Hello! Its me! (1)
***
Kalau saja orang di depanku ini bukanlah kekasihku, Sutrisno-ku tersayang, aku yakin kepalan tanganku sudah meluncur bebas mematahkan tulang hidungnya. Tapi, karena dia adalah kekasihku, kukatakan sekali lagi, Sutrisno-ku tersayang, aku menurut saja saat dia menarikku menuju kantin sekolah setelah dia menghancurkan tatanan rambutku yang sempurna. Jutaan pasang mata menatap kami dengan campuran heran, geli, dan kagum diaduk jadi satu di wajah bodoh mereka.
Begini kawan-kawan, aku dan Sutrisno-ku tersayang sudah berpacaran sejak satu tahun yang lalu. Dia satu tahun di atasku dan jelas, aku satu tahun di bawahnya. Ini adalah fakta menarik yang selalu membuatku horny tiap kali memikirkannya. Sutrisno-ku tersayang di atasku, aku ada di bawahnya. Wahh!
Awalnya kami memang tidak saling kenal. Secara, tadinya kami beda sekolah, beda generasi, beda komunitas, beda lingkungan. Tak ada secuil sejarah pun yang melandasi hubungan kami. Hanya pertemuan disengaja di tengah teriknya matahari yang membuat kami jadi sedekat nadi seperti sekarang.
Saat itu ada pelantikan Penegak Bantara(pernah nggak?), dan kebetulan, dia yang menggemblengku habis-habisan hari itu. Aku tidak terlalu ingat detailnya, tapi kira-kira seperti ini ceritanya..
Kami, aku dan teman-temanku, digiring menuju sebuah lapangan terbuka sambil dibentak-bentak dan dipelototi. Kami disuruh berbaris lalu berhitung, memeragakan beberapa gerakan PBB sebentar, lalu berpencar sesuai instruksi dari kakak kelas, mencari tanda ambalan, sangga, dan TKU Bantara.
Kalian harus melihat bagaimana tampang Sutrisno-ku tersayang saat dia memanggil namaku.
"Rendi! Kemari kamu!" Dia seperti seorang algojo yang siap mengeksekusi pelaku pencabulan sejenis terhadap anak di bawah umur. Hal itu ditunjang dengan postur tubuhnya yang semampai, sorot mata tajam, dan alis tebal yang selalu tampak lebih menyeramkan jika dia melotot. Well, aku juga beberapa kali dipelototi olehnya setelah itu. Tapi itu akan selalu jadi rahasia antara aku dan Sutrisno-ku tersayang.
"Siap, kak!" Aku langsung berdiri tegak di depannya dan hormat. Dia tidak tersenyum sedikitpun.
"Kamu nyari ini?" Dia menunjukan benda-benda yang aku cari.
"Siap, benar, Kak!"
"Buat apa kamu nyari ini?" Dia bertanya, dan otakku mendadak jadi seputih kertas HVS. Kau tahu, kan maksudku? Aku nggak bisa berpikir. Semuanya seperti melompat keluar dari kepalaku, bersembunyi di antara rerumputan dan lumpur, menungguku untuk menemukan mereka.
Aku membuka mulutku untuk menjawab, lalu menutupnya lagi karena tak tahu apa yang harus aku katakan. Sutrisno-ku tersayang sangat tidak sabar. "Kalau ditanya itu jawab! Jangan bengong kayak kambing congek gitu!"
"Sa-"
"Ini kenapa, kak?" Tanya sebuah suara lembut. Aku menoleh dan melihat Kak Fuji yang cantik menghampiri kami. Aku merasakan secercah harapan dalam hatiku.
"Ini, Kak Fuji. Si Rendi katanya mau ngambil TKU dari saya, tapi dia nggak tahu ini semua buat apa gunanya,"
"Oh, gitu," Kak Fuji menoleh padaku. Aku tidak bisa menebak ekspresi wajahnya. "Jadi maksudnya kamu mau ngambil ini cuma buat dijadiin pajangan? Buat pamer ke teman-teman kamu?"
"Siap, tidak, kak!"
"Tiarap kamu!" Sutrisno-ku tersayang membentakku. Buru-buru aku pada posisi memperkosa bumi. "Kamu guling ke kanan sepuluh kali, terus balik lagi ke sini dalam waktu lima detik,"
Aku mendongkak dengan mulut terbuka menatapnya. Cahaya matahari membuat sosoknya agak kabur di mataku. Otakku makin blank dibuatnya.
"Beb, kamu kenapa?" Sutrisno-ku tersayang menepuk pipiku. Kami sedang mengantri untuk mengambil jatah makan siang kami sekarang. Aku menggelengkan kepalaku untuk menjernihkan otakku.
"Nggak apa-apa," kataku menjelaskan, tak lupa ditambahi senyuman yang menurut Sutrisno-ku tersayang(tolong! Aku tidak bisa berhenti mengatakannya!) Sudah lebih dari cukup untuk memaniskan satu miliar cangkir teh. "Cuma sedikit flashback,"
"Kamu ini," dia menjawil telingaku. Begini, nih.. Di saat orang lain mencubit pipi pasangannya saat merasa gemas, Sutrisno-ku tersayang malah lebih suka menjawil telingaku. Tapi aku suka, kok! Hal ini malah membuatku merasa istimewa. "Jangan melamun terus, entar kesurupan tahu rasa,"
"Makasih doanya," sindirku sambil bercanda. Dia tertawa geli, membuatnya jadi kelihatan makin menarik. Orang-orang kembali menatap kami, tapi kami tidak peduli. Kami merasa bahagia bersama, dan itu sudah lebih dari cukup untuk kami menutup mata dan telinga pada orang-orang yang suka ikut campur.
Comments