BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerita Cinta Satu Jalan

@lulu_75 @3ll0 @harya_kei @Unprince @Ndraa @Adiie @balaka @RegieAllvano @moccaking @Adi_Suseno10 @SteveAnggara @4ndh0 @Otho_WNata92 @Bun @Sho_Lee @NanNan @nawancio @Hon3y @happyday @BangBeki @Rifal_RMR @meandmyself @chioazura @dirpr @dimasalf9
@bianagustine @zeva_21 @obay @abong @ardavaa @boy @boybrownis @putrafebri25 @shuda2001@Asu12345 @yeniariani

Cerita Cinta Satu Jalan

Aku tak pernah tahu bila jarak dan waktu dapat mengubah segalanya sampai kau mengirimiku pesan terakhir itu. Aku juga tak pernah sadar sebelumnya bila penantianmu akan memiliki ujungnya, meskipun dulu kita pernah berikrar. Dan aku baru saja menyadari bahwa seharusnya aku sudah mengetahui hal-hal itu sedari lama. Agar aku dapat memperbaiki semuanya, agar cerita kita tidak berakhir begini.

CCSJ

Aku selalu menjadi sorotan ketika kita masih duduk di bangku SMA. Percaya atau tidak banyak yang mengidolakan diriku karena prestasi-prestasi yang sudah aku ukir untuk sekolah kita. Dan kau, sama sepertiku, menjadi pusat perhatian ketika kau berhasil membawa tim basket sekolah kita ke babak nasional. Pertama kali itulah aku mengenalmu.

Sebelumnya aku tidak pernah tahu siapa dirimu. Bahkan melihatmu saja aku tidak ingat jika pernah. Intinya kita berbeda dunia jauh sebelum kau menjadi salah satu anak kebanggaan sekolah. Tapi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, semuanya berubah ketika kau mencetak poin pada detik-detik terakhir pertandingan. Kau seakan menjadi terang ketika tim sudah berada di ambang kegelapan. Kau menyelamatkan pertandingan kita.

Aku yang ditugaskan mengurus formulir kalian untuk pertandingan nasional di pertengahan semester. Dan aku harus mengantarkannya ke rumahmu karena saat itu kau sedang sakit. Kau ingatkan pertemuan pertama kita hari itu?

“Kau sedang apa di sini? Bukankah anak sepertimu tidak membuang-buang waktu tanpa belajar?” Aku ingat kata-katamu hari itu, dengan nada sinis kau mengucapkannya.

Ya, aku tidak bisa menyangkalnya. Aku memang terkenal dengan jadwal belajar yang ketat. Seperti halnya yang kau bilang, aku tidak pernah membuang-buang waktuku untuk hal yang sia-sia.

“Karena itulah kau berhutang padaku. Kau yang menyebabkan hal ini. Jadi segera selesaikan berkas-berkasmu agar besok aku bisa hidup dengan tenang lagi.”

Kau tersenyum sarkas, “Jadi kau terpaksa melakukan ini?”

“Aku tak akan melakukannya jika bukan pelatih yang meminta.”

Dan sekarang kau terkikik, kau mengejekku. Tapi aku tak peduli dan tak mau memikirkannya karena kupikir kali itulah terakhir kalinya kita akan bertemu. Karena anak yang mengandalkan otak dan anak yang mengandalkan otot tidak ditakdirkan untuk bertemu kedua kalinya.

Tapi lihatlah apa yang terjadi. Kita bertemu lagi dengan akar permasalahan darimu. Ketua timmu mendatangiku dengan menyeretmu, sebelum ia berbicara saja aku sudah tahu kalau ini akan membuang-buang waktuku.

“Aku meminta tolong padamu, De. Kau tahu kami membutuhkannya.”

Aku melirikmu tajam ketika mendengar penjelasan barusan dari ketua. Memang hal yang benar-benar sesuai dengan bocah sepertimu yang hanya tahu menyusahkan orang lain.

“Jadi kau mau aku apa?” Tanyaku sambil merapikan buku-bukuku ke dalam ransel.

“Aku ingin kau mengajarinya materi ujian tengah semester Minggu depan. Aku sudah mengecek keseluruhan nilainya dan tidak ada yang bisa diharapkan.”

“Lalu apa hubungannya denganku?”

“Kau tahukan kalau dia tidak akan diizinkan mengikuti pertandingan jika nilai ujiannya anjlok semua. Jadi sebagai temanmu aku meminta tolong kau membantunya. Ini benar-benar urgen De.”

Aku tak mau membantumu, terlebih lagi karena kau sudah membuat teman masa kecilku memohon seperti ini padaku. Aku juga tak simpati dengan berhasil atau tidaknya pertandingan basketmu. Namun sekali lagi, hatiku digerakkan oleh orang yang kusayangi. Aku membantumu karena dia.

CCSJ

Bukanlah hal mudah untuk mengajari bocah bodoh sepertimu. Kau selalu saja berhenti di tengah jalan ketika kita sedang membahas suatu persoalan. Kau pergi ke toiletlah, kau butuh airlah, kau kelelahanlah, semuanya kau jadikan alasan agar kau bisa menarik napas. Kau memang tidak pernah sungguh-sungguh dari awal.

“Kalau kau memang tidak mau belajar lebih baik kau pulang saja.” Aku mengucapkannya tepat setelah pemikiran itu terlintas di kepalaku.

Kau bangkit dari rebahanmu lalu duduk di depanku, “Bukannya kau yang tidak ada niat mengajariku?”

“Apa maksudmu?”

“Sejak kita mulai belajar yang aku bisa tangkap dari penjelasanmu tidak ada sedikit pun. Mengapa? Karena sedari tadi kau belajar untuk dirimu sendiri. Kau bahkan tidak memberi waktu untukku bertanya. Apa aku tidak malas jika kau begitu?”

“Kalau begitu seharusnya kau yang berusaha menyamaiku. Aku tidak mengundangmu ke sini untuk membuatku menjawab pertanyaan bodohmu. Aku hanya membantumu belajar.”

“Lalu apa kau sebut ini dengan membantuku? Sepertinya perspektifmu tentang membantu perlu dikaji ulang lagi. Dan kau memintaku menyamaimu? Itu hal mustahil. Kita bisa bilang persamaannya adalah aku memintamu menyamaiku dalam basket hanya dengan melemparkanmu teorinya.”

“Itu hal yang berbeda asal kau tahu. Memintamu mempelajari materi ini dan memintaku belajar basket tidaklah sebanding.”

Kau memasukkan semua bukumu dalam tasmu lalu berdiri, “Sudahlah. Berdebat hal seperti ini denganmu tidak akan memiliki ujungnya.”

“Lalu kau mau kemana?”

“Tadi bukankah kau yang memintaku pulang jika aku tidak niat belajar?”

Dan kemudian kau melangkah keluar dari kamarku dengan aku yang hanya bisa diam. Aku tak mengerti namun kekesalanku barusan terhadapmu menghantamku dengan keras. Secara tidak langsung kau sudah memberitahuku bahwa aku egois. Aku memang pintar, namun aku menyimpan semuanya untuk diriku sendiri. Kita memang tidaklah sebanding, namun aku sadar kau lebih baik dariku.

CCSJ

Aku tak bisa berpikir dengan jernih. Kejadian semalam terus mengusikku dan membuyarkan konsentrasiku. Aku berusaha memusatkan perhatian pada materi di depan namun pada akhirnya aku hanya bisa melongo bego.

Pada jam istirahat aku tidak bisa lagi menahan diriku. Aku menghampiri kelasmu dan melihat kau yang termangu di sudut ruangan.

“Hei.”

Kau menoleh, “Ada apa?”

“Bisa bicara sebentar?”

Kau memandangku lama seolah menimbang-nimbang tawaranku barusan. Apa kau tidak tahu betapa gugupnya aku menunggu jawabanmu? Kau akhirnya mengangguk dan kita beranjak ke atap sekolah.

“Aku ingin meminta maaf untuk yang semalam.” Ucapku langsung ke inti pembicaraan.

“Memangnya semalam ada apa?” Tanyamu dengan acuh tak acuh.

Aku menggigit bibirku, “Untuk apa yang terjadi di kamarku semalam. Aku baru memikirkannya setelah kau pergi. Seharusnya aku tidak bersikap seperti itu.”

“Tumben sekali kau jadi anak baik begini. Apa kau kesurupan sesuatu?”

Aku tak mengindahkan candaanmu, “Aku hanya berpikir kalau kau benar. Aku bukanlah pengajar yang baik dan hal yang semalam itu tidak pantas disebut sebagai membantu. Aku memang egois.”

“Lalu?”

Aku menelan ludahku, “Jadi aku ingin membantumu sekali lagi. Anggap saja sebagai imbalan karena sudah menyadarkanku.”

Kau mengangguk-angguk, “Apa kau menangis semalam?”

“Hah? Untuk apa aku menangis?”

“Kau tahu biasanya orang akan menangis setelah menyadari kekurangannya.”

Aku meninju dadamu, “Jangan bercanda, aku tidak secengeng itu.”

“Aku tahu. Ngomong-ngomong di sini lumayan adem ya. Anginnya segar.”

Kau benar di sini memang adem. Angin berhembus dengan lembutnya, membelai kulit kita berdua. Kau menutup matamu dan menikmatinya, seolah-olah kau bersatu dengan alam. Aku hanya memandangmu dan sadar betapa berbedanya dirimu dengan apa yang selama ini kupikirkan. Kau tidaklah benar-benar buruk.

Kau membuka matamu, “Hei cobalah. Rasanya nikmat.”

Aku menggeleng, aku terlalu malu melakukannya.

“Ayolah.”

Kau terus membujukku hingga kita berdua memejamkan mata kita, menikmati angin sepoi-sepoi di atap sekolah. Dan apa kau tahu? Pertama kali inilah aku akan membantumu dengan tulus.

CCSJ

Sudah hampir sebulan kita kenalan dan sekarang kita semakin dekat. Kau berhasil menempatkan tim basket kita pada posisi kedua di kejuaraan nasional kemarin dan kau kini dielu-elukan karenanya.

Sekarang kau sudah terkenal. Tidak ada lagi yang tidak tahu namamu di sekolah kita. Banyak anak gadis yang mengajakmu kencan dan temanmu semakin meningkat jumlahnya. Aku sebenarnya cukup iri dengan keberhasilanmu. Kau mampu menjadi pusat perhatian sekaligus menjadi kenalan banyak orang hanya dengan mencetak poin di lapangan. Berbeda denganku yang hanya menjadi pusat perhatian namun tetap sendirian.

Aku tahu pokok permasalahannya bukan ada pada sekitarku, namun semuanya ada padaku. Aku terlalu angkuh dan gengsi untuk akrab dengan mereka setelah sukses di banyak perlombaan. Aku memprioritaskan belajar dan menolak ajakan mereka untuk mengambil waktu senggang. Aku seolah diprogram untuk melakukan semua hal itu. Namun kini setelah melihatmu aku sadar betapa kesepiannya diriku. Aku berdiri di puncak namun tak ada seorang pun yang menemaniku ataupun berdiri bersama-sama denganku. Aku hanya sendirian dan rasanya begitu memalukan.

Tanpa sadar air mataku sudah mengalir saja. Dadaku terasa sesak dan kakiku menuntunku ke atap. Aku memuntahkan semuanya di sana. Aku menangis sejadi-jadinya meskipun mulutku kubungkam agar tidak mengeluarkan suara.

“Mau sampai kapan kau menahan suaramu begitu?”

Ternyata kau sudah berdiri di belakangku, memandangku iba.

“Mengapa kau bisa di sini?”

Kau mengangkat kedua bahumu, “Siapa yang tahu.”

Aku mengusap air mataku, “Tutup matamu. Aku tidak mau dilihat orang lain dalam keadaan begini.”

Kau malah mendekat dan memelukku, “Jangan malu begitu. Hanya ada aku di sini kok.”

“Apa yang kau lakukan?”

“Tentu saja memelukmu.”

“Iya aku tahu tapi untuk apa? Kita berdua kan sama-sama cowok.”

“Lalu mengapa? Aku hanya ingin kau mengeluarkan semuanya sekarang. Jangan menahannya. Menangislah di dadaku.”

“Apa kau bodoh? Lagi pula bagaimana bisa aku menangis di dadamu? Tinggiku kan sejajar telingamu.”

“Kalau begitu menangislah di bahuku.”

Aku mendorongmu, “Jangan gila. Mana mungkin aku menangis di bahumu. Lagi pula aku sudah mengeluarkan semuanya kok.”

“Kau yakin mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini? Jarang-jarang aku menawarkan bahuku begini.”

“Jangan bercanda. Aku tidak akan mau melakukannya.”

Namun meskipun begitu aku tertawa karenamu. Kau membuatku tertawa di saat aku rasanya ingin mati saja. Aku lega karena itu kamu, lega karena kau yang membuatku ceria kembali.

CCSJ

Ingatkah kau setengah tahun setelah semua kejadian itu? Apa yang terjadi di pasar malam kala itu?

Aku tidak mengerti maksudmu ketika kau mengajakku ke pasar malam yang di adakan sekali sebulan di kota ini. Padahal banyak gadis-gadis yang bisa kau jadikan pasangan ke sini namun kau malah memilihku.

“Aku sedang tidak minat dengan gadis-gadis itu.” Jawabmu ketika aku bertanya mengapa aku yang kau ajak keluar.

“Tidak minat? Apa kau bercanda? Padahal banyak yang menawarkan diri padamu.”

“Lalu? Apa aku harus mengajak mereka?”

“Tentu saja. Siapa tahu saja kau bisa dapat pacar setelahnya.”

“Tidak mungkin itu terjadi. Lagi pula mereka mengincarku hanya karena status dan wajahku. Belum lagi jika nanti mereka merengek-rengek minta dibelikan ini atau itu. Aku malas meladeninya.”

“Lalu kau pikir aku takkan minta ini itu jika kau mengajakku?”

“Kalau itu kau bukan masalah. Malah karena itu kau makanya aku mengajakmu.”

“Hah? Maksudnya apa?”

“Sudahlah. Jangan banyak tanya lagi. Sana siap-siap, pasar malamnya sudah mau buka.”

“Iya, iya. Kita naik apa? Mobilku?”

“Aku yang mengajakmu jadi kita akan naik motorku.”

“Jangan. Dingin tahu!”

Kau memalingkan wajah, “Kau bisa pakai jaketku.”

Mendengarnya secara spontan aku langsung tersipu dan ikut memalingkan wajahku. Apa maksud kalimatnya barusan?

“Sudah cepat siap-siap sana. Mau sampai kapan kau berdiri di situ terus?”

“Iya, iya.”

Aku akhirnya beranjak dengan jantungku yang berdebar tidak karuan.

CCSJ

Kita mengunjungi banyak tempat di pasar malam itu. Kau membayari semuanya tanpa membiarkanku mengeluarkan uang sedikit pun. Aku tidak menolak namun aku merasa berhutang banyak padamu. Setiap kali aku protes kau menjawabnya kalau kau akan marah jika aku sampai mengeluarkan uang dari dompetku. Lalu aku hanya diam dan menurut saja. Dasar kau memang kekanak-kanakan sekali.

Tempat terakhir yang kita kunjungi adalah rumah hantu. Sebelumnya aku tidak pernah memasukinya karena jadwal belajarku yang padat, jadi aku tidak tahu apa-apa terkait rumah hantu. Aku malah mengira maksud dari rumah hantu adalah rumah yang isinya penjelasan tentang hantu-hantu yang dikenal oleh masyarakat. Namun ketika kami memasukinya, semuanya tidak sesuai dengan perkiraanku.

Aku bisa dibilang takut terhadap hal-hal gaib. Aku bahkan sebelumnya menolak memasuki rumah hantu tapi dengan tenangnya kau menjawab kalau semua akan baik-baik saja. Dan saat aku memasukinya aku hanya bisa teriak ketakutan sedangkan kau tertawa karena melihat ekspresiku. Aku bahkan tak melepaskan genggaman tanganmu sampai kita berhasil keluar dari dalam rumah sialan itu.

“Mau sampai kapan pegangan terus?”

Aku melepas genggaman tanganmu dan membuang muka, “Selamat karena berhasil mengerjaiku.”

Kau malah tertawa dan mengejarku, “Aku kira kau tidak takut dengan hal begituan.”

“Jangan bohong. Kau kan tahu kalau aku tidak suka yang horor-horor.”

“Benarkah? Aku tak pernah mendengarmu berkata begitu.”

“Oh ya? Lalu kau kira apa yang aku bilang kemarin ketika kita ke bioskop dan kau mengajakku nonton film horor?”

Kau pura-pura berpikir, “Oh iya aku baru ingat. Maaf kalau begitu. Tapi serius ekspresimu tadi benar-benar lucu, aku bahkan lebih banyak tertawa ketimbang takut.”

“Terserahlah. Aku mau pulang saja sekarang.”

“Yah begitu saja ngambek. Mau kubelikan sesuatu sebagai permintaan maaf?”

Aku memandangmu sarkas, “Pembasmi nyamuk kalau boleh. Aku mau membasmimu.”

“Jahatnya. Aku bahkan tidak yakin kau akan membasmiku. Memangnya kau bisa tanpa aku?”

“Hah? Tentu bisalah, memangnya kau siapaku?”

“Gebetanmu?”

Pipiku langsung memerah karena malu, “Gebetan matamu. Sudahlah aku lapar. Aku mau makan.”

Kau mendekatiku dan tersenyum usil, “Asal kau tahu kau tersipu tadi.”

“Diam. Aku mau makan sekarang dan jangan bahas hal itu lagi.”

Kau tersenyum senang lalu mengacak rambutku, “Iya, iya. Ayo kita makan di sana.”

Dan jantungku hanya tahu berdetak kencang sekarang.

CCSJ

Aku tak bisa melupakan apa yang terjadi malam itu. Terlebih lagi ketika kau menggenggam tanganku di penghujung malam saat kita duduk berdua di pojokan sepi. Aku tidak tahu mengapa namun kau memandangku dengan aneh. Pandanganmu membuat jantungku tidak karuan. Aku tidak mau begitu namun entah mengapa aku juga tidak mau melepas genggaman tanganmu.

“Ada apa dengan genggaman dan pandanganmu itu?” Tanyaku dengan malu tanpa memandang wajahmu.

“Aku tidak tahu. Aku hanya ingin melakukannya saja.”

“Tidak ada hal yang dilakukan tanpa alasan.”

“Benarkah? Menurutku ada.”

“Apa?”

“Em, mungkin salah satunya adalah menyukaimu.”

Jantungku semakin tidak karuan lalu aku mengalihkan pandang ke arahnya, “Maksudmu?”

Ia malah tersenyum, “Aku tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya bilang aku menyukaimu tanpa perlu alasan.”

Hah? Aku merasakan pipiku memanas.

“Apa maksudmu dengan menyukaiku?”

“Menyukaimu berarti suka padamu. Apa otak pintarmu itu tidak mengerti hal sesimpel itu?”

Aku menelan ludahku.

“Lalu bagaimana?” Tanyamu.

“Lalu bagaimana apa?” Tanyaku balik dengan tegang.

“Jawabanmu apa? Kau suka aku juga atau tidak?”

“Apa aku harus menjawabnya?” Aku benar-benar linglung.

Kau tersenyum, “Kalau tidak dijawab lalu apa guna pernyataan suka barusan?”

Aku menelan ludahku lagi. Jujur aku bingung harus menjawab apa. Di satu sisi dadaku menghangat dan aku merasa senang mendengarnya, namun di sisi yang lain aku merasa ragu dan ketakutan tanpa alasan.

“Mengapa tiba-tiba begini?”

Kau mengangkat kedua bahumu, “Terjadi begitu saja soalnya.”

“Lalu apakah kau serius dengan ini?”

Kau menggenggam tanganku semakin erat, “Aku tidak pernah seserius ini malahan.”

Aku bisa memandang kesungguhan dari matamu. Aku juga bisa merasakan keteganganmu melalui genggaman tanganmu. Namun entah mengapa aku masih meragu dan belum siap.

“Kau tidak mau menjawabnya ya?” Kau melepas genggamanmu dengan perlahan.

Aku menggigit bibirku, “Bukan begitu. Tapi aku belum tahu harus menjawab apa. Kau tahu ini pertama kali buatku.”

“Kalau begitu kau tak usah menjawabnya.”

“Benarkah? Kau tidak apa?”

Kau menggeleng, “Lagian aku tidak terburu-buru kok. Kau bisa menjawabnya ketika kau siap.”

“Kalau begitu biarkan aku memikirkannya dahulu.”

Kau mengangguk pasrah, “Mau pulang sekarang?”

Aku mengangguk.

Akhirnya malam itu ditutup dengan pikiranku yang lalang buana.

CCSJ

Kau menunggu jawabanku tanpa menuntut meskipun pada akhirnya aku memberi anggukan padamu. Aku tidak bisa lupa ekspresi bahagiamu kala itu, aku bahkan tidak akan lupa.

Kita akhirnya mulai pacaran. Pacaran sembunyi-sembunyi tentunya. Kau sering kali memelukku ketika hanya ada kita berdua dan mencuri cium dari bibirku. Aku sudah melarangmu untuk melakukannya dengan izinku berkali-kali namun selalu saja kau langgar. Kau hanya bisa meminta maaf dengan senyuman bocahmu itu setelahnya dan merengek padaku.

Lalu kita bercinta pertama kali ketika kita menginjak semester dua kelas tiga. Sungguh rasanya sakit sekali ketika kita pertama kali melakukannya. Aku bahkan tidak menyangka milikmu bisa memasukiku meski butuh perjuangan keras karena tubuhku spontan menolaknya. Kau tersenyum puas dan memelukku mesra. Aku ingat apa yang kau katakan hari itu.

“Aku tidak tahu lagi jika harus hidup tanpamu. Cintaku sudah terlampau besar untukmu.”

Kalimat itu, kau tahu betapa senangnya aku ketika kau mengucapkan kalimat itu? Jujur aku mempercayai kalimat itu dengan segenap hatiku. Aku bahkan menuliskannya di belakang buku catatanku berkali-kali sambil membayangkan dirimu.

Namun dunia tidaklah lengkap jika hanya tawa yang hidup. Kesedihan juga hidup berdampingan dengan kita. Dan kita memperoleh kesedihan kita pada saat kelulusan. Tak bisa disangkal bahwa kita adalah dua insan yang keseluruhannya berbeda. Karena perbedaan itulah akhirnya kita terpaksa berpisah untuk menapaki langkah kita selanjutnya.

Aku dengan berat hati melanjutkan studi di luar negeri dan kau melanjutkan studimu di universitas negeri yang tidak jauh dari kota. Kita memilih jalur yang berbeda dan itu membuatku menangis semalaman dalam pelukanmu. Kau tahukan betapa berat hal ini untukku? Tapi kau menenangkanku.

“Kita masih bisa bertemu kalau liburan tiba. Jangan sedih begitu. Lagi pula bukankah kita bisa berkomunikasi lewat internet? Aku akan mengirimimu email dan kita juga bisa video call sekali-sekali.”

Kau terus mengoceh tentang hubungan kita yang akan terus berlanjut meskipun kita berada di tempat yang berbeda. Kau tahu apa yang menenangkanku pada akhirnya? Kalimat terakhirmulah yang membuatku berhenti menguraikan air mata.

“Jangan khawatir. Aku akan tetap mencintaimu meski jarak tak lagi memungkinkan. Percayalah, cintaku lebih besar dari itu.”

Aku tidak percaya kau bisa mengucapkan hal itu. Dan itu membuat hatiku berbunga. Mendengarmu mengatakan hal itu memberiku keyakinan bahwa kita tidak akan pernah berpisah meskipun raga kita tidak lagi bersatu.

Kau meyakinkanku bahwa kau dan aku sudah menjadi satu sedari awalnya dan takkan pernah berubah menjadi dua. Aku yakini itu dan aku bawa ketika aku pergi.

CCSJ

Rencana memang tidak pernah semulus kenyataannya. Ketika aku tiba di kota baruku, aku mendapat berita dari orang tuaku bahwa aku tidak akan kembali sampai aku menyelesaikan sarjanaku ditambah gelar masterku dan ikatan kerja dari beasiswaku. Itu berarti aku tidak akan bisa bertemu denganmu selama sembilan tahun penuh. Kau tahu betapa sakitnya aku ketika mendengar hal itu?

Aku mengabarimu hal itu dan kau menjawabnya dengan santai. Kau bilang kalau itu bukan masalah dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekali lagi kau meyakinkanku.

Kita terus saling kirim email setiap harinya dan sesekali melakukan panggilan video. Kau banyak berubah dari segi fisikmu.

“Berubah bagaimana?” Tanyamu ketika aku mengucapkannya,

“Rambutmu semakin lebat dan kau mulai berkumis. Kau juga semakin kurus.”

“Benarkah? Apa kamu mau aku memangkas dan mencukurnya? Aku juga akan makan banyak mulai sekarang.”

Aku tertawa, “Tidak perlu. Menurutku itu cocok denganmu. Bahkan kau semakin tampan.”

“Benarkah?” Kau tersenyum girang.

“Ya, hanya saja mungkin rambutmu perlu kau rapikan dan kumismu perlu kau cukur dan tubuhmu perlu kau isi.”

“Bukankah itu berarti kau ingin aku memangkasnya, mencukurnya, dan makan banyak mulai sekarang?”

“Ya, itu maksudku.”

“Lalu buat apa kau mengatakan aku semakin tampan dengan berpenampilan begini jika kau akhirnya memintaku mengubahnya.”

Aku tertawa lagi, “Jangan memasang wajah seram begitu. Kau tahu aku bercanda.”

“Bercandalah sesukamu. Aku diambil orang nanti baru tahu rasa.”

“Tidak akan ada yang berani mengambilmu.”

“Mengapa bisa begitu?”

“Karena kau milikku.”

Kau hanya tersenyum. Dan sesi video call kita diakhiri dengan ciuman kita yang dibatasi oleh layar monitor.

CCSJ

Semuanya berlangsung dengan cepat. Bahkan mungkin terlalu cepat untukku. Kita terus berhubungan lewat internet sampai delapan tahun lamanya. Aku menyelesaikan studiku selama enam tahun dan kemudian melanjutkan ikatan kerjaku. Sudah berjalan dua tahun, yang berarti butuh setahun lagi untuk bisa kembali.

Setiap harinya benar-benar penyiksaan bagiku. Hatiku terus menuntut untuk bertemu denganmu dan kerinduanku semakin tidak terbendung lagi. aku menjadi tidak sabar menyelesaikan sisa setahun lagi ikatan kerjaku. Kau tahu aku benar-benar menantikan hal itu.

Kita masih berhubungan lewat email dan video call secara rutin. Kita saling memberi kabar dan bertukar cerita. Darimu aku tahu kalau sekarang kau bekerja menjadi dosen di salah satu universitas negeri. Pekerjaan yang dulu kukira tidak akan pernah sesuai denganmu.

Kau bukan lagi si bodoh dari masa lalu. Kau sudah menjadi dosen yang membagikan ilmu pengetahuanmu kepada orang lain. Benar-benar hal yang tidak pernah aku duga. Padahal dulu kukira kau akan menjadi pemain basket profesional yang dulu kau idam-idamkan. Namun siapa yang tahu kau kini malah berdiri di depan kelas dan mengajari orang banyak.Aku bangga dan senang mendengar hal itu darimu. Kau sudah benar-benar berubah.

Namun ternyata satu tahun sisa itu menjadi akhir dari segalanya. Satu tahun sisa itu menjadi hantaman keras buatku.

Pesan itu kau kirimkan pagi-pagi sekali sebelum aku berangkat kerja, hal yang sangat jarang sekali darimu. Aku merasa senang dan membukanya dengan terburu-buru. Aku tidak ingin berangkat kerja sebelum membaca suratmu.

Namun apa ini? Apa maksud pesanmu ini? Aku membacanya berulang kali dan meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah baca. Aku mengulangnya terus menerus hingga kelelahan namun isi surat itu tetap begitu saja. Aku segera melakukan panggilan video denganmu, ingin memastikan kalau surat itu salah. Tidak, surat itu bukan buatku. Namun tidak ada video call yang terhubung. Aku melakukan panggilan internasional namun kau menolak panggilanku. Apa maksudmu?

Hingga akhirnya aku terduduk dan membaca ulang pesanmu. Ternyata ini benar-benar terjadi dan aku mulai menangis.

CCSJ

Setahun berlalu namun aku tidak kembali. Aku memutuskan untuk bertahan lebih lama lagi di sini. Lagi pula apa yang perlu kulihat di kota asalku?

Hidupku benar-benar hancur. Aku kini menjadi robot yang diprogram hanya untuk makan, minum, tidur, mandi, bekerja. Tidak ada selain itu. Tidak ada jalan-jalan bersama teman, tidak ada kencan dengan lelaki lain. Aku benar-benar kandas, cintaku benar-benar kandas.

Dua tahun setelahnya kabar itu datang. Ibuku meninggal dunia. Dan kini aku akan kembali ke kota itu.

CCSJ

Pemakamannya berlangsung dengan lancar. Banyak orang yang datang dan berduka atas kematian ibuku. Mau bagaimana lagi? Ibuku memang orang yang kehidupan sosialnya luas. Sedangkan aku hanya bisa menangis lalu kembali mengurung diri di rumah. Tidak keluar ke mana pun.

Tapi pagi itu menjadi pagi yang berbeda buatku. Hatiku tiba-tiba saja meminta penyelesaian. Dan aku mengikutinya dengan menanyakan alamat rumahmu. Aku mengirimimu pesan setelah sekian lama kita berhenti komunikasi.

Tidak sampai lima menit kau membalasnya dan memberitahukannya dengan tambahan kata “Mengapa” di akhir.

Aku menelan ludah lalu membalasnya, “Aku ingin mengunjungi teman lama.”

CCSJ

Rumahmu besar dengan lapangan luas. Aku memasuki pekarangannya dengan ragu dan menyesal telah ke sini. Namun aku sudah terlanjur melakukannya dan tak bisa kembali lagi. Dengan jantung berdetak kencang aku menekan bel rumahmu.

“Hai. Lama tidak berjumpa.” Sapamu setelah membukakan pintu, “Ayo masuk.”

Aku melangkahkan kaki ke dalam rumahmu dan segera ke ruang tamu. Di dinding di hadapanku ada pigura besar berisi keluarga kecil bahagia di dalamnya.

“Itu istrimu?” Tanyaku. Kau tau, ada rasa sakit ketika aku harus menanyakan hal itu.

Kau mengangguk, “Ya, dan itu anakku.”

“Cantik. Dan anakmu lucu sekali, persis dirimu.”

Kau hanya memandangku sayu lalu segera ke dapur, “Akan kuambilkan minum.”

Aku mengangguk lalu duduk. Aku memperhatikan pigura itu. Wajahmu, senyumanmu, tubuhmu, aku memperhatikan semuanya. Mataku hanya tertuju pada sosokmu tanpa mengindahkan wanita dan bayi yang ada bersamamu.

Kau kembali dengan sebotol minuman lalu duduk di hadapanku.

“Bagaimana kabarmu?” Tanyamu kaku.

“Kau lihat sendiri, aku sehat dan bugar begini.” Aku mengusahakan senyum terbaikku.

“Kau banyak berubah ya. Kulitmu semakin cerah dan kau semakin tampan.”

“Begitulah. Kau juga. Kau semakin terlihat dewasa.”

Kau mengangguk-angguk, “Kau tidak membawa istri atau suamimu?”

Istri atau suami? Aku menggeleng, “Aku belum punya satu pun. Ada beberapa yang mengajakku keluar tapi tidak ada yang sesuai denganku.”

“Benarkah? Kalau begitu cepat-cepatlah dapat satu.”

Dapat satu? Kau tidak sadar kalau aku tidak bisa?

“Mana istri dan anakmu?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Mereka sedang keluar.”

Sekarang aku yang mengangguk-angguk.

Lalu akhirnya kita diam. Tidak ada lagi yang memulai pembicaraan dan aku mulai merasa tidak nyaman.

“Akhirnya kau kembali ya?” Tiba-tiba kau berbicara.

“Ya begitulah. Aku ada urusan kecil.”

“Aku tahu. Aku juga turut berduka. Maaf aku tidak bisa datang.”

“Tidak apa-apa. Aku tahu kau sibuk.”

Kau menelan ludah lalu menghela napas, “Sudah sebelas tahun ya?”

“Ya, sudah sebelas tahun. Oh ya, aku belum mengucapkannya tapi selamat buat pernikahanmu. Aku turut senang mendengarnya.”

Aku turut senang ya? Benarkah itu? Hatiku meringis, memberitahukan jawabannya.

“Cepat-cepat nyusul makanya.” Kau terkikik dengan terpaksa.

“Aku usahakan.”

Dan kemudian kita diam lagi. Sebenarnya aku sudah mau pulang dari tadi tapi hatiku tak mengizinkanku. Ia menuntut penyelesaian sebelum aku pergi lagi. Tapi aku harus bilang apa? Menemuimu saja sudah merupakan langkah yang cukup berani. Lalu sekarang aku harus membicarakan hal itu? Aku bisa mati karena sakit!

Kita terus terdiam. Benar-benar sepi. Kau sepertinya juga tak mau memulai pembicaraan, tapi aku juga tidak mau. Lalu kita harus bagaimana?

Tiba-tiba kau berdeham. Situasi semakin canggung.

“De?” Kau memanggilku seketika.

Aku mengangkat pandanganku ke arahmu, “Ya?”

“Kau tahu, aku belum menghapus pesan dan rekaman panggilan video kita.”

Kau belum menghapusnya ya? Mengapa? Aku saja sudah membasmi habis semua tentangmu.

“Mengapa?”

Kau tersenyum sedih, “Entahlah. Aku tidak bisa.”

“Tidak bisa ya? Sebaiknya kau segera menghapusnya sebelum istrimu mengetahuinya.”

“Ia sudah tahu dan tidak apa-apa dengan itu.”

“Baguslah kalau begitu. Tapi aku tetap menyarankanmu menghapusnya.”

“Kau benar. Lalu bagaimana denganmu?”

Aku memandangnya sayu, “Maaf tapi aku tidak menyimpan apa-apa lagi tentangmu.”

Kau mengangguk pasrah, “Sesuai dugaanku.”

Aku menelan ludah, “Mengapa kau memberitahukannya secara tiba-tiba saat itu?”

Kau diam sejenak tanpa menjawab, “Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulutmu.

Aku menelan ludah lagi, “Lalu mengapa kau menolak semua panggilanku dan tidak membalas pesanku?”

“Maaf.”

“Apa kau pikir maaf cukup?”

Kau menggeleng.

“Dan mengapa kau tidak memberitahukanku lebih awal?” Mataku mulai memanas.

“Aku tidak punya pilihan lain.”

“Benarkah? Lalu bagaimana denganku? Apa aku punya pilihan lain?”

Kau diam.

“Apakah kau memang sepengecut ini?”

Tidak, air mataku mulai mengalir.

Ia melihatku dan menyeka air mataku, “Jangan menangis De.”

Aku menepisnya, “Jawab Jo!”

“Aku mohon jangan menangis.”

“Aku mohon jawab semuanya.”

Tidak, aku benar-benar menangis. Air mataku tidak bisa lagi kubendung sekarang.

“Apa kau tidak bisa menjawabku?” Isakku.

Ia hanya memandangku sayu.

“Apakah jawaban saja tidak lagi pantas kuterima?”

Namun ia mendekat lalu berlutut di hadapanku. Ia menggenggam tanganku. Hangatnya, aku hampir saja lupa kalau tangannya selalu sehangat ini.

“Aku tak bisa meninggalkannya.” Jawabnya, “Gadis itu membutuhkanku dan aku menyayanginya.”

“Mengapa kau tidak bilang dari awal?”

“Hatiku tidak bisa. Aku tidak bisa.”

“Tidak bisa ya? Lalu apa kau tahu betapa menderitanya diriku?”

“Aku tahu.”

“Apa kau tahu betapa tersiksanya diriku karena rindu padamu? Tersiksanya diriku karena kau mengkhianatiku?”

“Aku tahu.”

“Apa kau tahu aku tak bisa melupakanmu? Tidak bisa melupakan kenangan kita?”

“Aku tahu.”

“Kalau kau tahu mengapa kau meninggalkanku?” Teriakku.

Sakit. Hatiku benar-benar sakit.

“Maafkan aku De. Maafkan aku.” Kau merengkuhku.

“Aku tidak bisa hidup tanpa kamu Jo.” Isakku.

“Maafkan aku.”

Aku memelukmu erat seolah tidak mau melepaskannya lagi. Aku menangis di bahumu dan terisak sejadi-jadinya.

Rasa sakit ini bukan main-main. Sakitnya bahkan lebih sakit ketimbang tiga tahun belakangan ini. Hatiku serasa mau pecah dan musnah saja.

Aku teringat dengan semua kata-kata cintamu yang kini tinggal kata. Kata-kata yang selalu memberiku keyakinan untuk berdiri tegar meskipun kita berjauhan. Kata-kata yang dulu selalu menenangkanku. Kata-kata yang sekarang mulai basi.

Sekali lagi kau memelukku erat dan membisikkan kalimat itu, “Aku mencintaimu.”

Namun sekarang rasanya sudah berbeda ketika mendengarmu berkata begitu. Hatiku tidak gembira, malah kini ia semakin memerih sampai membuatku mau mati saja.

CCSJ

Kau mengelus pipiku sekali lagi.

“Tinggalah untuk makan malam.”

Aku menggeleng, “Aku tidak ingin mengganggu.”

“Tidak. Kau sama sekali tidak mengganggu.”

Aku menggeleng lagi, “Aku tidak bisa. Aku lebih baik pergi saja.”

“Baiklah kalau begitu. Kau ingin keluar? Mencari angin?”

Aku berdiri dan melepaskan genggaman tangannya, “Tidak perlu. Aku sudah harus pulang sekarang.”

“Benarkah?”

Aku mengangguk.

“Dan apa kau akan tinggal di kota ini lagi?” Tanyanya sendu.

Tinggal? Apa aku bisa?

Aku mengambil napas, “Aku tidak akan kembali lagi ke sini. Aku dan ayahku akan menetap di luar negeri.”

“Mengapa? Kau tahu aku masih ingin melihatmu.”

Aku menggeleng, “Aku tidak punya kepentingan lagi di kota ini. Ibuku sudah pergi dan cintaku sudah mati. Tidak ada lagi yang kupunya di kota ini.”

“Apa maksudmu cintamu sudah mati? Kau tidak mencintaiku lagi?”

“Aku tidak mungkin bisa berhenti mencintaimu. Cinta kitalah yang mati.”

Kau memandangku lama lalu menunduk dengan murung, “Aku mengerti.”

“Kalau begitu, aku harus pergi sekarang. Terima kasih sudah meluangkan waktumu.”

Kau hanya tersenyum sedih sebagai jawabannya.

Aku memelukmu sekali lagi dan berbisik, “Selamat tinggal Jo. Aku mencintaimu.”

“Aku mencintaimu juga.”

Dan aku pergi.

Hatiku masih terasa sakit, bahkan lebih sakit dari yang sebelumnya. Tapi setidaknya aku sudah mengakhirinya hari ini meski kau hanya bisa mengucapkan maaf saja. Meskipun begitu, kurasa itu cukup. Selain itu hari ini akhirnya aku bisa menangis di bahumu, hal yang seharusnya sudah kulakukan 13 tahun yang lalu. Aku merasa lega.

Dengan begini aku bisa memulai hidup baruku dengan lebih siap lagi. Mungkin aku memang akan terus mencintaimu, namun tidak dengan cinta yang dulu lagi. Kau akan mendapatkan porsi cinta khusus di sudut hatiku. Cinta yang hanya kau yang bisa miliki. Karena kaulah yang mengajariku cinta dan menjadi cinta pertamaku, kau pula yang mengajariku pengkhianatan dan apa itu patah hati. Kaulah yang membuatnya lengkap.

Aku hanya bisa berterima kasih untuk cinta yang selama ini kau beri. Aku yakin tidak akan ada lagi orang yang sama sepertimu, karena itulah kau spesial. Aku takkan melupakanmu dan akan terus mengenangmu.

Selamat tinggal Jo. Selamat tinggal kekasihku. Selamat tinggal Cintaku.

Aku mencintaimu.

CCSJ

Kelas 3 Semester 2

“De, aku ingin mencobanya.” Ucapmu dengan wajah aneh saat itu.

“Mencoba apa?” Tanyaku tanpa memalingkan pandangan dari buku.

“Hal yang biasanya dilakukan orang pacaran.”

“Apa itu?”

“Kau tahulah. Banyak teman-teman kita yang sudah melakukannya.”

“Apa? Katakan dengan lebih jelas agar aku mengerti.”

Kau mendekatiku lalu berbisik, “Bercinta.”

Wajahku seketika memerah lalu aku mendorongnya jauh, “Jangan gila. Aku belum siap.”

“Ayolah. Aku penasaran bagaimana rasanya. Mereka bilang rasanya luar biasa.”

“Luar biasa? Tidak, aku tidak mau. Aku ingin terus perjaka sampai kita menikah.”

“Kita pasti menikah kok. Aku janji.” Ucapmu.

“Kalau begitu kita akan melakukannya kalau kita sudah menikah.”

“Kelamaan. Kita lakukan sekarang ya. Aku janji akan menikahimu kalau kita sudah dewasa nanti.”

Aku memandangnya ragu, “Kau janji?”

“Iya. Ini janji sehidup semati kita.”

Aku menyodorkan kelingkingku, “Janji kelingking manis?”

Kau tersenyum lalu mengalungkan kelingkingmu denganku, “Janji kelingking manis.”

Dengan lembut aku kemudian menciummu, “Kau sudah berjanji.”

“Aku tahu. Dan aku akan menepatinya.”

Ya, aku percaya kau akan menepatinya.

TAMAT

Comments

  • huuuaaa... tragis banget kisah cinta De... 9 tahun yg terbuang dengan sia-sia...
  • akhirnya memang selalu begitu kalau di dunia nyata ;(
  • Kok so sad aing maj):
  • cinta yang penuh liku, ahir yang tak sesuai harapan ... mengharukan ceritanya ...
  • waaw. gak bisa berkata2. awesome.
    semua pas dan kereeeen
  • Nyesek banget :cry: *mewek dah* janji cuma tinggal janji, padahal sudah janji mau menikahi :cry:
    Tidak adakah cara untuk mereka bisa kembali lagi? hiks...
    Jadi inget cintaku yang kandas karena LDR juga...luar negeri jauh bangeet :(
  • hmmm ... lebih kek curahan hati drpd story, but its good i think :)
  • Good job !!!
    Tp berasa baca diary seseorang dr abnegation :D :D :D
  • Ini lgi...knpa ya?sllu ujng2x pasti sad ending,yah kta smua pham tdk ada yg kekal (aplgi cinta sprti ini) d dunia nyata,buatlah d dunia hayal ini sehaya"hayalx...
Sign In or Register to comment.