Halo agan-agan. Ini adalah cerita baru. Salam kenal^^
“Aku tak pernah menyangka, kisah yang dulu aku harapkan akan menjadi seperti ini. Seandainya saja aku bisa memutar waktu dan berharap tak bertemu denganmu.”
~~~
BRUM...BRUM...BRUM...
Bunyi gas motor ku yang sudah mengisyaratkan bahwa kecepatanku membawa motor yang sudah diatas rata-rata normal. Aku tak peduli lagi. Ini salah Ibuku mengapa ia tidak membangunkanku lebih awal, sehingga aku pasti tidak telat.
Dengan tangan bergetar dan keringat dingin yang mengalir bercucuran di dahiku aku berharap tidak telat di hari perdana perkuliahanku. Bisa gawat kalau aku telat!
Ku lirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00, jantungku berdebar-debar.
“Allahu Akbar.”batinku mencoba menenangkan hati
___
Seorang lelaki remaja –belum begitu pantas disebut dewasa- tampak sedang memasuki area sebuah kampus yang asri. Suasana begitu sejuk dan damai. Terlihat sebuah gedung berwarna kuning kecoklatan dan terdapat papan besar di salah satu sisi dindingnya yang bertuliskan “Fakultas Hukum” sebagai identitas dari gedung tersebut.
Setelah memakirkan motornya dengan rapi, ia merapikan baju almamater berwarna hijau gelap miliknya yang dikiranya lusuh karena keadaan dirinya membawa motor tadi yang begitu kencang.Selain almamaternya, ia menggunakan setelan baju kemeja putih polos dan celana hitam kain.
“Cocok banget kalau baju kayak gini jadi dosen!” gerutunya pada diri sendiri. Sambil menyandang tas samping berwarna biru laut, ia melangkahkan kaki dengan langkah besar ke dalam gedung tersebut.
~~~
Ruang 2-B.
Aku buka pintu ruangan yang terbuat dari kayu jati tersebut. Dan betapa syoknya diriku saat ku tahu ternyata tidak terlihat batang hidung seseorang yang sepertinya dianggap mengerikan oleh banyak mahasiswa, siapa lagi kalau bukan batang hidung dosen!
Walau begitu, orang yang ada di dalam ruangan ini sudah ramai. Beberapa orang yang sebaya denganku itu sedang berkumpul di salah satu sisi ruangan. Mereka terlihat begitu heboh.
“Wanita tukang ghibah.” Batinku sambil menaikkan salah satu sudut bibirku.
Selain para wanita, tampak beberapa lelaki sibuk bermain gadget, ada yang membaca buku, dan ada yang hanya termenung. Apa mereka memikirkan uang kos? Entahlah.
Aku mencoba mencari tempat duduk yang aku anggap sesuai. Tiba-tiba seseorang lelaki berwajah manis menarik lenganku,
“Andri, ayo duduk didekat aku!” tegasnya sambil memperlihatkan senyumnya yang lebar.
Belum sempat merespon kalimatnya, aku sudah ditarik paksa lalu didudukan di salah satu kursi. Aku memandang ke arah papan depan. Syukurlah. Tidak begitu jauh dari tempat dosen menerangkan pelajaran.
“Eh, Andri. Cerita lagi dong, tentang zaman SMA lho yang gaul abis itu.”
Aku menatap lelaki yang sedang duduk di depanku ini dengan mengerutkan dahi penuh rasa ilfeel. Ini anak baru kenal aku pas Masa Penerimaan Mahasiswa Baru yang baru berlangsung dua hari yang lalu sekarang udah sok akrab banget.
“Aduh gimana ya, yan.” Kedua bola mataku melirik ke kiri dan ke kanan seakan mencari sesuatu untuk dijadikan sebuah jawaban dari cowok yang bisa dibilang kalau diperhatikan lebih lanjut memiliki wajah yang cantik. Kalau bukan karena dia yang imut-imut, mungkin udah males duduk didekat dia.
“Andri Yusuf Ramadhan!”
Terdengar sahutan dari pintu masuk ruangan. Tampak seorang laki-laki sedang bersandar pada pintu sambil memegang sebuah kertas. Aku mendongak dan mengangkat tangan,
“Hadir!”
Oh ya, sebelumnya aku belum memperkenalkan diriku ya?
Namaku Andri Yusuf Ramadhan. Dari kecil, aku biasa dipanggil Andri. Saat ini aku sedang menempuh pendidikan awal di bangku perkuliahan semester satu di salah satu kampus ternama di Indonesia.
Aku hanya lelaki biasa. Dan langsung saja pada intinya, aku adalah seorang yang sangat sulit sekali memiliki ketertarikan kepada lawan jenis, dan aku hanya suka pada orang-orang yang memiliki jenis kelamin yang sama denganku. Ya, istilah ini dikenal dengan istilah gay.
Saat aku berdiri di depan cermin, aku sadar bahwa aku tidaklah tampan dan memiliki tubuh proposional. Aku memiliki beberapa bintik-bintik jerawat disekitar kedua pipiki dan tubuhku kurus. Aku juga menggunakan kacamata yang seakan memberi pertanda bahwa aku adalah seorang lelaki yang begitu peduli dengan akademis. Kulitku tidak putih, orang-orang banyak menyebut jenis kulitku yaitu kuning langsat. Rambutku biasa saja seperti rambut orang baru lulus SMA.
Aku memilih kuliah di jurusan hukum sebetulnya hanya iseng saja. Karena sejujurnya aku hanya ingin melihat senior-senior tampan yang pastinya bakal berkeliaran di kampus ini. Dan kebetulan lulus. Ini namanya Rejeki sih.
Kebiasaanku menonton drama-drama boys love yang berisi tentang kisah cinta antara pria-pria terkadang membuatku berkhayal akan ada saat dimana aku akan merasakan hal seperti itu. Tidak perduli bagaimana endingnya, asal bisa berdekatan, makan bersama, bergoncengan satu motor, pelukan, dan lain sebagainya pasti akan membuatku benar-benar bahagia.
Seperti di dalam drama , aku berharap akan ada seorang lelaki yang mendekatiku dan mencintaiku apa adanya walaupun ini seakan begitu berkhayal tingkat tinggi tapi boleh-boleh saja kan berkhayal untuk kepuasan? Walau hanya kepuasan batin.
Setiap kali melihat lelaki tampan , aliran darahku mengalir lebih cepat. Rasanya ingin memeluk mereka dan membawa pulang satu-satu untuk dijadikan bantal guling. Tapi karena takut ketahuan sedang melirik mereka, aku memutuskan untuk hanya sekali atau dua kali memandang saja. Sisanya tinggal ingatan di benak saja. Dari pada ketahuan disangka manusia aneh, lebih baik batin yang tersika.
Terkadang aku cukup pesimis untuk mewujudkan mimpiku tersebut. Ya. Sangat pesimis. Aku tidak memiliki wajah dan tubuh seperti di drama boys love sehingga mana ada orang yang mau kepadaku. Pikiran ini lah yang terkadang sesekali membuatku ingin insaf dari dunia ini tapi tidak bisa juga. Tolong aku!
Lelaki yang sekarang sedang ada di depanku ini terkadang membuatku ingin mencubitnya. Nama lengkapnya Rabian Galuh Sinarta. Sebutlah dia Bian. Ia memiliki kulit yang putih dan wajah yang halus. Aku tahu karena aku sempat memegang wajah polosnya karena saat orientasi aku membersihkan sisa pasir yang lengket diwajahnya sehabis push-Up. Bisa dibilang ini modus keras.
Tubuhnya tidak begitu kurus, cukup berisi dan cocok untuk kriteria drama di boyslove. Namun gaya bicaranya yang cepat dan cempreng sesekali membuatku gemas. Bibirnya yang tebal dan matanya yang tajam seakan menghipnotisku untuk terus mau didekatnya. Terkadang aku melihat dia bertingkah feminim. Apa dia gay juga? Entahlah. Waktu yang akan menjawab. Dia selalu meminta aku untuk ikut dengannya kemana-mana. Aku berpikir apa dia hanya akan memanfaatkan ku karena aku terlihat pintar atau ada yang lainnya.
Aku beranjak dan berjalan ke arah sumber suara yang menyebut namaku tadi.
“Mau kemana?” tanya Bian sambil menolehkan wajah ke arahku.
“Ke rumah nenek lo!” candaku. Bian cemberut.
“Kamu Andri ?” tanya lelaki di samping pintu tersebut.
“Iya.”
“Tanda pengenal MOS kamu ketinggalan kemarin.” Ujarnya. Ia memberikan memberikan sebuah tanda pengenal bertuliskan namaku lalu menjulurkan tangannya,”namaku Joko.”
“Aku sudah tahu, kok. Pak Ketua!” taku menangkis uluran tangannya.
Ia pun tersipu malu.” By the way, terima kasih ya , Pak Ketua. Kamu kayaknya memang cocok menjadi ketua kelas!” lanjutku sambil tersenyum. Dia Joko Septino, ketua kelas kami. Wajahnya yang teduh dan badannya yang tegap membuat jantungku deg-degan di dekatnya.
Kalau kuliah itu seperti ini, lama-lama aku bisa gila! Batinku memuncak.
Aku memutuskan kembali ke tempat dudukku. Tidak lama kemudian seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kelas dengan jilbab panjangnya. Tanpa banyak bicara, ia langsung duduk di kursi dan mengeluarkan laptop dari dalam tas jinjingnya.
“Buka buku catatan kalian!” tegas Ibu tersebut.
Eh?
Baru pertama kuliah langsung belajar ?
Tidak ada perkenalan ?
Aku membuka jadwal kuliah yang telah ku catat sebelumnya. Tampak disana tertulis mata kuliah
“Pengantar Ilmu Hukum” dengan Pemateri Susi Ardienti Handayani , S.H. , M.H..
“Oh jadi namanya Bu Susi.” Desisku.
Tanpa memperdulikan perintah Bu Susi, aku mengalihkan pandangan ke seluruh ruangan kelas.
Tentunya ke arah lelaki. Tidak begitu banyak yang begitu menggoda. Selain Joko dan Bian, semua tidak ada yang cocok untuk standar drama boys love. Ku lirik Bian, tidak mungkin kan aku hanya memandang dia terus? Apalagi dia disampingku.
“Kenapa, ndri?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Eh.. Ga kenapa-kenapa, kok.” Aku menyimpulkan senyum hambar.
Tok...Tok...Tok...
Terdengar bunyi ketukan pintu.Semua yang ada diruangan menoleh ke sumber suara.
Tampak dua orang lelaki berbadan tegap sedang berdiri . Yang satu menggunakan kemeja biru tua polos yang satu lagi menggunakan baju ketat berwarna hitam. Wajah mereka bersih dan tampan.
DIS...
Aliran darah kembali mengalir lebih cepat.
“Kamu dari semester berapa?” tiba-tiba terdengar suara Bu Susi memandang mereka dengan tatapan interogasi.
“Saya Zidan dari semester lima, Bu. Yang disebelah saya Valdo juga dari semester lima, Bu. Kami ingin mengulang mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum kami, Bu.” Ujar si lelaki berkepala botak yang berbaju hitam ketat. Tampak Ia berusaha tersenyum. Kalau melihat dirinya aku membayangkan yang tidak-tidak.
“Mengulang? Siapa dosen kalian sebelumnya?”
“Pak Syamsul, Bu.” Lanjutnya.
Aku menoleh ke arah temannya yang belum mengeluarkan sepatah kata pun. Baju kemeja berlengan panjang biru gelap yang polos tidak dapat menutupi lekukan otot-otot di lengannya. Tas ransel yang dikenakannya membuatku berpikir dia seperti seorang petualang yang sering naik gunung. Kulitnya tidak begitu putih namun bersih. Sorot mata tajam, rambut cepak dan wajahnya begitu tegas. Cocok sekali untuk ikut dalam sebuah film aksi.
Dari bajunya, aku lalu melihat ke arah pinggang ke bawah. Ia menggunakan celana jins hitam ketat seperti celana-celana anak gaul kekinian. Aku mulai terpaku ke arah selangkangannya.
...
....
...
“Kamu yang memakai kaos,ganti baju kamu dulu! Saya hanya terima orang menggunakan kemeja! Jangan mentang-mentang kamu senior kamu bisa seenaknya. Ganti baju kamu!” kata Bu Susi. Aku tidak menghiraukannya dan hanya tetap fokus pada selangkangan salah satu senior itu. Terdengar langkah kaki salah satu dari mereka menjauh dan lama-ama menghilang.
“Kamu duduk disana!” tegas Bu Susi.
Mataku yang masih fokus pada selangkangan terus saja mengikuti arah tubuh itu bergerak, aku merasa selangkangan tersebut semakin lama semakin dekat dengan arah mataku. Saat aku menoleh ke atas, kulihat wajahnya sedang melihat ke arahku dengan tatapan yang tajam.
DEG
DEG
DEG
Benar saja, ternyata senior itu duduk disamping diriku.
Aku kaget bukan main. Ku arahkan kedua mataku ke arah lain dengan penuh kebingungan agar tidak ketahuan. Ini benar-benar memalukan!
Wangi parfum yang begitu manly membuatku sesak. Aku tidak bisa fokus untuk belajar kalau dia ada disampingku.
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Bagaimana ini?
Sudah sepuluh menit berlalu, aku sama sekali tidak bisa konsentrasi.Kedua mataku tertuju pada Bu Susi namun pikiranku seakan berada entah dimana. Aku menelan ludah berkali-kali. Dadaku berdegup kencang.
Semakin ku hirup aroma parfum semakin aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Cepatlah pelajaran ini berakhir!” batinku.
Aku melihat ke arah senior tersebut, wajahnya tetap fokus ke depan dan tidak peduli dengan diriku yang memandangnya. Kemudian aku kembali berusaha melihat Bu Susi yang sedang berbicara yang sama sekali tidak ku mengerti.
“Aku sudah gila!”
~~~
Monggo komennya agan agan
Comments
mention iya
mention iya
mention iya