Ini saya bawa cerita simpel yang nggak ada adegan hot-nya. Tapi semoga masih ada yang manit baca. Karena kemungkinan, saya bakalan bikin sekuel untuk cerita ini jikalau peminatnya banyak.
Enjoy!
-dRythem24 present-
Terima kasih karena kau telah mencintaiku. [Part 1]
***
Apa bagian dari tubuhmu yang paling kau sukai? Buatku, mata adalah bagian kesukaanku. Andai jika aku tak dapat berjalan, mataku bisa saja mencari arahnya. Kalau aku tak bisa bicara, mataku masih bisa memandang apa dan siapa yang mengatakan sebarang kata padaku. Dan saat aku tak memungkinkan untuk bisa mendengar, mataku masih mampu menyaksikan apa yang tak sanggup aku dengarkan itu. Namun, apabila aku tak dapat melihat, tak mampu menyaksikan, bahkan tak bisa merekam apa-apa saja yang ada di dunia ini melalui penglihatanku, sepi dan lara lah yang pasti akan aku rasa. Aku tak ingin memiliki sepasang mata tetapi tidak bisa menggunakannya dengan baik.
...sama seperti mataku yang dulu.
***
Aku membuka mataku dengan malas, gendang telingaku sudah tidak sanggup lagi mengabaikan suara alarm yang kupasang otomatis pada ponselku yang tengah berbunyi ini.
Klik
Alarmnya sudah mati. Itu artinya sekarang sudah jam setengah enam pagi. Aku menyibak selimut tipis yang menutupi tubuhku, bangun lalu terduduk sembari menggantungkan kakiku di tepi ranjang. Aku meregangkan tubuhku sambil mengucek-ngucek mataku yang belum terbuka sempurna. Tetapi saat aku yakin pandanganku seharusnya telah benar, kenapa yang namapak di sekitarku malah keburaman tidak jelas begini? Aku mengucek lagi mataku, hasilnya tetap saja buram. Aku pun menggeleng-gelengkan kepalaku, dan pandanganku masih buram. Apakah mataku mendadak minus? Tidak mungkin sekali.
Aku segera turun dari ranjangku, mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamarku, kemudian keluar. Mungkin mataku butuh disiram air segar supaya normal kembali.
...
Sudah satu jam berlalu, aku sudah selesai mandi, memakai kemeja berwarna polos dirangkap almameter dan jeans agak kepanjangan, mendandani diri seperlunya. Sayangnya, dengan penglihatanku yang masih saja memburam. Ada apa sih sama mataku?
Aku mendengar dua kali suara klakson motor yang dibunyikan dari luar, membuat aku cepat-cepat menggaet tas punggung yang ada di atas gantungan di dekat cermin, lalu mengambil kacamata yang tadi aku sempat pinjam pada Ibu kosku. Kacamata untuk mereka yang bermata minus. Meski aku yakin aku tidak begitu.
Kunci pintu kosan-ku aku masukkan ke dalam saku celana. Tubuhku berbalik, menahan senyumku melihat Alex yang menatap ke arahku sambil terduduk diam di atas motornya. Sedikit, pagiku yang membingungkan terobati oleh sosok kekasihku ini. Aku mulai melangkahkan kaki keluar dari halaman kosan seraya mulai menggunakan kacamata dalam peganganku.
Alis tipis Alex bertautan begitu aku sudah sampai di hadapannya. "Buat apa kamu make kacamata itu?" tanyanya bingung sembari mengusap sisi pelipisku, menyentuh luka kecil yang terdapat di sana.
"Gak tau," jawabku, memegang sebentar tangannya yang menyentuhku. "Tiba-tiba mata aku buram gak karuan, jadinya pakek ginian. Lumayanlah, daripada nanti gak fokus di kelas." perjelasku pada Alex. Dia hanya memberikan aku helaan nafas pasrah.
Cowok di depanku ini bernama Alex Wangxiu Hanz. Kekasih dari aku, Rizki Zarkijaya (tapi aku akrab disebut Kiki). Tentu, kami memang sadar apabila jenis kelamin kelakian kami sama. Pun karena aku dan Alex memang sama-sama pecinta sesama jenis. Ah, meski seingatku Alex itu biseks. Aku nyaris sulit untuk tertarik pada cewek, dan lebih memilih terjerat oleh pesona memabukkan Alex. Cowok yang setahun lebih tua dariku, orang kedua yang pernah membelaku ketika teman seangkatannya menghukumku habis-habisan pada saat Ospek dulu. Membuat aku menaruh perhatian lebih padanya, mendekatinya, dan memutuskan untuk menjalin hubungan dengannya begitu dia menyatakan perasaan padaku beberapa bulan setelah kami saling mengenal.
"Emang ada apa sama mata kamu? Kelilipan? Atau apa?" tanya Alex masih belum puas.
Aku menggelengkan kepala dua kali. "Aku juga nggak tau, Lex. Ya, masa baru bangun sekeliling aku udah ngeburam aja." Tuturku menerangkan dengan nada lebih meyakinkan.
Dan dapat aku lihat sudut bibir Alex tertarik. "Nanti kita periksa, ya?" usulnya yang langsung aku tolak melalui gelengan lebih kuat. "Loh? Kenapa?" dia menatapku dekat.
Aku menghembuskan nafasku, menyentuh luka di siku kanannya yang kelihatan sudah mengering. "Kalo aku periksa, kamu juga harus mau ya periksa luka kamu ini..." gantian aku yang memberinya gagasan.
Alex memutar bola mata kecokelatannya. "Ki, ini luka kecil. Aku gak akan apa-apa." sanggahnya sembari menepis lembut tanganku. Tuh, kan. Gampang sekali dia meremehkan luka akibat kecelakaan kami beberapa minggu lalu. "Harusnya kamu yang--"
"Ya udah! Aku gak mau kalo gitu." kataku, memotong kalimat bujukannya yang lain. Alex mendesah lelah, aku terkekeh. "Gak usah cemas, Lex. Nanti juga aku mendingan, kok." ujarku sambil memberi Alex tanda Ok dengan jari-jariku tanganku.
"Kalo sampe gak mendingan, gimana coba?" aku mendengus tidak suka mendengar pertanyaan jahatnya. "Emangnya kamu betah makek kacamata kayak gitu?" aku menjawab jujur pertanyaan keduanya dengan gelengan masygul. Yang kontan membuat Alex sukses terbahak. "Ya udah, deh. Tapi lain kali kamu harus mau periksa, ya? Yuk, naek." aku cuma menaikkan bahuku merespon ucapan Alex barusan.
Aku pun menunggangi boncengan motor suzuki besar milik Alex. Dan dia mulai menggas motornya bersama aku yang melingkarkan kedua tangan ke pinggangnya, seperti biasa.
*Bersambung*
Sampai jumpa lagi!
Comments
Terima kasih, karena kau telah mencintaiku. [part 2]
***
Seperti biasa juga, Alex akan menurunkan aku beberapa meter jauhnya dari gedung fakultasku, fakultas teknik. Sebab dia tidak mau kalau sampai ada yang curiga apalagi mengetahui perihal hubungan kami yang menyimpang ini. Yah, kami memang menghindari kemungkinan bisa di-bully habis-habisan nantinya.
Alex kembali melajukan motornya, sedangkan aku mulai melangkah menuju ke dalam gedung fakultasku. Saat entah darimana datangnya, suara cowok sialan itu membuat aku mem-pause gerak kakiku.
"Pagi, Kiki."
Aku memutar kedua bola mataku yang malah menjadikan kepalaku sedikit pusing. Ck, dasar cowok pembawa sial ya dia itu. Jadi, tanpa sudi menoleh kepadanya, aku melangkahkan lagi kakiku tak mengacuhkannya.
"Kiki!" sahutnya saat aku berjalan menjauhinya. "Ki, mata kamu kenapa?" tanyanya yang tahu-tahu sudah saja ada di sampingku. "Kamu sakit mata? Mata kamu luka? Apa kamu gak apa-apa? Udah periksa belum?" rentetan pertanyaan darinya terus menyerbuku. Tapi persetan dengan dia. Jadi aku tetap mendiamkannya tanpa sedikit pun berniat melirik.
"Kamu manis deh, Ki, kalo pakek kacamata." mendengar pujian darinya, membuat aku mual sejadi-jadinya. "Kiki..." dia meraih pergelangan tanganku, membuat laju kakiku terhenti.
Aku menggeram, melepaskan tanganku secara kasar dari pegangannya lalu memandangnya jijik. "Bisa gak sih lo berhenti gangguin gue?" aku menudingkan jari tengahku buatnya saat melemparkan pertanyaan ini. Aku sudah sangat muak dengan segala tingkah polahnya. "Gue tuh gak suka lo deket-deket sama gue. Bawaanya gue sial mulu kalo gue ada di deket lo. Jadi ada baiknya, lo pergi jauh-jauh dari gue. Hush!" cercaku masa bodoh dengan kekasaranku padanya.
Dia terdiam, bibirnya sedikit terkekuk. Benar-benar cowok menyebalkan. Dan entah apa sebabnya, dia mendadak menunjukkan senyum lebarnya. "Aku seneng kamu mau ngomong sama aku, Ki." ungkapnya disusul kekehannya yang menjengkelkan yang semata-mata bikin aku terperangah, makin sangat benci pada dirinya.
Aku dia anggap sedang bicara padanya? Jijik, deh. Yang aku lakukan selanjutnya hanya memberinya dengusan keras, kemudian aku segera saja berlalu dari hadapannya. Benar-benar ya dia itu. Kenapa dia tidak pernah berhenti mengganggu aku? Awalnya sih aku cuek saja, tapi lama kelamaan aku tak tahan sampai harus membentak dan bersikap kasar. Tapi apa hasilnya? Dia malah makin berani mendekat-dekati aku.
Nah, biar aku beritahu siapa cowok sialan tadi itu. Namanya Dimas Prawira. Cowok pertama yang membelaku ketika aku dihukum pada saat ospek dulu. Tapi mengapa dia tidak menarik perhatianku? Itu karena dia justru mempermalukanku. Gara-gara dia yang berniat menolongku, hukuman untukku dan dia jadi bertambah. Tidak tahu apa kalau aku capek? Dan saat aku berusaha mencuri-curi perhatian Alex, beberapa kali kehadiran sosok sialnya selalu nyaris menggagalkan usahaku. Untung saja, aku dan Alex berhasil jadian. Dan oleh sebab itulah aku sedapat mungkin mesti menghindari Dimas. Aku sudah memiliki Alex, aku tidak mau sampai kekasihku salah paham dengan eksistensi Dimas di dekatku yang terlalu sering. Karena jelas sekali, Dimas menyukaiku dan dia berniat untuk menarik perhatianku buatnya. Maaf saja. Meskipun aku tahu dia merupakan anak dari orang super kaya raya yang banyak dipuja-puja, aku tetap tidak akan pernah sudi untuk peduli.
...
Ponselku terasa bergetar disaku kemejaku, membuat aku segera mengambilnya dan menjawab telepon masuk, yang ternyata dari Alex.
"Halo, Lex?"
Alex berdeham di ujung sana. "Emm, Ki... hari ini kamu pulang sendiri aja ya, gak apa kan?" ujarnya lalu.
Aku mengangkat kedua alisku mendengar itu. "Ada apa emangnya?" tanyaku.
"Aku... eem, cuma gak bisa aja. Ada keperluan penting soalnya." katanya menjawabku dengan nada sedikit gusar. Atau cuma perasaanku saja?
Kenapa urusan pentingnya mendadak begini? Biasanya kalau ada urusan, Alex akan memberitahukannya padaku sejak kemarin, deh.
"Ya udah, Ki. Maaf ya. Aku mau pergi dulu. Bye." Dan sambungan telepon dari Alex diputuskan olehnya begitu saja.
Aku melepaskan kacamata yang aku pakai sejak pagi tadi. Menatap nanar ke kedua telapak tanganku. Mata sedang tidak sehat begini, masa aku harus pulang sendirian? Mana angkutan umum tidak ada yang lewat di sekitarku. Terpaksa, aku mulai menggerakkan kakiku, berjalan pulang menuju ke kosan.
Belum seberapa jauh aku meninggalkan pelataran kampus, sebuah mobil berwarna merah tiba-tiba saja berhenti di sampingku setelah sebelumnya membunyikan klakson berulang kali. Siapa, sih? Ketika kaca mobilnya terbuka, nafasku berhembus lesu mendapati Dimas yang ternyata memegangi kemudi di dalam mobil honda jazz itu. Tentunya, aku tidak terkejut. Dia kan sudah sering gonta-ganti merk mobil, dua hari lalu seingatku dia membawa mobil suzuki entah model apa. Dih, buat apa aku peduli. Dia kan memang cowok brengsek tukang cari perhatian. Aku membuang muka dan melanjutkan jalanku tanpa mau menoleh untuk yang kedua kali.
"Kiki, mau ikut gak?!" Dimas berseru ke arahku, sepertinya dari dalam mobil. Dan aku tetap diam. Malas sekali meladeninya. Dan aku terkejut, "Ki?" ketika Dimas sudah saja menangkap pergelangan tanganku. Kok dia sudah ada di sini? "Ikut, yuk. Aku antar kamu pulang ke kosan. Mata kamu lagi gak sehat 'kan? Daripada nanti kenapa-napa. Mau, ya?" ujarnya mengajakku dengan nada memelas. Sedikit, aku tercekat mengetahui fakta tentang dia yang seakan justru mengerti keadaanku. "Ki?" sebutnya lembut.
Aku menatapnya, menemukan pancaran penuh harap di matanya. Tapi aku menggeleng kuat-kuat, yang malah membuatku lagi-lagi pusing dan pandanganku makin memburam.
"Ki, kamu gak apa-apa?" suara Dimas semakin dekat ke telingaku, sentuhan tangannya terasa di puncak kepalaku. Saat aku coba melihat wajahnya, parasnya jadi menggelap. "Kiki?" bisikkannya menyadarkanku.
Aku menepis kasar tangan Dimas. Tanpa berkata apa-apa padanya, aku berlari menjauhinya. Tidak mengindahkan panggilan dan teriakkan Dimas untukku sama sekali. Dan sepanjang langkah yang aku ambil, tiap hal yang tertangkap oleh indra penglihatanku seolah menambah sakit di tiap sarafnya.
Sebenarnya apa yang salah pada mataku?
*Bersambung*
Terima kasih, karena kau telah mencintaiku. [part 2]
***
Seperti biasa juga, Alex akan menurunkan aku beberapa meter jauhnya dari gedung fakultasku, fakultas teknik. Sebab dia tidak mau kalau sampai ada yang curiga apalagi mengetahui perihal hubungan kami yang menyimpang ini. Yah, kami memang menghindari kemungkinan bisa di-bully habis-habisan nantinya.
Alex kembali melajukan motornya, sedangkan aku mulai melangkah menuju ke dalam gedung fakultasku. Saat entah darimana datangnya, suara cowok sialan itu membuat aku mem-pause gerak kakiku.
"Pagi, Kiki."
Aku memutar kedua bola mataku yang malah menjadikan kepalaku sedikit pusing. Ck, dasar cowok pembawa sial ya dia itu. Jadi, tanpa sudi menoleh kepadanya, aku melangkahkan lagi kakiku tak mengacuhkannya.
"Kiki!" sahutnya saat aku berjalan menjauhinya. "Ki, mata kamu kenapa?" tanyanya yang tahu-tahu sudah saja ada di sampingku. "Kamu sakit mata? Mata kamu luka? Apa kamu gak apa-apa? Udah periksa belum?" rentetan pertanyaan darinya terus menyerbuku. Tapi persetan dengan dia. Jadi aku tetap mendiamkannya tanpa sedikit pun berniat melirik.
"Kamu manis deh, Ki, kalo pakek kacamata." mendengar pujian darinya, membuat aku mual sejadi-jadinya. "Kiki..." dia meraih pergelangan tanganku, membuat laju kakiku terhenti.
Aku menggeram, melepaskan tanganku secara kasar dari pegangannya lalu memandangnya jijik. "Bisa gak sih lo berhenti gangguin gue?" aku menudingkan jari tengahku buatnya saat melemparkan pertanyaan ini. Aku sudah sangat muak dengan segala tingkah polahnya. "Gue tuh gak suka lo deket-deket sama gue. Bawaanya gue sial mulu kalo gue ada di deket lo. Jadi ada baiknya, lo pergi jauh-jauh dari gue. Hush!" cercaku masa bodoh dengan kekasaranku padanya.
Dia terdiam, bibirnya sedikit terkekuk. Benar-benar cowok menyebalkan. Dan entah apa sebabnya, dia mendadak menunjukkan senyum lebarnya. "Aku seneng kamu mau ngomong sama aku, Ki." ungkapnya disusul kekehannya yang menjengkelkan yang semata-mata bikin aku terperangah, makin sangat benci pada dirinya.
Aku dia anggap sedang bicara padanya? Jijik, deh. Yang aku lakukan selanjutnya hanya memberinya dengusan keras, kemudian aku segera saja berlalu dari hadapannya. Benar-benar ya dia itu. Kenapa dia tidak pernah berhenti mengganggu aku? Awalnya sih aku cuek saja, tapi lama kelamaan aku tak tahan sampai harus membentak dan bersikap kasar. Tapi apa hasilnya? Dia malah makin berani mendekat-dekati aku.
Nah, biar aku beritahu siapa cowok sialan tadi itu. Namanya Dimas Prawira. Cowok pertama yang membelaku ketika aku dihukum pada saat ospek dulu. Tapi mengapa dia tidak menarik perhatianku? Itu karena dia justru mempermalukanku. Gara-gara dia yang berniat menolongku, hukuman untukku dan dia jadi bertambah. Tidak tahu apa kalau aku capek? Dan saat aku berusaha mencuri-curi perhatian Alex, beberapa kali kehadiran sosok sialnya selalu nyaris menggagalkan usahaku. Untung saja, aku dan Alex berhasil jadian. Dan oleh sebab itulah aku sedapat mungkin mesti menghindari Dimas. Aku sudah memiliki Alex, aku tidak mau sampai kekasihku salah paham dengan eksistensi Dimas di dekatku yang terlalu sering. Karena jelas sekali, Dimas menyukaiku dan dia berniat untuk menarik perhatianku buatnya. Maaf saja. Meskipun aku tahu dia merupakan anak dari orang super kaya raya yang banyak dipuja-puja, aku tetap tidak akan pernah sudi untuk peduli.
...
Ponselku terasa bergetar disaku kemejaku, membuat aku segera mengambilnya dan menjawab telepon masuk, yang ternyata dari Alex.
"Halo, Lex?"
Alex berdeham di ujung sana. "Emm, Ki... hari ini kamu pulang sendiri aja ya, gak apa kan?" ujarnya lalu.
Aku mengangkat kedua alisku mendengar itu. "Ada apa emangnya?" tanyaku.
"Aku... eem, cuma gak bisa aja. Ada keperluan penting soalnya." katanya menjawabku dengan nada sedikit gusar. Atau cuma perasaanku saja?
Kenapa urusan pentingnya mendadak begini? Biasanya kalau ada urusan, Alex akan memberitahukannya padaku sejak kemarin, deh.
"Ya udah, Ki. Maaf ya. Aku mau pergi dulu. Bye." Dan sambungan telepon dari Alex diputuskan olehnya begitu saja.
Aku melepaskan kacamata yang aku pakai sejak pagi tadi. Menatap nanar ke kedua telapak tanganku. Mata sedang tidak sehat begini, masa aku harus pulang sendirian? Mana angkutan umum tidak ada yang lewat di sekitarku. Terpaksa, aku mulai menggerakkan kakiku, berjalan pulang menuju ke kosan.
Belum seberapa jauh aku meninggalkan pelataran kampus, sebuah mobil berwarna merah tiba-tiba saja berhenti di sampingku setelah sebelumnya membunyikan klakson berulang kali. Siapa, sih? Ketika kaca mobilnya terbuka, nafasku berhembus lesu mendapati Dimas yang ternyata memegangi kemudi di dalam mobil honda jazz itu. Tentunya, aku tidak terkejut. Dia kan sudah sering gonta-ganti merk mobil, dua hari lalu seingatku dia membawa mobil suzuki entah model apa. Dih, buat apa aku peduli. Dia kan memang cowok brengsek tukang cari perhatian. Aku membuang muka dan melanjutkan jalanku tanpa mau menoleh untuk yang kedua kali.
"Kiki, mau ikut gak?!" Dimas berseru ke arahku, sepertinya dari dalam mobil. Dan aku tetap diam. Malas sekali meladeninya. Dan aku terkejut, "Ki?" ketika Dimas sudah saja menangkap pergelangan tanganku. Kok dia sudah ada di sini? "Ikut, yuk. Aku antar kamu pulang ke kosan. Mata kamu lagi gak sehat 'kan? Daripada nanti kenapa-napa. Mau, ya?" ujarnya mengajakku dengan nada memelas. Sedikit, aku tercekat mengetahui fakta tentang dia yang seakan justru mengerti keadaanku. "Ki?" sebutnya lembut.
Aku menatapnya, menemukan pancaran penuh harap di matanya. Tapi aku menggeleng kuat-kuat, yang malah membuatku lagi-lagi pusing dan pandanganku makin memburam.
"Ki, kamu gak apa-apa?" suara Dimas semakin dekat ke telingaku, sentuhan tangannya terasa di puncak kepalaku. Saat aku coba melihat wajahnya, parasnya jadi menggelap. "Kiki?" bisikkannya menyadarkanku.
Aku menepis kasar tangan Dimas. Tanpa berkata apa-apa padanya, aku berlari menjauhinya. Tidak mengindahkan panggilan dan teriakkan Dimas untukku sama sekali. Dan sepanjang langkah yang aku ambil, tiap hal yang tertangkap oleh indra penglihatanku seolah menambah sakit di tiap sarafnya.
Sebenarnya apa yang salah pada mataku?
*Bersambung*
. . .
Aku berhasil tiba di kosan-ku, meski sedikit harus berusaha lebih lama mencari jalannya, membuahkan hembusan nafas lega dariku. Aku coba gunakan kacamata yang sempat aku lepas di kampus, dan yang terpampang di depan mataku berupa bintik bintik hitam yang berloncatan kemana-mana. Aku memejamkan mata, kacamata aku lepaskan kembali.
"Kiki?"
Sedikit terlonjak mendengar panggilan di belakang punggungku, aku pun membalikkan tubuhku perlahan. Melihat Ibu kosku, Bu Hanah tengah menatap ke arahku. Walaupun sosoknya tak begitu jelas saat ini, tapi aku masih sedikit menangkap warna kerudung hijau yang pagi tadi juga dikenakannya.
"Mata kamu udah mendingan?" tanya Bu Hanah lembut sembari menepuk pundakku.
Aku menggerakkan bola mataku ke kanan dan kiri, ke atas-bawah lalu memutarnya, pandanganku masih buram, dan titik kecil kehitamannya makin ramai terlihat. Aku menyentuh sebelah mataku, meringis dikarenakan pusing yang melanda.
"Cobalah periksakan matamu, Ki. Takutnya ada apa-apa. Mata itu panca indra yang penting loh, seenggaknya kalau kamu tau kenapa 'kan kamu mungkin bisa mengobatinya." saran Bu Hanah padaku dengan sikap keibuannya.
Aku enggan untuk meng'iya'kan. Tetapi jika tidak mengikuti saran dari Bu Hanah juga Alex pagi ini, aku tidak akan mendapatkan jawaban apapun atas kondisi mataku yang mengkhawatirkan. Akhirnya aku mengangguk dibarengi seulas senyuman di bibirku untuk bu Hanah. Kemudian aku merasakan belaian hangat di rambutku. Yang terasa seperti belaian almarhummah Mama.
Aku memanglah seorang yatim piatu. Ah, bagaimana aku harus menjelaskannya, ya? Ayahku masih hidup, tapi aku tidak pernah mengetahui di mana keberadaannya pun tidak tahu menahu seperti apa sosoknya. Aku hanya punya papa tiri yang dinikahi Mama tiga tahun yang lalu sebelum mamaku meninggalkanku selamanya disebabkan kanker rahim yang dia derita. Aku juga memiliki dua saudara tiri, anak papa dari istri pertamanya. Sayangnya, mereka semua berada di luar kota, sedangkan aku ngekos di sini. Jauh dari keluarga bukan sedarahku.
"Besok Kiki bakalan periksa, Bu." kataku yang aku yakini, membuahkan senyum kelegaan di bibir wanita yang menganggapku sudah seperti putranya kandungnya ini.
. . .
Aku berdecak kesal. Sudah berulang kali aku menghubungi nomor Alex sejak tadi malam, tapi terus menerus ditolak olehnya. Jika tidak, nanti dialihkan ke kotak suara. Dan berakhir dengan nomornya yang tidak aktif, seperti barusan.
Aku menggeleng masygul. Cepat-cepat mengambil dompet, kacamata, jaket dan memasukkan ponselku ke dalam kantung celana. Pada akhirnya, aku akan pergi sendirian. Lebih baik menggunakan taksi saja. Masa bodo dengan Alex yang entah ada di mana sekarang ini.
. . .
"A-apa, dok?!"
Kedua mata buramku nyaris membelalak penuh, kedua tanganku gemetaran dan keringat dingin sudah saja terasa di sekitar tengkuk hingga pelipisku. Penjelasan yang dokter katakan barusan pasti bohong, kan?
"Saraf mata Anda mengalami cedera, nak Rizki," dokter di depanku sekali lagi membaca kertas hasil pemeriksaanku. "Jika saja Anda memeriksakan kondisi mata Anda lebih awal, saya yakin terapi bisa membantu. Tapi..." dokter memberikan aku gelengan masygul. "Jika sudah seperti ini, Anda bisa saja kehilangan penglihatan Anda untuk selamanya." tutur sang dokter yang semakin membuatku merasakan kalut.
Aku menggeleng samar. "Ke-kenapa, dok? Kenapa kondisi yang saya alami mendadak begini?" tanyaku gemetaran.
Dokter menghela nafasnya. "Ini merupakan gejala yang tertunda, bukan mendadak. Biasanya cedera para saraf mata diakibatkan oleh beberapa kondisi. Seperti trauma, kerabunan yang parah, kecelakaan..."
Mendengar kata kecelakaan itu, semata-mata membuat aku teringat kejadian yang menimpa aku dan Alex beberapa bulan lalu. Waktu itu, Alex berniat mengantarkan aku pulang saat tiba-tiba hujan deras turun dan membuat kami kalang kabut. Dibawah guyuran hujan, Alex terus memacu laju motornya tanpa mengurangi kecepatan. Sampai dia melihat lampu merah dan mendadak menginjak rem, membuat motornya tergelincir dan kami berdua terjatuh. Siku Alex membentur aspal jalanan, sedangkan pelipis hingga sedikit bagian tulang kepalaku membentur bagian besi motor pengendara lain. Aku memegangi sisi pelipisku yang masih meninggalkan bekas luka di sana. Apa ini sebabnya?
"Anda punya waktu kurang dari sepuluh hari, nak Rizki..." ujar dokter itu menyadarkanku.
"Sepuluh hari? Untuk apa, dok?" tanyaku tak mengerti.
"Supaya mata Anda bisa dioperasi segera atau..." aku menunggu kelanjutan kalimatnya dengan was-was. "mata Anda tak akan bisa melihat lagi untuk seterusnya." dan petir yang menggelegar di luar sana, seolah menyambar langsung ke tempatku seketika itu juga.
Apa itu artinya, aku akan buta?
*Bersambung*