BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

A HAPPY EVER AFTER?

edited September 2016 in BoyzStories
*CUP* [Chupa Qiang]

Dia duduk dalam hening diseberang tempatku berdiam diri. Akan tetapi, isi kepalanya penuh dengan keriuhan nada yang terhantar melalui earphone bercorak tosca dan kuning senja. Kepalanya sedang tertunduk menatap fokus ke lembar contoh soal yang diharapnya kelak mampu membantu nanti. Sesekali digaruknya dahi dengan ujung tumpul pensil. Tak tahu apa dikarenakan rasa gatal atau memang dia sekedar lagi kebingungan dengan apa yang dibacanya. Sekarang mukanya malah menampakkan ekspresi gugup, pantofel yang dikenakannya berantukan lagi dan lagi, dan sejenak kemudian dia menatap tag heuer-nya dengan kening yang berkerut. Tanpa kusadari akupun turut serta mengecek jam berapa saat ini di layar hp-ku. Tujuh lewat tiga puluh, kenapa dia gelisah? Sebentar, kupastikan lagi bahwa aku sudah melihat jam dengan benar. Sayangnya mau berapa kali-pun kulihat tetap tujuh lewat tiga puluh menit yang tertera dilayar ini. Itu berarti dia akan segera memasuki ruangan ujian dan melaksanakan puluhan soal untuk mendapatkan universitas yang mana mungkin aku tahu dari sekian banyaknya di negeri merah putih ini. Hal ini juga berlaku bagiku, dimana waktu yang kupunya hanya bersisa kurang dari tiga puluh menit untuk memuaskan hasrat cinta pandangan pertamaku ini.

“Haaah..” desauku perlahan. Kenapa bisa dengannya? Disaat yang sangat tidak menguntungkan seperti sekarang. Apa karena dandanannya yang perlente? Kurasa tidak, semua benda yang dipakainya memiliki brand diatas standar rata-rata. Jadi barangkali bisa dibilang cukup berkelas. Aku tak tertarik dengan orang yang terlalu berlimpah harta. Jadi apa? Parasnya yang seputih persik dengan hidung bangir itu? Bibir merah yang menyedot perhatianku untuk terus menatapnya menguyah permen karet itu berulang-ulang? Alis mata yang hitam tebal di atas mata teduhnya? Aku tahu aku seperti membatin tanpa henti dengan perihal yang tak sama sekali penting untuk diceritakan. Walaupun begitu, ini tentang dia. Orang yang aku tak tahu sudah sejak menit keberapa kujatuhkan hatiku padanya. Jadi aku tak peduli seberapa hiperbolanya diriku saat ini membeberkan satu demi satu fakta yang ada padanya. Aku sudah terlanjur tenggelam dan itu cukup dalam.

Dia sepertinya bukan tipe yang suka memangkas habis kumis, berewok, dan janggutnya. Rambut tipis dan rimbun itu menghiasi lekuk wajahnya hingga bertemu diujung dagu yang tampak terbelah. Bagiku terlihat macho dan seksi secara bersamaan. Rambutnya dipomade menyamping dan berujung disisir ke arah belakang. Aku tak begitu paham fashion tapi aku tahu kalau gaya rambut itu lagi ramai disukai oleh anak sebayanya. Tak satupun yang kuperhatikan darinya merupakan bagian dalam checklist calon pasanganku, terutama umurnya yang terpaut lumayan jauh.

“Hmmn.” Aku mendengus sebal. Cukup besar hingga bisa mengambil perhatiannya ditengah keseriusan mengurai bacaan. Ampun! Apa yang mesti kuperbuat. Momen bertemu pandang, mata bertubruk mata, dan aku tak sanggup memalingkan wajahku ke arah yang berlawanan. Kenapa harus mendadak begini, mana kesiapanku lagi berkisar nol persen juga.

‘jang-ngan mem-be-ku.’ Perintah batinku terbata-bata sembari mencoba mengalihkan posisi kepala. Sesaat aku merasa seperti tak dapat menggerakkannya, seakan skrup yang ada sudah terputar habis. Sayangnya aku harus tetap mencoba beralih pandang, sebelum sekujur tubuhku meleleh sepenuhnya.

Yosh! berhasil. Setidaknya sekarang aku tak lagi saling bertatap muka dengannya. Eh, tunggu? Langit? Kenapa aku malah mendongak ke atas?! Sepertinya mengumpat diriku sendiri tak juga akan berguna sekarang sebab tepat didepan daguku mengarah, cekikikan tawanya sudah pecah.

Astaga, aku tak mengerti harus bagaimana. Mungkin berkedip seolah sedang kesilauan dan mengibas telapak tanganku akan membuatnya berpikir kalau aku sedang kepanasan. Tawa renyahnya lambat laun mereda, berhasilkah kali ini? Pelan kuturunkan wajahku, menengok apa dia masih memerhatikan.

Dia hilang!? Tak ada lagi di sana. Kuputar kepalaku mencari sosok yang kudamba, akhirnya kutemukan juga. Dia sedang melangkah pergi, sepertinya memasuki kelas untuk melaksanakan ujian. Aku menghela napas berat, kali ini dengan harapan agar dia mendengarnya. Untuk setidaknya melihat mukaku yang sudah merona menahan rasa malu sekarang. Tiga puluh menit berlalu begitu saja tanpa pemberitahuan. Mungkin ini detik terakhir, jadi tak akan kulepaskan mataku dari punggung bidangnya yang berjalan mantap tanpa jeda meninggalkanku sendiri. Aku mana tahu kapan lagi aku mampu memperoleh pemandangan seperti ini dalam sisa umurku. Sindir saja aku yang terlalu melankolis, tapi aku berharap penuh kalau dia menoleh dan tertawa lagi padaku layaknya barusan. Walaupun aku tahu itu akan jadi sangat terdengar aneh kalau ditanya alasannya apa.

Hah? Dia berhenti, kenapa? Tunggu dulu, apa yang dilakukannya? Kalau dia tak segera memasuki kelas, dia akan terlambat mengikuti ujian. Ada sesuatu yang dia corat-coret di sana. Aku berharap untuk mengetahui apa itu penting karena menyempatkannya untuk berhenti sejenak dibeberapa langkah lagi menuju kelas. Andai ada orang lain yang berada disekitarku saat ini, mungkin mereka akan menggoyangkan tangan tepat didepan wajahku yang tak sedikitpun mengerjapkan mata.
Apa pintaku sekuat itu hingga Tuhan langsung mengijabahnya? Dia berbalik dan aku langsung berkedip-kedip tak percaya. Siapa yang dia lihat? Namun sekalipun kuperhatikan sekelilingku, hasilnya tetap saja nihil. Sedari tadi memang hanya ada aku dan dirinya di sini. Sebegitu terpana diriku hingga tak mengetahui keadaan yang ada di sekitar. Sekarang dia lagi-lagi tersenyum lebar, apa yang sedang terjadi? Oh Tuhan! Selembar kertas yang tepat didetik ini juga sedang dibentangnya didepan dada, bertuliskan dua kata yang membuatku hanya sanggup termanga.
«1

Comments

  • edited September 2016
    Semoga berkenan untuk dibaca, cerita ini saya re-post dengan beberapa editan dan part yang ditambah :)
  • edited September 2016
    *KEE* [Keenand Adnan]

    Aku sadar betul kalau dia masih meneruskan tatapannya padaku walau aku sudah lumayan jauh memunggunginya dan aku yakin kalau aku benar-benar tak mengenal siapa dia. Siapa orang itu? Kenapa dia tak melepaskan sorotan matanya padaku? Apa yang diinginkannya? Semua tanya menumpuk dibanyaknya pertanyaan eksak yang sudah lebih dulu menjejali pikiranku.
    Wajah orientalnya memantulkan bias-bias mentari. Kenapa dia bisa termenung dan terlihat serius dalam waktu yang sama. Apalagi muka cengo-nya dengan bibir merah muda yang sedikit membuka. Itu membuatnya tampak menggemaskan. Eh? Apa yang sedang kupikirkan. Aku masih normal. Namun harus kuakui kalau parasnya memang seperti pelakon drama-drama korea yang pacarku sering tonton seharian. Apa dia lebih muda dariku? Kalau ditengok dari postur dan wajahnya, dia seperti dibawahku sebanyak dua atau malah empat tahun.

    Apa mungkin sebenarnya dia mengenaliku? Bisa saja dia teman lama yang tak sengaja kulupakan. Dasar otak soak! Semua yang aku ingat cuma pemain hentai. Kenapa belum juga berkurang sifat pelupaku. Mungkin sebaiknya aku bertanya langsung, tapi sekarang bukan saat yang tepat. Aku mesti bergegas ke ruang ujian. Mana waktu yang tersisa hanya lima belas menit lagi. Sebaiknya kuberitahu dulu kalau aku akan menanyainya nanti.

    Tak kutemukan kertas bersih meskipun sudah kuobrak-abrik isi tas selempangku. Percuma, aku hanya membawa barang seperlunya tadi. Kertas coretan hitungan fisikaku tadi kujadikan korban untuk kutulis, ‘tunggu di sana.’ Semoga ini cukup besar untuk dapat terbaca dari jaraknya. Aku harap dia masih melihatku, kalau tidak sia-sia saja kukotori lembar coretanku ini.
    Benar terkaanku, dia masih saja menatapku sedari kejauhan. Sepertinya ini kali kedua aku mengejutkannya lagi. Dia memutar kepalanya ke kanan-kiri kali ini, entah sedang mencari apa atau siapa, padahal hanya dia yang lagi duduk seorang diri di sana. Tingkahnya yang aneh malah bisa terlihat imut. Aku tersenyum karena merasa geli, tapi dia malah termanga sesudah membaca tulisanku. Sejelek itukah tulisanku? Atau aku sudah salah tulis? Mungkin dia punya minus dan sulit membacanya? Haduh, betapa konyolnya tingkahku ini. Sudah seharusnya aku menjelaskan secara langsung saja padanya saat aku berkesempatan untuk bertanya.

    “Perhatian, seluruh peserta ujian sbmptn silahkan memasuki ruangan. Sekali lagi, ...” Baru saja aku akan melangkah kembali ke arahnya, peringatan itu berbunyi dari tiap pengeras suara yang ada. Sial! Sial! Sial! Aku akan mengumpat sebanyak yang aku bisa di dalam hati. Segala bentuk peralatan tulis, buku dan kertas yang tadi kutunjukkan padanya kujejalkan sembarang ke dalam tas. Ada rasa bersalah menghampiriku ketika menyadari bahwa aku meninggalkannya di sana dalam keadaan yang bisa kuartikan sebagai reaksi kebingungan. Sudahlah, lihat nanti saja setelah ujian. Semoga ada kesempatan bagiku untuk menemuinya secara langsung.
  • Hmmm ... kritik sedikit ya. Menurut gw jalan cerita belum kelihatan karena tertutupi oleh "rangkaian kalimat indah" yang seharusnya jgn terlalu mendominasi cerita. Beberapa narasi cerita sebaiknya dipaparkan secara "to the point" jgn terlalu banyak makna kiasan/ lambang2. Hehehe, mgkn bs nanya2 ke salah satu penulis yg menurut saya jagoan @Rika1006 dan si penunggu lapak stories @3ll0 :D
  • edited July 2015
    Wiiihh.. Cieeee.. Uhuuuuy.. Ahayyy.
    Idiiih ini kenapa aku jadi senyam senyum gaje gini.. Uhug..

    Oke skip____

    Hmmm saran aja sih, jangan terlalu memberi kata-kata yang gak begitu dibutuhkan agar tulisan nggak membosankan.

    Narasi tidak perlu detail yang penting pas dan tepat. Apa yang ingin disampaikan tuangkan dengan kata-kata yang sederhana agar mudah dipahami reader secara umum.

    Dalam setiap bagian yg ingin kita post, kita harus punya seenggaknya satu 'kejadian' penting yang ingin disampaikan.

    Tenggelam menjadi si tokoh saat kamu mulai mengetik dengan jari-jarimu, bayangkan layaknya seperti sebuah film yang terputar di kepala tentang apa saja yg kita tulis.

    Itu aja sih tips dari aku. Semoga bermanfaat. Semangat menulis :)

    Thanks koko udah mention @Tsunami
  • dari segi cerita menarik ... tentang secret admirer ya ... dilanjut ...
  • *CUP* [Chupa Qiang]

    Astaga, apa sesungguhnya maksud dari ‘tunggu di sana’ darinya? Apa yang sebaiknya kulakukan? Menuruti permintaan dadakannya? Atau pergi menghindar saja? Mengapa aku jadi mati kutu begini? Tak sanggup berpikir jernih semenjak kejadian beberapa detik yang baru saja kulewati.

    “Ko Qiang?” seseorang menepuk pundakku sambil memanggil dengan nama keluargaku. Formal sekali, siapa kiranya yang bersikap begitu? Aku menoleh ke pemilik suara yang kubelakangi.

    “Ah, Tommy!” itu bukan reaksi terkejut dengan teriakan melengking, melainkan reaksi riang yang dihiasi perasaan berbunga-bunga. Lalu segera berganti dengan beberapa kerutan di dahiku.

    “Bukannya baru kemarin kamu bilang harus jadi delegasi? Kenapa sudah pulang? Tidak merasa mabuk bolak-balik dari jakarta ke myanmar terus ke jakarta lagi?” pertanyaanku yang panjang lebar hanya dijawab dengan pelukan. Spontan aku membungkam mulut dan tak mengerti apa yang sedang terjadi.

    “Koko kebiasaan. Walau sibuk, bukan berarti harus sampai lupa ulang tahun sendiri.” baiklah, aku mendapatkan keseluruhan gambaran dari maksud kedatangannya yang tanpa diundang maupun pemberitaan terlebih dahulu. Bodohnya aku juga sampai lupa kalau hari ini genap dua puluh lima tahunku.

    “Tom, bukan berarti kamu harus pergi dari kewajiban demi aku ketimbang demi kepentingan negara. Toh, ini bukan seperti suatu hal yang patut dirayakan secara berlebihan, keluargaku saja sudah tak ped-” aku terhenti disitu. Bukan karena aku tak bisa meneruskan perkataanku, namun Tommy yang mengatup rapat bibirku dengan jari telunjuknya. Matanya tersirat permohonan untukku berhenti mengungkit perihal yang bisa saja menjatuhkanku lagi. Namun satu hal yang belum diketahuinya, aku sudah semakin kuat sekarang. Sudah cukup lihai untuk berdiri sendiri, mandiri tanpa sanak famili. Cuma Tommy jugalah yang masih memanggilku dengan sebutan nama keluarga karena baginya akan ada waktu bagi mereka untuk memahami kembali keputusan yang mereka buat dan menyesalinya. Lalu aku akan kembali bercanda ria bersama mereka. Aku harap begitu, tapi aku sudah cukup dewasa untuk berpikir logis tanpa mesti bersandar pada harapan palsu.

    “Ko, aku kesini itu sudah bagian dari rencana, jadi bukannya lalai. Cuma izin meninggalkan tempat sebentar. Apalagi ini tentang ulang tahun koko, satu-dua jam dirayakan juga tidak buat koko rugi, bukan?” anak ini memang tak berubah. Tetap saja bertindak semaunya, semua mesti sesuai dengan kehendaknya. Akan tetapi, mana bisa aku menahan senyum ketika masih diberi perhatian dan dianggap bagian dari kehidupan seseorang. Perkenalan dengan Tommy dulu bukanlah suatu hal yang kusesali sampai saat ini. Walau jujur kubeberkan kalau dia bukanlah orang yang bisa kubayangkan untuk dapat diajak bicara dengan akrab sekarang.

    “Ko? Jadi bagaimana? Kita langsung ke resto saja, yuk! Daripada bengong begini. Hahaha.” Aku baru sadar kalau kedua tangan Tommy sudah memegang kedua pipiku. Tinggi badannya yang berbeda dua puluh centi dariku membuatku harus menghadap ke atas. Berbicara lama dengannya bisa menimbulkan keseleo pada tulang belakang dan leherku.
    Dengan keadaan mulut yang sedikit dibuatnya monyong aku hanya menjawab iya tanpa suara. Syukurlah sekarang tempat ini cukup sepi setelah para calon mahasiswa memasuki ruangan. Kalau tidak, mungkin aku sudah dikerumuni massa yang tentu saja berasumsi tentang orientasi seksual kami berdua.

    Belum jauh kami berjalan, seseorang tampak berlari mendekat. Bukankah itu salah seorang staf pengajarku? Aku tak pandai menghapal nama mereka karena cukup sedikit orang yang berkeinginan untuk diajak berinteraksi sejak kejadian yang melibatkan keluargaku terjadi. Aku hanya sekedar cukup beruntung memiliki jabatan yang lebih tinggi, sehingga mereka tetap patuh karena aturan bukan sebab keinginan mereka secara emosional.

    “Pak Chupa? Bapak mau kemana? Ujian sudah seharusnya berlangsung dari lima belas menit yang lalu. Bapak sebaiknya bergegas ke kantor untuk memeriksa amplop kertas ujian sebelum dibagi dan dilepas segelnya.” Mati saja! Sebaiknya aku mati saja! Kenapa bisa seberantakan ini? Agendaku kusut hanya karena peristiwa tadi pagi. Mana sekarang dikejutkan oleh adanya Tommy. Tommy? Aku menoleh padanya. Ada banyak emosi yang dipancarkan dari ekspresinya saat ini. Aku takut aku hanya bisa menelan ludah menghadapi kekesalannya sebentar lagi.
  • edited September 2016
    *TOMMY* [Thomas Endeca]

    Aku masih menahan perih lambung karena mabuk perjalanan dari satu negara ke negara yang lainnya. Kalau ditanya sudah berapa kantong terisi oleh sarapan pagi tadi yang keluar lagi, jemariku sudah tak mencukupi. Bisa dibayangkan, kalau pergi antar kota saja bisa meletihkan. Bagaimana dengan diriku yang melakukan penerbangan antar pulau. Selain itu, aku memang tak begitu menyukai transportasi udara. Andai saja aku tak lupa kalau hari ini ulang tahun Koko. Pasti sudah kubatalkan sedari jauh hari pengajuan diriku sebagai delegasi diacara yang cuma bertumpu ke bagian gala dinner. Aku sudah lebih dari cukup berpengalaman mengenai acara yang mengatas-namakan humanity, charity, dan bla bla. Acara yang berkedok menggalang dana ternyata hanya untuk mengumpulkan sekian ratus orang dengan latar belakang yang ‘wah!’ dan pengadaan party besar-besaran. Belum lagi sebenarnya ada maksud lain dibalik dari tamu undangan berstatus sosial tinggi dipertemukan dalam satu acara megah dengan tanpa satupun pers untuk meliput. Ah peduli! Aku di sini bukan untuk memikirkan hal itu. Hanya saja sayangnya yang ingin sekali kuhabiskan waktu bersama sedang dalam kondisi tak memungkinkan untuk diajak demikian.

    Aku memijit-mijit perlahan tengkukku sebab rasa lelah terasa bersumber dari sana. Mungkin sebaiknya aku menyempatkan diri untuk pergi ke sauna setelah hari ini berlalu. Namun kapan sekiranya Koko akan selesai berbincang dengan seorang tenaga pengajarnya? Kalau memang membuka segel itu harus disegerakan, Koko jelas sudah memakan waktu lebih dari kata banyak sekarang.

    Koko berbalik dan menoleh dengan raut muka cemasnya yang seolah sedang menyampaikan permintaan maaf. Sebegitu tampakkah kekesalan dan kekecewaanku? Aku benar-benar tak pernah bermaksud begitu. Hanya saja siapa yang tak akan merasakan yang sedang kurasa bila diposisi sekarang? Sebab hampir separuh badanku seperti remuk karena kurang diistirahatkan. Sampai saat ini-pun lelahku belum juga berkurang. Tanpa sadar aku sudah menyunggingkan senyuman palsu untuk membalas tatapannya.

    “Tom, mau istirahat? Kalau Tommy mau, kita bisa langsung pergi sekarang. Nanti biar pak Andri—“

    “Andre, pak” sela staf yang tadi diajaknya berdiskusi.

    “—ah iya, maksudnya biar pak Andre saja yang mewakili untuk buka segel ujiannya.” Jadi itu yang sejak tadi didiskusikannya. Dengan penuh pengertiannya Koko memahami kemauanku walau aku sendiri tak bisa memberinya lebih dari sebuah senyuman ditengah kesibukannya.

    “Ko, jangan. Bukannya sudah kewajiban Koko? Lagipula sebenarnya cuma Koko sendiri yang berwenang untuk boleh membuka segel, bukan?” aku menepuk pelan pundaknya. Meskipun aku tahu maksud Koko baik, tapi aku bukan dalam posisi untuk bisa egois.

    “Heemm, Tommy tunggu di ruang kerja Koko dulu ya kalau begitu. Setibanya butuh apa-apa jangan sungkan buat panggil Koko, oke?” Koko—Koko, bukan Koko namanya kalau tidak memikirkan orang lain terlebih dahulu ketimbang dirinya.

    “Iya Ko. Cepat sana. Peserta ujiannya pasti sudah banyak yang menunggu.” Kerutan cemas di kening Koko memudar. Anggukan kecilnya berarti kalau dia kali ini berterima kasih. Untuk pengertianku? Aku rasa aku-lah yang harusnya bersyukur dan berterima kasih karena Koko selalu baik padaku.

    Derrt—Derrt! Belum genap satu meter Koko berjalan menjauh hp disaku celanaku bergetar. Aku rasa aku sudah tahu dari siapa, persis seperti dugaanku. ‘Vita!’

    “Halo?”

    “Gitu ya? Sama pacar Cuma bisa bilang, halo?” aku tahu aku sudah begitu lelah dan tanggapan yang dilontarkan Vita ini dengan sekejap membuatku mendidih.

    “Kenapa!?” aku sadar betul kalau aku sedikit membentak walau nada bertanyaku tetap ada. Vita berhasil membuat moodku drop dengan drastis.

    “Sayang! It’s not funny! Be more gentle to me, afterall I’m your girlfriend. Kamu tidak kangen sama aku!? Dari terakhir kali kamu berangkat sampai sekarang baru bisa dihubungi, kamu cuma bisa tanya kenapa!?” kutarik ponselku menjauh dari telinga agar dapat terhindar dari keributan yang Vita masih lanjutkan di seberang sana. Aku tak butuh untuk menelan ocehan yang tak jelas alasannya apa, terutama ketika aku sendiri masih cukup kenyang dengan mabuk perjalananku.

    “Vit! Aku itu baru sampai di Jakarta. Kamunya pengertian sedikit kenapa!” beginilah jadinya kalau sudah beradu emosi, walau tadinya aku tak berniat membentak tapi sekarang suaraku sudah terlanjur meninggi.

    “Baru sampai!? Bukannya dari tadi kamu di sekolah buat ketemu Koko kamu itu!” ucapannya membuatku tertegun. Bagaimana Vita bisa tahu. Ini benar-benar sudah kelewatan.

    “Kamu stalk aku!? Cewek mana yang stalking cowoknya sendiri? Kamu itu kenapa!?”

    “Tuut—tuut—tuut.” Ah terserahlah! Nanti disaat bertemu saja baru akan kutanyakan tindakannya yang sudah diluar nalar ini. Untuk sekarang sebaiknya aku menunggu di ruang kerja sampai Koko selesai betul dengan kerjaannya.
  • ahirnya dilanjut lagi ... menyebalkan banget Vita ...
  • *VITA* [Vitari Cindera Kencana]

    “Vit, sudah. Mungkin Thomas memang lagi kelelahan. Kamu juga, belum apa-apa langsung naik darah. Hapus air matanya. Sayang sudah dandan cantik buat kasih sambutan ke Thomas. Malah jadi luntur semua, make-upnya yang tadi dipakai itu mahal semua, tahu.” Aku mengerti kalau ucapan Cindy bertujuan untuk menenangkan atau mungkin juga berusaha menghibur. Akan tetapi terlepas dari usahanya, hatiku meringis pilu. Air mata yang keluarpun diluar kehendakku.

    Aku tak bisa melakukan hal selain membatinkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi kata kenapa dan kenapa. Kenapa Thomas bersikap begini? Kenapa aku semakin tak sama sekali dianggap penting? Kenapa selalu ada Koko-Koko-Koko dan Koko!? Bukannya mereka bahkan tak memiliki hubungan darah sedikitpun! Aku kembali sesenggukan. Kali ini lebih hebat sampai Cindy sendiri kewalahan dan kebingungan harus melakukan apa.

    Sorry, Cin. Bisa kamu yang setir mobilnya buat balik ke rumah? Aku kurang yakin bisa fokus lihat jalan.” Aku menyeka air mata, mencoba menghirup napas dalam-dalam agar tubuhku berhenti bergoncang. Sedikit tersenyum simpul agar Cindy tak sepenuhnya khawatir selama mengemudi nanti.

    “Oke, tapi janji no more tears. Aku mana bisa konsentrasi kalau kamu ‘huuu-huuu-huuu’ terus. Nanti bisa ditilang polisi, dikira aku culik anak gadis orang bisa susah urusannya.” Renyah tawanya mengisi mobil yang sudah terlalu berembun kacanya. Kami sudah cukup lama berada di sini hanya untuk memastikan sesuatu.

    “Ayo! Cepat tukar posisi. Ini perutku teriak-teriak terus minta diisi. Di rumah kamu ada mie instan? Aku lagi mau makan itu.” Terkadang teman seperti Cindy-lah yang sangat kubutuh untuk sesaat mengalihkan pikiranku ke dalam hal lain.

    “Iya, ada. Tapi nanti sekalian aku juga titip ya, double. Energiku habis, butuh bahan bakar.” Ujarku asal sambil cekikikan sendu.

    “Boleh saja. Asal nanti bahan bakarnya bukan buat lanjut buang-buang air mata.” Lidah Cindy memelet sembari perlahan dia melangkahkan kaki keluar pintu mobil.

    Aku kembali bernapas berat, tetapi kembali mencoba setenang mungkin. Didetik seperti ini membuka pintu mobil seperti mendorong dinding beton, namun dalam sekejap aku sudah berdiri menghadap rentetan gedung sekolah. Tak begitu jauh di sana aku masih dapat melihat sosok Thomas dengan lamban menuju salah satu gedung utama. Sudahlah, mungkin memang lebih baik kubicarakan tanpa harus berasumsi sendiri. Pasti akan ada waktu yang tepat untuk memperoleh penjelasan darinya. Aku capai juga menduga-duga, tapi sejumput rasa yang mengganjal ini harus kuutarakan pastinya.

    “Halo? Ini nyawanya kemana ya? Vit! Vita!” aku terkejut setelah melihat tangan Cindy yang melambai-lambai dengan cepatnya dihadapan wajahku.

    “Hah? Iya, Cin?”

    “Ini anak masih pakai tanya segala. Sudah bengongnya? Jadi pulang? Aku sudah hampir pingsan ini. Bisa punah nanti anak-anak cacing aku diperut.” Cindy cemberut sambil memegangi perutnya. Andai iya memang ada cacing disana, pasti mereka sudah berdesakan mengingat lingkar pinggang Cindy yang ramping.

    “Eh, iya-iya. Jadi.” Aku berjalan mengitari kepala mobil dan kembali menoleh memastikan punggung lelaki yang kucinta hilang terhalang gedung sebelum akhirnya aku menutup pintu di sisi kiri kemudi.
  • @lulu_75
    @Sho_Lee

    Maaf baru bisa diupdate per-pov ya.. enjoy :blush:
  • *CUP* [Chupa Qiang]

    “Haaaah..” aku lelah. Mesti kuakui menjadi seorang kepala sekolah itu bukan hal yang mudah dikerjakan. Orang bisa saja memandang kalau seorang kepala sekolah sukanya main suruh ini itu. Hanya saja yang mereka tidak tahu adalah beban tanggung jawab yang berat dari semua bentuk suruhan itu. Aku melirik ke arah jam dinding, lalu kembali memastikannya dengan membuka hp. Satu jam sudah berlalu, aku rasa sudah terlalu lama meninggalkan Tommy sendirian. Sedang apa dia sekarang? Menggerutu? Atau malah mengobrak-abrik seisi kantor karena kesal? Bayangan tentang ‘Tommy yang dahulu’ menari-nari nakal dalam pikiranku. Jadi dengan seribu langkah bergegas kutinggalkan ruang rapat setelah meninggalkan beberapa memo untuk pak Andre mengenai apa saja agenda yang harus dilakukan.

    Kubuka perlahan gagang pintu kantorku dengan mengintip layaknya orang yang sedang mengendap-endap, padahal ini ruang kerjaku sendiri. Lucu sekali. Tak ada geraman ataupun umpatan yang biasanya Tommy lontarkan kala dia sedang merasa sebal. Dari ruangan yang tak terlalu lebar ini hanya suara dengkuran halus Tommy yang menggema. Kubuka lebar pintu dan mendapati Tommy tengah terlelap diatas sofa. Tubuhnya meringkuk mengingat memang sofa tempat berbaringnya sekarang tak cukup panjang untuk tubuh menjulangnya. Kata pertama yang muncul dibenakku adalah imut. Yang kumaksud bukan paras atau perawakannya, namun tingkahnya yang masih bisa kubilang dibawah taraf dewasa. Terkadang dia terlalu menggebu-gebu, lalu dalam sekejap mampu kehilangan semangat juga. Sikap labilnya inilah juga yang terkadang merepotkan. Sedangkan tentang tampangnya, tak bisa disangkal kalo Tommy pantas menyandang predikat LOTY tingkat provinsi tahun belakang. Garis mukanya tegas, khas orang berdarah medan. Kulit coklat dan tubuh gempalnya bukti kalo dia tak hanya asal bicara saja tentang hobinya melakukan outdoor calisthenic. Belum lagi ditambah darah campuran dari sisi ibunya yang pakistan membuatnya terlihat jauh lebih berkharismatik dan bisa dibilang menggairahkan, hahaha.

    Aku kegelian sendiri dengan pikiran jorok yang sepintas lalu menghampiri. Ini Tommy, mana mungkin aku berani berbuat macam-macam, jangankan untuk mencoba, membayangkan dirinya dalam tanda kutip ‘seksi’ seperti barusan saja aku tak tega. Bagiku Tommy sudah seperti adik sendiri, walau orang biasanya terbalik dalam membedakan rentang umur antara kami berdua. Apalagi dia selalu menyandang status bad boy sebab terlalu sering bergonta ganti pacar, dimulai dari yang belia sampai janda-pun tak urung di-embat-nya. Sempat kutanya alasannya apa untuk terus berpindah-pindah dari satu wanita ke yang lainnya. Dengan cengengesan dia hanya menjawab seadanya, ‘buat pengalaman aja ko. Nanti kalau sudah nikah, mana bisa lagi begini, hahaha’.

    Aku mendengus heran mengingat Tommy yang sedari dulu hingga sekarang tak banyak berubah, kecuali dulu sekali sebelum dia sedekat ini denganku. Aku rasa ada baiknya dulu sedikit melakukan tindakan heroik—yang sebenarnya tak seberapa—kepada Tommy. Walau tak ada alasan yang cukup logis untuk membuat Tommy menjadi bersikap lebih lembut dari sebelumnya kepadaku, hingga sekarang. Yah, tak apa, tak jadi masalah. Aku juga tak merugi. Terlebih aku juga tak pernah merasa punya saudara lebih muda. Dari Tommy aku dapat belajar menjadi dewasa sesuai umurku yang juga semakin menua.

    Ah, Tommy menggigil. Aku lupa, dia tak suka suhu dingin. Sedangkan aku yang tak tahan panasnya Jakarta sudah sedari tadi pagi menyetel AC pada suhu minus terendah. Aku beranjak, mendekati lemari berkas. Seingatku, aku sempat menyimpan selimut hasil rajutan mendiang Mama di sini. Nah, ketemu! Melihat Tommy yang sedikit menggeliat saat kuselimuti membuatku geli. Hal sesederhana ini malah membuatku senyum-senyum sendiri. Aku betul-betul beruntung punya kamu, Tom. Jangan sampai pergi dari kehidupanku seperti mereka ya. Aku tak tahu kalau lama-lama memerhatikan orang yang tidur juga bisa memunculkan rasa kantuk. Kepalaku masih bertumpu tangan di depan wajah Tommy sebelum akhirnya aku juga menyerah dengan mata yang kian berat untuk tetap terjaga.
  • edited February 2017
    *TOMMY* [Thomas Endeca]

    Aku mendadak membuka mata, alias terkejut setelah mendengar beberapa kali gedoran di daun pintu. Apa aku ketiduran? Selimut? Ini pasti Koko yang melakukannya. Kepalaku masih terasa berat untuk bangkit. Akan tetapi, sebelum niat untuk langsung terbangun itu kulakukan, wajah manis dihadapanku ini membuatku menjadi betah untuk lebih berlama-lama berbaring dalam posisi begini. Tampaknya koko juga ikut tertidur, dengan posisi bersandar di sofa. Aku ingin membangunkannya, tak tega melihat cara tidurnya yang nanti malah bisa membuat pinggangnya nyeri. Hanya saja, kapan lagi ada kesempatan memandangi wajah Koko dalam jarak sehembusan napas. Koko terlihat begitu letih, dengan sedekat ini dapat kulihat kantung mata kehitamannya yang bergelantungan. Jangan terlalu sering lembur, ko. Bukannya sudah sering kuingatkan begitu. Tanpa sadar jemariku sudah menyusuri halus kulit putih mukanya, kumis dan janggutnya yang tercukur tipis tak menghilangkan keimutan paras koko saat ini.

    Segaris tipis guratan luka di dagu kiri Koko masih samar terlihat. Luka yang tak seharusnya membekas di sini, tapi di wajahku. Kalau saja Koko tak menghentikan kejadian waktu itu, aku mungkin sudah bersisa nama di atas nisan saja. Ada debaran yang menyesakkan dadaku mengingat bagaimana kedekatan kami dimulai dari saat itu, perasaan apa ini? Rasa hangat dan nyaman, tapi ini sangat aneh dan asing.

    Aku tertegun melihat bibir Koko yang setengah terbuka. Bagaimana ya rasanya? Eh? Apa? Apa yang sedang kupikirkan. Aku mulai bertingkah aneh seperti ini lagi, tapi kenapa hanya kepada Koko? Dia seorang lelaki, Thomas!

    Ah, persetan! Aku tiba-tiba termakan birahi, seperti sebelum-sebelumnya disaat terpikirkan tentang Koko. Hanya saja kali ini aku tak bisa menahannya, terlebih dengan sosok Koko di sini, persis dalam rangkulanku.

    Aargh! Celana jeans yang kupakai terasa menyempit. Sial! Kenapa aku jadi begini. Apa aku harus curi kesempatan untuk mencumbunya? Ah, maaf ko.
  • maaf baru baca @Muabhi ... wow ... jadi penasaran nih ...
Sign In or Register to comment.