BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

[Mini Cerbung] Cinta Di Tahun Ke 70

Karena ini MINI CERBUNG, maka cerita ini akan tamat di chapter ke-3. Gue nulis ini karena gue kepikiran, dan juga dalam rangka merayakan hari jadi negara kita yang ke 70 tahun! Yeay! Jadi, enjoy lah. Ya?

Mention beberapa orang deh, maaf kalau misalnya nggak mau dimention.

@pokemon @3ll0 @Hiruma @Tsu_no_YanYan @muffle @4ndh0 @ularuskasurius @cute_inuyasha @balaka @rone @kyuuzero @sefares @Rika1006 @soratanz @akina_kenji @harya_kei @hendra_bastian @new92 @lulu_75 @Adi_Suseno10

Aku menghela nafas lagi dan lagi. Sudah dari subuh tadi aku melakukan siklus yang sama, yang selalu kulakukan berulang-ulang selama beberapa bulan kebelakang: Buka facebook, buka grup pencarian jodoh, posting perkenalan diri dan foto, dan tutup facebook.

Aku melakukan itu bukannya tanpa alasan, tapi aku sudah terlalu capai menghadapi semua cemoohan teman-teman yang selalu dilontarkan padaku.

Namaku Adri. Adrian Saputra. Aku hidup di sebuah kota terkenal di Indonesia, kota yang kecil, dimana kamu bisa mengelilinginya dengan mobil dalam waktu 2 jam saja. Itu sudah dari ujung ke ujung. Ada banyak pantai di daerah tempat tinggalku, tapi sayang pemerintah sangat jarang melakukan perawatan dan meningkatkan kebersihan di beberapa tempat yang berpotensi untuk menjadi penarik wisatawan.

Cukup dengan perkenalan kotaku. Kembali lagi pada diriku. Kubaca lagi postingan yang baru saja kukirim satu setengah jam yang lalu : Hai, Namaku Adri. Aku 18 tahun dan aku sedang mencari pacar. Terimakasih. Aku tahu cara seperti ini sangat bodoh, dan sangat sangat murahan. Sama saja seperti kamu menjual dirimu kepada para pencinta seks diluar sana, hanya saja bedanya disini niatmu murni untuk mencari kekasih semata meski itu sangat sulit untuk dilakukan.

“Nak! Tolong belikan Mama bumbu sup di kedai depan...!”

Kuputar badanku diatas kasur, kulempar smartphone ku ke segala arah. Menjadi satu-satunya anak lelaki di rumah selalu membuatku harus dan wajib hukumnya untuk melakukan segala perintah Mama. Ketiga kakakku sudah merantau duluan ke luar daerah: Yang pertama, dia bekerja di salah satu perusahaan asing di surabaya. Yang kedua, dia mengikuti suaminya yang dipindahtugaskan ke Kalimantan. Sedangkan kakakku yang terakhir, dia diterima kuliah di Universitas Indonesia jurusan Kriminologi. Karena ketiganya sudah keluar dari rumah, maka tinggal akulah satu-satunya anak yang menunggu waktu untuk lulus dari SMA. Dan masih tersisa delapan bulan lagi sebelum itu.

Kutendang selimut, dan perlahan kuingsutkan badanku keatas. Membuka jendela kamar dan merasakan cahaya matahari yang langsung menghantam wajahku. Tepat seperti hari Minggu pagi yang selalu ku bayangkan, dan selalu kuharapkan : matahari bersinar cerah dan anak-anak kecil bermain dengan gembira didepan halaman masjid.

Sambil menggaruk-garuk punggung, aku melangkah keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju lantai bawah. Rumahku adalah rumah tradisional asli Sumatera Barat. Sebenarnya dulunya ini adalah rumah nenekku, Ibu dari Mama, tapi setelah kepergiannya saat aku masih sangat kecil dia mewariskan rumah ini untuk kami sekeluarga. Karena rumahnya terbuat dari kayu, jadi derit-derit kayu di lantai akan terdengar cukup nyaring kalau kamu berjalan cukup lambat diatasnya. Jadi, kamu harus berjalan agak cepat kalau nggak mau dibentak oleh Papa karena membuat heboh seisi rumah.

Mama sedang mengaduk-aduk sebuah kuali dibelakang rumah bersama Tek Upik, sahabat Mama. Mereka nggak menyadari keberadaanku sampai aku kemudian datang dan berdehem tepat dibelakang mereka. “Ma, uangnya mana?”

“Pagi, Adri” sapa Tek Upik padaku. “Baru bangun?”

Aku tersenyum tipis kemudian meraih gelas yang ada disampingku. “Iya, Tek”. Kuisi gelas tersebut dengan air dispenser lalu kubasahi kerongkonganku.

“Kamu ambil di dalam dompet Mama yah di dalam kamar” kata Mama padaku. Kemudian kembali sibuk mengaduk kualinya. Sedangkan Tek Upik sibuk membantunya menstabilkan kobar api tungku dibawah. Mama jarang sekali masak pakai kayu bakar, kecuali kalau ada acara-acara khusus. Karena Papa adalah RT, jadi Mama selalu ikut berpatisipasi dalam beberapa kegiatan kerakyatan. Mengingat minggu depan adalah Hari Kemerdekaan, jadilah Mama masak sup untuk dibagikan kepada panitia tujuh-belasan yang menggelar perlombaan kecil di halaman masjid.

Kuletakkan kembali gelas itu kedalam tatakannya kemudian pamit kepada Mama dan Tek Upik.

**
“Ooi Adri!”

Aku menoleh kebelakang dan melihat Haris sedang berlari-lari kearahku sambil menenteng nenteng bola takrawnya. Haris itu tetanggaku. Dia dan adiknya, Salam, adalah temanku waktu kecil. Dulu kami sering sekali bermain bersama, tapi setelah dia masuk SMP dan diikuti olehku setahun kemudian kami sudah jarang sekali punya waktu untuk bermain layangan atau main kejar-kejaran seperti dulu. Dan sampai sekarangpun masih sama.

“Oi” Kataku membalas sapaannya, pelan. “Abis main takraw, Ris?”

Haris mengangguk semangat dan kemudian memamerkan kamusnya yang sudah habis dibasahi oleh keringat.

“Kenapa nggak ikut?” tanyanya.

Aku terkekeh dan kemudian menyikut bahunya. “Kamu kan tahu sendiri aku nggak pandai olahraga...”

“Makanya sekali-kali belajar, nanti kan aku bisa ajarin..”

“Nggak. Aku nggak suka olahraga” tolakku tegas. “Oh iya kamu jadinya kuliah dimana?”

Haris lalu menendang-nendang bola takrawnya pelan diatas tanah, pikirannya berkelana kemana-mana. “Hmm...nggak tau”

Seperti yang kubilang tadi, Haris itu satu tahun lebih tua dariku. Dia tamat SMA lebih awal dariku. Berbeda denganku yang nggak suka olahraga, Haris itu suka banget olahraga. Dia nggak pernah letih untuk selalu mengajakku berolahraga kapanpun aku pulang dari sekolah, ataupun pagi harinya saat libur almanak merah. Haris juga punya kekurangan. Kekurangannya dia itu paling nggak suka yang namanya belajar. Tipikal anak SMA banget. Dia orang yang acuh tak acuh dengan urusan sekolah dan lebih sering meminta bantuanku untuk minta dibuatkan tugas. Dan ya.. kalian bisa simpulkan kalau aku sedikit hebat dalam bidang akademis dibandingkan dia.

Sekarang masalah yang sedang dihadapi oleh Haris itu adalah masalah kuliahnya. Dia selalu curhat padaku kapanpun dia punya waktu. Dan tema curhatnya itu selalu bervariasi. Semenjak dia selesai UN, dia bercerita kalau dia mulai mendapatkan tekanan dari orang tuanya. Harus bisa ini dan itu sekaligus. Disuruh belajar dan belajar yang artinya itu bukan tipenya banget. Padahal Haris itu maunya masuk Angkatan Polisi, tapi orangtuanya sama sekali nggak merestui. Karena itu dia sekarang sangat pusing dengan masalah yang dia hadapi ini. Dia sudah ikut SNMPTN, SBMPTN dan beberapa ujian mandiri lainnya pun, nggak satupun yang lolos.

Kutepuk-tepuk bahunya pelan. “Sabar ya, aku yakin Tuhan pasti punya rencana yang lain untuk kamu...”

Haris tersenyum pelan kemudian merangkulkan tangannya di bahuku. “Yeah.. makasih yah udah nasehatin aku milih universitas mana...”

“Emangnya kamu pilih Universitas mana?” Tanyaku kemudian, teringat topik yang terakhir kali kami bahas. “Kamu jadi pilih Universitas Brawijaya?”

Dia menggeleng kecil. “Nggak. Aku nggak bakal lulus disana”

“Syiah Kuala?”

“Apalagi disana”

“Terus kamu pilih yang mana? Unand? UNP? UBH?”

Haris menoleh padaku sebentar kemudian mencubit hidungku. “Untuk menjawab semuanya. Nggak. Ragu. Nggak”

Di Padang, UNP termasuk Universitas terkenal. Banyak mahasiswa luar daerah yang bergabung dengan kampus itu setiap tahunnya. Tempatnya pun juga ditepi pantai, jadi kalau misalnya sore hari kamu mau nongkrong ngeliat sunset, gedung-gedung UNP bisa jadi pilihan selanjutnya. Beberapa jurusan yang terkenal di UNP itu salah satunya adalah Jurusan Olahraga. Aku nggak tahu prospek kedepannya bagi mahasiswa di fakultas itu, tapi yang jelas jurusan itu sangat digilai oleh banyak laki-laki. Dan itu termasuk Haris. Aku yakin sekali kalau semisalnya ada tes fisik, Haris akan langsung diterima melanjutkan studi nya disana.

“Kamu beli apa?” Tanya Haris tiba tiba melihat kantong belanjaanku.

Kuangkat kantong tersebut. “Ini nih, Mama minta tolong beliin bumbu sup di kedai depan..”

“Mama masak sup?” Haris dari kecil terbiasa memanggil Mamaku dengan panggilan Mama, dan aku juga terbiasa memanggil Bundanya dengan Bunda. “Enak dong? Aku boleh nyicip nggak ke rumah kamu?”

“Nggak!” tolakku cepat. “Mama kan masak supnya buat panitia 17-an nanti...”

“Aku kan panitia 17-an!” Sahut Haris. “Masa’ aku nggak boleh makan sup buatan Mama?”

Dengan itu, aku langsung mencubit pinggangnya. “Nggak boleh! Nanti aja aku bantu bawain ke masjid buat konsumsi kalian rapat...”

“Kamu nggak ikut emang rapat?”

Kugelengkan kepala kemudian. “Nggak mau. Aku nggak suka berorganisasi”

Haris lalu mengacak-acak rambutku sambil tertawa tawa kecil. “Dasaar Adri Maruko Chan!” Oh, itu nama panggilan khusus darinya untukku. Aku dulu suka sekali nonton kartun pagi Chibi Maruko-Chan di RCTI, karena itu dia mengganti nama Chibi dengan namaku. Tapi meski begitu, aku nggak merasa keberatan kok.

Sepanjang perjalanan pulang, Haris selalu mengajakku bicara dan kami tertawa bersama. Ditemani oleh suara semilir angin dan juga air sungai yang mengalir tenang di samping kami.

**
Aku cepat-cepat berlari masuk kedalam kamar setelah memberikan belanjaan Mama. Kuturunkan pasak pintu, kukunci kamarku, kututup jendela pintu kamarku dan kemudian aku langsung melingkar di atas kasur. Kuraih smartphone ku dan kuperiksa satu-persatu notifikasi yang masuk.

Awalnya, aku sangat berekspektasi kalau akan muncul banyak pemberitahuan. Tapi ternyata sama saja. Nggak ada. Apa nggak ada orang yang membaca postinganku? Padahal grup itu sangat ramai, ada sekitar 70 ribu orang anggota aktifnya dari 130 ribu orang.

Dengan itu, aku kemudian terisak isak kecil. Air mataku satu persatu menetes jatuh. Ini hanya reflekku kok. Aku sudah sering terisak seperti ini setiap saat postinganku nggak dihiraukan.

Kubuka notifikasi lainnya di Facebookku, nggak ada yang istimewa. Hanya satu orang yang menyukai statusku. Satu.

Mungkin aku terlalu berlebihan rasanya hanya karena hal yang seperti ini bisa sampai menangis, tapi... inilah duniaku yang sebenarnya. Hanya di dunia mayalah aku bisa mengekspresikan diriku sesukanya tanpa ada orang yang bisa melarangku, dan memaksaku melakukan ini itu di sekolah. Aku selalu mengatakan pada diriku, kalau hidup ini hanya sekali dan jangan takut dengan apapun yang orang lain katakan. Tapi faktanya, aku adalah korban nyata dari aksi pembullyan yang terjadi di sekolah.

Aku sering sekali menerima perlakuan kurang ajar dan menyakitkan dan siswa lain sepanjang perjalananku mengenyam pendidikan di negeri ini. Aku nggak tahu kenapa mereka memperlakukan mereka seperti itu, seakan-akan aku adalah hama yang harus dibasmi dan dienyahkan dari dunia. Aku selalu diasingkan dari pergaulan dan terkadang, mereka juga akan mengunciku di kamar mandi. Aku selalu berpikir kalau ini pasti karena aku terlalu lemah. Aku nggak bisa melawan. Kenyataannya, aku selalu melawan. Malah aku menerima balasan yang lebih parah. Aku dipaksa untuk nggak menceritakan pada siapapun kalau aku ingin hidup dengan selamat di sekolah.

Suatu hari, Papa membelikanku sebuah smartphone. Aku nggak pernah minta dibelikan benda itu, tapi Kakakku yang pertamalah yang membelikannya. Dia tahu betapa kesepiannya aku dirumah, jadi dengan adanya benda tersebut dia pikir aku akan bisa menemukan solusi dari masalahku.

Dan dia benar, aku akhirnya menemukan solusi dari masalahku. Aku kemudian mengunduh beberapa aplikasi media sosial dan mencurahkan seluruh keluh kesahku didalamnya. Tentu saja itu semua tanpa pengetahuan teman-temanku disekolah karena kalau mereka sampai tahu, aku akan kembali ditertawakan dan dicemooh.

Meski aku adalah korban pembullyan, tapi aku masih memiliki beberapa orang teman di sekolah. Tapi seiring semakin dewasanya kami, mereka satu persatu mulai meninggalkanku. Aku sedih awalnya karena mereka meninggalkanku tanpa alasan. Kuceritakan masalah itu pada Haris, dan akhirnya dia menyarankanku untuk mencari seorang pacar yang akan selalu menemaniku disaat apapun.

Dan akhirnya kutemukan grup itu. Kubaca dari beberapa status di beranda Facebook ku, ada banyak sekali orang yang menemukan pacarnya disana. Mereka tampak sangat menyayangi, dan saling mengasihi satu sama lain dari status dan foto-foto yang mereka sebar kedalam akun mereka. Aku iri. Jujur aku iri. Aku ingin sekali merasakan semua itu. Bagaimana rasanya bisa disayangi dan menyayangi seperti itu.

Dadaku terasa perih karena terisak terlalu lama, terhitung sudah satu jam penuh aku terisak setelah melihat notifikasi ku yang kosong. Aku akhirnya menyerah, meletakkan smartphone ku keatas kasur dan lalu tidur.

**
Aku berjalan tertatih tatih menuju halaman depan masjid sambil membawa satu kuali besar sup. Sementara di belakangku Mama membawakan satu keranjang penuh piring dan juga mangkok lengkap beserta sendok-sendoknya.

Bagian serambi masjid sudah disesaki oleh sendal-sendal jepit. Rapat sudah dimulai tiga puluh menit yang lalu selepas ba’da isya. Jadi, para remaja yang berpatisipasi terlebih dahulu sholat berjamaah sebelum mengadakan acaranya. Aku, yang tadi sedang menggambar dimeja belajarku, disuruh Mama untuk membantunya. Begitulah ceritanya kenapa aku bisa ada disini sekarang.

“Bawa ini kedalam” kata Mama meletakkan keranjang piring diatas serambi masjid. “Mama pulang dulu sebentar”

Aku menghela nafas dan kemudian mengangguk. “Hati-hati, Ma”

“Assalamu’alaikum...” pamit Mama dan kemudian kembali pulang. Kuletakkan kualiku diatas serambi, dan meraih keranjang yang diberikan Mama tadi. Kubawa masuk kedalam kamar gharim masjid (Mama kebetulan punya kunci serepnya). Kamar Gharim terletak di belakang masjid. Tempatnya nggak terpisah kok. Dekat banget sama Masjid. Mama selalu membagikan konsumsi untuk acara apapun yang diadakan di Masjid lewat sini.

Baru saja aku mau kembali mengambil kuali sup, aku tiba-tiba bertabrakan dengan Haris yang baru saja selesai berwudhu. Wajah kami hanya terpaut beberapa senti dan itu membuatku sedikit gugup.

“Adri? Aku pikir kamu nggak ikut rapat” katanya sambil menyodorkan tangannya padaku. Aku menerimanya dan lalu ia membantuku berdiri.

“Memang kok, aku Cuma bantuin Mama bawain sup” jawabku membela diri.

Senyum Haris langsung merekah dan kemudian meraih tanganku dan menariknya keluar. “Ayo aku bantu! Kebetulan banget aku lagi laper...”

Malam ini Haris memakai jeans panjang, nggak seperti tadi siang. Kemudian untuk baju, ia menggunakan kemeja putih garis-garis yang waktu itu kami beli bersama untuk hari raya lebaran. Hanya saja waktu itu aku nggak membeli kemeja, aku membeli sebuah baju kamus bergambar tokoh anime yang sangat kusukai.

“Emangnya kamu nggak makan tadi dirumah?” Tanyaku pura pura terkejut. Aku sama sekali nggak terkejut kok aslinya. Haris itu memang sangat suka sama masakan Mama seperti masakan Bundanya sendiri.

“Makan” jawabnya. “Tapi malam-malam begini kan juga enak kalau makan sup”

Aku kemudian mencengkram kuping kiri kuali, sedangkan Haris yang satunya. Dalam saat bersamaan, kami lalu mengangkat sup itu .

Ponselku bergetar beberapa kali, tapi aku nggak menghiraukannya.

Sesampainya di dalam Masjid, kubuka pintu kamar Gharim dan meletakkan kuali didekat keranjang piring.

Aku baru saja mau pergi, tapi kemudian Haris menghalangiku.

“Ngapain?” tanyaku singkat.

Haris kemudian mendudukkanku diatas kasur, sedang dia menarik sebuah kursi lainnya dari bawah meja dan duduk diseberangku.

“Aku mau tanya sesuatu sama kamu...”

“Tanya apa?” Tanyaku. Haris tampak kebingungan mau. Dan aku juga kebingungan melihat sikapnya. “Kamu mau makan sup?”

Haris menggelengkan kepalanya dengan cepat.

Tiba-tiba ponselku bergetar lagi. Aku langsung berdiri dan kemudian berjalan keluar dari masjid dan membuka ponselku. Aku terperanjat saat melihat pemberitahuan yang masuk kedalam smartphone yang sedang kupegang ini. Kukucek-kucek mataku beberapa kali, mencoba untuk nggak melayang membaca sebuah pesan yang masuk kedalam kotak masukku.

‘Hai. Aku Hafid. Boleh kenalan?’
«1

Comments

Sign In or Register to comment.