It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@LeoAprinata sip
siap nunggu konfliknyaa
@denfauzan @3ll0 @Yirly @Sho_Lee @Aurora_69 @arieat @o_komo @okki
@monic @Adi_Suseno10 @soratanz @asik_asikJos @xmoaningmex @lulu_75 @RifRafReis @LostFaro @gaybekasi168 @amostalee @Tsunami @andi_andee @hananta @Pratama_Robi_Putra @Sicilienne @LeoAprinata @liezfujoshi @josiii @freeefujoushi @RenataF @ricky_zega @ocep21mei1996_ @naraputra28 @McGerronimo @AvoCadoBoy @chandisch @RinoDimaPutra @Derbi
*******
Part 10
Tora mengantarkanku sampai depan pintu pagar. Namun hatiku enggan untuk keluar dari dalam mobilnya. Dia menatapku heran karena tak kunjung membuka pintu mobilnya.
“Ada apa? Apa ada yang ketinggalan?” tanyanya, aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Dia menautkan kedua alisnya, sementara aku memain-mainkan jemari tanganku. Entah mengapa sampai saat ini aku masih suka deg-deg-an setiap kali bersamanya.
“Hmmm aku turun dulu,” kataku lirih. Dia mengangguk sambil tersenyum.
“Hati-hati ya,” katanya membelai pipiku yang membuatku jadi tersipu.
Aku membuka safety belt lalu mendekat kearahnya dan....
Cup..
Aku menjauhkan tubuhku hendak membuka pintu mobil setelah mencium pipinya barusan, tapi tangan Tora menahanku. Dia menarik tubuhku mendekat lagi kearahnya, lebih tepatnya mendekatkan wajahku ke wajahnya kemudian menyatukan bibir kami dan melumat bibirku dengan lembut. Perlahan namun pasti ciuman kami menjadi lebih dalam. Aku berusaha mengimbangi ciumannya lalu membuka mulutku saat dia menggigit kecil bibir bawahku, memberi celah kepada Tora agar lebih leluasa melumat bibirku dan memainkan lidahnya di dalam mulutku. Lidah kami saling menyapa satu sama lain dan saling menghisap.
Lama kami berciuman, hingga dikagetkan oleh suara ponselku. Tora menghentikan ciuman kami, lalu menyuruhku untuk mengangkat telpon yang sudah mengganggu kami. Dengan malas aku mengangkat panggilan tersebut. Tora tersenyum melihat ekspresiku sambil membersihkan sudut bibirku dengan saputangannya.
“Ya Kak!?” kataku dengan malas.
“Mau sampai kapan kalian berciuman? Sampai besok pagi?!” tanya Kak Inka di seberang sana. Jantungku rasanya mau copot mendengar pertanyaannya.
Aku bertanya-tanya darimana Kak Inka tahu kalau kami sedang berciuman. Kuedarkan pandanganku dan menemukan Kak Inka berdiri di teras rumah. Tubuhku kaku seketika dengan HP yang masih menempel di telinga setelah menemukan keberadaan kakakku itu. Tak kuhiraukan Tora yang bertanya ada apa? Hingga dia menggoyangkan bahuku pelan membuatku menoleh padanya, dia masih menungguku untuk menjelaskan apa yang terjadi.
“Keluar kalian sekarang juga!” kata Kak Inka dari seberang sana.
“I..iya Kak.” Aku mengakhiri panggilan telpon dan menatap Tora yang bertanya-tanya.
“Kak Inka ada di depan, dia melihat kita berciuman dan menyuruh kita keluar,” kataku dengan lesu.
Dia mengalihkan pandangannya ke luar dan melihat Kak Inka yang masih memperhatikan kami. “Kalau begitu kita keluar sekarang,” katanya dengan tenang tanpa rasa gugup sedikitpun. Aku mengangguk lemah.
Saat mau membalikan badan menghadap pintu, aku tersadar kalau lampu didalam mobil Tora ternyata menyala. Pantas saja Kak Inka bisa melihat kami dari luar, ck.
Ternyata sebuah ciuman bisa membuat kami terlena dan lupa dengan sekitar, bahkan kami lupa dengan lampu yang menyala terang yang memungkinkan orang dari luar bisa melihat dengan jelas apa yang kami lakukan di sini.
“Sial.!” Umpatku, membuat Tora yang hendak keluar kembali duduk dikursinya.
“Ada apa?” tanyanya heran.
“Pantas saja Kak Inka bisa melihat kita, lampu dalam mobilnya hidup,” kataku tambah lesu.
“Sudah, tidak usah dipikirkan. Lebih baik kita temui Kak Inka,” katanya terseyum sambil mengusap-ngusap pipiku. “Atau mau aku cium lagi, hmm?” lanjutnya sambil menaikan sebelah alisnya.
“TORAA! Kak Inka melihat kita dari sana,” kataku cemberut sambil menunjuk Kak Inka yang masih memperhatikan kami dari teras. Dia tertawa kemudian keluar dari mobil. Aku ikut keluar setelah sebelumnya menenangkan diri dulu, tak lupa mengambil oleh-oleh yang diberikan Tante Alya tadi.
“Mesra sekali kalian sampai tidak peduli dengan keadaan sekitar.” Kak Inka menatap kami tajam secara bergantian. Aku tidak berani melihatnya.
“Maafkan kami Kak,” kataku lirih. “Kami khilaf telah melakukannya di dalam mobil yang terang gitu,” kataku lagi dengan sangat pelan, namun masih bisa didengar.
“Kakak nggak mau dengar alasan apapun,” katanya dengan ekspresi yang sangat serius, aku tak tahu harus berkata apa lagi.
“Ini semua salahku. Aku yang memulai ciuman itu, Andri sudah menolak tapi aku menahannya. Jadi Kakak marahi saja aku, jangan Andri,” Tora angkat bicara, tapi aku tak menyangka dia akan berkata begitu. Padahal aku tidak menolak ciuman itu, kami sama-sama menikmatinya. Tapi....
Aku menatapnya yang masih bersikap dengan tenang disampingku dan Kak Inka...dia menarik nafas panjang kemudian menatap kami lagi, lalu memijit pelipis matanya.
“Kamu kira Kakak buta? Kakak melihat semuanya dari awal dengan sangat jelas.” Kak Inka menatap Tora tajam. “Duduk..!” perintahnya, sambil menuju kursi yang ada didekat kami berdiri. Kami mengikutinya tanpa banyak bicara. Aku duduk di sebelah Kak Inka, sementara Tora duduk tepat dihadapan Kakak.
“Maafkan kami....tapi aku harap Kakak tidak memarahi Andri,” skali lagi dia meminta Kak Inka untuk tidak memarahiku. Ah dia benar-benar membuatku tersanjung akan sikapnya itu. Ku lirik Kak Inka, dia menghembuskan nafasnya kemudian menatap Tora lagi dengan tajam.
“Okey, Kakak tidak akan memarahi Andri. Tapi Kakak perlu menegur kalian.....” Kak Inka menghentikan kata-katanya dan memandang kami secara bergantian lagi. “..Kakak merestui hubungan kalian, bukan berarti Kakak memberikan kebebasan kepada kalian. Kakak juga tidak melarang kalian berciuman, tapi jangan seperti tadi, kalian berciuman di depan rumah dan di dalam mobil yang terang benderang begitu. Untung yang melihat Kakak, kalau yang melihat aksi kalian itu adalah Mama atau tetangga bagaimana? Dan tentu kalian tidak ingin hal itu terjadi bukan?” kami mengangguk tanda mengerti akan ucapan Kak Inka barusan.
Kak Inka memang benar. Jika saja yang melihat kami tadi adalah Mama, pasti beliau akan syok melihat adegan ciuman kami tadi. Dan jika saja ada tetangga yang melihat, pasti dalam waktu singkat aku sudah menjadi bahan gosip di komplek tempat tinggalku ini. Dan tentu Mama dan Papa akan sangat malu karena ulahku.
“Kami tidak akan mengulanginya lagi,” kata Tora akhirnya.
“Iya Kak, kami tidak akan melakukannya lagi,” aku ikutan angkat bicara.
“Okey, Kakak pegang kata-kata kalian. Kalau sampai Kakak lihat lagi, awas kalian!” katanya mengancam dan masih menatap kami dengan serius.
“Kakak bisa percaya sama kami,” kata Tora dengan sikap yang masih tenang dan datar. Kak Inka mengangguk-nganggukan kepalanya menanggapi ucapan Tora, sementara aku hanya diam ditempat dudukku.
“Oh ya, apa itu yang kamu bawa?” pandangannya tiba-tiba beralih pada barang-barang yang kubawa tadi dan berada dalam genggamanku.
“Oh, ini oleh-oleh dari Mama Tora yang baru pulang dari Bandung,” kataku sambil mengangkat barang-barang tersebut sedikit.
Kak Inka mengulurkan tangannya ingin melihat. Aku segera memberikan padanya. Setelah melihat sebentar Kak Inka berdiri dari duduknya, mengembalikan sebuah kantong yang berisi baju padaku, lalu membawa pergi kantong-kantong yang berisi oleh-oleh makanan bersamanya. Aku melongo menatap kepergiannya yang sudah mulai sampai di depan pintu, sementara Tora geleng-geleng kepala melihat tingkah Kakakku itu.
“KAKAK TIDAK SOPAN.! SEENAKNYA AJA MAIN AMBIL PUNYA ORANG..!!!” teriakku dari tempat duduk. Terdengar tawanya dari dalam sambil memanggil Mama, memberitahukan kalau dia punya oleh-oleh dari Bandung, ckckck.
Aku tidak percaya dengan sikap Kakakku itu. Baru saja dia membuatku seperti terdakwa yang ketahuan berbuat mesum, sekarang malah seenaknya membawa oleh-oleh pemberian Tante Alya, tanpa peduli lagi dengan kami. Sebenarnya oleh-oleh itu memang untuk keluargaku sih. -_-
*
Aku memasuki kamar Kak Inka, terlihat dia sedang berputar-putar di depan cermin memperhatikan penampilannya, sepertinya dia mau pergi kencan dengan Kak Rio. Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidurnya, memiringkan tubuhku kesebelah kiri, lalu memperhatikan Kak Inka sekali lagi.
“Bagus nggak?” dia bertanya sambil tetap mematut diri di depan cermin.
“Bagus, Kakak jadi kelihatan tambah cantik,” komentarku dengan serius. Malam ini Kak Inka memakai gaun panjang warna biru tegas yang membuatnya jadi tampak sangat cantik dan elegan.
“Makasih sayang,” katanya, kemudian merapikan rambutnya dan memeriksa make up-nya.
Setelah merasa penampilannya sudah oke, dia berjalan mendekatiku yang masih berbaring miring di atas tempat tidurnya lalu mengecup pipiku dan berlalu pergi meninggalkanku sendirian di kamarnya. Aku membaringkan tubuhku, mengambil HP dalam saku celana, kemudian membuka folder album. Nampak sederetan foto-fotoku bersama Tora yang belum lama ini kami ambil. Aku melihat foto tersebut satu-persatu, hingga berhenti pada satu buah foto yang sangat kusukai. Aku tersenyum pada kamera dengan Tora yang memeluk pinggangku, awalnya dia juga tersenyum namun pada saat hitungan ketiga tiba-tiba dia mencium pipiku. Aku senyum-senyum sendiri melihat foto tersebut. Sepertinya aku harus meminta Tora untuk mencetak foto ini karena dia memiliki mesin cetak sendiri di rumahnya.
*
Aku terbangun di kamarku, padahal semalam aku tidur di kamarnya Kak Inka. Pasti Kak Hendra yang memindahkanku ke sini. Kuraih HP melihat pesan yang masuk. Ternyata ada tiga panggilan tak terjawab dari Tora, rupanya dia menelponku semalam. Segera saja ku hubungi nomornya.
“Pagi sayang,” terdengar suaranya yang menenangkan di seberang sana.
“Pagi juga sayang, maafkan aku ya karena tidak tahu kalau kamu menelpon semalam. Aku ketiduran,” kataku menyesal karena tidak menjawab panggilan telponnya.
“Kamu nggak harus minta maaf, semalam aku cuma mau bilang kalau aku tidak bisa menemanimu ke Toko Buku hari ini, karena Mama minta tolong dianterin ke rumah Om ku yang ada di Bogor. Nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa, aku bisa pergi sendiri atau minta temanin sama Resti.”
“Kamu jangan pergi sendiri. Tapi kalau sama Resti tidak apa-apa,” katanya dengan cepat.
“Baiklah tapi.....kalau Resti nggak bisa, aku pergi sendiri aja ya?”
“Nggak! Kalau Resti nggak bisa, kamu perginya sama aku saja. Tunggu aku. Aku akan anterin Mama dulu, setelah itu aku balik dan nganterin kamu ke Toko Bukunya!” katanya sedikit tegas.
“Sayang aku kan nggak enak sama Tante kalau kamu harus bolak-balik Jakarta-Bogor gara-gara aku.”
“Tapi.....”
“Gini aja, jika Resti nggak bisa nemenin aku, aku akan minta Kak Hendra atau Doni yang menemaniku, gimana?” kataku akhirnya.
“Baiklah, aku setuju, asalkan kamu tidak pergi sendirian,” katanya setuju dengan usulku. Setelah titip salam ke Tante Alya, aku mengakhiri percakapan kami.
Aku keluar kamar dengan malas dan menuju kamar Kak Hendra yang terletak di sebelah kamarku. Aku memutuskan minta ditemani sama Kak Hendra dulu, siapa tahu dia mau menemani, kami juga sudah lama tidak jalan keluar bareng.
Dengan perlahan kubuka pintu kamarnya, terlihat dia sedang menelungkup dengan kuping tertutup headset dan tangan yang sedang memegang sebuah buku. Serius sekali kakakku itu. Aku berjalan mendekatinya yang tak menyadari kehadiranku. Setelah sampai didekatnya segera saja aku merebahkan tubuhku di atas punggungnya. Sejenak dia kaget kemudian menolehkan kepalanya ke belakang, setelah melihat diriku dia kembali keposisi semula, membaca bukunya. Aku menopangkan daguku ke pundaknya melihat buku apa yang dia baca, sebuah novel roman dewasa rupanya. Ternyata Kak Hendra sama dengan Tora. Setelah melihat apa yang Kak Hendra baca aku menyandarkan kepalaku ke punggungnya.
“Kak nanti siang temenin aku ke Toko Buku donk,” kataku setelah melepas headset dari telinganya.
“Kakak ada janji sama teman-teman Kakak,” katanya yang masih fokus dengan buku bacaannya.
“Ish Kakak selalu saja sibuk, kita kan udah lama nggak jalan bareng,” aku cemberut di belakangnya, walaupun dia tidak melihatnya tapi aku yakin dia tahu aku lagi cemberut.
Kak Hendra membalikkan tubuhnya yang ada di bawahku, membuat tubuhku rebah kesamping. Dia meletakkan buku bacaannya ke meja kecil di samping tempat tidurnya lalu mengacak rambutku.
“Yang sibuk itu sebenarnya siapa?” tanyanya sambil menarik ujung hidungku gemas. “Kamu, tahu nggak?!” katanya sambil membenarkan posisi rebahannya. “Setiap Kakak mau jemput kamu pulang sekolah, kamu selalu nolak dengan alasan pulang bareng teman. Nyatanya kamu pulang bareng ‘my lovely vampire’.” Tubuhku langsung kaku mendengar omongan Kak Hendra barusan. Detak jantungku sudah nggak karuan sekarang.
“K...Kak Hendra ta.....”
“Kenapa? Kaget karena Kakak tahu nama yang kamu kasih dikontak HP-mu untuk pacarmu itu?” katanya memotong ucapanku sambil mencubit hidungku. Aku hanya mengerjapkan mataku beberapa kali tanpa tahu harus berkata apa.
“Semalam, waktu Kakak mau mindahin kamu ke kamar, HP-mu berbunyi. Saat Kakak mau angkat, panggilannya berhenti. Dari situ Kakak tahu nama pacarmu itu. Ternyata Adik Kakak pacaran dengan vampir,” katanya memberikan penjelasan atas kekagetanku. Dan tentu saja sambil mengejek saat dia bilang kalau aku pacaran dengan vampir.
Aku menghembuskan nafas lega setelah mendengar cerita Kak Hendra barusan. Untung dia tidak sempat menjawab panggilan telpon dari Tora semalam. Namun setelahnya Kak Hendra mulai mengintrogasi aku, menanyakan apakah pacarku itu baik, sopan, dan bla, bla, bla..... dan untungnya lagi aku bisa menjawab dengan baik segala pertanyaan darinya, tapi tentu saja aku tidak memberitahu Kak Hendra kalau pacarku itu adalah cowok. Aku hanya memberikan jawaban yang seolah-olah menggambarkan kalau pacarku itu cewek.
*
Aku memasuki sebuah Toko Buku yang cukup ramai, mungkin karena hari ini adalah hari libur. Oh ya, akhirnya aku jalan bareng Resti, kebetulan dia juga lagi nggak ada kencan dengan Andre, karena Andre mau mengantarkan orangtuanya ke bandara. Resti bilang orangtua Andre mau honeymoon lagi, ckckck.
Selesai membeli buku yang kuperlukan, kami pergi ke Mall yang tak jauh dari Toko Buku tersebut. Sekarang aku menemani Resti belanja, sekalian aku juga mau membeli bahan-bahan makanan yang akan kubuat nanti, aku mau membuat Nugget Tahu Udang dan Ebi Furai, untuk Tora besok. Aku bisa membuatnya hari ini dan menyimpannya ke dalam freezer, jadi besok aku tinggal menggorengnya saja.
Saat kami melewati sebuah Distro, aku melihat sebuah hoodie terpajang di dalam Distro tersebut, hoodie warna hijau dengan sedikit tulisan dibagian dada sebelah kirinya. Aku memandang lesu pada hoodie tersebut karena tidak bisa membelinya. Sebenarnya aku sudah meminta uang pada Mama karena aku teringat pada hoodie ini yang kulihat beberapa hari yang lalu, tapi beliau tidak mau memberiku uang, dengan alasan aku sudah membeli hoodie baru bulan lalu. Resti menatapku dengan heran yang tiba-tiba berhenti, lalu memberikan tatapan yang seakan bertanya ada apa. Aku hanya menunjuk lesu pada hoodie yang terpajang tersebut, kemudian menarik tangannya untuk segera pergi meninggalkan tempat tersebut.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, semua bahan yang kuperlukan sudah kubeli, Resti juga sudah membeli barang-barang yang diperlukannya. Sekarang saatnya cari makan karena perut kami sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Kami memilih restoran cepat saji karena sepertinya restoran tersebut tidak begitu ramai, jadi kami tidak perlu menunggu lama.
Saat kami mencari spot yang bagus untuk duduk, kulihat seseorang melambaikan tangannya kearah kami. Ternyata Revan, kami menghampirinya yang duduk agak ke pojok. Ternyata Resti masih ingat dengan Revan, karena sejak pertama kali bertemu dulu dan sekarang ini adalah pertemuan kedua mereka. Dan kelihatannya Revan juga mudah akrab dengan Resti.
Revan menawarkan diri untuk mengantarkan kami pulang. Aku dan Resti sempat menolak tapi Revan malah bersikeras mau mengantarkan kami. Akhirnya kami mengalah, tapi Resti malah harus ke toilet dulu, sementara aku dan Revan menunggu di tempat parkir. Saat menunggu Resti aku mencoba meng-cek HP-ku, melihat pesan masuk, karena tadi Tora sempat mananyakan keberadaanku. Setelah membalas pesannya, dia tidak membalas lagi pesanku, dan saat ini juga tidak ada pesan balasan darinya. Aku menghembuskan nafas ringan lalu memasukan kembali HP-ku ke dalam saku celana.
“Ada apa?” tanya Revan yang sepertinya heran melihat ekspresiku.
“Tidak ada apa-apa, hanya melihat pesan masuk saja,” balasku mencoba tersenyum padanya. Dia mengangguk-nganggukkan kepalanya membalas senyumanku.
Sejenak kami diam, tapi kemudian Revan mengungkapkan sesuatu yang membuatku cukup kaget mendengarnya.
“Oh ya Dri, aku...aku mau bilang sesuatu,” katanya sedikit ragu.
“Mau bilang apa?” tanyaku.
“Sebenarnya sejak pertama melihatmu aku sudah tertarik sama kamu. Aku sudah mencoba untuk menghilangkan perasaan ini, karena aku tahu kamu tidak sama denganku. Maksudku aku seorang gay. Namun semakin ke sini, rasa suka itu semakin tumbuh. Mungkin kamu akan jijik atau berhenti berteman denganku setelah aku memberitahukan tentang perasaanku ini, tapi aku tidak bisa lagi membohongi perasaanku. Aku suka kamu, dan berharap kamu mau menjadi pacarku.” Aku tertegun mendengar penjelasan Revan tentang perasaannya.
Ternyata Tora benar kalau Revan menyukaiku, ah, kenapa dia selalu benar. Apa gaydarnya sangat kuat atau jangan-jangan pacarku itu seorang cenayang. Ah pikiranku sudah nggak jelas. Tapi aku harus memberikan kepastian kepada Revan kalau aku tidak bisa menjadi pacarnya, karena aku sudah memiliki Tora.
“Rev, jujur aku tak menyangka akan mendengar pernyataanmu ini, tapi maaf....aku tidak bisa menerima perasaanmu, karena aku.....”
“Andrii..!!”
Aku menolehkan pandanganku ke arah suara yang memotong ucapanku. Aku kaget melihat Tora yang tak jauh dari tempat kami berdiri. Sepertinya dia akan salah paham karena raut wajahnya tidak bersahabat sedikitpun. Aku menelan ludahku saat dia berjalan mendekat ke arah kami. Sementara Revan menatap Tora dengan heran.
“Tora....?!” baru saja aku menyebut namanya yang sudah hampir dekat denganku, tiba-tiba dia langsung saja melayangkan sebuah pukulan ke wajah Revan, membuat Revan terhuyung dan tersandar ke mobilnya. Aku segera menahan tubuh Tora yang mungkin saja akan memukul Revan lagi.
“Jangan pernah mendekatinya lagi!” kata Tora penuh amarah, lalu menarikku menjauhi Revan yang masih bingung di tempatnya karena mendapatkan sebuah pukulan secara tiba-tiba.
Susah payah aku mengimbangi langkahnya yang berjalan cepat, bahkan aku berusaha menarik tanganku namun dia tidak mau melepaskannya. Walaupun pegangannya tidak sakit namun cukup membuat jalanku jadi susah.
Dia membuka pintu mobilnya kemudian menyuruhku masuk. Setelah memastikan aku duduk, dia menutup pintunya agak keras yang membuatku terlonjak kaget. Kemudian dia berjalan ke arah pintu sebelah kanan, lalu duduk dibelakang kemudi. Dengan perlahan aku melirik ke arahnya yang masih diam dengan nafas yang tak beraturan. Wajahnya yang putih pucat berubah menjadi merah karena marah. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan mencoba bersikap tenang. Aku harus menjelaskan padanya kalau tidak ada apa-apa diantara aku dan Revan.
“Tora...tolong jangan salah paham,” kataku pelan. Dia menolehkan kepalanya padaku, manatapku tajam dan dingin. Aku jadi tidak tahu harus menjelaskannya dari mana.
“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya dingin. Masih terlihat kemarahan di wajahnya.
“Kami tidak melakukan apa-apa,” jawabku.
“Kalian pergi berdua dan belanja sebanyak ini. Lalu kamu bilang tidak melakukan apa-apa!?” tanyanya seolah tak percaya dengan jawabanku.
“Tidak...aku tidak pergi dengannya, tapi dengan Resti,” jawabku cepat.
“Resti? Sejak kapan Resti berubah jadi pria!?”
“Kebetulan kami bertemu dengan Revan di sebuah restoran, lalu dia mau mengantarkan kami pulang, tapi Resti pergi ke toilet sebentar, jadi kami menunggu di sana,” kataku menjelaskan.
“Berikan HP-mu dan buka kuncinya,” katanya dingin.
Aku memberikan HP-ku setelah membuka kuncinya. Terlihat dia mencari-cari sesuatu, kemudian memanggil sebuah nomor yang ada di dalam daftar kontakku. Sepertinya dia menghubungi Resti. Dia melakukannya berkali-kali namun kelihatannya tidak ada jawaban dari Resti. Kemudian dia memukul stir mobilnya dengan keras, membuatku jadi takut. Aku sudah menjelaskan dengan jujur padanya, tapi Tora belum mau menerima penjelasanku. Hanya Resti yang bisa membuatnya yakin untuk saat ini.
“Tora tolong percaya padaku, aku memang pergi dengan Resti dan kami bertemu Revan hanya kebetulan,” kataku mencoba meyakinkannya. Namun dia tidak menggubris ucapanku sedikitpun. Setelah memberikan kembali HP-ku, dia memakai safety belt dan mulai menghidupkan mobilnya.
“Aku antar kamu pulang,” katanya masih dingin.
“Tora....”
“Maaf sayang aku belum bisa menerima penjelasanmu saat ini, tolong jangan bicara apapun lagi. Dan kamu tentu masih ingat kan dengan perkataanku di Toko Buku dulu, tapi kamu tetap saja pergi dengannya.” Aku hanya diam di sampingnya.
Aku teringat lagi dengan perkataan Tora beberapa waktu lalu saat kami berada di parkiran sebuah Toko Buku. Tora mengatakan kalau Revan menyukaiku, dan ternyata itu benar. Dia juga melarangku untuk bertemu dengan Revan, tapi aku pernah pergi keluar dengannya. Tapi aku tidak menganggap itu sebuah kencan, aku menganggapnya hanya sebuah ajakan dari seorang teman, tidak lebih. Sama seperti aku pergi dengan Andre atau Reno.
Aku dikagetkan oleh bunyi HP yang menandakan ada panggilan masuk. Saat ku lihat, ternyata yang menelpon adalah Revan. Aku tidak mengangkat penggilan tersebut, hanya membiarkannya sampai berhenti. Kulirik Tora. Dia tidak melihat sedikitpun ke arahku, seolah tak peduli. Revan mencoba menghubungiku lagi, namun aku tetap tidak mau menjawab panggilannya. Setelah berhenti, aku mematikan HP-ku lalu memasukannya ke dalam saku celanaku. Menjawab panggilan Revan sama saja dengan memperkeruh keadaan.
Sepertinya aku harus menghubungi Resti nanti, dan menceritakan kejadian tadi padanya. Dan aku juga harus minta bantuannya, untuk memberikan penjelasan kepada Tora kalau kami benaran pergi berdua.
Saat sampai didepan rumahku, Tora masih diam bahkan saat aku berpamitan padanya, dia tidak menoleh sedikitpun padaku. Dan baru saja aku menutup pintu mobilnya, dia segera menjalan mobilnya dengan kecepatan yang lebih tinggi dari biasanya. Aku menatap kosong kepergiannya diikuti sebuah cairan bening yang jatuh ke pipiku. Ah, kenapa aku jadi cengeng begini, ck.
Abang kenapa nangiss (✿ *´ `*)
Adek sayang abang (✿ *´ `*)
Muakakkaka .. next part kaka
daaah nikahi aja Andri biar aman Tor.
Btw tora posesug anget sihh..kasian kan andrinya......
Cup..cup..cup... Nggak usah nangis ya andri... Ada kkak disini....hihihi
@liezfujoshi Hahahaha...kak fujo ini mah :P
@amostalee *lebay*...dia nangis karena dicuekin pacar
@3ll0 nikahnya setelah tora kerja
@liezfujoshi revan itu make prinsip 'siapa yang cepat dia yang dapat', makanya cepat2 diungkapinnya :v
tapi sayangnya dia tetap kalah cepat sama tora lol..
@JosephanMartin itu salah satu resiko punya pacar posesif...
@liezfujoshi lebih lakik si tora...