BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Yuri "I'm Sorry Papa" [Oneshoot]

edited June 2015 in BoyzStories
Dalam waktu dua tahun ini aku selalu datang ke sekolah adikku saat aku merindukannya. Aku tidak bisa sering-sering mendatanginya seperti ini karena jarak tempat tinggal kami lumayan jauh. Melihatnya keluar melewati gerbang sekolahnya dari jauh dengan diam-diam. Dia semakin bertambah tinggi saja setiap kali aku mendatanginya. Sekarang adikku pasti sudah duduk di bangku kelas 3 SD.

Hari ini ulang tahunnya, aku sudah mempersiapkan hadiah untuknya. Aku ingat dia begitu menyukai superman, sehingga aku menghadiahkannya robot superman yang aku beli dengan menyisihkan gajiku dari mencuci mobil.

Tapi bagaimana caranya agar aku bisa memberikan hadiah ini tanpa harus dia ketahui kalau aku yang memberikannya?

Selagi menunggu adikku keluar dari sekolahnya, aku terus memutar otakku mencari cara agar aku bisa menemuinya tanpa harus disadari olehnya bahwa aku adalah kakaknya. Aku sudah memakai topi dan kacamata, apa ini sudah cukup untuk menyamarkan diriku?

Dia keluar. Adikku keluar dari sekolahnya sendirian dengan memakai seragam merah putihnya. Dia masih adikku yang tampan dan menggemaskan. Adikku berdiri di depan gerbang sekolahnya, dia pasti menunggu Papa menjemputnya.

Kuusap air mataku yang tanpa aku sadari sudah terjatuh dari pelupuk mataku. Kutenangkan diriku dan aku menyiapkan diri untuk bisa mendekatinya.

Dia masih belum menyadari diriku yang berjalan mendekatinya. Dia tampak mengitari mobil-mobil yang lewat di jalan. Kedua tangannya memegang pegangan tas punggungnya. Adikku, aku benar-benar merindukannya.

"Hay.." Sapaku sedikit menunduk ketika sudah berada di sampingnya. Dia hanya mengerjap dengan mendongakan kepalanya melihatku. Aku tersenyum menyapanya. "Kamu kelas berapa?"

Adikku tidak menjawabku, dia terdiam dengan terus memandangi wajahku, menelitinya. Tidak, jangan sampai adikku menyadari diriku. "Aku Farid.." Ku-ulurkan tanganku, memperkenalkan namaku dengan menggunakan nama Papa agar pandangannya buyar dari meneliti wajahku.

"Nama Kakak sama kayak nama Papa aku." Katanya.

Aku tersenyum. "Oh yah? Nama kamu siapa?" Aku menjulurkan tanganku.

Dengan sedikit ragu, adikku juga menjulurkan tangannya menjabat tanganku. "Nanda, Kak.." Akhirnya aku bisa memegang tangan mungil ini lagi.

"Nama kamu cakep, sama kayak orangnya." Pujiku tersenyum, adikku mengulum senyum dengan rona merah di wajahnya yang tersipu karena pujianku. Dia masih adik lelakiku.

Tak lama wajahnya yang merona berubah menjadi sedih. "Kakak mirip sama Kakaknya Nanda..." Ini memang Kakaknya Nanda. Ucapku dalam hati.

"Kok kamu sedih? Siapa nama Kakak kamu?"

"Kak Yuri~ Kak Yuri jahat~ Kak Yuri pergi ninggalin Nanda~hiks..." Nanda mulai menangis dan terisak membuatku juga hampir tak kuasa menahan air mata yang kutelan di dalam dadaku yang terasa begitu menyesakan.

Aku langsung memeluk tubuh kecil Nanda yang terisak. "Hust.. Nanda gak boleh nangis.."

"Kak Yuri udah bohong sama Nanda~ Kak Yuri bilang cuma mau pergi sebentar dan nyuruh Nanda nunggu di rumah dan jangan nakal~hiks.." Aku terus mencoba menekan dadaku yang terasa semakin menyesakan. "Nanda gak nakal kok~ tapi kenapa Kak Yuri gak pulang-pulang~hiks.." Maafin kakak Nanda.. Maafin kakak..


8 Tahun lalu.

Farid dan Reza membawa seorang bayi lucu dan mungil yang melengkapi kebahagian rumah mereka. Yuri begitu antusias menyambut adiknya, ia sangat bahagia karena kedua Papanya memberikan dia adik.

Setiap malam, Yuri ikut berjaga bersama kedua Papanya untuk menjaga Nanda kecil. Bahkan Yuri yang terlihat lebih sibuk merawat adiknya melebihi kedua Papanya. Mereka adalah keluarga yang bahagia walaupun mungkin sebagian orang memandang keluarga mereka dengan sebelah mata karena dianggap hina.

-
-

"Yuri kalau di sekolah panggil Papa Anjas Om yah. Dan kalau nanti misalnya ada yang tanya, Yuri jawab, Papanya Yuri namanya Farid." Anjas memberi tahu Yuri saat ia mengantar Yuri di hari pertama sekolahnya. Anjas tidak mau Yuri mendapatkan masalah di sekolahnya nanti karena status orang tuanya.

"Nggak mau~ Yuri bahagia punya dua Papa.. Yuri mau orang lain tahu kalau Yuri bangga dan beruntung menjadi anak Papa Njas dan Papa Rid~" Yuri tersenyum dan langsung mencium pipi Anjas.

Anjas yang terharu langsung memeluk tubuh kecil Yuri.

"Nanti Papa Farid yang jemput ya sayang." Anjas mencium kening Yuri.

Yuri mengangguk senang. "Bawa dede Nanda juga yah Pa~" Pintanya dengan manja.

Anjas langsung mengiyakan dan menyuruh Yuri segera masuk ke dalam sekolahnya.

"Dadah Papa~" Yuri melambaikan tangannya memasuki gerbang sekolahnya. Anjas tersenyum lebar dengan melambaikan tangannya juga pada Yuri yang berlari kecil.

"Dadah sayang..."


Aku melepaskan pelukanku pada Nanda setelah aku pikir aku cukup sudah menenangkan dirinya dan diriku sendiri.

"Kamu jangan nangis lagi yah.., kalau kamu nangis, kakak kamu di sana juga pasti sedih."

Nanda menjawabku hanya dengan anggukan di sisa-sisa isakannya. Aku langsung mengambil hadiah untuk Nanda dari dalam tasku yang udah aku persiapkan. "Ini untuk kamu.. Anggap ini hadiah dari Kak Yuri kamu.."

Nanda mengerjap."Apa ini?" Tanyanya dengan wajah polosnya.

Aku tersenyum. "Nanti dibukanya di rumah aja yah.."

Nanda menganggukan kepalanya dengan tersenyum juga. Dia masih adikku yang penurut. Aku harus segera pergi dari sini sebelum Papa datang dan melihatku.

"Papa~!"

Deg!

"Kakak itu Papanya Nanda yang namanya sama kayak nama Kakak.." Jelas Nanda dengan menunjuk arah di belakangku. Jantungku tiba-tiba terus berdegup, berdetak dengan sangat kencang.

"Kakak pergi dulu.." Ucapku dan langsung beranjak menjauh dari Nanda.

"Kak..! Kak Farid..!"

Aku terus berjalan lurus tanpa menoleh lagi pada Nanda yang terus memanggilku. Tubuhku gemetar, air mataku bercucuran keluar dari dalam dadaku yang terasa begitu menyesakan.

Aku tidak boleh kembali setelah aku memutuskan untuk pergi dua tahun lalu. Keluargaku tidak boleh tidak bahagia hanya karena aku. Aku seorang yang terlahir dengan alat kelamin ganda. Aku yang terkurung dalam tubuh laki-laki. Aku yang sering dipanggil banci oleh teman-teman sekolahku karena aku terlihat seperti anak perempuan.

Tidak mengapa bagiku mereka semua mencomo'ohku seperti apapun, aku akan baik-baik saja. Tapi jangan sampai keluargaku ikut mendapatkan hinaan dan sulit hanya karena aku. Tidak boleh.

Saat usiaku 6 tahun, seorang pria bermata teduh membawaku dari panti asuhan ke dalam satu keluarga yang bahagia. Pria itu bilang akan menjadi ayahku di saat aku pikir tidak akan ada satu orang ayahpun yang akan membawaku keluar dari panti. Aku tahu itu, karena ibu panti sendiri yang mengatakan kepadaku saat aku bertanya kenapa aku tidak boleh ikut lagi setiap ada orang tua yang datang ke panti.

Yah orang tua mana yang mau memiliki anak dengan alat kelamin yang tak jelas?


3 Tahun lalu.

Yuri menghapus papan tulis di kelasnya yang penuh dengan tulisan "Yuri banci", ini bukanlah pertama kali dia menghapus kata itu yang memenuhi papan tulis kelasnya, bahkan dua kata itu sering ia temukan di meja dan buku sekolahnya. Tidak ada air mata, marah, atau emosi apapun yang meliputinya. Dia sudah cukup kebal dengan hal itu.

Seorang anak bertubuh besar, memasuki kelas dan mengambil penghapus papan tulis dari tangan Yuri dengan paksa. "Eh banci, kenapa lu apus tulisan gw!"

Yuri tak menanggapinya dan meneruskan kegiatannya lagi menghapus papan tulis dengan telapak tangannya. Yuri memang memiliki wajah dan tubuh yang kecil seperti perempuan. Bahkan mungkin Yuri lebih cantik dari anak perempuan yang ada di sekolahnya. Yuri sudah berusaha agar dia bisa terlihat 'cowok', tapi apa daya, ia memiliki hormon perempuan dalam dirinya yang membentuk tubuhnya. Hanya saja dadanya rata layaknya anak lelaki pada umumnya.

"Lu gak bisa dibilangin ya ternyata!" Teriak lagi anak lelaki bertubuh besar itu.

"Namanya juga banci! Hahah!" Teriak anak berbadan kurus yang membuat anak lainnya di dalam kelas menjadi tertawa. Menertawakan Yuri yang menjadi pusat olokan teman-temannya di kelas.

'Nggak apa-apa Yuri, Papa Farid bilang nggak boleh membalas orang yang berbuat jahat. Kalau kita membalas kejahatan dengan kejahatan berarti kita sama dengan mereka.' Yuri terus menguatkan dirinya sendiri dengan mengingat nasihat Papanya.

Setelah selesai menghapus papan tulis, Yuri langsung keluar dari kelasnya menuju toilet untuk mencuci tangannya yang kotor karena kapur yang menempel di telapak tangannya, meninggalkan suara-suara teman-temannya dari dalam kelas yang terus mengolok-ngolok dirinya.

Usia Yuri belum genap 13 tahun, dia masih bocah yang seharusnya bisa bermain gembira dengan teman-temannya. Tapi siapa yang mau berteman dengannya? Bahkan banyak orang tua temannya yang melarang anak mereka bermain dengan yuri.

Yuri mulai ketakutan saat beberapa teman-temannya yang tadi mengoloknya ternyata mengikutinya ke dalam toilet. "Kalian mau apa?" Ucapnya ketika dia melihat seorang temannya mengunci pintu toilet dan mereka semua berjalan mendekati Yuri.

"Ayo kita pastiin dia cowok apa cewek!" Seru anak yang berbadan bongsor itu dengan menyeringai menakutkan seolah dia ingin menerkam Yuri.

Dua orang anak langsung memegangi tubuh Yuri, menahan tubuh Yuri yang terus memberontak. Satu orang lagi berdiri di dekat pintu memegang sebuah ponsel yang merekam kejadian itu.

Yuri terus menjerit meminta tolong, dia berharap ada seseorang yang mendobrak pintu toilet, tapi tidak ada satu orangpun yang melakukan itu untuknya. Tidak ada yang menolongnya.

Seragam putih biru yang melekat di tubuhnya, dilepas dengan paksa. Wajahnya yang putih berbekas telapak tangan karena gamparan yang mengenainya. Tubuh kecilnya tak berdaya setelah dia hampir ditelanjangi dan hanya tersisakan celana dalamnya, seragamnya dilepar ke sembarang tempat di lantai toilet.

Yuri hanya bisa menangis, untuk pertama kalinya dia menunjukan emosinya di depan anak-anak biadab itu. Saat celana dalam Yuri mau dilepaskan, seseorang menggedor-gedor pintu toilet. Suara dari orang yang menggedor pintu toilet membuat anak-anak yang membully Yuri menghentikan aksi mereka.

"Awas lu kalau sampai lu ngadu tentang ini ke siapa aja, gw sebar rekaman tadi!" Ancam anak yang bertubuh bongsor. Tanpa diancampun Yuri tidak akan mungkin menceritakan kejadian barusan, Yuri tidak mau membuat keluarganya khawatir. Yuri bisa menahannya sendiri tanpa harus membuat sulit keluarganya.

Yuri terisak menahan tangisnya dan mulai memungut seragam sekolahnya yang sudah berceceran di lantai toilet. Tubuhnya masih gemetar saat dia mulai memakai kembali seragam sekolahnya yang sudah terkoyak dan terlepas beberapa kancing kemejanya.

Anak-anak itu keluar dari toilet dan terdengar menyapa segan orang yang menggedor pintu toilet.

Seorang anak lelaki bertubuh tinggi masuk ke dalam toilet, dia yang menggedor pintu itu. Dia ketua osis baru di SMP Yuri yang juga Kakak kelas Yuri. Dia adalah anak dari orang terkenal di kota ini. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu seperti ini.

Anak itu meneliti Yuri sebentar dengan pandangan datar. Yah, dia memang sudah terkenal dengan kecuekannya. Walaupun dia ketua osis, dia tidak benar-benar peduli dengan keadaan di sekitarnya di dalam sekolah.

Anak itu hanya mencuci tangannya dan langsung beranjak pergi.

"Makasih.." ucap Yuri cepat sebelum anak itu benar-benar keluar dari toilet.

Anak itu yang sudah memegang pintu toilet hanya menolehkan kepalanya sedikit ke samping dan kemudian sosoknya menghilang berbarengan dengan pintu toilet yang tertutup.

-
-

"Yuri boleh milih menjadi lelaki atau perempuan, ikuti kata hati Yuri. Hanya Yuri yang tahu jati diri Yuri sebenarnya." Jelas Anjas pada Yuri. Hari ini dokter mengatakan kalau Yuri bisa dioprasi saat usianya 17 tahun. Saat itu Yuri bisa memilih apakah dia ingin menjadi lelaki atau perempuan dengan menghilangkan salah satu alat kelaminnya.

"Yuri kan cowok Pa, jadi Yuri akan tetap jadi cowok." Jelas Yuri tersenyum. Walaupun Yuri sendiri belum yakin benar dengan apa yang dia putuskan, tetapi Yuri tidak ingin merubah dirinya menjadi seorang perempuan. Yuri tidak ingin keluarganya semakin mendapatkan hinaan kalau dirinya mengubah dirinya menjadi perempuan.

"Yuri anak Papa, Papa tahu gimana anak Papa. Yuri pikirin lagi, masih ada waktu empat tahun lagi untuk Yuri mencari jati diri Yuri.." Farid menggenggam tangan Yuri menenangkan. "Gak peduli Yuri perempuan atau laki-laki, Yuri tetap anak Papa Farid dan Papa Anjas. Yuri tetap kakak dari Nanda."

Yuri tersenyum haru dengan mata berkaca-kaca, ia langsung memeluk Farid dengan erat. Anjas mengusap-ngusap lembut kepala Yuri yang berada dipelukan Farid.

Yuri sangat beruntung karena Tuhan memberikan mereka sebagai orang tua Yuri. Yuri sangat tahu itu, karena itu ia tidak ingin membuat keluarganya menjadi sulit karenanya.


Aku kembali lagi ke panti dua tahun lalu. Dan di sinilah aku tinggal sekarang. Beberapa kali orang tuaku datang ke sini mencariku, tapi aku meyakinkan ibu panti untuk menyembunyikan diriku dari keluargaku.

Aku sedikit terhenyak saat melihat mobil milik Papa Anjas terparkir di halaman panti. Papa Anjas ada di sini?

Aku menyembunyikan diriku saat kulihat Papa Anjas keluar dari kantor ibu panti ditemani ibu Panti. Mereka terlihat berbicara sebentar sebelum Papa Anjas beranjak menuju mobilnya.

Aku masih menyembunyikan diriku, memperhatikan mobil Papa Anjas yang perlahan menjauh dari panti dan menghilang. Mataku kembali berkaca-kaca.

"Aaaa!"

Aku menjerit saat sebuah tangan menarik daun telingaku sedikit keras. "Ibuu sakiit..." Ucapku pada Ibu panti. Ibu panti melepaskan jewerannya dan aku langsung mengusap-ngusap telingaku yang terasa panas.

"Ayo ikut Ibu!" Tegas Ibu panti tanpa menghiraukan telingaku yang pasti merah karena jewerannya yang dasyat itu. Tanpa penolakan aku langsung mengikuti Ibu panti menuju kantornya.

"Mereka akan meninggalkan Indonesia."

Deg!

Dadaku terasa sesak mendengar Ibu panti memberitahuku tentang itu sesaat aku berada di dalam kantornya. Apa mulai sekarang aku tidak bisa lagi melihat keluargaku saat aku merindukan mereka?

"Keluarga kamu belum bisa menyembuhkan kesedihannya semenjak kamu menghilang. Adik kamu sakit-sakitan karena menahan kangen sama kamu, karena itu mereka memilih meninggalkan Indonesia." Aku diam mendengarkan penjelasan Ibu panti. Yah mungkin akan lebih baik kalau keluargaku meninggalkan negara ini, mereka bisa membangun kembali keluarga yang bahagia di negara orang. "Masih ada kesempatan sebelum mereka pergi untuk kamu kembali. Mereka masih menunggu kamu pulang.."

Aku menggelengkan kepalaku dengan menahan isakan. "Nggak Bu.. Yuri hanya akan membuat Papa sulit dengan keberadaan Yuri."

"Kamu pikirin lagi, besok pagi mereka pergi. Kamu bisa ikut mereka."

Aku menggelengkan kepalaku lagi dengan isakan yang sudah tak bisa aku tahan. Ada alasan dimana aku tak bisa kembali. Orang tuaku sudah bersusah payah agar keberadaan mereka bisa diterima orang lain. Aku tak ingin menghancurkan itu hanya karena aku.

Aku tidak bisa tertidur malam ini. Hanya sebuah photo keluargaku yang menjadi temanku. Setelah Nenek meninggal, kelurga dari Nenekku berpencar. Bahkan Sela satu-satunya temanku juga dibawa Papanya ke luar kota. Hanya satu tahun sekali kami berkumpul di kota Nenekku saat lebaran, dan sudah dua kali aku melewati lebaran bersama keluarga besarku. Aku merindukan mereka semua, aku merindukan menjadi salah satu anggota keluarga itu. Tapi aku sadar, aku hanya seorang anak dengan aib yang akan membuat malu keluargaku.


2 Tahun lalu.

'Pantes aja lu-nya banci, ternyata karena orang tua lu sepasang homo? Hahah!'

---

'Eh awas minggir-minggir ada banci mau lewat, orang tuanya homo loh.. Jangan-jangan nanti adeknya kalo gede bakalan jadi banci juga! Hahah!'

---

'Gw sakit hati, kenapa ini banci lebih cakep dari cewek di sekolah ini!'

---

'Kalo gw masih lihat lu besok di sekolah ini, gw akan sebarin video lu yang dikerjain di toilet. Biar bila perlu satu dunia tahu ada anak jadi banci karena orang tua lu sepasang homo!"

---

"Yah kenapa Papa Njas buat ayam goyeng Nanda mutung?~" Nanda cemberut, memajukan mulutnya dengan melihat sedih paha ayamnya berwarna coklat kehitaman.

"Oke, ini terakhir Papa masak!" Desis Anjas sambil melempar celemek ke sembarang tepat.

"Papa udah ngomong kayak gitu lebih dari sejuta kali.." Balas Yuri dengan mengulum senyumnya.

"Besok juga Papa kamu itu pasti akan masuk dapur lagi dan buat semuanya berantakan lagi.." Bisik Farid pada Yuri dengan memutar bola matanya.

"Hey, Papa tahu apa yang kalian bicarakan.." Anjas menyipitkan matanya memandang bergantian Yuri dan Farid yang tak bisa lagi menahan tawa mereka.

"Paa~, gantiin ayam goyeng Nanda pokoknya~" Nanda masih merengeki ayam gorengnya.

"Hayoloh Papa.. Hayoloh Papa.." Farid dan Yuri menepuk-nepuk tangannya masih dengan tertawa.

Anjas yang kebingungan langsung mengajak dinner keluarganya di luar. Anjas langsung menggendong Nanda yang masih merengek dan berjalan keluar terlebih dahulu.

Farid dan Yuri langsung tos sambil terkekeh pelan dan kemudian Farid menggandeng tangan Yuri menyusul Anjas dan Nanda.

"Kita dinner di restoran Papa Rid aja yah~, nanti pulangnya kita mampir nonton ada Film superman di bioskop." Usul Anjas saat ingin mengemudikan mobilnya yang langsung membuat Nanda yang duduk di belakang bersama Yuri kegirangan.

"Nanda kenapa sih suka banget sama superman?" Farid bertanya pada Nanda yang sedang menggelayuti tangan Yuri.

"Rahasia~" Ucap Nanda dengan manja.

Farid dan Anjas hanya terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka berdua lalu disibukan dengan berdebat tentang dapur yang lagi dan lagi dibuat Anjas seperti kapal pecah.
"Ciee~ adek mainnya rahasiaan yah.." Yuri menggoda Nanda yang masih bergelayut di tangan Yuri.

"Aaaa~" Nanda menyembunyikan wajahnya yang membuat Yuri terkekeh.

Malam ini Yuri terus memperhatikan satu-satu keluarganya. Anjas yang terus menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik mereka. Senyuman Farid yang terus terukir di wajahnya yang terlihat begitu menenangkan, terkadang Farid berbisik pada Yuri menanggapi cerita Anjas. Tingkah Nanda yang selalu menggemaskan, semua moment malam ini direkam Yuri dalam kepalanya. Moment terakhir sebelum dia meninggalkan keluarganya.

Dengan tawa dan senyumannya, Yuri selalu menutupi rasa sakitnya. Di depan keluarganya, Yuri selalu menunjukan keceriaannya. Setiap malam Farid akan menanyakan bagaimana sekolah Yuri hari ini, dan Yuri selalu berbohong dengan menceritakan bagaimana semua teman-temannya di sekolah memperlakukannya dengan sangat baik. Bagi Farid dan Anjas, Yuri adalah anak yang ceria dan membanggakan mereka dengan prestasinya di sekolah, mereka tidak pernah membayangkan bagaimana kesulitan yang harus Yuri hadapi selama ini. Di usianya yang masih terbilang sangat muda, Yuri terlalu pandai menutupi masalahnya.

-
-

Yuri mengeluarkan kue tart berwarna putih yang sudah dia beli tadi siang sewaktu pulang sekolah. Kue tart putih itu berhiaskan dengan tulisan berwarna merah di tengahnya dengan kalimat, "I'm sorry Papa".

Yuri hanya membawa beberapa stel pakaiannya di dalam tas ranselnya, beberapa photo keluarganya dan uang yang baru dia bongkar dari tabungannya sendiri yang ia sisihkan dari uang jajannya.

Yuri meletakan kue tartnya di atas meja makan dengan uraian air mata dan isakannya yang ia tahan agar tak terdengar oleh Anjas dan Farid. Yuri kemudian berjalan ke arah kamar Farid dan Anjas, ia ingin melakukan penghormatan pada mereka berdua sebagai orang tuanya sebelum ia pergi meninggalkan rumahnya.

Yuri berlutut di depan pintu kamar Anjas dan Farid. Ia menutup mulutnya dengan tangannya karena tak kuasa menahan isakan yang terlalu menyesakan dadanya.

"Papa.. terimakasih karena sudah menjadi orang tua Yuri.. Seumur hidup Yuri.. Yuri nggak akan pernah melupakan Papa Anjas dan Papa Farid sebagai orang tua Yuri.." ucapnya pelan dengan masih manahan isakan.

Yuri beranjak berdiri, ia kemudian menuju kamar adiknya. Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, Yuri membuka pintu kamar Nanda.

Yuri berjalan mendekati Nanda yang masih tertidur pulas dengan polosnya. Yuri semakin tak kuasa manahan tangisnya saat melihat wajah Nanda yang tertidur.

Diciumnya kening Nanda dengan air mata yang terus berjatuhan di wajah Nanda. "Adek harus tahu kalau Kakak sayang banget sama adek..," bisiknya pelan di telinga adiknya.

Tidak berlama-lama Yuri langsung bersiap bergegas pergi, ia tak kuasa lagi menahan dadanya yang semakin terasa menyesakannya.

"Kakak~"

Deg!

"Kakak mau kemana..?"

Nanda yang terbangun merasa terheran melihat Kakaknya yang baru ingin keluar dari kamarnya dengan tas ransel di punggungnya.

Yuri dengan cepat menghapus air matanya dan kemudian berbalik. Dia mencoba tersenyum pada Nanda dan berjalan lagi mendekati Nanda.

"Kakak mau kemana~?" Tanya Nanda lagi ketika Yuri duduk di sisi ranjangnya.

Yuri membelai lembut kepala Nanda. "Kakak mau pergi sebentar yah.."

"Pergi kemana? Nanda ikut~"

Yuri tersenyum sambil menggeleng pelan. "Kalau Adek ikut, nanti gak ada yang jagain Papa Anjas dan Papa Farid.. Nanda di sini aja yah, kalau Nanda nggak nakal nanti Kakak cepet pulangnya.."

"Tapi, Kakak mau kemana~?" Nanda sedikit merengek.

"Adek harus nurut, harus jadi anak yang baik untuk Papa.., Kakak pergi sebentar yah.." Nanda mengangguk pelan dengan wajah sedihnya. "Kakak pergi dulu yah.. Jangan bangunin Papa dan jangan nangis yah, kalau nggak Kakak gak akan pulang lagi nanti.."

Nanda mengangguk lagi masih dengan wajah sedihnya. Yuri mencium sekali lagi kening Nanda. "Kakak jangan nangis~" ucap Nanda yang juga ingin ikut menagis melihat air mata Kakaknya yang terus mengalir.

Yuri tersenyum menahan isakannya. "Kakak nangis bukan karena Kakak sedih.. Tapi, Kakak bahagia punya adek kayak Nanda dan orang tua kayak Papa Anjas dan Papa Farid.."

"Nanda juga bahagia jadi adeknya Kakak~"

Yuri tidak kuasa lagi terus berlama-lama di sana. Dia segera beranjak bangun dan dengan cepat keluar dari kamar Nanda.

Yuri terus berjalan lurus menuju pintu ke luar rumahnya tanpa menoleh lagi ke belakang. Ia menangis hebat dengan isakan tak tertahan berjalan menjauh dari rumahnya.

Dari balik jendala kamarnya, Nanda melihat Kakaknya pergi meninggalkan rumahnya. Nanda mau menangis tapi ia takut kalau ia menangis, Kakaknya tidak akan kembali pulang lagi ke rumah.


Dari jam tiga subuh aku sudah menyibukan diri di dapur membuat kue-kue yang akan aku bawa ke sekolahku untuk dijual. Semalaman sebenarnya aku tidak bisa tertidur. Mataku sembab karena aku terus menangis semalaman.

Hari ini aku benar-benar akan kehilangan keluargaku. Aku tidak bisa lagi dengan diam-diam mendatangi keluargaku saat aku merindukan mereka, mereka akan pergi ke suatu tempat yang jauh dari jangkauanku.

Di luar sudah mulai terang, sekarang sudah jam 6 pagi dan aku harus bersiap berangkat ke sekolah. Walaupun sekarang aku berubah pikiran, aku tidak akan mampu mengejar keberangkatan keluargaku.

"Yuri berangkat sekolah dulu Bu." Pamitku pada Ibu panti. Ibu panti meneliti wajahku lalu ia menggeleng pasrah.

"Kamu mau Ibu nelpon Papa kamu?"

Aku tersenyum dan menggeleng cepat. "Suatu hari, Yuri akan terbiasa dan nggak akan nangis lagi kok Bu.."

Ibu panti mengusap pelan kepalaku. Ibu panti sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, beliau bahkan mau menampungku lagi saat aku kembali ke sini.

-
-

Di dalam bus yang aku tumpangi, aku melihat seorang bocah berusia sekitar 7 tahun yang dipangku Ayahnya. Bocah itu melihat ke arahku dan tiba-tiba tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan tersenyum juga.

"Ayah, Aldo kangen Kakak~" ucap bocah itu pada Ayahnya. Mata Ayah anak itu berkaca-kaca dan langsung mengeratkan pelukannya pada anaknya.

Ayahnya lalu melihat ke arahku dan tersenyum dengan matanya yang berkaca-kaca. "Kakaknya meninggal setahun yang lalu.. Semenjak itu Ibunya dan dia sering sakit-sakitan.."

Deg!

Entah mengapa aku merasa tertohok dan tercekik mendengar Ayah bocah itu mengatakan itu. Tidak ada air mata, tapi tatapan dari matanya yang berkaca-kaca membuatku seperti bisa melihat kesedihan beliau.

Aku seperti melihat Nanda dan Papaku. Aku sontak langsung berteriak pada supir bus, meminta bus untuk berhenti.

Aku berlari menyelusuri jalan. Aku terus mencari angkutan yang bisa membawaku menuju keluargaku. Aku tahu aku tidak akan mampu mengejar keluargaku, tapi aku tidak berhenti terus mencari angkutan.

Jalan raya seperti berputar-putar mengitariku. Wajah Papa Anjas, Papa Farid dan Nanda terus terbayang di depanku. Jangan pergi...!

"PIIIMM! PIIMM!" Suara klakson mobil yang mengerem berdecit hampir saja menabrakku.

seseorang dengan seragam putih abu-abu keluar dari mobil itu dan menutup pintu mobilnya dengan dibanting. "LU MAU MATI!" Teriaknya ketika mendekatiku.

Aku menundukan kepala dengan tubuhku yang gemetar karena isakanku. "Ma-af.." ucapku terisak mendongakan wajahku melihatnya.

Deg!

"Kamu?" Tatapan marahnya perlahan berubah menjadi tatapan heran.

"Galuh?" Yah, dia Galuh. Bagaimana aku bisa melupakannya, dia yang dulu pernah menolongku sewaktu aku dikerjai anak-anak di toilet dulu.

"Hey, nggak usah nangis kayak gitu.., orang-orang nanti bisa berpikir aku ngapa-ngapain kamu." Desisnya menelitiku.

Aku terduduk memunguti kue-kueku yang berjatuhan dari kantong plastik yang aku bawa dengan terus terisak, aku tidak bisa menghentikan tangisku.

Dia ikut terduduk dan membantuku memunguti kue-kueku. "Biar aku ganti kuenya.." Dia kemudian merogoh saku celananya mengambil dompetnya.

"Nggak usah..,"

"Ini.." Dia memberiku uang seratus ribuan yang entah ada berapa lembar. "Gw gak suka ngelihat orang nangis."

Aku menepis tangannya yang menjulurkan uang kepadaku. "Aku bilang nggak usah!" Dia diam.

Kemudian aku mendongakan kepalaku ke atas langit. Di atas sana terlihat sebuah pesawat terbang sedang melintas jauh di angkasa membelah awan. Apa keluargaku berada di dalam pesawat itu?

Aku langsung melipat tanganku di atas lututku. Aku menenggelamkan wajahku di atas lipatan tanganku. Aku terus menangis. Aku sudah kehilangan keluargaku.

"Maafin Yuri, Paa.." ucapku dalam isakanku.

Orang itu masih memperhatikanku dalam diam di hadapanku. Aku benci harus menangis seperti ini di hadapannya. Tapi aku tetap saja menangis di hadapannya.

===========================

Sampai ketemu Yuri lagi di cerbungnya yah. Aku akan melanjutkan satu-satu dulu cerbung aku yang lainnya.

Aku gak tahu gimana kalian membaca oneshoot ini, tapi aku sendiri menulis oneshoot ini dengan uraian air mata. Hohoh.

Oh yah, bocoran, galuh akan keluar di chapter i'm fallin love yang akan aku posting besok.

Salam,
Kecup
«13

Comments

Sign In or Register to comment.