It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Westgate street, xx Februari 2015
Salju turun dengan lebat. Aku berteduh di bawah kanopi salah satu pelataran cinema tua namun tetap saja mantel pemberian ibu yang kukenakan semakin lembab dan usang. Udara semakin dingin dan tanganku mulai membiru. Aku sengaja berdiam disini bukan untuk menunggunya. Kudengar dia tak akan datang tapi bocah yang satunya… pasti. Lampu jalan di dekat salah satu restauran di seberang jalan mulai menyala. Diikuti dengan deretan lampu di sepanjang westgate street yang membuat penglihatanku semakin membaik dan.. dan aku melihatnya. Dia datang. tidak.. tidak hanya satu. melainkan keduanya..
*****
“no. tidaaaaaak... Saaamm!!! Hentikan semua ini !” teriak salah seorang lelaki. Kedua tangan dan kakinya terikat pada kursi tua yang masih sanggup menopang bebannya yang tak seberapa. Ikatannya terlalu kuat hingga detak nadinya dapat benar-benar ia rasakan. Aliran darah yang memaksa masuk melalui pembuluh tangannya yang tertekan keras rasanya dapat meledak dapat hitungan menit.
“Kaaak.. kakaak.. To-tolong a-aku” bocah dihadapannya berkata dengan terisak. Tak ada lagi air mata yang dapat dibendung oleh kelopak matanya. Sudah satu jam ia menangis tanpa henti. Kondisinya tak jauh berbeda dengan lelaki di hadapannya. Tangannya pun diikat pada tiang. Kakinya bergetar hebat, tak sanggup lebih lama mempertahankan posisinya yang berdiri sedari tadi.
“Aku tidak tahu apa yang kau mau tapi please lepaskan sam. kumohon.”
Wajahnya tak terlihat. Lelaki itu menutupinya dengan tudung mantelnya yang hanya memperlihatkan sebagian rambutnya. Kedua lengannya menyilang diantara dadanya yang tampak bidang. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun pada dua lelaki yang terus menerus berteriak kepadanya. Ia hanya berdiri bahkan ia tak bergerak sedikit pun dari posisi saat pertama kedua lelaki itu melihatnya.
Sudut gang tersebut tampak terang karena lampu yang tergantung diantara tali-tali jemuran. Namun sudut yang terang itu tak lama tertutupi oleh munculnya bayangan yang bergerak mendekat. Segerombolan pria bertato pemilik bayangan tersebut datang sambil menyunggingkan senyum. Sepatu boots mereka dengan sol yang tebal bergesekan dengan lantai semen yang kasar dan menimbulkan bunyi berderit yang semakin lama semakin jelas terdengar.
“Si-siapa mereka? Hei kau.. kenapa diam saja. Jawab aku !!!”
“Woo. Woooo.. Diamlah kau bocah manis. Kau tenang saja. Yang akan bermain dengan kami bukan kau tapi dia.” Jawab salah satu dari gerombolan pria itu kepada lelaki yang terikat pada kursi.
“no. please. Kumohon tinggalkan sam.”
Mereka bergerak mendekati lelaki yang dipanggil sebagai ‘sam’ yang sedari tadi terikat pada tiang.
“Sebaiknya kita mulai dari mana? Apa dari bawah? Hahaha.” Mereka mulai tertawa. Di sisi lain, sam mulai membisu dengan keringat dingin yang terus bercucuran membasahi pelipisnya. Gerombolan pria itu mendekati sam dan mulai menggerayangi tubuhnya. Salah seorang dari mereka meletakkan telapak tangannya pada paha bagian belakang lelaki itu dan terus naik menyusuri lekuk tubuhnya hingga berakhir pada ass nya yang tercetak sempurna.
“F*cking hell !!! apa yang kau lakukan padanya! Sebaiknya kalian berhenti sekarang dan LEPASKAN DIA!!!” amarah lelaki itu kian memuncak. Merah yang dipadankan dengan kilauan air terlukiskan pada kedua bola matanya saat ini.
Bugh..
Salah satu dari gerombolan pria itu menghampirinya dan mendaratkan tinju pada mukanya. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali ia mendapatkannya hingga pria bertudung itu mengeraskan genggamannya pada pergelangan tangan pria si peninju, seakan memberi tanda padanya untuk berhenti. Tak ada lagi yang dapat ia suarakan saat ini. Yang tersisa hanya rasa sakit.
“Hei. Kau diamlah dan lihat saja.”
Pria-pria bertato itu kembali beraksi. Mereka merobek kemeja ‘sam’ dengan pisau lipat hingga tubuh bagian atasnya terlihat jelas. “Aaah.. Aaah.. Aaaaaaaaaa….” Teriak sam. Ia menjerit sambil menggerak-gerakkan tubuhnya tak jelas. Suara tak hanya datang dari jeritannya tapi juga dari kakinya yang dia hentakkan terus-menerus ke lantai tak berirama. Tanpa acuh dengan reaksi sam, salah seorang pria melanjutkan aksinya dengan membuka rel sleting jeans yang dikenakan Sam dengan perlahan. Hanya dalam waktu beberapa menit, ia berhasil melepas jeans itu dan meninggalkan sam hanya dengan balutan celana dalam putih di pinggangnya.
“Damn. Brengsek.. Tinggalkan Sam. Kubilang HENTIKAN !!!”
Braakkkk..
Salah seorang pria bertato tiba-tiba terjatuh dengan darah bersimbah di kepalanya.
“Hei !! Kalian sebaiknya pergi atau aku panggil petugas keamanan! ” seorang pria muncul entah dari mana dengan tongkat kayu besar di tangannya. “Pergilah!!!”
“Beraninya kau …. ” pria bertato dengan tindik di bibirnya mulai terpancing emosi. Sebelum ia mendaratkan tinjunya, lelaki bertudung kembali menarik lengannya dan menyuruhnya pergi. Lelaki bertudung itu mengisyaratkan kepada mereka untuk pergi hanya dengan satu jentikan jari yang terdengar samar.
“Tunggu kau !!!”
Tanpa disangka, ternyata ikatan di tangan dan kaki lelaki yang terikat pada kursi berhasil terlepas. Dengan sekuat tenaga ia berlari mengejar pria bertudung dengan mantel yang tampak usang itu. Dengan cepat, tangannya meraih tudung yang sedari tadi menutupi wajah sang pria dan menarik wajahnya dekat hingga akhirnya kedua mata mereka bertemu.
Dug
Detak jantungnya kini berbunyi dengan sangat keras, Ia tercengang dengan apa yang dilihatnya yang dirasa sangat kontradiktif, tidak sesuai dengan logika dan akal pikirannya. Seorang pria dengan kulit pucat dan rambut hitam legam. Campuran warna yang bertolak belakang namun mampu menonjolkan karakteristik keduanya. Namun bukan itu yang menjadi perhatiannya. Kedua matanya berwarna biru, seakan ada hamparan biru lainnya disamping samudera dan langit. Kedua matanya menjatuhkan air mata yang mengalir dan membekas di kedua pipinya yang tampak pucat.
“blue..” bisiknya pelan tanpa sadar.
Dengan segera, pria dihadapannya itu kembali menutup wajahnya dengan tudung dari mantelnya. Ia berlari menjauhinya. Semakin lama semakin jauh hingga sosoknya menghilang.
*****
hehe
@lulu_75 : siip. thanks ya dah baca
*Being me can only mean feeling scared to breathe
If you leave me then I’ll be afraid of everything
That make me anxious, gives me patience, calms me down
Let me face this, let me sleep
And when I wake up, let me be
When I wake up I’m afraid, somebody else might take my place
(Menjadi diriku hanya bisa berarti merasa takut untuk bernapas
Jika kau meninggalkanku maka aku akan merasa takut dengan semuanya
Membuatku cemas, memberiku kesabaran, menenangkanku
Biarkan aku menghadapinya, biarkan aku tertidur
Dan ketika kuterbangun, biarkanlah aku
Ketika ku terbangun aku takut, mungkin saja seseorang telah menggantikan posisiku)
*The Neighbourhood – Afraid
*****
“Nnghhh..” terdengar suara rintihan dari dalam bilik kamar. Pria berkacamata itu segera melepas pandangan dari layar komputer dan bergegas menuju ke sumber suara. Diamatinya ia yang sedang berbaring dengan beberapa helai selimut yang menutupi tubuhnya, menyisakan wajah dan helaian rambut pirangnya yang mengingatkannya akan Louie, anjing yang pernah menemaninya dulu.
Tampak hangat. Dari kejauhan lelaki yang berbaring itu tampak hangat. Saat salju sedang turun ditemani dengan ranjang yang empuk, bantal yang nyaman, selimut yang hangat ... “mmm…” Ia merasa sedikit cemburu. Bukan karena benda miliknya yang direbut oleh lelaki itu. Semuanya hanya benda. Tapi perasaan itu. Perasaan nyaman yang sebenarnya tak pernah direbut darinya, karena tak pernah ia miliki. Namun ia menginginkannya. Menginginkan sesuatu yang tidak dimiliki, selalu saja seperti itu.
“Ha-Halo..?” Ucapnya sambil melambaikan tangannya di depan wajah lelaki itu.
Beberapa helai rambut menutupi sebagian wajahnya. Luka dan lebam di wajahnya seakan hilang, bersembunyi dibalik rambutnya yang berkilau keemasan terkena cahaya lampu yang temaram. Pria berkacamata mendekatkan jemarinya dan menyibakkan rambut lelaki itu hingga tanpa disadari ia membangunkannya.
“Ah maaf. Apa kau sudah merasa baikan?” Tanya pria berkacamata.
".....”
“Apa mungkin masih kedinginan? Mau kubuatkan sesuatu?” Tanya pria itu lagi.
“.....”
“Hmm.. Aku Zake. Saat ini kau sedang berada di kamarku, jadi kau tidak perlu khawa-- ”
Perasaan kaget seakan terlihat, terlintas di benak sang lelaki yang sedari tadi terbaring. Ia segera mendorong selimutnya menjauh sambil mencoba untuk bangun, namun kondisi tubuhnya menghalangi keinginannya. “Aaargh..” Ia kembali merintih.
“Hei. Hei. Tenanglah. Kau mau pergi kemana?” Tanya zake.
“Jika kau mencari lelaki yang satu lagi, dia ada di kamar sebelah. Sebaiknya kau diam disini dulu. Kulihat dia baru saja tertidur setengah jam yang lalu.”
“Bisa kau ceritakan apa yang terjadi? nnngg, Zake?”
“Apa kau bisa duduk? Biar kubantu.” Ucap zake sambil mengangkat sebelah tangan lelaki itu untuk membantunya bersandar pada dinding.
“Aku mendengar suara tak sengaja dari dalam gang dan untungnya aku melihat kalian bersama gerombolan itu. Ya, lelaki yang satunya, Sam dan.. kau ?”
“Shan. Shanon Parker.”
*****
“Hey, Shan. Jadi apa kau sudah ingat wajah pria itu?” Tanya zake.
“Entahlah zake. Kurasa aku akan tahu jika suatu saat aku melihatnya.”
“Maksudmu kau ingin bertemu dengannya lagi? Aku harap kau tidak sedang mengigau.” Zake menggelengkan kepalanya di tengah kesibukannya dengan roti, selai, dan mungkin juga beberapa omelet.
“Maaf.”
“Kau tahu Shane. Aku tidak memaksamu. Tapi jika kau bisa, cobalah untuk mengingatnya. Aku ingin membantumu kau tahu. Kita bisa melaporkannya ke polisi.”
“Aku mengerti.”
“Apa ada yang kau pikirkan? Hei, kau bisa menceritakan semuanya kepadaku.” Ucap zake sambil meletakkan dua buah piring ke atas meja.
“A-aku takut.” Aku menundukkan kepala sambil sedikit berbisik. “Saat aku terbangun dari kejadian itu, rasanya aku tak ingin membuka mata. Kau tahu. Aku ingin seseorang menggantikanku, bahkan aku sempat berpikir untuk tidak sadar kembali, Zake.”
Zake mendekatiku. Dia meletakkan tangan kirinya di bahuku dan tangan kanannya mulai menggenggam tanganku, semakin lama semakin erat. Tidak ada kata yang ia lontarkan. Hanya senyum kecil yang kurasa bisa membuatku sedikit tenang.
“Di satu sisi aku mencoba mengingatnya. Tapi di sisi lain aku tidak ingin melakukannya. Apa kau pernah mengalami hal seperti itu?” ucapku sambil menghela nafas panjang.
“Aku sangat menghargai bantuanmu.” Aku menengadahkan kepalaku sambil menatapnya. “Bagaimana jika kita mulai makan saja?” Pintaku. Zake kembali ke bangkunya dan kita mulai menyantap sarapan yang telah dibuat oleh Zake.
Sudah satu minggu ini aku dan sam tinggal di kediaman zake. Zake berhasil menyelamatkanku dan Sam dari gerombolan pria bertato dan satu pria misterius yang masih belum bisa kuingat dengan jelas. Bukan hanya itu, zake bahkan membantu mengobati luka dan lebam di beberapa bagian tubuhku dari hasil kejadian itu. Berbeda denganku, sam tidak mendapat banyak luka di tubuhnya. Dia sudah lebih baik dari minggu lalu, tapi dia masih tidak mau berbicara. Aku akan terus mencoba untuk menghiburnya dan mengembalikannya lagi seperti semula. Waktu bisa saja mengobati lukanya. Tapi aku terlalu enggan. Aku menantang waktu, seberapa cepat aku bisa berpacu dengannya.
Aku bukanlah sosok yang mudah mengungkapkan isi pikiran dan perasaan dengan mudah. Aku lebih banyak diam. Mulutku tak banyak bersuara, mungkin saja terkekang atau aku sengaja mengekangnya. Dan aku mulai bermain dengan pikiranku. Melepas semuanya, membebaskannya. Dalam pikiranku aku mengamati semua yang kulihat, menyangkal semua perkataan mereka, membantah dengan semua yang kuanggap benar, aku bertanya dan mencari jawaban atas setiap pertanyaan tanpa bertanya pada yang lain. Entah aku egois, acuh atau nyaliku yang kosong. Tapi dengan Zake, rasanya berbeda. Entah kenapa aku bisa sedikit terbuka dengan zake. Hal-hal yang ingin kusampaikan dapat keluar begitu saja. Sifat Zake yang hangat dan mudah bergaul sepertinya sangat membantu. Meskipun baru seminggu mengenalnya, tapi dengan mudah dia bisa menyusup ke dalam duniaku.
Zake tinggal di sebuah rumah di sekitar kawasan Universitas Portsdale. Jarak yang tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya 20 menit dengan jalan kaki. Rumahnya didesain minimalis dengan dinding batu bata yang disusun sedemikian rupa tanpa lapisan semen yang menutupinya, tampak klasik ditambah dengan suasana coklat yang kental memberikan kesan nyaman untuk penghuninya. Yang aku tahu, dia tinggal sendiri di rumah ini terpisah dari keluarganya karena jarak yang lebih dekat dengan sekolahnya. Ya, dia adalah mahasiswa jurusan arsitektur desain di Universitas Portsdale. Hanya itu. Hanya itu yang aku tahu tentangnya.
Srreekk.. Srreekk..
Tiba-tiba terdengar gesekan pada lantai. Aku dan zake menolehkan kepala ke arah sumber suara.
“Shane, ayo pulang..”
“S- Sam?” Aku tersontak kaget. Disana berdiri sam dengan pandangannya yang kosong.
“Kau sudah merasa baikan?” Aku bergegas menghampiri sam untuk mengecek kondisinya.
“Sekarang shane.”
“I-iya. iya tentu saja.” Ucapku sedikit kaget. “Zake, sebaiknya aku dan sam pergi sekarang. Aku sangat berterima kasih dengan semua bantuanmu. Aku pasti akan membalasnya suatu hari. Aku berjanji.”
“Maksudkumu sekarang? Benar-benar sekarang?” Tanya zake kebingungan.
Aku mendekati zake. Karena tubuh zake yang cukup tinggi, aku sedikit berjinjit dan berbisik ”Besok aku akan kembali kesini dan mengembalikan pakaianmu.”
“A-ah.. kalau begitu sebaiknya aku mengantarkan kalian.” Kata zake sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Namun kurasa dia masih belum mengerti maksudku.
“Tidak zake. Aku akan pergi berdua dengan saja dengan sam. Lagipula rumah kami tidak begitu jauh dari sini” aku menolaknya dan segera berbalik menuju ke arah sam.
“Apa kau yakin?” Tanya zake tak setuju. “Baiklah. Kalau begitu sampai besok. Ma-maksudku sampai jumpa, semoga kita bisa bertemu lagi.”
“Bye zake.”
Shanon :
Sam :
Zake :
William :
Valen :
Nih, gambaran beberapa tokoh yang nanti bakal ada di cerita dalam bayangan ane kalau misalnya ada yg mau liat ane kasih linknya aja ya di bawah. Biar semangat aja sih ane bikinnya kalau kebayang mukanya. Lol. Sumber dari mbah google ya.. I don’t own them..
Shanon :
http://40.media.tumblr.com/a424ec2c0033eb0f117d1be273659747/tumblr_ns5bszLotg1ubffojo1_250.jpg
http://40.media.tumblr.com/8592a901c5f57a944a2315310f15c95e/tumblr_ns5bvva8LW1ubffojo1_500.jpg
Sam :
http://41.media.tumblr.com/e5da56002074950e686a351982430a60/tumblr_ns5bxgL7ww1ubffojo1_250.jpg
Zake :
http://41.media.tumblr.com/e79345aa1f212f265840aa78d74afb54/tumblr_ns5bwuUHjq1ubffojo1_400.jpg
William :
http://40.media.tumblr.com/ceaa94677aaf1f4355b7a3d182c128e7/tumblr_ns5bynmEoC1ubffojo1_500.jpg
Valen :
http://41.media.tumblr.com/7ba1df4ccc9a5dcffd06e2f8403d9487/tumblr_ns7b9mjG0G1ubffojo1_500.jpg
ini lanjutan chapter sebelumnya, karena kepanjangan jadi dipotong..
*****
“Sam? Bagaimana perasaanmu? Apa sudah lebih baik?” Tanyaku sambil membenarkan jaket yang dipakai Sam.
“Sangat buruk.” Balasnya dengan ketus.
Aku mencoba menatap matanya lembut. Tapi ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, menghindari tatapanku. Kami berhenti berbicara selama beberapa menit dan meneruskan perjalanan dalam diam.
“Terima kasih sudah mencoba.” Bisikku perlahan sambil menghentikan langkahku.
“Apa?” Tanya Sam seraya berbalik saat mengetahui dia sudah berada jauh di depanku.
“Tidak. Tidak ada. Aku hanya senang kau mau berbicara lagi denganku.” Ucapku lebih keras. “Aku akan membuatkan banyak makanan dan cake manis kesukaanmu.” Jawabku dengan terkekeh sambil berjalan mendahuluinya.
“Tu-tunggu shan.” Pinta sam sambil menarik lenganku dari belakang secara tiba-tiba. “Kau.. Lukamu.. Apa kau tidak apa-apa?”
Mendengar pertanyaan itu, perlahan-lahan aku tertawa, semakin lama semakin keras. Tanganku menahan perutku yang mulai kesakitan karena terlalu lama tertawa. Aku mencoba menghentikan tawaku ketika melihat perubahan pada raut wajah sam yang sekarang tampak kesal.
“Haha.. aku kira kau sudah tidak peduli lagi denganku.” Ucapku sambil menatap sam yang sedari tadi masih memasang wajah kesal.
“Kita naik taksi disini saja.” Kata Sam. Ia mengulurkan tangannya ke sisi jalan, memanggil taksi yang sedang melaju ke tempat kita berdiam saat ini.
Apa mungkin sam sudah kelelahan? Atau mungkin kakinya terasa sakit? Aku menatapnya heran. Karena kecelakaan mobil yang menimpanya beberapa tahun lalu, ia hampir kehilangan kemampuannya untuk berjalan. Saat ini kakinya tak dapat menopang tubuhnya terlalu lama. Jika ia berdiri atau berjalan terlalu lama, kakinya akan kembali terasa sakit sehingga di rumah pun ia memiliki kursi roda sendiri yang jarang ia pakai.
“Apa kau tidak lihat? Semua orang memperhatikanmu.” Kata Sam tanpa memperlihatkan wajahnya. Kini hanya punggungnya yang terlihat. Aku diam tidak mengerti maksud perkataannya.
“cckk.. lihatlah ke belakangmu.” Sam meninggalkanku dan masuk ke dalam taksi lebih dulu.
Aku mencoba menolehkan kepalaku ke sebelah kiri dan membalikkan badanku. Beberapa orang yang melintasi jalan memperhatikanku dengan pandangan yang aneh. Sebagian dari mereka berbisik kepada mereka yang lain, memainkan telapak tangan mereka dan menutupi suara-suara kecil yang terlontar. Perkaataan itu membuat yang lain tersadar akan kehadiranku, melihat kearahku dan tak lama terlihat anggukkan kepala dari mereka. Apa karena tawaku yang terlalu keras? Aku tak mengerti, sungguh.
‘PRETTY x TASTY’ sebuah restauran eropa bergaya modern berdiri tepat didepanku tanpa kusadari sebelumnya. Restauran itu memiliki dua pintu kaca yang dapat berputar 360 derajat dan disitulah aku melihatnya. Sesosok pemuda dengan rambut pirang yang kontras dengan warna biru keunguan yang memanjang didagunya. Warna merah pun terlihat mencolok di sudut kiri bibirnya dengan guratan garis, mungkin bekas sayatan yang terlihat masih baru. Sudut lain di matanya pada sisi yang tak tertutupi poni turut memberi jejak-jejak biru lainnya. Pada detik itu pun aku berharap bahwa pemuda yang kulihat itu bukanlah aku.
Selama seminggu ini aku memang tak pernah sekalipun melihat diriku di depan cermin. Bukannya tidak sempat, kurasa aku memang tidak begitu peduli. Malu rasanya. “Aku kira tak seburuk ini. Bila akan seperti ini jadinya, seharusnya aku tidak perlu--“ ucapku dalam hati yang langsung terpotong oleh teriakan sam.
“Shan!! Cepatlah!” teriak sam dari dalam taksi.
Aku menundukkan kepala, tak ingin melihat diriku lagi di depan kaca, dan berlari masuk ke dalam taksi.
“Sudah kubilang jangan terlalu keras tertawa.” Sam berkata sambil melihat ke arahku. “Hei shan. Kenapa kau diam saja?”
Aku tak menjawab pertanyaannya. Diam kembali menyelimuti kami selama perjalana pulang tanpa ada seorang pun yang berani berbicara.
*****
Aku dan sam pindah ke suatu apartemen kecil ini sejak kecelakaan mobil itu terjadi. Dua tahun lalu, orang tuaku dan sam mengalami kecelakaan yang menelan nyawa kedua orangtuaku. Kejadian itu terjadi tepat saat kelulusanku dari sma, saat itu mereka sedang dalam perjalanan menjemputku pulang dari asrama. Sebuah mobil dari arah berlawanan menabrak mobil mereka dan kecelakaan itu pun terjadi. Rumahku yang lama rasanya terlalu besar untuk kami tempati, terlalu banyak ruang kosong yang sebelumnya digunakan, terlalu banyak benda, terlalu banyak memori, terlalu banyak.
Memori yang tak ingin diingat dan tak ingin dilupakan akhirnya kutinggalkan sebagai kenangan di rumah itu. Rumah itu kini dibiarkan kosong tanpa kami jual. Karena hal ini pula aku harus bekerja dan mencari uang. Pada siang hari aku mengajari beberapa anak bermain piano dan saat sore menjelang malam aku bernyanyi di suatu kedai kopi. Pada akhirnya aku tidak melanjutkan sekolahku. Sementara sam, dia baru dudul di tahun pertamanya sma.
Semenjak kami meninggalkan rumah zake, sam sudah kembali ke sekolahnya. Kukira keadaan sam sudah baik-baik saja. Tapi ternyata aku salah. Meskipun pada siang hari dia baik-baik saja, tapi mimpi buruk terus dialami sam setiap malam, membuatnya terus terjaga. Setiap malam ia mengigau dan berteriak karena mimpi-mimpi itu. “Aku takut. Jangan tinggalkan aku sendiri kak.” Itu yang ia ucapkan -walau aku senang saat dia memanggilku kakak- setiap malam.
“Sam, aku akan pergi. Apa kau akan baik-baik saja?” Tanyaku. “Maksudku, aku tidak keberatan jika harus menemanimu saat ini.”
“Ini sudah jam 4 sore. Kau mau kemana shan?” Tanya sam sambil memainkan remote tv.
“Aku akan pergi. Dengan gitarku.” Ucapku sambil menenteng gitar kesayanganku, gitar akustik berwarna coklat dengan stiker ‘S.V.’ tertempel di bagian bawahnya. Aku meletakkan gitar itu ke dalam tasnya yang berwarna hitam. “Aah.. aku bisa panggil bibi Anna untuk menemanimu. Kau mau?”
“Tidak. Kembalilah sebelum malam. Berjanjilah..” pinta sam, kali ini terdengar samar.
“Tentu saja. Bye.”
Saat ini aku belum bisa kembali mengajar piano karena luka di wajahku masih belum benar-benar hilang. Aku tak ingin anak-anak itu ketakutan. Di kedai pun aku pasti tidak diizinkan menyanyi dengan penampilan seperti ini. Oleh karena itu aku akan mencari spot yang cocok dan menyanyi, melakukan street performance. Kemampuan gitar dan suaraku tidak terlalu ternyata bisa sangat membantu. Biasanya setiap minggu bila ada waktu senggang aku akan menyanyi di depan sebuah cinema tua yang sudah tidak terpakai. Letaknya cukup strategis dan berada di pusat kota. Namun sekarang aku lebih memilih tempat lain, karena cinema itu mengingatkanku dengan kejadian tidak mengenakan dengan pria bertato beberapa minggu lalu.
Aku memilih tempat beberapa blok dari cinema itu tepat di seberang suatu toko cd dan alat musik, ‘WLive’. Aku membuka tas, mengambil gitarku dan meletakkan tas itu terbuka agar orang-orang bisa memasukkan beberapa uang. Bila sedang beruntung aku akan membawa cukup uang namun jika sedang sial, aku sering diusir oleh petugas keamanan. Aku duduk dan mulai memainkan gitar akustikku memainkan sebuah instrumen tertentu selama beberapa menit sebelum aku mulai menyanyikan sebuah lagu.
* Loving can hurt, loving can hurt sometimes
But it's the only thing that I know
When it gets hard, you know it can get hard sometimes
It is the only thing that makes us feel alive
We keep this love in this photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Hearts were never broken
And time's forever frozen still
So you can keep me
Inside the pocket of your ripped jeans
Holding me closer 'til our eyes meet
You won't ever be alone, wait for me to come home
( Mencintai bisa menyakitkan, mencintai terkadang bisa menyakitkan
Tapi itulah satu-satunya yang kutahu
Saat keadaan terasa sulit, kau tahu kadang keadaan bisa sulit
Inilah satu-satunya yang membuat kita merasa hidup
Kita simpan cinta ini ke dalam foto
Kita buat kenangan ini untuk diri kita sendiri
Dimana mata kita tak pernah terpejam
Hati kita tak pernah patah
Dan waktu selamanya beku, diam
Hingga kau bisa menyimpanku
Di dalam saku jeans robekmu
Mendekapku erat hingga mata kita bertemu
Kau takkan pernah sendiri, tunggulah aku pulang )
*ED Sheeran - Photograph
Tepuk tangan mulai terdengar riuh ditambah dengan beberapa siulan dari sudut kiriku. Suara kepingan koin pun tak lama terdengar. Aku memperhatikan beberapa orang yang berdiri dan melihat pertunjukanku dengan senyum kecil, hal yang membuatku ikut bahagia. Mereka masih berdiri diam mungkin menantikan lagu selanjutnya. Di antara kerumunan orang itu aku melihat seorang pria yang sedang berjalan tergesa-gesa mencoba menerobos kerumunan itu sehingga beberapa kertas yang dibawanya terjatuh. Salah satunya terjatuh dan mendarat tepat di dekatku. Aku mengambilnya, sebuah map coklat dengan bertuliskan ‘Jurusan Musik – Universitas Portsdale’. Aku berdiri dan mencoba mengembalikannya pada orang itu namun beberapa orang menghalangiku.
Aku mencoba masuk di antara kerumunan itu. Pria itu tengah jongkok mengambil kertas-kertasnya yang berceceran di jalan bersama beberapa orang lainnya yang turut membantu. “Biar kubantu.” Ucapku sambil mengambil beberapa kertas yang ada di sekitar kakiku.
“Terima kasih.” Pria itu menaikan wajahnya menghadap ke arahku.
Aku menatap wajahnya. Sepertinya usianya berada tak terlalu jauh di atasku. Kerlip mata biru yang indah bertemu dengan mataku. “Ini map milikmu.” Ucapku sambil menyerahkannya.
Dia sedikit terkejut dan mengambil mapnya dengan segera. Tiba-tiba ia mempercepat gerakannya dan pergi dari kerumunan, menyebrang ke sisi jalan yang satunya. Pria yang aneh. Tapi. Tunggu.. Mata biru itu. Rasanya aku pernah melihatnya di suatu tempat. Warna matanya sama dengan pria itu, pria bertudung tempo hari. Bukan hanya itu, tingginya pun tak terlalu jauh berbeda. Tapi aku tak terlalu ingat wajah pria bertudung itu. Aku mulai curiga pada pria itu. Aku memperhatikannya dari jauh. Tapi jejaknya sudah tidak ada.
*****
Knok.. Knok.. Knok..
Terdengar suara ketukan pintu. Hari ini hari Sabtu sehingga aku dan sam tak pergi kemanapun, tetap di tinggal di apartemen.
“Iya. Sebentar !” Teriakku sambil membuka kunci pintu
Knok.. Knok.. Knok..
Kini suara ketukan bertambah keras membuatku geram. Akhirnya pintu berhasil terbuka.
“Iya. Ada perlu apa?” Tanyaku sinis tanpa mengetahui siapa yang mengetuk pintu.
“Aaau..Sakit!” Aku meringis kesakitan. Orang itu melemparkan sebuah kotak berwarna coklat ke wajahku dan langsung menerobos masuk ke dalam.
“Hey, siapa kau?” Aku ikut mengejarnya masuk ke dalam dan melihat lelaki itu. “Za- zake?”
Kutemukan seseorang sedang duduk di atas sofa, memasang wajah kesal yang tak lain adalah zake. Zake menengok ke arahku. Ekspresinya kini berubah, tampak sedikit terkejut. Ia berdiri dan menghampiriku, memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung kepala berulang-ulang.
“Hei. Hei. Ada apa denganmu zake?” Kakiku tanpa sadar melangkah mundur karena ia menjadi semakin dekat. Terlalu dekat.
Tap!
Ia meletakkan kedua telapak tangannya di wajahku, menimbulkan suara yang cukup keras tapi tidak terasa sakit.
“Aaaaaa…” Aku berteriak ketika dia mencubit kedua pipiku gemas dengan cukup keras.
“Apa ini benar-benar kau? Kau tampak berbeda dari yang terakhir kulihat. Bukan shan yang pertama kali kulihat.” Ucapnya sambil tersenyum, memperlihatkan barisan giginya yang rapi dan matanya yang tampak menyipit.
“Apa maksudmu?” Aku menggosok-gosokkan tangan di kedua pipiku, berharap rasa sakitnya segera hilang.
“Tanpa luka-luka itu kau jadi tampak manis. Senang rasanya melihat wajahmu yang sekarang.” Ia menepuk-nepuk kepalaku halus.
Entah kenapa aku sedikit malu dengan ucapannya. “Te-tentu saja. Itu sudah pasti.”
“Kau tau kenapa aku kemari?” Tanya zake. “Lihat aku !”
Ia mengambil kotak berwarna coklat yang sepertinya tadi kujatuhkan ke lantai.
“Apa maksudmu dengan ini? Saat kau pergi, kau bilang akan kembali besok. Dan kau tahu ini sudah sebulan lebih sejak kau pergi. Dan. Dan ini juga. Apa maksudmu mengembalikan pakaianku dengan kiriman paket?”
Aku tidak tahu jika zake akan semarah itu hanya karena kukirimkan pakaiannya lewat paket.
“Maaf. Aku kira kau tidak akan semarah ini.” balasku sambil menundukkan kepala. “Aku tidak bermaksud melupakan kebaikanmu. Tentu saja suatu saat aku akan membalasmu.”
“Sudahlah. Maksudku, aku khawatir pada kalian berdua. Aku menunggu kabar darimu tapi tidak ada sama sekali. Dan aku tidak tahu bagaimana cara mengubungimu. Aku tak tahu apa-apa.. alamat, nomor teleponmu, … Aku mengira kalian sudah mati kedinginan. Untung saja di paket itu ada alamatmu.” Kata zake sambil menghela nafas panjang.
“Kau menungguku?” tanyaku sambil menatapnya perlahan, tak berani menghadapi kemarahan zake.
“Ya tentu. Mmm.. Jadi kalian tinggal di apartemen ini?” zake mulai memperhatikan sekelilingnya. “Jadi bagaimana keadaanmu dan sam?”
“Aku baik-baik saja. Tapi sam, setiap malam dia mengalami mimpi buruk. Aku tak bisa meninggalkannya sendirian.”
“Dimana dia?” Tanya zake kepadaku.
“Dia ada di kamarnya.” Aku mengantarkan zake ke kamar sam yang sebenarnya sangat dekat dari posisi kami saat ini karena ukuran apartemen ini yang terbilang kecil.
“Hai sam ! Bagaimana keadaanmu?” Zake masuk ke kamar sam dan duduk di samping ranjang ketika sam sedang membaca buku sambil berbaring di ranjangnya.
“Aku akan membuat makan siang. Akan kutinggalkan kalian disini.” Aku meninggalkan mereka berdua. Kurasa zake bisa menjadi teman yang baik bagi sam. Semoga ia bisa membantu sam melupakan kejadian buruk itu.
Setelah hampir satu jam, aku pergi ke kamar sam untuk mengajak zake dan sam makan siang. Namun aku terhenti di dekat pintu kamar. Terdengar suara tawa mereka dari dalam kamar, sepertinya mereka sudah benar-benar akrab. Sampai saat ini, rasanya aku lupa kapan terakhir kali sam bisa tertawa lepas seperti itu. Aku berbalik dan duduk di sofa sambil mengambil gitarku. Tawa itu, aku tak ingin menghentikannya.
Aku mengambil ipod dari atas meja, mencari playlist yang ingin kudengar. Aku senang menyusun beberapa lagu, memasukkannya ke dalam suatu playlist dan memberi nama tertentu pada playlist itu. Brokenheart, Smile Maker, Lullaby, Hard as Rock, Sh*tty Days, Love Hurts itu beberapa nama yang ada dari puluhan playlist di dalam ipodku. Aku masih mencari, belum menentukan mana yang ingin kudengar sampai aku melihatnya. S.V. Playlist yang kususun bersama seseorang yang dulu menghadiahkan ipod ini kepadaku. Nama yang sama dengan stiker yang kutempelkan di gitarku. Aku tersenyum kecil.
S.V. playlist yang berisi lagu kesukaanku dan dia. Dia memasukkan beberapa lagu dari band rock favoritnya dan berjanji bahwa suatu saat bila ia berhasil menjadi penyanyi rock terkenal, ia akan memasukkan lagunya ke dalam playlist itu sehingga kapanpun dan dimanapun aku tetap dapat mendengarkan suaranya. Sebuah janji yang sangat manis. Namun playlist ini tidak pernah aku dengar lagi. Bukan sesuatu yang ingin ku kenang saat ini.
Sebuah playlist akhirnya kupilih, kudengarkan lagu dengan mode shuffle melalui earphone. Aku mulai memainkan gitarku dan memainkan chord sesuai dengan lagu yang kudengar sambil ikut bernyanyi. Sebuah lagu dari band rock terkenal, avenged sevenfold, band favoritku dan juga dia. Entah kenapa bisa lagu ini yang terputar. Lagu yang mengisahkan tentang bagaimana rasanya meninggalkan seseorang yang dicintai, dalam jarak yang jauh ia kembali teringat akan orang yang dicintainya. Dear god - avenged sevenfold.
Dear god, the only think I ask of you
Is to hold her when I’m not around
When I’m much too far away
We all need that person who can be true to you
But I left her when I found her
And now I wish I stayed
Cause I’m lonely and I’m tired
I’m missing you again, oh no.. once again
( Tuhanku, satu-satunya yang kupinta dari-Mu ialah
dekaplah ia saat aku tak ada di sisinya
Saat aku sangat jauh darinya
Kita semua butuh seseorang yang dapat jujur pada kita
Namun kutinggalkan ia saat telah menemukannya
Dan kini aku berharap aku tetap di sana
Karena aku kesepian dan aku lelah
Aku merindukanmu lagi, oh.. Sekali lagi )
Prok.. Prok.. Prok..
“Waaaw.. Aku tidak tahu kau bisa menyanyi sebagus itu shan!” Ucap zake mengagetkanku dari belakang.
“Itu tadi bagus sekali !” Kini ia ikut duduk denganku di sofa. “Kudengar dari sam bahwa kau tidak meneruskan sekolahmu?” Tanya zake sambil mengambil minuman dari atas meja.
“Begitulah. Aku tidak melanjutkan ke universitas sejak lulus sma dua tahun lalu.”
*uhuk* *uhuk*
Sepertinya ia tersedak minumannya. “APA?? Kau bilang dua tahun lalu? Jadi kau seusia denganku? Kau tidak sedang bercancda kan? Wow. Kau bahkan terlihat masih kecil, seperti anak sma!”
Aku meliriknya tajam. Pekataannya membuatku sedikit marah.
“Dia tak suka dibilang sebagai anak kecil!” teriak sam tiba-tiba, menyusul kami ke ruang tamu. “Berhati-hatilah zake! Dia akan marah padamu.”
“Dia tidak mungkin marah padaku. Iya kan shan?” Tanya zake manja sambil menggoyang-goyangkan badanku.
“Apa yang kau lakukan zake!” aku berusaha menepisnya.
Dia menarik wajahku dengan kedua tangannya dan mendekatkan ke wajahnya. “Coba kulihat! Mmm.. Aku tahu sesuatu. Karena wajahmu sangat manis jadi tidak terlihat tua sama sekali !” ucap zake yang sepertinya membuat pipiku memerah.
“Anak manis. Anak manis.” Tangannya kembali menepuk-nepuk kepalaku seperti yang ia lakukan saat datang kemari.
“Ayolah zake. Dia bukan anak kecil.” Sam menarik tangan zake dari kepalaku.
“Sebaiknya kita makan saja!” Aku mencoba mengalihkan perhatian. Dan kenapa aku jadi gugup seperti ini.
“Apa kau tidak mau melanjutkan sekolahmu shan? Aha. Aku ingat sesuatu. Sebentar!” zake mengambil handphone dari saku jeansnya dan memainkannya beberapa saat. “Ini dia, kutemukan. Hei shan.. Apa kau tidak mau mencoba masuk jurusan musik? Ada beasiswa untuk jurusan itu.”
Zake menghampiriku dan membantuku memindahkan piring ke atas meja. “Ayolah shan! Sebenarnya tersnya sudah ditutup minggu lalu. Tapi aku bisa mengusahakannya. Kau hanya perlu menunjukkan kemampuan musik, menyanyi dan memainkan gitar. Lalu.. taraaa.. jika kau berhasil melewati tesnya, kau tidak perlu mengeluarkan biaya apapun.”
“Entahlah. Bagaimana dengan sam? Aku harus menjaganya.” Ucapku lupa akan keberadaan sam.
“Hei shan. Kau bukan penjagaku. Aku bisa melakukan semuanya sendiri. Aku setuju. Sebaiknya kau melanjutkan kuliahmu.” Sam mendengus kesal.
“Aku tidak tahu zake. Lagipula suaraku tidak sebagus itu. permainan gitarku payah.” ucapku menolaknya halus.
“Tidak shan. Kemampuanmu itu luar biasa. Aku yakin kau bisa melewati tesnya. Dan aku bisa ikut membantu saat kau sibuk. Kita bisa saling bergantian menemani sam.” zake terlihat sangat antusias.
“Aaau..” Sam menyikut lengan zake cukup keras.
“Lagipula aku sudah terlambat, tesnya sudah ditutup. Bagaimana mungkin kau bisa mengusahakannya?”
“Jangan berani-berani meremahkan seorang Zake Cornard. Kau tahu, aku ini terkenal. Komite Kesejahteraan Sosial. Kau tahu siapa ketuanya? Itu aku.” Ucap zake membanggakan diri.
“Zake, Kau.. kau bersekolah di Universitas Portsdale kan?” Aku teringat akan sesuatu.
“Ya. Kenapa?”
“Aku, aku akan ikut. Kapan tesnya diadakan?” Detik itu juga aku bertekad bahwa aku harus diterima di sana. Jurusan musik Universitas Portsdale. Tentu saja. Kenapa dengan bodohnya aku bisa melupakan dia. Pria itu. Ya, pria yang menjatuhkan map waktu itu. Aku akan mencarinya disana meskipun aku belum yakin kalau pria itu adalah pria bertudung tempo hari. Bila dia adalah orang yang sama, aku benar-benar akan menghancurkan hidupnya.
“Minggu depan aku akan menjemputmu.” balasnya.
*****