dan senja hari itu menyaksikan bagaimana kami terus tertawa tanpa alasan yang jelas.
“Mau pulang sekarang?” Tanyanya setelah kami selesai dengan tawa tidak jelas kami.
Aku mengiyakan.
“Tapi kita singgah di kafe depan stasiun ya. Aku ingin kau mencicipi sesuatu.”
A A A A A
Rasa itu seketika meleleh di lidahku. Enaknya.
“Kau menyukainya?”
Aku mengangguk.
“Aku tidak tahu ada es krim seenak ini di sini.”
“Kau saja yang tidak pernah berkunjung ke kafe ini.”
Dia benar. Aku tidak pernah tahu ada kafe seperti ini di kotaku.
“Aku senang kau menyukainya.” Ucapnya.
“Dan aku senang kau mengajakku ke tempat ini. Kapan-kapan kita ke sini lagi.”
“Besok bagaimana?”
Aku mengiyakan, “Dan besoknya lagi.”
Ia tertawa, “Atau kita ke kafe ini saja tiap pulang sekolah? Kita jadikan tempat favorit kedua kita setelah kelas.”
Aku mengiyakan saja. Aku memang menyukai kafe ini, apalagi jika bersama dengannya.
“Oh ya, kapan-kapan aku berkunjung ke rumahmu boleh?”
Aku mendelik, “Kau mau menggoda kakakku ya?”
“Bukan. Well, meskipun aku ingin bertemu dengannya tapi tujuanku bukan itu. Aku belum pernah menginap di rumah teman, kau tahu? Aku ingin mencobanya.”
“Kau punya banyak teman bukan?”
“Tapi yang paling dekat denganku kau. Oke? Kau juga bisa menginap di rumahku setelah itu kalau mau.”
“Baiklah.”
“Kalau begitu pas akhir Minggu ya. Fine?”
Aku mengiyakan dengan ekspresi datar meskipun dadaku berdegup dengan kencangnya.
A A A A A
Kakakku menyukainya.
“Aku tidak tahu kau punya teman setampan dan sekeran dia. Semua temanmu selama ini biasa saja kecuali dia dan si tetangga.”
“Kami tidak berteman lagi.”
“Baiklah. Aku tahu mengapa kok HA HA HA.”
“Tertawalah sepuasmu.”
Kakakku kembali ke dia.
“Jadi kau menyukai penyanyi ini juga?”
Dan percakapan panjang yang tak kumengerti dimulai.
A A A A A
Ia berbaring di ranjangku.
“Kakakmu benar-benar keren. Aku merasa cocok dengannya.”
Aku memutar bola mataku, “Well, dia keren karena selera kalian sama.”
“Tapi aku serius. Aku juga ingin punya kakak seperti dia. Aku iri denganmu.”
Aku memukul kepalanya, “Jangan sampai. Keluarga kalian bisa depresi.”
Dia tertawa.
“Apa temanmu pernah menginap juga di sini sebelumnya?”
“Banyak. Biasanya karena selera bacaan kami sama.”
“Lalu kau pernah menginap di rumah mereka juga?”
“Hanya seorang dari mereka yang pernah.”
Ia mengernyit, “Dia yang istimewa berarti?”
Aku memerah dan memukul kepalanya lagi. Dan ia tertawa lagi.
“Sudah saatnya tidur.”
A A A A A
Ia tidur tepat di sebelahku padahal aku sudah menyiapkan kasur cadangan untuknya. Ia terus memaksa ketika aku menolak. Aku baru tahu dia sekeras kepala ini. Meskipun aku senang.
“Kau puas?”
Ia hanya terkikik senang.
Lalu kami diam lama. Aku pikir dia sudah tertidur.
“Terima kasih.” Tiba-tiba saja dia berbicara.
“Aku pikir kau sudah tidur. Terima kasih untuk apa?”
“Mengijinkanku menginap. Kau tidak tahu betapa senangnya aku ketika kau mengiyakan.”
“Santai saja. Aku juga senang kau menginap.”
Ia tiba-tiba memelukku. Saat itu aku membelakanginya.
“Aku senang berteman denganmu.”
Aku gugup seketika. Aku tidak tahu akan begini akhirnya.
“Aku juga senang.” Ucapku pelan, aku terlalu gugup.
Ia mempererat pelukannya.
“Hadap ke sini.”
Aku menurut saja karena aku menikmatinya meskipun aku sedikit takut.
“Kau pernah berciuman?” Tanyanya polos.
Wajahku memerah, “Belum.”
“Aku juga. Ayo kita coba.”
Ia menunggu jawabanku.
“Baiklah.”
Pertama ia mengecup bibirku. Ciuman pertamaku.
Lalu ia mengecupnya lagi, kali ini lebih lama lalu ia melepasnya.
“Mau coba pakai lidah?”
Dadaku semakin berdegup kencang.
“Aku pernah melihatnya di video punya temanku. Aku ingin mencobanya.”
Aku menggigit bibirku.
“Ten. . .tentu.” Aku gagap.
Ia menempelkan bibir kami lagi.
“Buka mulutmu.”
Aku membukanya perlahan. Dalam sekejap lidah kami sudah bertaut dan saliva kami bercampur. Ciumannya intens dan sangat lama. Aku merasa semakin panas.
“Aku ereksi. Aku perlu ke toilet.” Dia berhenti.
Dia turun dari ranjangku dan segera toilet, meninggalkanku yang juga ereksi.
Ketika dia kembali, ia tak berbicara apa-apa dan segera tidur.
A A A A A
Apa yang bisa kuharapkan?
Hari seninnya dia menghindariku. Aku mencoba mengajaknya berbicara tapi dia selalu mencari alasan. Ada yang aneh, aku tahu.
Pulang sekolah aku menahannya meskipun dia memaksa ingin pulang. Badannya memang lebih besar namun tekadku lebih kuat.
“Ada apa?” Tanyaku segera setelah kelas kosong.
Ia tidak menjawab, menoleh ke arah lain.
“Mengapa kau menghindariku?”
Masih belum mau menjawab.
“Apa gara-gara yang kemarin. Apa gara-gara ciuman itu? Tapi bukankah yang mulai semuanya itu kau?”
“Aku tahu.” Bentaknya tiba-tiba.
Aku terkejut dan dadaku merasa sakit.
“Aku hanya merasa bahwa ini tidak normal. Aku senang denganmu tapi apa yang terjadi di antara kita benar-benar tidak normal. Berbeda, sangat berbeda dengan yang lainnya.”
Sekali lagi aku terkejut. Aku tidak menyangka dia akan mengatakan hal sekejam itu.
“Tapi yang mulai semuanya kau. Lalu mengapa kau yang marah? Mengapa kau yang menghindar?”
“Karena kau tidak marah dan menghindariku!!”
Mataku memanas. Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi. Sama seperti halnya ciuman itu.
“Yang penting kita tidak boleh melakukan hal itu lagi. Kita seharusnya berteman dengan cara biasa saja.”
“Lalu mengapa kau melakukannya?”
“Aku penasaran. Hanya penasaran. Tapi setelah melakukan semua itu aku baru sadar bahwa itu tidak normal. Apa yang kita lakukan malam itu benar-benar tidak normal.”
Apa yang kuharapkan selama ini? Berpikir bahwa aku istimewa dan ciuman itu berarti sesuatu. Ternyata dia hanya penasaran, seharusnya aku menyadari hal itu.
Dadaku sakit, teramat sakit. Aku tidak menjawab atau membantahnya lagi, hanya berbalik dan segera pulang. Percuma, semua yang pernah kami lakukan pada akhirnya tidak ada artinya. Aku tidak ada artinya bagi dia.
Dan menyadari semua itu membuatku semakin merasa sakit. Aku menangis. Bodoh! Aku benar-benar bodoh.
Namun mengapa hatiku masih mendambakannya?
A A A A A
Kami tidak pernah berbicara lagi. Ia juga tidak pernah menoleh ke arahku lagi. Hubungan kami benar-benar berakhir. Sampai masa kelas tiga kami berakhir kami tidak berhubungan apa-apa lagi.
Aku tidak pernah menunggu di kelas itu lagi, melihat langit sambil mendengarkan musik kuno itu.
Aku juga tidak pernah ke kafe itu lagi. Ke sana membuat hatiku semakin terasa sesak.
Pernah sekali kakakku bertanya, “mengapa dia tidak kelihatan lagi? Kalian bertengkar?”
Aku tidak menjawab dan tidak peduli.
Semuanya kosong sampai akhirnya si tetangga datang. Si tetangga, bocah laki-laki yang tinggal di sebelah rumahku, cinta pertamaku, orang pertama yang mengajakku menginap di rumahnya, datang membawa brosur.
“Mendaftar ke sekolah ini yuk.” Kalimat pertamanya setelah lama kami tidak mengobrol. Kami bertengkar karena masalah sepele dulu. Sepele menurutku.
Aku membacanya. Sekolah di luar kota.
Dan aku mengiyakan meskipun aku tidak tertarik.
Alasanku menerimanya hanya satu.
Karena hatiku belum siap tinggal di kota ini lebih lama lagi.
Chapter 01 - Selesai
Comments