BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Goodbye.. My love [Oneshoot]

Sekian lama jadi reader, akhirnya kepengen juga bikin cerita. Sorry kalo cerita ini gaje bin abal trus ga nyambung juga. Silahkan dibaca :D

===0===

"Ger, anterin aku ke rumah sakit ya," ujarku pada seseorang diujung telepon sana. Namanya Gery.

"Rumah sakit? Kamu kenapa, Mil?" ada nada khawatir terselip diantara kata yang Gery ucapkan.

"Nggak, aku cuma mau check-up aja. Udah lama aku nggak periksa kesehatanku. Kamu mau kan?" tanyaku.

"Oke. Tunggu aku," ucapnya.

"Ya, sampai nanti," aku menutup telepon.

Kulihat jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 10.45 pagi. Mungkin Gery akan datang beberapa menit lagi, untuk itu aku segera siap-siap. Hari ini aku berbohong lagi pada Gery. Entah untuk keberapa kalinya aku telah berbohong padanya. Tetapi, ini semua kulakukan demi kebaikannya juga. Aku tidak mau Gery khawatir akan keadaanku.

Bip... Bip... Bi

Terdengar suara klakson mobil diluar sana. Ah, mungkin Gery sudah tiba. Aku pun bergegas ke beranda rumah.

"Pagi, Milo," sapa Gery padaku yang sedang berdiri diambang pintu.

Aku hanya membalasnya dengan senyum singkat saja. Dan segera berjalan kearah mobil Gery.

"Hey, kamu ngerokok lagi," alisku berkedut melihat rokok yang sedang dihisap Gery.

"Hehe.." Gery hanya cengengesan tanpa dosa sambil menyalakan mobil.

"Bisa nggak sehari aja kamu nggak berhubungan sama benda ini?" aku mencabut rokok yang sedang dihisap Gery tanpa persetujuannya terlebih dahulu lalu membuangnya.

"Hey, mau dikemanain itu?" Gery kaget dengan tingkahku tadi.

"Udah aku buang," jawabku datar.

"Milo. Kamu ini kenapa, sih?" air muka Gery terlihat kusut.

"Ger, kamu tahu kan rokok itu nggak ada manfaatnya sama sekali. Dia hanya memperpendek umur kamu aja," aku menasihatinya untuk kesekian kali.

"Ya, ya, ya," Gery memutar bola matanya bosan.

***

"Sampai," Gery memarkirkan mobil yang kami kendarai tadi.

"Baiklah. Kamu tunggu aja disini. Aku nggak akan lama, cuma 10 menit aja," ucapku sambil beranjak pergi menuju rumah sakit.

"Ok," Gery mengacungkan jempolnya.

Aku pun mulai melangkahkan kakiku menuju sebuah ruangan. Ruangan seorang dokter yang menangani penyakitku. Sesampainya didepan pintu, akupun menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri.

"Selamat pagi," sapaku sambil membuka pintu.

"Pagi," dokter yang sedang duduk di kursinya itu membalas sapaanku.

Aku pun segera duduk dihadapannya dengan perasaan tak menentu. Antara takut dan penasaran kini terus berputar-putar.

"Saya mau mengambil hasil check-up minggu kemarin, Dok," ucapku.

"Oh, ya. Tunggu sebentar,"

Dokter itu mulai mencari-cari sesuatu yang kuminta.

"Ini," dia menyerahkan sebuah map padaku.

Aku membacanya sekilas.

"Lalu, bagaimana keadaan saya?" aku bertanya serius padanya.

"Saya benci mengatakan ini tapi..."

"Anda harus mengatakannya seburuk apapun itu," nada bicaraku naik.

"Baiklah. Jadi, tentang penyakit anda, saudara Milo Rafkan... Kanker yang bersarang di tubuh anda saat ini berkembang sangat cepat dan ganas. Tubuh anda hanya mampu melawannya sedikit. Jadi, mungkin untuk saat ini hanya keajaiban tuhan yang mampu menyembuhkan anda. Tim kami sudah mencoba dan berusaha semampu kami untuk ini lewat berbagai therapy. Tetapi, hanya ini yang bisa kami lakukan," dokter berbicara dengan nada penuh penyesalan.

"Ya, saya tahu. Sangat tahu," aku hanya bisa tersenyum miris sambil memandangi hasil check-up ku.

"Maafkan kami, kami sudah berusaha semaksimal mungkin," dokter itu menundukkan kepalanya.

"Tak apa, mungkin ini memang sudah takdir saya, Dok."

"Terimakasih untuk semuanya, saya permisi dulu," aku beranjak pergi keluar dari ruangan kerja dokter itu.

Pintunya kututup lalu aku berjalan kearah toilet. Sesampainya disana, aku melihat bayanganku di cermin. Mengamatinya dengan detil setiap inci tubuhku yang semakin kurus karena penyakit yang kuderita. Lalu aku pun mencuci mukaku agar wajahku tidak terlihat mengkhawatirkan di mata Gery dan mencoba membuat ekspresi ceria.

Tok... Tok... Tok

Aku mengetuk kaca mobil Gery. Terlihat didalamnya Gery sedang memainkan PSP kesayangannya.

"Ayo jalan," seruku sambil mendudukan diri di jok mobil.

"Gimana hasilnya, Mil?" Gery bertanya padaku sambil mengemudi.

"Baik. Aku baik-baik aja," lagi-lagi aku berbohong padanya.

"Yang bener? tapi muka kamu agak pucat tuh kelihatannya." tanya Gery lagi.

"Beneran kok, mungkin aku yang kurang tidur semalam, jadi agak ngantuk." elak ku lagi.

Tuhan, maafkan aku.

Aku memandangi pria tanpa dosa yang sering kubohongi ini. Rambutnya yang hitam, goggle-nya yang selalu dikenakan, suatu saat aku tak akan melihat itu lagi. Keseriusannya saat memainkan PSP dan game-game miliknya, juga kebiasaannya merokok itu.. tak akan aku lihat lagi suatu saat nanti.

"Milo? Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?" Gery menoleh sebentar padaku.

"Ah, nggak. Aku nggak apa-apa," aku mengelak.

"Jangan bohong. Aku benci itu. Apa ada yang salah dengan penampilan aku?" dia bertanya-tanya lagi.

"Nggak, Gery. Emangnya aku nggak boleh liatin kamu? Apa ada undang-undang yang isinya 'Tidak boleh memandangi Tuan Gery Julian berlama-lama'. huh?" candaku.

"Hahahahahaha," Gery tertawa terbahak-bahak hingga akupun ikut tertawa melihat tingkahnya.

Tuhan…
Betapa bahagianya aku saat ini, disisa hidupku yang hanya tinggal sedikit lagi. Melihatnya bahagia, tertawa lepas bersamaku. Ingin sekali rasanya aku memeluknya saat ini, mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya dan tak mau meninggalkannya sedetikpun. Tetapi, semua itu hanya mimpi.

Hey! Mana Milo yang dulu? Milo yang tak mau kalah, Milo yang tempramental? Kini kalah karena kanker.

"Milo, gimana kalau kita makan siang dulu di restaurant? Aku lapar," Gery memegangi perutnya.

"Ayo. Kali ini aku traktir kamu makan," ajakku.

"Eh? beneran?" Gery begitu antusias.

"Iya, beneran," jawabku sambil senyum seadanya.

"Makasih, Milo," dia tersenyum.

Sesampainya di restaurant, Gery segera memesan makanan pada seorang pelayan. Dia makan dengan lahap.

~

"Bye, Milo. sampai besok," teriak Gery dari dalam mobil sambil melampaikan tangannya padaku.

"Iya, makasih buat semuanya, Ger," aku membalasnya.

Akhirnya, Gery pun pulang kerumahnya dan aku kembali masuk ke rumahku. Hari ini, aku menghabiskan waktu sampai larut malam bersama Gery. Sangat menyenangkan memang. Tetapi, ini tidak akan berlangsung lama.

Kembali ku lihat hasil check-up yang diberikan dokter tadi siang sambil membaringkan tubuhku.
Kuamati, ternyata memang benar. Kanker yang kuderita berkembang pesat. Umurku mungkin hanya tinggal beberapa waktu lagi, dan kebersamaan dengan Gery akan berakhir seiring kematianku nanti.
Jujur, aku tidak mau meninggalkannya. Meninggalkan satu-satunya orang yang kusayangi di dunia ini, tapi mungkin ini yang terbaik untukku.

Aku melihat keluar jendela. Malam ini turun hujan begitu deras. Udara terasa dingin dan lembab pagi ini. Jalanan becek bekas hujan deras tadi malam. Pohon, bunga dan daunnya pun basah.

***

Hari ini, aku sedang duduk di beranda rumah sambil membaca koran pagi ditemani beberapa biskuit dan teh hangat. Menikmati sisa hidupku yang hanya beberapa detik lagi. Badanku, makin hari semakin kurus saja dan wajahku pun semakin pucat serta aku merasa aku semakin payah karena penyakit ini.

Pi...Pi...Pi

Ponselku berdering. Kulihat ada telpon masuk, dari Gery.

"Halo, Ger," aku menerima telepon darinya.

"Milo, kamu lagi ngapain?" tanya Gery diujung telepon.

"Aku lagi baca koran pagi," jawabku.

"Mau aku temenin?" dia menawarkan diri untuk menemani pagiku.

"Hm, boleh," jawabku lagi.

"Aku bosen disini," tuturnya.

"Ya udah. Aku tunggu kamu dirumah,"

"Oke, aku meluncur kesana." lalu Gery menutup telepon.

Selang beberapa menit kemudian Gery datang kerumahku tanpa membawa kendaraannya. Sepertinya dia jalan kaki.

"Gery, kamu jalan kaki?" tanyaku sambil melipat koran yang baru saja kubaca.

"Ya, udara pagi ini dingin banget. Aku mau menghangatkan badan dengan jalan kaki," tuturnya.

"Kamu ada-ada aja," akupun menuangkan teh hangat ke gelas dan memberikannya pada Gery.

"Buat aku?" tanyanya.

"Iyalah," jawabku.

"Makasih," Gery langsung menyesap teh hangat tadi lalu meletakkannya kembali di meja kecil.

"Ger, gimana kalau hari ini kita pergi ke bioskop?" ajakku padanya.

"Hm? Ke bioskop? Gak biasanya kamu ngajak aku kesana, Milo,"

"Ya, kita habiskan waktu hari ini bareng-bareng, Ger. Kayak kemarin," tuturku.

"Oke kalau kamu maksa. Tapi jangan sekarang. Ini masih kepagian," ucap Gery.

"Iya, lagi pula mana ada bioskop yang buka jam segini,"

Gery hanya tertawa kecil, lalu kami kembali berbincang-bincang.

Sekarang, aku berusaha sesering mungkin membuat Gery bahagia di sisa hidupku. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku ini hanya bersamanya.

~

"Gery, aku mau kasih tantangan," ucapku saat kami baru saja keluar dari bioskop malam itu.

"Tantangan apa?" Gery masih sibuk menyalakan rokoknya.

"Tantangannya, kamu harus..." aku menggantung ucapanku.

"Harus apa, Milo?" Gery penasaran.

"Coba satu hari aja kamu jangan ketemu aku, jangan telpon aku, kirim SMS ataupun BBM aku. Bertingkahlah seolah-olah aku bukan siapa-siapa kamu, Ger." jelasku.

"Apa? aku nggak salah denger kan?" Gery terlonjak kaget.

"Nggak, Gery. Coba aja. Cuma satu hari aja kok. Nanti kamu aku kasih sesuatu," ucapku.

"Sehari tanpa kamu itu rasanya kayak setahun, Milo," Gery memalingkan muka.

"Pokoknya, kamu harus," tegasku.

"Oke, Oke," ucap Gery malas.

"Yaudah, sampai ketemu lagi ya, Ger." aku melambaikan tangan.

"Oke, jangan lupa kasih aku hadiah kalo aku berhasil selesain tantangan kamu," seru Gery.

"Dan selamat tinggal," bisikku.

Benar saja, Gery benar-benar menerima tantanganku. Semenjak kemarin pulang dari bioskop hingga malam ini, dia sama sekali tidak menelpon atau mengirimku SMS ataupun BBM. Sedangkan aku. Detik demi detik kulalui dengan penuh kepasrahan. Wajahku sudah semakin pucat dan badanku semakin lemah saja.

Lalu kuambil secarik kertas dan aku menuliskan sesuatu pada kertas itu. Khusus untuk Gery jika aku sudah tiada nanti. Setelah itu kumasukkan kedalam map berisi hasil check-up ku waktu itu. Tiba-tiba, kurasakan sakit begitu menghujam kepalaku. Entah apa ini.

"Tu-tuhan, a-apakah ini sa-saatnya," erangku disela-sela rasa sakit ini.

Map yang ku pegang pun terjatuh tanpa bisa kucegah. Hingga akhirnya aku..

Brukk...

Kini, tubuhku terbaring diatas lantai dingin malam itu. Nafasku mulai melambat. Telingaku mulai berdengung. Tubuhku terasa mulai kaku dan dingin. Kelopak mataku mulai terasa berat untuk tetap terjaga. Perlahan-lahan mataku mulai terpejam untuk selamanya.

~

"Milo, sebenarnya mau kamu apa sih nyuruh aku begini? Apa kamu tau aku gak bisa tenang seharian. Kamu terus berputar-putar diotakku. Bisa-bisa aku gila, Milo." gerutu Gery berkali-kali.

***

Author POV

Keesokan harinya, Gery sedang mengendarai mobil menuju ke rumah Milo. Karena seharian kemarin ia tak berhubungan sama sekali dengan Milo, kekasihnya.

"Eh? Kenapa banyak orang?" alis Gery bertaut melihat begitu banyak orang di sana. Di rumah Milo.

"Ini bukan ulang tahun Milo, kan?" Gery menggaruk kepalanya yang tak gatal itu sambil melihat kearah rumah Milo.

"Oh, mungkin ini kejutan buat aku."

Dengan riang Gery melangkahkan kaki menuju rumah Milo. Beranda rumahnya dipenuhi dengan karangan bunga dan orang-orang yang tak asing bagi Gery berlalu-lalang disana. Gery semakin penasaran dan ada sedikit rasa khawatir di dirinya kini.

Sampai di dalam rumah, mata Gery terbelalak badannya lemas melihat apa yang ada didepannya. Milo dan badan kurusnya terbaring dengan damai diatas peti. Wajahnya yang pucat dihiasi senyum tipis.

"Milo, kamu jangan bercanda. Aku tahu kamu bohong!" Gery berteriak histeris membuat para pelayat menoleh kearahnya.

"Milooooo! Ini nggak lucu! Bangun Milo.. ayo," Gery mengguncang-guncang tubuh Milo dengan linangan air mata.

Beberapa pelayat sesegera mungkin menjauhkan Gery dari jenazah Milo dan menenangkannya.

"Aaarrgghh. Lepasiiiiiin!!" Gery meronta-ronta.

"Hey, tenang!" Nathan, kakak dari Milo membentak Gery yang tak bisa diam.

"Milo nggak akan tenang kalo lo bersikap begini," Nathan mencoba menenangkan Gery.

"Tapi…"

"Sekeras apapun lo teriak, nggak akan bikin Milo hidup lagi. Percuma aja. Lebih baik lo doain Milo supaya dia tenang disana," setelah dinasihati Nathan, Gery pun mulai mengerti.

***

Gery tak bisa membendung air matanya ketika melihat peti jenazah Milo dimasukkan kedalam liang lahat. Orang yang sangat disayanginya kini sudah tiada.

"Ayo, pulang," Nathan menepuk bahu Gery yang terus mematung memandangi batu nisan.

"Iya," Gery pun meletakkan karangan bunga diatas makam Milo.

"Bahagialah disana, Milo," Gery sekilas mengusap nisan Milo lalu pergi bersama Nathan.

"Gery, ada sesuatu yang mau gue kasih sama lo," Nathan berkata pada Gery.

"Apa?"

"Ini, mungkin ini buat lo. Gue temuin ini di kamarnya Milo." Nathan menyerahkan map pada Gery.

"Apa ini?" Gery mengamati map tadi.

"Buka aja. Gue duluan ya." Nathan malah berlalu pergi meninggalkan Gery.

***

Sampai dirumah, Gery dengan tergesa-gesa masuk ke kamarnya sambil membawa map pemberian Nathan, tadi seusai pemakaman Milo. Map itu bertuliskan 'Untuk Gery'.

Gery mengenal tulisan tangan itu. Itu milik Milo. Gery menemukan beberapa kertas didalamnya dan membacanya satu persatu. Dan lagi-lagi Gery tak kuasa untuk menahan tangisnya

Gery...
Kamu membaca surat ini, karena kamu sudah menyelesaikan tantanganku, bukan?
Kamu berhasil hidup tanpaku dalam sehari, sayang..
Dan sekarang, bisakah kamu lakukan itu setiap hari?
Aku akan selalu menyayangimu, Gery...
Maaf selama ini aku telah banyak berbohong padamu.

Surat singkat dari Milo tapi begitu menusuk di hati Gery.

"Ja-jadi ini maksud kamu, Milo?" lirih Gery sambil meletakkan surat terakhir dari Milo.

Gery menyandarkan dirinya di kursi. Dia shock berat akibat kematian Milo. Dia sama sekali tidak menduga ini semua terjadi. Kenapa Milo tidak memberitahunya bahwa selama ini dia sakit dan sangat menderita? Mungkin saja jika Milo memberitahu Gery, ia dapat membantunya berobat sampai dia sembuh.

***

Keesokan harinya, Gery pagi-pagi sekali pergi dari rumah. Tentu saja tempat tujuannya adalah makam Milo. Dia membawa karangan bunga kesana.

"Pagi, Milo," sapa Gery pada nisan yang dia dekati.

"Biasanya, pagi-pagi begini kita minum teh bareng, ya. Tapi sekarang nggak bisa lagi," Gery meletakkan karangan bunga di dekat nisan Milo.

"Sekarang, nggak ada lagi orang yang bentak aku dan buang rokokku secara paksa. Nggak ada lagi yang mau menghabiskan waktu bersamaku sampe malam," Gery mengusap-ngusap lagi nisan Milo.

"Tuhan, kenapa harus secepat ini? Kenapa bukan aku saja yang mati karena serangan jantung atau kanker paru-paru? Kenapa harus kamu, Milo?" Gery berbicara sendiri sambil memegangi nisan Milo.

Entah berapa lama Gery berada disana. Dia terus duduk sambil memegangi nisan Milo, sesekali dia mengusap-usapnya. Pak tua yang sedang membersihkan pemakaman umum itupun iba melihat Gery.

"Sepertinya anak muda itu sangat kehilangan," gumamnya sambil menggelengkan kepala.

Gery menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Tiba-tiba matanya menangkap sosok seseorang yang sangat dia kenal berada dihadapannya. Sosok itu tersenyum kearah Gery.

"Mi-Milo?" Gery seakan-akan tak percaya akan apa yang dia lihat. Tapi, tak lama setelah itu sosok tadi menghilang entah kemana.

"Milo," Gery memandangi nisan tadi lalu beranjak pergi.

.

.

.

Ku akui. . .
Kini kita tak mampu berdua..
Jalani mimpi yang kita bangun bersama. .
Tapi seperti bintang..
Kau akan datang kala sepi menjamahku.
Tidurlah selamanya di keabadianmu.

-SELESAI-

Comments

Sign In or Register to comment.