It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Part 1
“Kalian tahu anak baru yang namanya Terry?”
“Anak IPA tiga kan?!?"
“Biasa aja, Cit, suaramu jangan keras-keras…"
“Suaraku kan emang begini, Put.”
“Iya, tapi nggak perlu keras-keras ngomongnya..."
“Maaf sih.”
“Oke, lupakan. Balik ke pertanyaan Karin. Aku tahu Terry, tapi sampai sekarang aku cuma ngelihat dia sekali…"
“Aku juga baru tiga kali.”
“Aku malah belum pernah. Katanya dia ganteng ya?"
“Denger-denger sih dia anaknya cool banget.”
“Dan manis.”
“Pintar.”
“Tapi kelihatan serius. Tatapannya tajam.”
“Oh ya? Kamu pernah ditatap dia, Rin?”
“Cuma katanya sih. Tapi aku berani jamin, senyumnya manis banget.”
“Perfect banget ya? Aku sampe bayangin Kim So-Hyun.”
“Korea-an mulu kamu, Cit. Oh ya, dia juga jago olahraga."
“Jago main musik juga.”
“Denger-denger dia bisa karate dan taekwondo."
“Anjir!!”
“Dia…"
“Misterius!!!”
“Ssssstttttt!!!!” akhirnya seseorang yang menghentikan pembicaraan mereka.
Meski sempat merasa terganggu, aku cukup banyak menguping pembicaraan mereka. Terry si misterius? Hmmmm… Meski sudah tiga bulan dia pindah ke sekolah ini, aku sama sekali belum pernah melihatnya. Padahal kelas kami berdekatan; hanya terpisah satu kelas. Dia di IPA 3 dan aku di IPA 1.
Bicara kelas, aku rasa banyak siswa yang menilainya berlebihan. Jika diperingkatkan, kelas IPA 1 adalah kelas dengan siswa-siswa terbaik di sekolah ini; baik dari nilai akademik maupun bakat yang mereka miliki. Sehingga seharusnya dia berada di posisi 3. Dengan IPA 1 dan IPA 2 berjumlah masing-masing 32 siswa, secara individu dia paling beruntung berada dia peringkat 65. Denganku yang peringkat 1 di IPA 1 ini, jarak intelektualitasku dengannya adalah 63 kepala. Ah, Gila! Tak seharusnya aku sombong begini.
Pembicaraan ketiga siswa perempuan itu berlanjut tapi kali ini langsung ditegur oleh guru yang berjaga. Tak ingin berhenti, mereka memutuskan untuk keluar dan sepertinya melanjutkan pembicaraan tersebut. Suasana perpustakaan sore itu pun tampak lengang seketika.
Aku mengitari pandangan ke sekeliling, hanya ada penjaga perpustakaan yang sedang terkantuk-kantuk di depan layar komputernya, beberapa orang tampak berseliweran di lorong-lorong perpustakaan di antara rak buku yang berdiri gagah.
Aku melangkah menuju rak buku rumpun ilmu alam. Genetika Modern, Fisika Atom, dan Biologi Molekuler adalah tiga judul buku yang harus segera kutemukan. Bagi siswa normal, buku-buku seperti itu mungkin hanya akan mereka sentuh saat mereka berkuliah. Tapi bagiku, aku harus selangkah lebih maju dari para siswa normal. Syukurlah,aku tak butuh waktu lama untuk menemukannya. Ketiga buku itu sudah ada di dekapku.
Meski bukan perpustakaan sekolah, perpustakaan milik pemerintah kota ini banyak dikunjungi oleh siswa sekolah. Dan tentunya mahasiswa. Selain mencari buku atau mengerjakan tugas, banyak yang sengaja menjadikan tempat ini sebagai tempat berpacaran. Atau mencari Wi-Fi gratis.
Aku membawa ketiga buku dari rak rumpun ilmu alam dan berjalan menuju ruang baca. Ada kurang lebih lima orang disana. Dua anak laki-laki dan wanita yang sedang membaca buku tapi sambil bercanda entah apa yang sedang mereka tertawakan perlahan begitu. Seorang mahasiswa perempuan dengan wajah kusut sibuk membolak balik tumpukan buku di hadapannya, jelas dia sedang mencari sesuatu. Seorang pria tua duduk tenang membaca buku sejarah daerah yang begitu tebal, sembari sesekali mencatat, sepertinya ia seorang dosen. Dan satu lagi, seorang anak laki-laki seusiaku berjaket marun duduk di deretan paling pojok, sedang membaca buku Catatan Seorang Demonstran milik Soe Hok Gie dengan raut wajah yang tenang.
Dia tampan.
Tanpa berpikir dua kali, kakiku melangkah menuju bangku yang berada tepat di hadapan anak laki-laki itu. Tanpa harus aku perintah, otakku sepertinya sudah mengetahui arah kemauan hati ini. Aku membuka lembar demi lembar buku Biologi Molekuler. Sebenarnya ini hanya akting belaka, mataku jelas-jelas mengendap-endap meliriknya. Duh, aku belum pernah melihat dia di perpustakaan ini sebelumnya. Dia sepertinya bukan anak kota ini. Entah kenapa aku menjadi sangat penasaran dengannya.
Tampan sekali, perawakannya tinggi nan gagah, wajahnya bersih tak tampak dekil ataupun kusam seperti kebanyakan teman laki-lakiku di sekolah. Rambutnya disisir rapi, jaket merah marun, celana abu-abu, dan sepatu kets berwarna cokelat, tak lupa jam tangan berwarna hitam melingkar di pergelangan tangan kanannya. Benar-benar membuatku terpesona. Hmmm bukan terpesona. Maksudku iri. Atau kagum. Atau penasaran. Ya, rasa ingin tahuku padanya benar-benar tinggi.
Aku kembali menerka-nerka dia berasal dari mana. Sayang dia memakai jaket, sehingga emblem sekolahnya tak bisa aku lihat. Jika melihat penampilannya, sepertinya dia dari sekolah swasta, mungkin jurusan IPS, atau bisa juga IPA. Dari buku bacaannya, dia sepertinya anak IPS. Ah entahlah, yang penting dia sungguh berhasil menyita perhatianku yang tadinya hanya tercurah untuk buku saja.
Ups, tak kusangka ketika aku sedang asyik memandanginya dengan kagum, dia menutup buku yang sedang dibacanya, meletakkannya di meja, dan tersenyum menatapku. Tuhan, jantungku berdetak lima kali lipat lebih cepat.
”Hai, anak IPA 1 ya?” tanyanya sambil menunjuk pada buku-buku bacaanku.
“Eh, emm iya. Kok tahu?” jawabku dengan terbata-bata. Gila, aku jadi kikuk begini.
“Aku Terry. IPA 3. Kita satu sekolah,” Ya Tuhan! Ternyata ini yang namanya Terry! Oke, rumor memang benar. Dia benar-benar mempesona.
Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil menjulurkan tangan kanannya.
“Rendra” aku hanya menjawab singkat, menyambut uluran tangannya.
Oke, otakku benar-benar berhenti berfungsi. Dunia seperti berhenti berputar. Tangannya hangat dan lembut sekali. Ingin aku berkata padanya, “Terry kau tampan sekali”. Tapi, tentu saja aku belum segila itu untuk melakukannya. Apa yang akan dia pikirkan kalau ada laki-laki yang memujinya. Dia pasti berpikir kalau aku ini penyuka sejenis. Homo? Euuh…
Biar hatiku yang saja yang mengakui kalau Terry benar-benar tampan. Jantungku masih berdetak cepat. Memompa darah dan menyebabkan suhu tubuhku menghangat. Hingga ke pipiku, yang sepertinya sekarang memerah.
Aku tengah melepas jabatan tanganku dari Terry saat aku mendengar seseorang memanggil namaku.
“Rendra!” Aku pun menoleh, ternyata Saras sedang berjalan ke arahku. Ah iya, aku berjanji untuk mengantarkan sahabatku ini pergi ke LIA untuk mendaftar TOEFL di sana.
“Kamu lama sekali sih, sudah dapat kan bukunya? Ayo kita berangkat, sudah jam 5 sore, kita nggak punya banyak waktu.” Katanya sambil menarik lenganku.
Huh, aku benci harus pergi. Aku masih ingin berlama-lama disini. Sementara itu, Terry masih menatapku dengan wajah tenangnya. Tapi, aku tak punya pilihan lain, aku sudah berjanji pada Saras untuk menemaninya.
“Terry, aku duluan ya, aku harus pergi. Sampai jumpa lagi,” kataku terburu-buru seraya disambut senyum Terry yang benar-benar manis. Baru kali ini aku berkali-kali memuji laki-laki.
Saras benar-benar menarik lenganku dengan penuh semangat, aku terseret seret berjalan mengikutinya.
“Lo ngomong sama siapa sih Ren?” tetiba Saras menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu ruang baca.
“Sama Terry, anak yang duduk di depanku tadi loh Ras” jawabku sembari menoleh ke belakang, menunjuk ke arah Terry duduk.
“Mana? Aku nggak lihat siapa-siapa. Dari tadi aku dateng nyamperin kamu juga aku nggak lihat siapa-siapa. Kamu duduk sendirian, bangku depanmu juga kosong. Kamu bercanda ya?” Saras melongokkan kepalanya di pintu mencari Terry.
Aku melirik ke arah yang sama. Benar saja, kursi yang diduduki Terry tadi kosong. Kemana dia pergi? Kalaupun dia keluar dari ruang baca, harusnya dia melewati kami. Jelas-jelas kami masih tertahan di depan pintu begini. Tapi sungguh aku tidak bercanda tadi Terry benar-benar ada.
Aku hampir tidak percaya dengan kejadian barusan. Terry menghilang begitu saja? Apa dia hantu?
Tiba-tiba aku terduduk lemas di lantai perpustakaan.
“Ren, kamu baik-baik aja? Kamu kenapa?” Saras berteriak panik, ia menepuk-nepuk pipiku dengan keras. Aku tercekat, tak bisa menjawab. Mendadak pandanganku gelap. Ya, aku pingsan seketika itu juga. Entah apa penyebabnya. Yang pasti setelah hari itu, aku tak pernah bertemu Terry. Hingga suatu hari, aku kembali bertemu dengannya.
Mention klo d lanjut.
Thanks @YudistiraRendra
Mention klo d lanjut.
Thanks @YudistiraRendra
@shandy76 Semoga saya rajin ya. Saya usahaka rajin up. Lgi hobi soalnya.
@Aurora_69 wah makasih banyak ieu teh udah dipuji. kajo Terry itu imajinasi jayus gak?