ia mengaku
bernama Revan. Usia jejaka kelahiran kota
kembang Bandung ini baru menginjak 24
tahun. Revan adalah seorang buruh yang
baru saja keluar dari pabrik tesktil yang
terletak di kawasan Cimahi, Jawa Barat.
Sebagai buruh yang memilih menjadi
biseksual dengan kecenderungan
homoseksual, ia kenyang dengan
pengalaman tak mengenakkan.
“Beberapa bulan lalu, saya baru saja keluar
dari pabrik tesktil yang terletak di kawasan
Cimahi, Jawa Barat. Sebab, terlalu banyak
pengalaman tidak menyenangkan yang
saya alami. Saya adalah seorang biseksual.
Saya punya rasa tertarik terhadap
perempuan, juga laki-laki. Namun, saya
merasa sisi gay saya lebih kuat. Dalam
pikiran saya, ketertarikan terhadap
perempuan 40 persen, sementara
ketertarikan terhadap laki-laki 60 persen
Namun dalam menjalani pilihan hidup ini,
saya punya impian untuk menikah suatu
hari, tentunya setelah memantapkan jati
diri terlebih dulu. Orang mungkin
menganggap cerita saya ini aneh, namun
itu benar-benar keinginan saya. Bukan
karena desakan orangtua atau tekanan dari
masyarakat. Saya punya mimpi untuk
punya anak dan istri.
Saat saya bekerja, meski tak pernah saya
deklarasikan bahwa diri saya adalah
seorang gay, namun stigma dan
diskriminasi kerap mendera. Dicibir dan
dihina adalah makanan setiap hari.
Terutama dari sesama rekan sekerja. Dari
mulut tajam mereka, lontaran hinaan
seolah sarapan
Istilah hinaan mereka terhadap saya adalah
LSL, “laki suka laki”.
Pernah suatu kali saya mencoba mendekati
teman perempuan satu pabrik. Namun
cobaan lantas datang, yakni muncul cibiran
dari laki-laki lainnya. Bukan hanya
melontarkan cibiran yang menyayat hati
saya, tetapi mereka juga berusaha
mendoktrin perempuan yang bersangkutan
agar menjauh dari saya.
Rekan buruh lainnya selama ini
memandang saya sebelah mata. Hanya
karena saya juga punya rasa ketertarikan
terhadap laki-laki. Celakanya, saat rasa
ketertarikan terhadap sesama pria itu
muncul pekerjaan saya pun ikut terganggu.
Saya jadi tidak fokus dan performa kerja
saya pun memburuk.
“Pantesan kamu belom nikah, kamu mah
homo.” Itu! Itulah hinaan yang paling
membuat perih hati saya! Saya jadi
melamun, kok sampai hati berkata seperti
itu. Padahal, saya tidak pernah
mengganggu mereka
Demi keamanan diri, saya tidak pernah
mengungkapkan bahwa saya biseksual di
lingkungan pabrik. Baru menduga saja,
omongan mereka sudah begitu kejam.
Bagaimana bila saya mengakui? Buat saya,
pabrik bukanlah tempat yang aman untuk
mengakui bahwa saya biseksual.”
Menyembunyikan jati diri agar tidak dihina,
itu yang biasa Revan lakukan. Dalam
masalah ini ternyata ia tidak sendiri, kami lantas berkesempatan bertemu
beberapa buruh yang bernasib sama.
Diskriminasi sosial yang begitu tinggi
membuat para buruh gay memutuskan
untuk menutup jati dirinya rapat-rapat di
lingkungan pabrik. Beberapa dari mereka
juga menutupi orientasi seksualnya di
lingkungan keluarga.
“Saya takut dijauhi teman-teman kerja.
Takut dipertanyakan, ‘Ih, kenapa, sih, kamu
homo?’” ujar Arief (24) yang pernah bekerja
sebagai buruh pabrik pembuatan kasur saat
ditemui di kawasan Cimahi, Jawa Barat,
akhir April lalu.
Arief menyesalkan perlakuan masyarakat
luas yang masih memandang negatif kaum
gay dan biseksual. “Padahal, homoseksual
bukan penyakit. Tidak menular. Seorang
homoseksual pun kalau tertarik ke seorang
gay, pasti berpikir dua kali, enggak
langsung nyosor,” kata pria yang bekerja
sebagai buruh pabrik selama tiga tahun
tersebut.
Ia juga menyesalkan guyonan dan hinaan
seksis yang selalu diberikan kepadanya.
Muncul lontaran seperti “Kenapa, sih, kamu
enggak ikutan main bola? Cewe banget!”
ketika Arief menolak ajakan bermain bola.
Lain Arief, ada pula kisah Decky, buruh gay
yang baru berusia 22 tahun. Kepada kami ia bercerita pernah didiskriminasi
oleh atasan karena orientasi seksualnya.
Lini Decky memilih menutup jati dirinya
rapat-rapat di lingkungan kerjanya yang
baru, pabrik cokelat di daerah Sadang,
Purwakarta, Jawa Barat.
Belum sebulan bekerja di sana, Decky
berusaha lebih hati-hati dengan menutupi
orientasi seksualnya. “Sekarang saya lebih
menutup diri. Tidak ada yang tahu sama
sekali (kalau saya gay). Sebenarnya banyak
yang gay juga di pabrik itu, ketebak. Saya
cari aman saja,” kata Decky.
Keputusan Decky tersebut memang bukan
tanpa alasan. Ia terpaksa keluar dari
pekerjaanya yang dulu karena dimarahi
oleh atasan yang tidak suka dengan
gayanya yang feminin. Padahal gaya
feminin tak pernah mengurangi efektifitas
pekerjaan yang ia lakukan.
“Atasan marah dan mempertanyakan
mengapa gaya saya kecewek-cewekan.
Saya bilang, ‘Tak apa, lah, Pak, yang
penting kerja saya beres.’ Namun, dia tetap
tidak suka,” tutur Decky mengenang.
Maka tak mengherankan, bila kemudian
Decky memilih untuk tidak menjadi dirinya
sendiri. Tak dipungkiri, terkadang muncul
suatu dorongan dalam hatinya untuk
menunjukkan ke dunia luas bahwa ia
adalah seorang gay.
Decky sebenarnya lebih senang bergaya
feminin dibandingkan maskulin. “Sampai
sekarang, belum bisa mengekspresikan diri
saya sesuai dengan diri saya
sesungguhnya. Kadang, rasanya gatel juga
pengen ngondek-ngondekan,” kata Decky
Kisah Revan, Arief, dan Decky hanyalah
sebagian kecil kisah kaum gay yang
terpaksa menutupi jati dirinya supaya
'selamat'. Menjadi diri sendiri dan bebas
berekspresi masih menjadi kemewahan di
negeri ini.
Riset ini menunjukkan bahwa pekerja LGBT
masih kerap mendapatkan diskriminasi.
Ditemukan bahwa mereka sulit mengakses
pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor
formal, karena banyak pemberi kerja yang
homophobic dan karena lingkungan (pada
umumnya) tidak ramah terhadap kaum
LGBT. Sementara, mereka yang berhasil
mendapatkan pekerjaan juga kerap
mengalami perlakuan diskriminatif seperti
dihina, dijauhi, dirisak, diancam, dan
bahkan mengalami kekerasan secara fisik.
Aktivis LGBT Dede Oetomo berpendapat
transgender, terutama waria, mengalami
diskriminasi paling berat di antara
semuanya. Ekspresi gender dan orientasi
seksual yang terlihat jelas membuat
kehadiran mereka begitu menonjol dan
menjadi pusat perhatian. Dalam banyak
kasus, waria paling kesulitan mendapatkan
pekerjaan dibandingkan lesbian, gay,
biseksual, maupun priawan. Maka tak
jarang, waria kerap menjadi pekerja seks
komersial karena keterbasan pilihan
pekerjaan tersebut.
Sumber
Comments