It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pertama kalinya aku ngepost pake hape...moga aja gak berantakan hasilnya..dan maap jika part ini tambah jelek..
Selamat membaca..
*****
Part 22
Karena kejadian malam itu, aku memutuskan untuk menginap di rumah Andre. Aku sudah memberitahu Tora mengenai hal ini. Dia sempat keberatan dengan keputusanku. Dia menyuruhku untuk tinggal di rumahnya saja. Dia sangat mengkhawatirkanku. Apakah aku akan baik-baik saja di sana, bagaimana dengan makananku nanti, dan apakah orangtua Andre mengizinkanku tinggal lama di rumahnya. Ck, padahal dia tahu aku tinggal di rumah Andre. Tidak tinggal sendirian. Ada asisten rumah tangganya juga yang akan memasakan makanan untuk kami. Aku juga sudah bisa memasak, jika dia lupa. Dan orangtua Andre itu sangat baik orangnya. Aku juga menjelaskan, jika keadaan masih buruk seperti sekarang ini, tidak mungkin aku tinggal di rumah Tora. Karena bisa dipastikan Kak Hendra akan bertambah marah dan berpikiran negatif lagi. Aku tidak mau hal itu terjadi.
Maka dengan sedikit memohon dan membujuknya dengan mengatakan kalau aku akan baik-baik saja karena Andre pasti menjagaku dengan baik. Akhirnya dia mengizinkanku tinggal di rumah Andre, tapi tentu ada syaratnya. Aku tidak boleh kemana-mana sendirian, harus pergi bersama Andre, atau bersama sahabatku yang lain kalau pergi bermain dan kalau ada apa-apa, aku harus segera menghubunginya. Jika sifat posesif Tora sudah kambuh begini, jawaban yang terbaik yang harus kuberikan adalah, mengangguk dengan patuh.
“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Tora begitu sampai di tempat dudukku.
“Tidurku sangat nyenyak,” jawabku memberikan senyuman terbaikku.
“Kamu tidak menangis lagi, kan?” tanyanya lagi.
“Aku sudah tidak menangis lagi, sayang,” balasku meyakinkannya.
Selama satu minggu aku tinggal di rumah Andre. Tora selalu datang lebih awal dari sebelumnya. Dia juga akan selalu singgah ke kelasku dan menanyakan hal-hal kecil seperti, bagaimana tidurku, makanku, apakah aku menangis lagi sebelum tidur atau nggak. Diawal kepindahanku ke rumah Andre, aku memang menangis lagi sebelum tidur hingga larut malam. Pagi-paginya Tora jadi begitu khawatir karena melihat mataku yang bengkak. Andrepun menceritakannya kepada Tora, penyebab aku menangis. Kak Hendra. Tapi pada malam berikutnya hingga sekarang aku sudah tidak menangis lagi. Karena Tora dan teman-teman selalu menghiburku. Tapi tetap saja dia selalu menanyakan hal itu padaku, ckckck.
“Kamu tidak lupa kan, kalau hari ini kita harus pergi ke restoran dan membicarakan tentang pengunduran dirimu dengan Mas Rio?” dia mengingatkan rencana kami hari ini. Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Lu mau berhenti kerja, Dri?” tanya Andre yang baru saja masuk ke dalam kelas. Kami berangkat sekolah bareng, tetapi begitu bertemu dengan Resti di depan gerbang dia langsung menghampiri kekasihnya itu. Aku menolak ajakan mereka ke kantin, lebih memilih langsung ke kelas.
“Iya,” jawabku singkat.
“Nah gitu donk. Sebagai istri yang baik, lu harus menuruti perkataan suami, lu,” komentarnya, yang langsung duduk di atas meja di sebelah tempat duduk kami. Aku hanya cemberut mendengar ucapannya itu. Andre memang tahu kalau Tora selalu menyuruhku untuk berhenti bekerja. Tapi dia baru tahu kalau aku akan berhenti hari ini.
“Gue bukan cewek,” protesku.
“Tetap aja posisi lu dibawah alias sebagai penerima. Dan jika kalian sudah menikah nanti, lu tinggal di rumah, masak, dan ngurus rumah tangga layaknya seorang istri, kan? Nah, jadi lu itu istri, dan dia noh suami, lu,” katanya memberi penjelasan, dan menunjuk Tora dengan dagunya saat mengatakan suami.
“Ishh tau ah,” kesalku sambil mengerucutkan bibir, masih tidak terima dikatakan istri tapi tidak mau mendebatnya lagi. Andre tersenyum penuh kemenangan. Sementara Tora? Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya diam seolah setuju dengan pendapat Andre, ck.
..
Aku menunggu Tora di depan kelas bersama Andre yang juga menunggu Resti. Kami akan pergi ke restoran membahas mengenai pengunduruan diriku dengan Kak Rio. Sebenarnya waktu berhentiku satu minggu lagi. Tapi karena tetangga Mbak Nur yang pernah direkomendasikan Tora sudah masuk tiga hari yang lalu, jadi dia memintaku berhenti lebih cepat dari waktu yang kami sepakati. Penyebab Tora memaksaku berhenti secepatnya adalah kejadian minggu lalu. Masalahku dengan Kak Hendra yang membuatku down, juga harus bekerja sepulang sekolah dan pulang malam, mengakibatkan kondisi tubuhku menurun. Dia mencemaskan keadaanku dan tidak mau lagi mendengarkan permintaanku yang selalu meminta waktu untuk berhenti, walaupun aku sudah memohon. Aku hanya bisa pasrah menerima keputusannya.
Aku tersenyum melihatnya berjalan mendekat ke arahku beriringan dengan Doni dan Reno. Dibelakang mereka tampak Tiara dan Resti yang asyik bicara entah apa yang mereka bahas. Dari ekspresi, mereka terlihat sangat bersemangat.
“Kalian semangat sekali?” tanyaku begitu mereka sampai di hadapanku. Ingin tahu hal apa yang membuat mereka bersemangat. Mereka saling tatap, lalu tersenyum bahagia.
“Toko Sepatu langganan kami, lagi mengadakan diskon besar. Dan hanya berlaku selama tiga hari, dimulai dari hari ini,” Tiara menjawab dengan antusias, yang dibalas dengan anggukan Resti yang tak kalah antusiasnya. Aku mendecak sebal mendengar jawabannya.
“Ck, dasar wanita,” gerutuku sambil menatap mereka berdua. Mereka berdua memeletkan lidah membalas ucapanku.
“Yuk, cabut sekarang. Gue udah lapar nih,” Andre mengusap-ngusap perutnya sambil memasang wajah kepalaparan seperti orang yang sudah tidak makan salama sebulan. Kami semua memandangnya aneh, sedangkan dia hanya nyengir lebar.
..
Aku masuk ke dalam restoran bersama Tora. Menyapa teman-teman shift pagi yang masih bekerja. Masuk ke dalam ruangan Kak Rio setelah disuruh masuk. Dia menyambut kami dengan senyuman ramahnya. Setelah duduk, Kak Rio langsung menanyakan keputusanku sekali lagi.
“Jadi gimana. Apa kamu sudah mantap untuk berhenti?” tanyanya melihat kearahku.
“Sudah, Kak. Kalau Andri nggak berhenti, si Bos akan marah,” jawabku sambil melirik Tora yang duduk di sampingku. Kak Rio tertawa mendengar jawabanku.
“Kamu harus banyak belajar dari sekarang. Sebentar lagi kita ujian,” balasnya santai. Aku mengerucutkan bibir mendengar ucapannya. Kak Rio masih tertawa di tempat duduknya.
“Tora benar, Dri. Kamu harus rajin belajar. Maafkan kakak ya, gara-gara kerja di restoran kakak, waktu belajarmu jadi sedikit,” sesal Kak Rio padaku.
“Gak. Kakak gak salah kok. Andri sendiri yang mau kerja, dan Andri juga senang kerja di sini. Teman-temannya baik semua,” balasku cepat. Kak Rio mengangguk-nganggukan kepala dan mengucapkan terimakasih padaku.
“Ngomong-ngomong, gimana hotelmu, Tora?” tanya Kak Rio ke Tora.
“Berjalan dengan baik. Kamis depan saya berangkat ke Bandung untuk melihat perkembangan hotel di sana, sekalian kami liburan,” jawab Tora sambil menoleh dan menggenggam tanganku.
“Liburan? Kalian nggak sekolah?”
“Hari jum’at depan kebetulan tanggal merah, tapi kami memutuskan berangkat hari kamis sepulang sekolah dan kembali ke Jakarta pada hari minggunya.” Kak Rio mengangguk mengerti dengan penjelasan Tora. Aku memilih menyibukan diri dengan ponselku mencari tempat wisata yang menarik di Bandung. Tempat kulinernya juga banyak, membuat perutku jadi lapar ketika melihat berbagai jenis makanan yang terpampang di layar ponselku. Mataku menatap antusias dan penuh nafsu melihat makanan-makanan tersebut.
“Kamu kenapa, Dri?” pertanyaan Kak Rio mengagetkanku yang tengah asyik menatap makanan-makanan pengundang selera itu.
“And....”
Kriuuuukk!
Perut yang nggak bisa diajak kompromi menghentikan ucapanku, sekaligus membuatku malu. Aku menundukkan wajah dan memperlihatkan layar ponselku yang menampilkan banyak makanan kepada Kak Rio. “....lapar,” lanjutku lirih.
Tidak lama, terdengar suara tawa Kak Rio dan kekehan kecil dari Tora. Dia mengacak rambutku gemas, kemudian mencubit pipiku, yang kuyakini sudah merona merah karena malu.
“Baiklah. Kalau begitu kita keluar sekarang,” kata Kak Rio disela-sela tawanya. Aku hanya mengangguk lemah dan berjalan mengikuti mereka yang sudah jalan duluan.
Sampai di depan, Kak Rio memilih duduk disudut ruangan. Memanggil salah seorang karyawannya, yang tak lain adalah teman kerjaku. Rudi. Saat sampai di meja kami, Rudi menatapku heran karena duduk satu meja dengan Kak Rio. Aku tersenyum kikuk kepadanya.
“Kalian mau pesan apa?” tanya Kak Rio menatap kami bergantian.
“Aku sama aja dengan Tora,” jawabku menoleh kearah Tora yang memegang buku menu.
Tora menyebutkan menu yang mau dia pesan, begitupun dengan Kak Rio. Setelah mencatat pesanan kami, Rudipun pamit meminta kami untuk menunggu. Sambil menunggu pesanan, Kak Rio mengajak Tora berbicara masalah bisnis. Aku yang tak mengerti dengan pembicaraan mereka, lebih menyibukan diri dengan ponselku. Berbalas pesan dengan Andee.
Andee membalas pesanku dan mengajakku untuk bertemu. Sudah lama kami tak bertemu, karena kesibukan masing-masing. Tapi, tentu aku tidak bisa menerima langsung ajakannya kalau tidak ingin Tora marah. Aku harus minta izin dulu dengan Tora. Aku mendongakkan kepala melihat apakah mereka sudah berhenti ngobrol atau belum. Ternyata mereka sudah bernhenti dan Rudi sudah meletakkan pesanan kami ke atas meja. Tora menoleh dan bertanya dengan siapa aku chatting. Aku memberitahukan nama teman yang chatting denganku saat ini dan memperlihatkan percakapanku dengan Andee padanya. Melihat sebentar, dia menyerahkan kembali ponselku tanpa berkata apa-apa. Aku mengernyitkan kening seraya memasukan kembali ponselku ke dalam tas dengan kecewa, karena merasa Tora tidak mengizinkanku bertemu dengan Andee.
Selesai makan, aku berpamitan kepada mereka sebentar ke belakang. Aku ingin berpamitan dengan teman-temanku. Teman-teman shift kedua juga sudah berdatangan, jadi ini waktu yang tepat untuk pamit kepada mereka. Mereka mengangguk, lalu melanjutkan kembali obrolan mereka tentang bisnis. Sepertinya aku harus mempertimbangkan kembali keinginanku untuk mengambil jurusan bisnis saat masuk kuliah nanti.
Aku memasuki ruang karyawan. Menemukan teman-teman yang sibuk di depan loker mereka masing-masing. Aku berdehem guna menarik perhatian mereka, dan itu berhasil.
“Eh, Dri. Kamu gak ganti seragam? Kamu buru-buru ya datang ke sini, sampai gak sempat ganti seragam sekolah?” Dandi yang berada tidak jauh dariku buka suara. Aku hanya menggeleng pelan dan memperhatikan teman-teman lain yang menunggu jawaban dariku atas pertanyaan Dandi barusan.
“Aku gak kerja lagi mulai sekarang,” jawabku menatap mereka semua.
“Kok tiba-tiba gini?” tanya teman yang lain yang sedang duduk disebuah kursi.
“Hehehe maaf ya, aku gak bilang dari kemarin-kemarin kalau aku akan berhenti,” balasku sambil garuk-garuk kepala yang mendadak gatal. Mereka menghembuskan napas hampir secara bersamaan. Lalu berjalan mendekat ke arahku.
“Kami akan merindukanmu,” kata Dandi yang diangguki oleh yang lain.
“Ada hubungan apa lu sama Pak Rio, Dri?” sebuah pertanyaan mengagetkan datang dari balik punggungku. Aku menoleh, mendapati Rudi bersandar pada daun pintu sambil melipat kedua tangannya di dada. Aku tersenyum menatapnya. Menghembuskan napas perlahan dan mulai buka suara.
“Aku adiknya Kak Inka,” jawabku pelan.
“HAH!!” teriak mereka serempak. Aku terlonjak kaget dan menelan ludah menatap mereka dengan ngeri.
“Kok, lu gak bilang kalau bos kita adalah kakak, lu?’ tanya Rudi serius. Mereka memang mengenal Kak Inka sebagai bos dan tunangan Kak Rio.
“Maaf,” hanya itu kata yang keluar dari mulutku.
Akhirnya aku menceritakan semuanya, kenapa aku bisa bekerja di sini. Mereka semua tampak mengangguk-ngangguk mengerti setelah mendengarkan ceritaku.
“Gue salut ama lu, Dri. Pulang sekolah berangkat kerja, pulangnya juga malam, paginya udah sekolah lagi. Kebanyakan anak-anak yang berkecukupan kayak lu ini, mana mau kerja yang beginian,” komentar Rudi sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Hehehe. Awalnya aku juga gak mau. Tapi setelah mulai bekerja, dan berteman dengan kalian. Aku jadi betah dan sebenarnya berat juga untuk berhenti. Tapi aku harus berhenti dan fokus belajar, karena sebentar lagi ujian,” jelasku. Rudi mengacungkan kedua jempolnya padaku. Aku tersenyum manis menanggapinya.
“Heh kucing. Waktu kerja lu, belum selesai, kan?” tanya Dandi ke Rudi memasang raut menakutkan, yang hanya dibalasnya dengan cengiran lebar oleh Rudi.
“Hehehe, gue disuruh teman-teman ngepoin Andri,” jawab Rudi sambil menggaruk tengkuk. Dan mendapatkan satu jitakan kecil dari Dandi.
Setelah berpamitan dengan semua teman-teman kerja. Aku menghampirri Tora dan Kak Rio yang masih asyik ngobrol. Mereka berhenti bicara ketika aku sudah berada di hadapan mereka.
“Sudah selesai?” Tora menatapku dengan mata teduhnya. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Tora berdiri dari duduknya, kemudian berpamitan dengan Kak Rio. Akupun ikut berpamitan karena kami akan mengerjakan tugas sekolah yang banyak. Lebih tepatnya itu tugasku dan Tora yang akan mengawasiku dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut. Selama bekerja, aku jarang sekali mengerjakan PR di rumah. Kadang aku menyalin tugas Andre atau teman-teman lain. Tapi sekarang aku harus mengerjakan tugasku sendiri di bawah bimbingan Tora. Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya aku dan Tora sama-sama sibuk bekerja sepulang sekolah. Bahkan Tora lebih sibuk daripada aku. Tapi hal itu sama sekali tidak mempengaruhi nilainya sedikitpun, ck.
“Aku kangen sama tante,” kataku begitu kami sudah memasuki mobil.
“Baiklah, kita ketemu mama sekarang,” balasnya, lalu menghidupkan mobilnya.
**
Aku memandang Andre yang begitu semangat menyantap makanannya. Semenjak mama dan papanya pulang dua hari yang lalu, wajahnya semakin ceria. Apalagi hari ini mereka akan berangkat ke Bogor untuk liburan. Kakaknya yang sudah menikah itu juga mau liburan bersama mereka. Senyum bahagia tidak pernah hilang dari wajahnya. Aku ikut senang melihat kebahagiaan mereka.
Sebenarnya Om Satria juga mengajakku untuk ikut bersama mereka. Tapi aku menolak dengan halus, karena aku juga akan pergi liburan dengan Tora hari ini ke Bandung.
Sedang asyik bercengkrama di meja makan, asisten rumah tangga Andre datang memanggilku memberitahukan bahwa ada yang mencari. Aku yakin itu Tora.
Aku pamit dan berjalan menghampiri Tora yang duduk di kursi teras. Mengajaknya masuk untuk berkenalan dengan orangtua Andre. Rupanya mereka sudah berjalan mendekati ruang tamu. Segera saja aku mengenalkan Tora kepada mereka. Setelah berkenalan, mereka menyuruh Tora duduk. Akupun ikut duduk di sebelah Tora. Di seberang kami, Om Satria dan Tante Prita menatap Tora dengan serius. Sedangkan Andre yang duduk di sofa sebelahku menyeringai kecil sambil menaik-turunkan kedua alisnya ketika aku menoleh padanya. Aku hanya mengerucutkan bibir kesal melihat ekspresinya itu.
“Jadi kamu pacarnya Andri?” tanya Om Satria.
“Iya, Om,” jawab Tora dengan tenang.
“Sudah berapa lama kalian berpacaran?”
“Satu tahun lebih.” Om Satria mengangguk-ngangguk. Lalu bicara lagi seakan-akan Tora datang untuk melamarku. Aku hanya diam, sedangkan Andre cekikikan nggak jelas ditempatnya.
Orangtua Andre memang sudah tahu mengenai hubunganku dengan Tora kemarin. Saat aku menolak ajakan mereka untuk liburan ke Bogor, disitulah Andre memberitahu mereka kalau aku akan liburan dengan pacarku. Akhirnya mereka jadi kepo, akupun menceritakan kepada mereka tentang hubunganku dengan Tora termasuk tentang pekerjaannya. Dan sekarang mereka mengintrogasi Tora sebelum kami berangkat ke Bandung, ckckck.
**
Aku menatap bangunan tinggi yang ada di hadapanku. Memandangnya dengan takjub. Jadi hotel sebesar ini yang dikelola oleh Tora saat ini. Aku tidak bisa membayangkan betapa sibuknya dia mnegurus hotel-hotelnya diusia yang masih sangat muda. Aku bangga sama dia, ‘My lovely vampire’.
Ya, aku menginap di hotel keluarga Wiyaksa.
Baru saja memasuki hotel, Tora segera disambut oleh karyawannya dengan hormat dan sopan. Aku yang berada disamping Tora jadi kikuk sendiri. Salah seorang kayawan hotel mengantarkan kami ke kamar yang sudah dikhususkan untuk Tora. Mulutku terbuka lebar melihat isi kamar tersebut. Kamar yang luas dan elegan, beberapa sofa yang perpaduan warnanya sangat serasi dengan ruangan ini. Berjalan terus memasuki kamar aku menemukan satu ranjang super king, di dinding depannya menggantung sebuah televisi ukuran besar. Tidak jauh di samping tempat tidur terdapat sebuah kaca besar yang tertutup tirai menarik perhatianku. Aku membuka tirai yang tersingkap sedikit itu semakin lebar, menampilkan pemandangan kota Bandung yang begitu indah jika dilihat dari tempatku berada sekarang.
Kurasakan sepasang tangan melingkar dipinggangku. Aku memegang tangan itu dengan lembut tanpa mengalihkan pandanganku. Tora meletakkan dagunya dibahuku dan mengecup pipiku sekilas.
“Kamu menyukainya?” tanyanya berbisik lembut di telingaku, memberikan sensasi geli. Aku mengangguk sebagai jawaban. Membalikan badan serta melingkarkan kedua tanganku ke lehernya sambil tersenyum.
“Aku sangat menyukainya,” kataku, menatap matanya. Mencium bibirnya beberapa kali, kemudian menggigit dagunya pelan. Kebiasaanku, yang selalu suka menggigit dagunya.
Tora merapatkan pinggangku ke tubuhnya, kemudian bermain-main dileherku. Mengecup, menghisap, serta menjilati leherku sepuasnya. Setelah puas dengan leherku, ciumannya berpindah naik ke atas. Melumat bibirku atas dan bawah. Melesakan lidahnya ke dalam mulutku ketika aku memberikan akses untuk masuk. Lidah kami saling bergelut satu sama lain. Tora menghisap lidahku beberapa kali, kemudian memasukan lagi lidahnya ke dalam mulutku mengeksplor isi di dalamnya. Aku mendesah saat ciuman kami semakin intens. Mengeratkan kalungan tanganku pada leher Tora dan semakin merapatkat tubuhku.
Tora memutus ciuman kami, memberikan kesempatan padaku menghirup oksigen karena terlalu lama berciuman. Menutup tirai yang tadi kubuka, lalu dia menggendongku menuju tempat tidur. Tora merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur dengan hati-hati. Merangkak menaiki tempat tidur. Berada tepat diatasku, Tora menundukan wajahnya kembali melumat bibirku. Tidak tinggal diam, akupun membalas lumatannya.
“Ahh..”
Desahanku keluar disaat Tora menjilati dan menghisap leherku sedikit kuat, aku yakin dia pasti meninggalkan bekas di sana. Tangannya sibuk melepaskan pakaianku, pun sebaliknya. Aku ikut membantunya melepaskan apa yang dia pakai. Kemudian cumbuannya turun ke bawah menyentuh titik-titik sensitifku. Tanganku meremas rambutnya dan tubuhku menggeliat tak karuan di bawah tubuhnya.
Tora menghentikan aktifitasnya dan wajahku merona malu saat mata teduhnya menatap tubuh polosku. Dia tersenyum lembut sebelum kembali mencium bibirku lagi. Tangannya juga sudah menggenggam dan memanjakan juniorku yang sudah keras dari tadi.
“Nghh...” aku kembali mendesah pelan diantara ciuman kami. Tora merangkak ke bawah, menggantikan tangannya dengan mulutnya. Menaik-tutunkan kepalanya dari gerakan yang awalnya pelan, lama-lama berubah menjadi cepat membuatku tidak tahan lagi.
“Ahh...Tora...aku...”
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku. Tubuhku sudah menggelinjang hebat dan mengluarkan cairanku di dalam mulutnya. Aku menarik napas teratur setelah pelepasanku tadi. Tora melapaskan kulumannya, kembali mendekatkan bibinya pada bibirku. Aku mencium dan menjilat sisa cairanku yang berlepotan disudut bibirnya.
Tidak menunggu lama, aku menukar posisi kami. Giliran Tora yang berada dibawahku. Aku mendudukan pantatku di atas pahanya dan mengerakan pinggulku menggoda juniornya. Merangsang tubuhnya dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya tadi. Tora mendorong dan menahan kepalaku agar juniornya semakin masuk ke dalam dan tidak lepas dari mulutku. Lalu membantu mnggerakan kepalaku. Aku menghisap kepala juniornya yang berbentuk jamur itu kuat membuat Tora mengerang keras. Dia tidak henti-hentinya menyebut namaku hingga pada puncak pelepasannya. Ternyata tidak sia-sia juga aku menonton film yang selalu dilarang Tora itu. Kemampuanku dalam blow job jadi semakin bertambah, tentu Tora puas dengan servisku.
Junior Tora masih berdiri dengan tegak walaupun sudah memuntahkan muatannya dimulutku. Aku kembali memijitnya hingga benar-benar keras, terus berjongkok di atas perutnya. Menggenggam benda keras tersebut dan memposisikannya tepat pada belahan pantatku. Tapi dengan cepat Tora menahan pinggangku.
“Apa yang akan kamu lakukan, sayang?” tanyanya dengan napas yang tak beraturan.
“Kita melakukannya sekarang aja,” jawabku pelan.
“Kamu lupa dengan janji kita pada Kak Inka?” tanyanya mengingatkanku akan janji kami.
“Tapi. Di dalam video itu, ukenya tidak merasakan sakit sama sekali,” balasku pelan menundukan wajah.
“Spertinya aku harus buat perhitungan dengan temanmu yang mesum itu,” geramnya, memindahkan tubuhku yang masih duduk di atas pahanya ke samping. Aku menggeleng cepat menanggapi ucapannya.
“Tidak. Radit tidak salah. Dia nggak pernah lagi ngirimin video mesum padaku,” balasku cepat sebelum Tora mengambil ponselku dan memarahi Radit.
“Lalu?” tanyanya dingin, menuntut jawaban.
“Aku...aku dapat link dari grup line,” jawabku takut-takut menatap wajah dinginnya.
“Aku janji gak akan membuka link itu lagi. Tapi jangan minta aku meninggalkan grup itu..ya..ya..Tora, please...teman-teman di sana sangat baik dan seru. Aku janji gak akan minta dimasukin lagi sampai waktunya tiba,” kataku cepat sebelum Tora membuka mulutnya untuk bicara lagi. Aku tahu dia akan menyuruhku keluar dari grup itu. Tapi aku cepat-cepat memohon agar Tora tidak melarangku. Dia menghembuskan napas keras, diam beberapa saat sebelum buka suara.
“Lalu, bagaimana kamu akan bertanggung jawab atas perbuatanmu ini,” katanya datar sambil menunjuk ke arah junionya yang masih berdiri kokoh di bawah sana. Aku menyeringai kecil sambil menggigit bibir bawahku sensual. Lalu turun dari ranjang, membuka tas kecilku. Setelah menemukan apa yang kucari segera kunaiki ranjang, duduk diposisi semula. Coklat stick yang dibeli Andre semalam. Aku membawa beberapa untuk camilan dalam perjalanan. Membuka ujungnya sedikit dan menikmati manisnya coklat tersebut. Walaupun hanya coklat murah, tapi ada gunanya, hehehe.
Aku mengabaikan Tora yang mengernyit heran menatapku yang mulai beringsut kebawah. Kekehannya terdengar ketika aku melumuri juniornya dengan lelehan coklat yang tadi kupegang. Aku tersenyum meliriknya yang tengah asyik melihat gerakan tanganku pada juniornya. Menciumin dan menjilat lelehan coklat di sana. Aku terus melakukan naik turun dan menghisap sampai coklat itu habis.
“Sayang, kamu sudah pan....ahhgh..” Tora mendesah sebelum menyelesaikan ucapannya karena hisapan kuat yang kulakukan sekali lagi hingga ke pangkal kepala juniornya. Kembali aku merasakan cairannya di dalam mulutku.
Malam ini kami menikmati kebersamaan kami dengan pnuh cinta dan....nafsu? Mungkin. Walaupun Tora tidak memasukiku, tapi kami sama-sama menikmatinya. Dan aku salut dengan pacarku ini karena masih bisa mengendalikan diri untuk tidak memasukiku.
**
Aku mendengar suara orang bercakap-cakap di ruang depan begitu keluar dari kamar mandi. Sepertinya Tora sedang kedatangan tamu, atau salah satu karyawannya yang datang membahas pekerjaan, pikirku.
Selesai berpakaian rapi, aku melangkah menuju ruang depan di mana Tora berada. Dua orang pria berdiri dan berpamitan dengan sopan kepada Tora. Tersenyum ramah padaku disaat tatapan kami bertemu, akupun membalasnya dengan ramah. Setelah dua orang itu menghilang dibalik pintu, aku menanyakan perihal kedatangan mereka pada Tora. Benar saja, mereka datang karena urusan pekerjaan. Kuperhatikan Tora juga berpakaian rapi. Aku menghela napas pelan sambil merapikan letak dasi abu-abu yang dipakainya.
“Sayang, rapat ini gak akan lama. Setelah itu kita bisa jalan-jalan kemanapun kamu mau,” jelasnya, menghiburku. Padahal aku tidak apa-apa jika ditinggalkan sebentar.
“Aku gak apa-apa, sayang,” ujarku meyakinkan, agar dia tidak merasa bersalah.
“Kamu bisa ikut denganku.”
“Nggak usah. Aku di kamar aja sambil chattingan ama Andee dan Radit, atau nelpon Andre,” balasku santai.
Setelah sepakat, aku akan menunggunya selesai rapat dan dia yang akan segera balik begitu rapatnya selesai. Kami memutuskan sarapan bersama sebelum Tora keluar kamar.
..
Aku menyandarkan kepala ke bahu Tora yang lagi fokus menyetir di sebelahku. Rapatnya selesai pukul sebelas. Dan sekarang kami dalam perjalanan menuju dusun bambu untuk makan siang di restoran lutung kasarung. Tora tertawa pelan saat aku mengerluarkan sebuah coklat stik dari dalam tas kecilku yang terletak di kursi belakang. Mungkin dia mengingat kejadian semalam. Ah, aku jadi malu mengingatnya.
Sampai dilokasi, mataku disuguhkan oleh pamandangan alam yang sangat indah. Apalagi pemandangan di restoran lutung kasarung yang unik ini, tempat yang sangat bagus untuk selfie. Tentu aku tak ketinggalan untuk mengambil foto kami bersama. Untuk ukuran anak sekolahan sepertiku ini, menu-menu makanan di restoran ini cukup mahal, untungnya yang bayar bukan aku, hehe.
Puas dengan menu yang enak dan lezat di lutung kasarung, kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat menarik lainnya yang ada di dusun bambu dan terakhir kami pergi ke farm house yang membuatku tambah antusias menjelajahi tempat ini. Banyak spot menarik yang kutemukan di farm house ini. Dan aku bertambah semangat saat mendengar salah seorang pengunjung yang mengajak pasangannya ke jembatan gembok cinta. Aku menarik tangan Tora mengikuti pasangan tersebut. Mereka membeli gembok, akupun melakukan hal yang sama, lalu mengikuti mereka menuju jembatan. Setelah sampai, kami berhenti mengikuti pasangan tersebut. Aku mencari tempat yang bagus untuk memasang gembokku. Senyuman tak pernah lepas diwajahku saat menuliskan namaku dan nama Tora pada gembok yang kupegang. Tak lupa sedikit kata-kata cinta kutuliskan di sana. Tora hanya tersnyum melihat sambil mengelus kepalaku dengan sayang ketika memasang gembokku.
“Semoga kita selalu bersama,” kataku membalikan badan menghadapnya. Tora merapikan rambutku yang menutupi mata, kemudian menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya, dan mengecup bibirku sekilas.
“Aamiin,” katanya singkat setelah mengecup bibirku, yang membuat wajahku jadi merona. Beruntung jarak antara kami dengan pasangan lain cukup jauh, mereka juga sibuk dengan aktifitas masing-masing.
Badanku terasa segar selesai mandi. Tora juga terlihat tambah tampan dengan pakaian yang dikenakannya sekarang. Malam ini kami akan makan malam di restoran hotel. Makan malam yang romantis bersama orang yang dicinta adalah hal yang sangat mengesankan. Tapi aku menjadi sedikit gugup mendapati beberapa karyawannya memandang kami penuh arti ketika Tora memperlakukanku dengan manis. Sementara dia bersikap tenang dan santai, sesekali menepuk-nepuk dan mengelus tanganku yang berada di atas meja tanda menenangkan. Dan cara itu berhasil menenangkanku, hingga makan malam berakhir.
...
Hari sabtunya kami kembali menjelajahi beberapa tempat wisata. Salah satunya ke rumah terbalik yang biasa disebut upside down world. Sebenarnya kami juga berencana mengunjungi rumah kakaknya Tora, tapi sayangnya dia dan keluarganya sedang pergi ke rumah mertuanya yang ada di Padang. Jadi kami memilih menghabiskan waktu ke tempat-tempat menarik yang ada di Bandung ini.
Hari minggunya kami pergi ke rumah orangtua Diah, setelah sebelumnya berziarah ke kuburannya. Orangtua Diah sangat baik dan ramah. Mereka sangat bahagia menyambut kedatangan kami. Kerena sudah lama tidak bertemu dengan Tora, ibu Diah sampai menangis saat memeluk Tora.
Sebelum berpamitan pulang, orangtua Diah memberikan beberapa nasehat dan mendoakan hubungan kami agar selalu langgeng. Pukul dua siang kami balik ke Jakarta. Rasanya masih ingin berlama-lama di kota kelahiran pacarku ini. Tapi hari senin kami sudah harus masuk sekolah lagi.
**
Aku berangkat sekolah dengan hati yang bahagia. Andre tidak henti-hentinya menggodaku karena sudah liburan berdua dengan Tora. Kami semua sudah berkumpul di kantin seperti biasa. Tora duduk di sebelahku dengan tenang, tanpa peduli dengan topik pembahasan kami. Sesekali dia mengelap sudut bibirku dengan tisu jika kuah soto yang kusantap berlepotan. Membuat beberapa adik kelas yang duduk di meja sebelah meja kami, cekikikan melihat perhatian Tora tersebut. Mereka adalah adik kelas yang dulu pernah bertemu dengan kami di sebuah cafe. Para fujoshi akut.
Aku merogoh saku celana, mengambil ponsel karena ada pesan masuk, ternyata dari Kak Hendra yang mengatakan kalau dia mau menemuiku sepulang sekolah nanti dan memintaku menunggu di depan. Aku sangat senang sekali membaca isi pesan tersebut. Dengan antusias aku memperlihatkan isi pesan Kak Hendra kepada Tora. Dia ikut tersenyum senang sambil menggenggam erat tanganku. Ternyata hal baik yang pernah Tora ucapkan sudah datang. Mataku sampai berkaca-kaca karenanya. Kubiarkan Andre merebut ponselku karena penasaran dengan isi pesan tersebut.
“Wah selamat, Yank. Akhirnya Kak Hendra sudah nggak marah lagi,” kata Andre ikut berbahagia. Aku menggangguk sambil tersenyum cerah. Teman-teman yang lain ikutan mengambil ponselku dan memberikan selamat.
“Temani aku nanti,” kataku kepada Tora. Dia tersenyum dan mengangguk mengiyakan.
**
Aku menunggu kedatangan Kak Hendra di temani Tora di sampingku yang bersandar pada mobilnya. Andre dan yang lain berdiri tak jauh dari tempat kami bersama kendaraan mereka masing-masing. Tidak sabaran aku mencoba menghubungi Kak Hendra yang belum juga datang.
“Kakak ada di mana?” tanyaku begitu panggilanku dijawab.
“Sebentar lagi kakak sampai. Tunggu kakak,” jawabnya dengan lembut. Aku tersenyum mendengar suara lembutnya yang kurindukan.
“Baiklah,” kataku patuh dan kembali menunggu dengan sabar.
Aku menangkap sosok Kak Hendra di seberang jalan. Mengernyit heran karena dia tak membawa motornya, tapi tersenyum lebar setelahnya. Melambaikan tanganku dan mulai melangkahkan kaki hendak menyeberang jalan, namun Kak Hendra mengisyaratkan untuk tidak beranjak dari tempatku karena dia akan menyeberang ke tempatku berdiri. Aku menuruti sambil masih tersenyum bahagia. Namun kebahagiaan itu hanya sebentar kurasakan. Tepat di depan mataku, aku melihat bagaimana tubuh Kak Hendra terpental karena ditabrak oleh sebuah mobil yang sangat kencang.
“KAKAAAK!!”
Aku berteriak histeris dan segera berlari menghampiri tubuh Kak Hendra yang tergeletak bersimbah darah di jalan. Tak kupedulikan Tora yang memanggil-manggil namaku. Aku hanya ingin segera sampai ke tempat Kak Hendra.
Aku memeluk tubuh Kak Hendra yang tak berdaya dan menangis histeris. Tora dan beberapa orang mengambil alih tubuh Kak Hendra dari pelukanku dan membawanya masuk ke dalam mobil Tora. Beberapa orang lagi membantuku berdiri dan ikut masuk ke dalam mobil.
Andre keluar dari dalam mobil memasuki rumah sakit. Tidak lama dia keluar bersama beberapa petugas rumah sakit yang membawa brankar dorong. Tubuh Kak Hendra di dorong menuju ruang IGD. Aku ingin ikut masuk tapi di tahan oleh Tora. Dia memelukku erat menenangkan. Membawaku duduk pada kursi yang terletak tak jauh dari ruangan itu.
“Tora, aku takut. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Kak Hendra. Kami baru saja mau baikan, tapi mobil itu...mobil itu menabraknya,” racauku dalam pelukan Tora.
“Sssttt..Kak Hendra akan baik-baik saja. Kamu harus tenang. Kita doakan supaya operasinya lancar,” ucap Tora sambil mengusap-ngusap punggugku.
Aku masih sesenggukan di dalam pelukan Tora saat mendengar derap langkah kaki mendekat ke arah kami.
“Andri! Bagaimana keadaan kakakmu, sayang?” aku mendongak begitu mendengar suara mama dan langsung memeluknya erat.
“Ma, Kak Hendra...Kak Hendra kecelakaan. Dia..dia masih di dalam,” aku kembali menangis dipelukan mama, begitupun dengan mama. Papa yang datang bersama mama memeluk kami berdua, mengucapkan kata-kata yang menguatkan kami.
Doni mengabarkan bahwa orang yang menabrak Kak Hendra sudah dibawa ke kantor polisi. Papa juga sudah menghubungi orang suruhannya untuk mendatangi kantor polisi tempat orang itu ditahan.
Sudah lebih satu jam kami menunggu, tapi dokter yang menangani Kak Hendra belum juga keluar. Aku hanya melihat perawat yang keluar masuk ruangan tersebut sambil membawa sesuatu seperti kantong berwarna merah. Melihat hal itu membuatku semakin ketakutan. Adre dan Tora yang berada di kiri dan kananku menggenggam tanganku erat.
Sekian lama menunggu, akhirnya pintu itu terbuka menampilkan sesosok pria paruh baya berjas putih berjalan pelan. Kami semua bangkit dari tempat duduk masing-masing bergegas menghampiri dokter tersebut.
“Bagaimana keadaan anak saya, dok?” tanya papa buka suara. Terlihat dokter itu menghembuskan napas keras kemudian menatap papa lekat.
“Anak bapak dalam keadaan kitis. Prognosisnya buruk, akibat benturan keras di kepalanya dan kekurangan banyak darah. Tulang kakinya juga patah. Ada kemungkinan secara medis harapan hidupnya tipis. Sebagai orang beragama, serahkan semuanya kepada Tuhan. Doakan semoga dia bisa melewati masa kritisnya,” jawab dokter paruh baya itu. Mama terduduk lemas ke lantai setelah mendengar penjelasan dokter itu. Aku berdiri kaku di samping Tora dan Andre. Sementara Kak Inka yang belum lama datang menangis dipelukan Kak Rio.
“Harusnya aku yang menghampiri Kak Hendra. Dengan begitu dia tidak akan mengalami kecelakaan,” isakku saat Tora memelukku.
“Sssstt..jangan menyalahkan dirimu. Kak Hendra akan baik-baik saja. Kita doakan supaya dia cepat sadar,” ucap Tora sambil mengeratkan pelukannya. Aku mengangguk lemah dalam pelukannya.
Aku harap Kak Hendra bisa melewati masa kritisnya dan kami bisa seperti dulu lagi.
Iye neh sama, opmin ku ga bisa buka full bf, cuma bagian atas doang yg bisa.
Tapi syukur n tumbennye dari browser bisa neh.
So bisa lanjutin semua cerita n lainnye.
@lulu_75 iya, aku harapnya juga gitu..
Aku gak bisa @arieat
Ampe sekarang huhuhu...tapi mungkin harus coba lagi..
Kasian ye nasibnye @bayusatpratama