BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

STAY [CERPEN]

edited December 2015 in BoyzStories
STAY.


Gue melirik Rega yang tersenyum ke arah gue. Wajahnya yang putih mulus itu terlihat amat memukau, dengan senyum manisnya yang membuat sesuatu di dalam dada gue merekah saat melihat senyum itu dia sungging. Selalu.

Detik pertama, bibir gue menekuk, menyajikan senyum khas gue yang selalu Rega bilang sebagai senyum terkonyol di dunia. Dan di detik berikutnya, gue seperti terperosok dalam jurang kenangan. Semua indra gue seperti terserap ke dalam diri, berhenti berfungsi. Kemudian memoar indah itu mencuat ke permukan.
I want you to stay.

***


“Udah capek belum? Huh?” Rega mendekatkan bibirnya ke daun telinga gue sambil membetulkan posisinya yang berada di punggung gue.

“Belom!” kata gue tegas sambil mengangkat tubuh Rega lagi agar lebih nyaman dalam gendongan gue. Cowok gue terkekeh kecil, tawanya terdengar amat syahdu. Seperti air yang merembas ke dalam spons.

“Bohong!” sahut Rega sambil terkikik. Gue mendengus sebal, gue tahu banget dia lagi meledek gue, dan gue sangat mengerti bahwa cowok berzodiak Cancer ini sedang ingin gue jahili.

“Berhenti, Reno!!! Pelan-pelan, nanti jatuh! Ih! Reno...” racau Rega sedikit terikikik. Dia meruntuki gue sambil menggigit gemas daun telinga gue, mencoba membuat gue berhenti. Namun gue tahu banget, di dalam hatinya, Rega ingin gue berlari lebih cepat dengan posisinya yang berada di belakang punggung gue.

Tebakan gue benar! Rega melepas gigitannya, tangannya yang selalu terasa pas saat menjamah tubuh gue itu mendekap gue erat.

Langkah gue semakin jenjang dan cepat, tubuh Rega yang lebih kecil dari gue itu serasa terapung-apung di belakang punggung gue. Kalau saja dia—satu-satunya orang yang gue miliki—nggak memeluk gue dengan erat dan gue nggak memegangi kakinya dengan mantap mungkin Rega sudah terjungkal dari gendongan gue.

Semakin lama tawanya semakin membahana, gue pun ikut tertawa bersama Rega. Lelah yang gue rasa seakan-akan menguap begitu aja. Tiap kayuhan kaki gue serasa membawa gue dan dia ke dalam dunia milik kami berdua.

Monas di malam hari, dengan beberapa pengunjung dan pedagang yang melirik aneh ke arah kami, nggak sama sekali menjadi penghalang keseruan gue dan Rega. Selagi kami nggak bertindak senonoh, nggak melecehkan siapa pun, kami nggak takut atau pun khawatir dengan pandangan mereka terhadap kami.

“Hah! Payah! Cuma segini doang? Sebelumnya lebih jauh dari ini, tauk!” keluh Rega saat dia gue turunkan dari punggung gue. Gue cuma mencebik kecil sembari memburu oksigen yang paru-paru gue butuhkan.

Rega beringsut mencari posisi duduk yang pas, dia memilih bersandar di bawah pohon Palm. Gue berhenti di area utara Monas dari pintu masuk IRTI. Duduk di gundukan yang menghadap langsung monumen berpucuk emas tersebut. Dengan peluh yang terus mengucur dari dahi, telungkuk serta pundak gue.

“Makanya jangan ngerokok mulu! Nggak kuat-kan gendong gue lama-lama,” runtuk Rega sambil merogoh air mineral dari dalam tasnya.

“Bawel!” sahut gue sambil menyeka peluh yang terus mengucur dari dahi dengan punggung tangan.

“Itu namanya sayang, oon! Diperhatiin kok malah nggak mau.” Rega melemparkan botol tersebut ke gue, dengan cekatan gue menangkapnya lalu membuka kemudian meneguk isinya.

Gue meneguk air mineral itu seperti orang ke setanan. Seakan-akan gue baru aja pulang dari acara Maraton di gurun Gobi. Mungkin benar kata cowok gue, kebiasaan gue merokok membuat paru-paru gue melemah dan berpengaruh ke organ-organ lainnya.

Rega menekuk bibirnya, gue bisa melihatnya dari ekor mata gue. Gue putar cepat tutup botol air mineral tersebut lalu gue jatuhkan asal ke rumput di bawah kaki gue itu.

“Kalo sayang, cium dong?” ledek gue sambil menarik tas kami ke dekat gue dan merebahkan kepala gue di atasnya.

Rega spontan mencebik dan gue menanggapinya dengan tawa. “Ogah, ah! Mulut lo bau rokok, busuk!” celetuknya sadis. Namun ekspresinya menggemaskan.

Seperti mantra, Rega dan semua prilakunya seakan-akan mampu membuat apapun yang gue rasa dan gue punya terasa baik. Cinta dia ke gue yang membuat semua hal itu terasa sempurna. Jika orang menanyakan cita-cita gue, maka gue akan menjawab dengan mantap. Cita-cita gue adalah, selalu melihat cowok manis di samping gue ini bahagia, bahagia karena gue. Karena kebersamaan kami.

“Berarti, tadi bilang sayangnya bohong ‘tuh!” ledek gue sambil menarik asal rumput di bawah tangan gue lalu melemparkannya ke wajah Rega, walaupun nggak kena.

Gue angkat kepala gue yang tadi rebah di atas tas ke paha Rega sambil melirik kondisi sekitar. Sepuluh meter, arah jam sembilan dan arah jam tiga dari tempat kami ada pasangan hetero. Gue mengamati mereka sebentar sebelum kepala gue benar-benar bersandar nyaman di paha Rega yang agak kurus itu.

CUP.

Gue mendelik ke arah Rega. Darah gue seakan-akan terpompa lebih kencang dari saat gue lari tadi. Namun tubuh gue serasa membeku di tempat, entah gimana raut wajah ganteng gue sekarang. Yang pasti Rega terlihat santai aja sambil mengangkat kepalanya kembali setelah mencium bibir gue barusan.

“Eh, dicium beneran,” seloroh gue yang masih nggak percaya. Benar-benar belum percaya kalau cowok gue berani cium gue di tempat umum. Cium di mulut lagi, walaupun sesaat dan terkesan biasa aja, tapi bagi gue adalah hal yang sangat spesial dan berani.

Kami gay! Bukan hetero, Public Display Affection itu hal yang sangat riskan di lakukan. Well, nggak juga sih! Soalnya gue hampir selalu suap-suapan saat sedang makan di luar rumah. Tapi kan ini ciuman, bukan suap-suapan atau pegangan tangan.

Meski di Monas sunyi, tetapi di dalam hati gue sarasa sedang berada di penghujung tahun. Penuh dengan letupan kembang api yang menggelegar digjaya dan menghasilkan cahaya yang indah, seakan-akan gue bisa melihat semua itu di balik kelopak matanya. Sungguh, rasa bahagianya sangat nyata.

Rega mengerenyit. “Jadi, tadi minta ciumnya cuma bohongan?”

Gue menggeleng cepat. “Nggak! Beneran kok.”

“Ngeselin! Tau gitu nggak gue cium deh!” tambahnya dengan bibir yang ditekuk lebih parah dari sebelumnya.

Gue tertawa kecil melihat Rega yang memalingkan wajahnya dari gue. Gue mendongak untuk melihat raut wajahnya. Kalau udah kayak gini, si Movie freak nggak bisa didiemin gitu aja, bisa-bisa mood-nya jadi jelek sepanjang malam ini.

Kalo dia ngambek, ntar di rumah, gue nggak dikasih jatah! Gimana dong?

“Cie... ngambek,” ledek gue sambil mencolek pinggangnya.

Rega menepis tangan gue cepat-cepat, membuat gue terkekeh geli. “Gue hitung sampe tiga! Kalo masih ngambek, gue cium nih!” gue memperingatinya. Namun, bukan Rega pacar gue kalau dia langsung nurutin kata-kata gue. Cowok unyu gue ini bengalnya kebangetan. Kudu pakek cara ekstra biar dia mau nurut apa kata-kata gue.

“Tiga!”

Gue bangkit dari posisi rebah gue di paha cowok penyuka segala olah susu tersebut, gue raup wajahnya lalu gue cium. Rega memukul kepala gue karena kaget dengan ciuman gue yang tiba-tiba.

Tawa gue pecah, tangan gue yang kokoh terjulur cepat ke pinggangnya dan jari gue yang besar itu menari di sana. Membuat Rega mengelijang dan tertawa terbahak-bahak.

Round and around and around and around we go
Now tell me now tell me now tell me now you know.

You bastard, I love you, bastarsd!” runtuk Rega sambil memukul-mukul dada gue yang sadang bergerak kembang kempis sehabis melakukan hal konyol kami tadi.

Love ya too, Gege!” sahut gue sambil meniup wajah Rega yang berjarak nggak lebih dari lima senti meter di depan gue.

Kami rebah bersisian, menikmati angin malam yang menerpa agak kasar. Peluh turun, kebahagian merangkak naik. Gue merasa sangat penuh, dan gue yakin itu juga yang Rega rasakan. Saat tangannya yang hangat itu menggenggam tangan gue yang kekar, gue merasakan, bahwa Rega juga dipenuh kebahagian.

Not really sure how to feel about it
Something in the way you move
Makes me feel like I can’t live without you
It takes me all the way
.
.
.

I want to you stay.


***




Please?” mohon gue ke Rega. Dia masih di posisi yang sama, tersenyum sumringah ke arah gue.

Dengan tangan gemetar gue raih Rega. Rata, tubuhnya nggak lagi hangat dan dia nggak ngerespon sentuhan gue sedikit pun. Gue pun nggak merasakan lembut kulitnya, dia memang lembut, tetapi lembut yang berbeda.

Dingin. Gue merasa hati gue di selimuti hawa dingin yang entah berasal dari mana. Mata gue kembali memanas, jantung gue berdetak semakin pelan, seakan-akan lelah dan nggak lagi berani menghadapi kenyataan.

Suara-suara tangis di belakang gue terus mendengung, meskipun masih kalah keras dengan suara hati gue yang menjerit-jerit nggak rela.

Gue emang nggak berkata banyak saat datang ke rumah ini, rumah orang tua Rega. Tetapi, gue serasa udah berkata banyak, meraung-raung dan mengumpat keadaan. Mengumpat takdir yang Tuhan suratkan.

Kenapa harus Rega? Kenapa? Apa Tuhan belum puas?

Bokap, nyokap, adik, dan kini Rega. Kenapa bukan gue yang Tuhan panggil!

“Ge, I need you, always. Please, stay.” Gue menunduk. Gue tahu betul, ratusan bahkan sampai gue bisu pun Rega nggak mungkin kembali, Rega nggak mungkin hidup lagi, dia nggak mungkin bisa menemani gue lagi.

The reason I hold on
Cause I need this hole gone.


***


“Gege! Rokok gue mana?” teriak gue dari dalam kamar. Gue menunggu sambil terus mengubek-ngubek kamar kami. Gue masih inget banget, kalo tadi malam itu gue naro kotak rokok gue di atas nakas. Udah bisa dipastikan kalau Rega yang ngumpetin.

Gue tendang pelan kaki nakas membuat handycam—yang tadi malam kami pakai untuk merekam ke-absurd-an kami—di atas nakas itu bergeser untung nggak sampai jatuh. Sebal, karena rokok gue belum juga ketemu-temu padahal mulut gue udah asem banget pengin ngerokok sehabis sarapan pagi. Nanti, gue harus nyembunyiin rokok gue sebelum diumpetin sama pacar gue yang manis tapi ngasemin, kek permen nano-nano gitu dah!

“Heh! Mana rokok gue?” tegur gue ke Rega yang duduk santai di meja makan. Dia melirik gue dengan cara khasnya, lirikan menyebalkan yang pernah ada. Lirikan yang bisa di artikan, lo siapa ya, bitch!

“Gue buang! Sampahkan? Ada di dalem kamar sih, ya gue buang lah.” Dia menyudahin tatapannya yang menyebalkan itu, dia kembali fokus menyuap Nachos-nya. Rega itu makannya lelet, pakek banget! By the way.

“Ugh! Nyebelin lo!” umpat gue ke si Vegetarian abal-abal. Vege, maka dari itu gue manggil Rega dengan panggilan sayang, Gege. Buat gue itu manis aja, ya walaupun kelakuannya nggak sama sekali manis ke gue.

Di balik ngeselinnya Rega, gue tahu banget kok kalo dia sangat sayang sama gue, begitu pula gue. Buktinya, dia berdiri dari duduknya, meninggalkan Nachos kesukaannya, lalu mendudukan gue ke kursi—walaupun masih dengan raut wajah jutek—meletakan susu putih yang dia buatkan buat gue, menyiapkan tas gue dan memberikan belasan butir permen supaya gue nggak ngerokok di bengkel. Meski Rega tahu bahwa gue akan tetap merokok, lagi dan lagi, sesering apapun dia membuang rokok dan memberikan permen ke gue.

Gue menenggak susu itu cepat-cepat, masih ada aura sebal yang berkobar di dalam dada gue. Kemudian, pandangan kami bertabrakan. Gue yang lagi berada di dalam ingatan seakan-akan tenggelam lagi ke dalam memori yang ada di ingatan gue. Seperti menonton Ova di dalam Anime.

Tiga tahun gue hidup bersamanya, pertemuan kami amat sederhana. Gue melihatnya berdiri di dalam satu gerbong kereta yang sama dengan gue. Dia berbalut kaus bergambar Tasmania, dengan celana dan sepatu olah raga, dia habis joging di daerah Tebet waktu itu.

Saat pertama kali dia memasuki kereta yang lumayan sepi, cowok bermuka oval dan berambut selalu dipotong pendek itu sudah berhasil mencuri perhatian gue. Rega saat itu terlihat sangat cute rambutnya yang basah pula bibirnya, pipinya yang merah, tubuhnya yang kurus dan putih bersih itu sangat-sangat menarik perhatian gue.

Cowok itu mahluk visual, benarkan? Cowok menyukai seseorang dimulai dari penampilannya. Karena memang betul, penampilan membuat orang tertarik, kemudian kepribadian membuat orang bertahan.

Gue mulai flirting ke Rega, walaupun dia meresponnya dengan acuh tak acuh. Kami turun di stasiun yang sama. Stasiun Manggarai. Dengan gugup gue datangi dia, gue buka obrolan yang jika sekarang diingat-ingat itu adalah momen lucu dan selalu jadi olok-olokkan Rega ke gue.

Setelah itu, gue berhasil mendapatkan kontaknya, di menit-menit terakhir saat kereta tujuan Bekasi yang dia tunggu-tunggu datang. Gue berikan senyum terbaik gue saat dia sudah masuk ke dalam gerbong. Dia melirik gue sekilas saat gue tersenyum untuknya, dan dia tersenyum balik ke gue.

Senyum pertamanya buat gue, senyum yang teduh dan selalu gue inget. Sampai kapan pun.

Kemudian yang terjadi selanjutnya itu sealami cinta yang hidup di dalam hati kami berdua. Merekah perlahan seperti bunga, mengecap pahit manisnya cinta selayaknya keragaman rasa, menyatu dan semakin erat karena memang itu sejatinya cinta dicipta.

“Babang!” panggil Rega yang langsung membuat gue terhenyak dari ingatan.

“Babang!” panggilnya sekali lagi. Gue mendesah kecil saat sadar Rega memanggil gue dengan sebutan, babang. Entah kenapa, gue selalu suka tiap cowok yang hidungnya mancun-mancung pesek itu memanggil gue dengan sebutan, babang. Karena itu sangat jarang!

“Apa?” sahut gue dengan nada malas, gue masih sedikit sebal karena cowok bermata almond di hadapan gue ini membuang rokok gue tadi.

“Nggak usah ngebengkel dulu deh!” katanya sambil berusaha mengunyah Nachos suapan terakhirnya.

“Jih! Nggak bisa, udah ada janji sama orang buat nyelesain motornya hari ini. Kemarin kan udah pulang cepet, jemput Gege di UIN.” Gue menjejalkan permen yang telah gue buka ke dalam mulut. Untuk minimalisir rasa ingin merokok.

“Pengin ke PGC nih, mau benerin laptop sama lihat-lihat hape, Oppo gue udah mulai nggak enak nih. Ayoo... anterin!” rengeknya. Hati gue memberat, seakan ada ribuan serangga yang hinggap di dalam hati gue. Entah kenapa rasa resah muncul tiba-tiba.

“Besok aja ya, babang beneran ada janji nih, nggak enak kalo nggak nyelesainnya. Soalnya udah dipending dari kapan tau nih motor.” Gue berharap cowok gue itu mengerti, ya meski gue tahu kalau Rega akan sulit mengerti.

“Gue ngidam makan Gokana nih! Tapi penginnya lo yang nyuapin.”

Nah! Benerkan kata gue, Rega tuh batu kalo udah maunya, ya maunya. Dia ngegemesin walau terkadang ngeselin. Manusiakan nggak terlepas dari sikap baik dan buruk, gue juga gitu kok, cuma gue kurang nyadar aja sifat buruknya gue.

“Besok, ya...” kata gue pelan. Berharap kali ini dia mengerti. Entah kenapa gue jadi berat ninggalin rumah yang kami sewa ini. Ninggalin Rega sendiri.

“Tapi jalan ke bengkelnya, ntar-ntaran aja ya!” cetusnya tiba-tiba. Gue mengerenyit bingung. Rega berdiri dan mendekati gue. Tangannya yang kurus itu menyentuh dada gue, mengelusnya dengan lembut, persis seperti tadi malam dia tertidur tanpa melepaskan pelukannya sedikit pun seakan-akan esok nggak ada lagi waktu buat kami.

“Bang, ke kamar yuk.”

Gue tepuk jidat gue, tawa gue pecah seketika, ada angin apa nih orang. Biasanya juga selalu jual mahal kalau gue minta bagian.

Rega menarik lengan gue hingga kami rebah di atas ranjang. Aroma Ocha dengan jelas menguar di dalam sini. Rega itu seorang Otaku, ketertarikkannya atas Jepang itu sangat besar, untung nggak pathetic. Jadi wewangaiannya pun nggak jauh dari Jejepangan.

Dia bergerak pelan sebelum berhenti saat rebah di atas dada gue. Tangannya yang kurus itu membelit pinggang gue yang ramping, kini gue bisa merasakan bibirnya yang penuh itu mencium lembut leher gue. Aroma shampo dari rambutnya menarik minat gue untuk mengecup pucuk kepalanya.

“Kenapa sih, Ge?” tanya gue penasaran. Ya, karena nggak biasanya dia begini.

Rega nggak menjawab, dia diam dan menambah erat pelukannya. Gue usap-usap pelan kepalanya. Pagi itu serasa teduh, seperti hari yang menyatu dengan kami. Gue bahkan bisa mendengar jelas deruan pelan kendaraan yang sesekali berlalu lalang di depan gang rumah kami. Kicauan burung yang mungkin sedang bertengger di atas tiang listrik. Semuanya terasa syahdu.

Gue melirik Rega yang sedang termangu di atas dada gue. “Ntar gue mau pulang ya.”

“Seminggu lalu bukannya udah pulang ya?” tanya gue setengah protes. Soalnya Rega kalau udah pulang bisa lebih dari dua hari nginap di rumahnya. Ya, gue tahu sih, bokap-nyokapnya Rega juga berhak dia jenguki.

Lagi-lagi Rega nggak menjawab.

“Bang, makasih ya tiga tahunnya. Makasih buat semuanya, maafin gue ya kalo suka buat lo kesel, sering bertingkah kayak anak kecil, batu, bengal—“

“Bawel! Judes! Dan lain-lain yang hampir buat kepala gue pecah!” potong gue.

Rega hanya tersenyum simpul, seperti seorang yang kelelahan. “I really-really hate you, but I do really-really love you.”

Gue nggak membalas kata-kata cintanya, gue hanya tertawa. Dan gue menghabiskan waktu beberapa jam di tempat tidur dengan saling berpelukan. Hingga akhirnya gue pergi ke bengkel saat Rega terlelap.

***

Pagi itu, adalah pagi terakhir kami.

“Ge...” sekarang gue nyesel banget nggak membalas kata-kata cinta terakhirnya buat gue.

Air mata gue kembali jatuh, “Maafin babang, Ge!” ucap gue penuh penyesalan.

Namun Rega nggak bergeming, dia tetap tersenyum ke arah gue. Gigi putih bersihnya itu berjajar rapih, sangat indah, dan masih tetap sama.

Ada ribuan penyesalan yang seakan-akan datang kembali dan membebani pundak gue.

Semua kejadian tadi pagi seperti terulang kembali di dalam kepala gue, di balik kelopak mata gue. Terputar dan membuat hati gue semakin kelam. Tadi pagi kami terlihat amat manis, tapi sekarang? Semua kejadian itu seperti momok buat gue. Gelap, dingin seakan-akan guelah orang yang telah membuat Rega terbujur kaku di belakang gue.

Gue berbalik badan, meninggalkan lukisan Rega yang sedaritadi gue pandangi dan gue sentuh.

Tanpa aba-aba, air mata gue turun, lebih banyak dari yang pernah keluar. Gue menangis dalam diam, di tiap langkah gue mendekati jenazahnya yang terbujur kaku dan di kelilingi orang-orang yang sedang mendoakannya. Serasa seperti menyayat hati gue sendiri. Kematian memang hal yang pasti, tetapi gue nggak bisa membohongi diri, gue nggak bisa berhenti untuk tidak menyalahkan diri gue sendiri. Karena memang gue penyebabnya.

Kalau aja... gue lebih milih nganterin Rega ke PGC.

Tungkai kaki gue melemas, tubuh gue merasa amat lelah. Perasaan gue seakan dilanda badai, dan gue sedang kalang kabut sendirian. Dulu saat semua keluarga gue meninggal dalam kecelakaan kendaraan di jalan toll, ada Rega yang nemenin gue, yang menopang gue. Sekarang? Gue sendirian, dan semua ini dikarenakan kebodohan gue seorang.

Kalau aja... gue nggak memotong ucapan-ucapan terakhir Rega saat di kamar itu.

Serasa ada yang menyiram luka gue dengan perasan air jeruk. Amat perih. Gue menyebabkan orang yang gue cinta pergi karena kebodohan gue sendiri. Gue muak, muak dengan diri gue sendiri.
Funny all the broken ones
But I’m the only one who needed saving
Cause when you never see the lights
It’s hard to know which one of us is caving.


Tangan gemetar hebat saat terjulur ke wajah Rega yang pucat. Tetapi, nyokapnya Rega memeluk gue terlebih dahulu, membuat gue gagal menggapai jenazah anaknya.

“Ikhlasin, Ren...” kalimat yang keluar dari mulut nyokapnya Rega malah menyiksa gue, membuat gue nggak terima bahwa dia yang gue cinta harus pulang secepat ini.

Ntar gue mau pulang ya, Bang. Kata-kata yang Rega ucapkan kemarin tergiang lagi. Dan di saat bersamaan gue merasa ada yang menumbuk-numbuk hati gue. Gue benar-benar telah kehilangan satu-satunya orang yang gue miliki. Karena ketololan gue sendiri.

Gue menghapus semua air mata. Gue tersenyum tulus ke arah jenazah Rega. Demi tuhan, rasa sakitnya benar-benar nyata. Pedih yang teramat sangat, seakan-akan gue sedang menancapkan belati ke tenggorokan gue sendiri.

Gue hembuskan nafas berat dengan perlahan, berusaha meredam gemuruh hebat yang mengacaukan semua yang berada di dalam diri gue. Gue julurkan tangan gue ke arah Rega, menggapai wajahnya yang pucat. Dingin, dan kosong, dia benar-benar telah pergi. Pergi dari gue, meninggalkan gue sendirian di dunia ini.

Lalu perlahan gue mendekat, membuat wajah kami berjarak nggak lebih dari lima senti meter. Gue seperti menelan bogkahan daging busuk yang seakan-akan mengganjal kerongkongan. Nyokap Rega kembali mengelus-elus pundak gue. Berusaha membuat gue tegar walaupun gue nggak ngerasa terbantu sedikit pun.

Gue menutup mata, mencegah air mata ini jatuh kembali saat gue benar-benar sadar bahwa Rega nggak lagi bernafas.

“Gege, bangun! Babang nggak mau sendirian.” Gue menggigit bibir saat gue merasa air mata ini akan kembali jatuh. Gue nggak boleh nangis di hadapannya. Kerena memang gue belum sekali pun menangis di depannnya, dan gue yakin Rega pun pasti nggak suka.

Please, ini nggak lucu Ge. Jangan becanda.” Gue rela disebut gila. Asalkan sekarang Rega bisa kembali membuka matanya, meski itu hal yang sangat tidak mungkin.

“Ge... bangun. Katanya Gege pengin ke PGC, kita beli hape baru ya Ge, sekalian laptopnya. Pakai uang babang aja, ada kok. Pulangnya, kita makan di Gokana. Katanya Gege ngidam makan di Gokana... nanti babang suapin sampai makannya habis kok Ge...” ratap gue putus asa sambil mengelus wajahnya yang kaku.


“Ge...”

“Ikhlasin Ren... relain,” ucap nyokap Rega sambil menarik gue ke dalam pelukkannya.

“Rega pergi karena Reno, bu!” balas gue dengan nada yang agak tinggi. Tangis gue pecah lagi dalam pelukan nyokap Rega.

“Rega pergi karena memang sudah saatnya, bukan karena Reno.”

Gue menatap perempuan paruh baya itu, perempuan berhati besar yang telah mengetahui dan merestui hubungan kami walau beliau menentangnya saat pertama kali tahu.

Perasaan yang berkembang ini adalah cinta, lalu apa yang harus dikhawatirkan darinya? Sampai kapan pun gue akan ingat kata-kata Rega saat kami come out kepada orang tuanya.

“Rega pergi karena jadi korban tabrak lari, kalau aja Reno mau nganterin Rega...” gue nggak kuat melanjutkan ucapan gue.

“Ren, nggak ada yang bisa ngelawan takdir. Nggak ada, berhenti meratap, Rega pun nggak ingin di ratapi. Ren, kamu cinta Rega, Rega pun cinta kamu. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Cinta tetaplah cinta, akan tetap ada walau dunia telah memisahkannya.”

“Mungkin, kalau Reno nganterin Rega, yang ketabrak itu Reno, bu! Bukan Rega!” balas gue kekeuh. Sungguh, gue sedang berdamai dengan hati, mencoba mengikhlaskan kepergian satu-satunya orang yang gue miliki.

Rasa pedih dan nyeri di dalam diri ini seakan-akan memenjarakan gue ke dalam rasa bersalah. Gue nggak mampu mengikhlaskan Rega, karena penyebab utama perginya Rega adalah, gue sendiri.

“Reno, Bu, sudah waktunya Rega dikubur,” seloroh pelan bokapnya Rega.

Nyokap Rega bangkit sambil memapah gue menjauh dari jenazah anaknya. Mata gue nggak bisa lepas dari Rega. Sekarang beberapa orang mengerubutinya, menutup wajahnya dengan kafan dan mengangkatnya dengan keranda.

Gue kehilangan segalanya. Benar-benar kehilangan segalanya. Dia, adalah hal yang terakhir gue punya. kini... dia telah tiada.
I want you to stay.


***



Gue terduduk lemas di atas tempat tidur. Mulai malam ini gue akan tidur sendiri, tempat tidur sebesar ini hanya gue aja yang isi. Bukan hanya malam ini aja, tapi untuk malam-malam berikutnya juga, mungkin selamanya.

Gue lepas kemeja hitam yang sedaritadi melekat di tubuh gue. Saat gue menjatuhkan baju itu asal-asalan ke lantai, sesaat gue tercenung, menunggu. Menunggu suara Rega pecah, meneriaki kemalasan gue. Namun, suara Rega nggak terdengar, nggak akan lagi pernah terdengar.

Handycam di atas nakas menarik perhatian gue. Dengan gemetar gue ulurkan tangan gue untuk meraihnya. Tenggorokan gue tiba-tiba terasa sangat sakit, dan rasa sakit itu seperti racun yang bersemayam di dalam tubuh gue. Menyebar dan menyebabkan seluruh tubuh gue merasakan sakit yang teramat sangat. Sayangnya, obat penawar yang gue punya telah tiada.

Dengan susah payah gue membuat gadget itu menyalah. Ragu, gue sangat ragu untuk kembali melongok galeri di dalam handycam ini. Melihat video kami tadi malam.

Video absurd yang hampir seluruh durasinya menyajikan tawa kami. Dan gue sungguh nggak mau mengingat hal apa yang membuat kami tertawa.

Lampu kamar menyala, suara tawa mereka terdengar. Bunyi kaki yang dihentakan ke lantai berdetak-detak, dan tawa mereka kembali menggelegar.

Hanya ada suara Reno dan Rega yang sedang bercengkrama, menertawakan yang di temukan oleh salah satu dari mereka, sesuatu yang membuat mereka tertawa, tertawa terbahak-bahak, soalah-olah mereka telah menemukan benda terlucu di dunia.

“Dan inilah dia, cowok gila yang gue cintai setengah mati.” Suara bariton khas cowok perokok terdengar, lalu sudut pandang berganti. Bergerak dari view lemari ke arah tempat tidur. Kini, terlihat jelas cowok berwajah teduh, dengan mata almond yang memicing ke arah kamera. Tidak menyeramkan, malah terlihat sangat innocent.

“Rega! Say hi, dulu dong ke pemirsa kita,” pinta Reno si pemilik suara bariton sambil terkikik.

“Ayo dong!” ulang Reno.

Say hi, sekarang atau gue paksa lo pakai thong yang kita temuin di dalam plastik pakaian yang baru diambil dari laundry!?”
Thong bermotif kulit macan itu muncul di layar, menutupi Rega yang duduk santai di atas tempat tidur. Benda itu digoyang-goyangkan oleh Reno, membuat siluet Rega di ujung sana tertangkap sedikit oleh kamera.

Detik berikutnya, suara lembut milik Rega pecah menjadi tawa. Thong itu dijatuhkan Reno. Tidak ada lagi penghalang yang menghalangi sorotan kamera ke arah Rega yang tampan.

Kini, terlihat Rega dengan tawa dan senyumnya yang amat indah, ia tergelak sambil berusaha meraih kamera yang Reno pegang.

Gue tutup handycam itu cepat-cepat. Namun sedetik kemudian gue melirik kembali handycam yang berada dalam genggaman gue ini.

Sampai kapan pun. Sampai kapan pun, Ge. Lo adalah pemilik hati gue yang terbaik yang pernah gue punya. Semua kenangan, kenangan kita, akan terus hadir dan menemani hidup gue. Kenangan itu akan terus membayangi gue, dan nggak akan pernah berhenti. Seperti cinta gue ke elo, seperti cinta kita.

Jangan khawatir Ge. Babang akan terus bahagia di sini, di dunia. Bersama kenangan kita. Karena tiap paginya akan selalu ada kenangan kita yang terputar, seiring matahari terbit. Gue akan terus melihat senyum khas lo saat lo membangunkan gue di pagi hari. Walau hanya di dalam kepala gue.

Gue bakal terus mengingat aroma tubuh lo. Aroma masakan yang lo buat untuk sarapan pagi kita. Kebawelan lo yang selalu berusaha menjauhi gue dari rokok. Dan dekapan hangat lo saat mendung datang.

Mungkin. Sesekali waktu gue akan terenyuh, saat rasa rindu akan sosok lo mendesak gue tanpa ampun. Mungkin juga gue akan menangis, saat gue nggak lagi bisa mengelaknya. Tetapi gue akan selalu baik-baik aja, seperti lo yang sekarang baik-baik aja di sana.

Sabar ya, Ge. Tungguin babang datang, walau babang nggak tau kapan babang datang nyusul Gege. Terus rinduin babang, seperti babang yang selalu rindu Gege.

Gege sayang, dateng ya ke dalam mimpi babang.




I want you to alwaysstay.
«1

Comments

Sign In or Register to comment.