Before you start reading, I have to tell you that I have a bad habit to stop working on something when I got bored (well yeah like my other thread). So I can't guarantee that I can finish what I started, though this gonna be a series of short stories (so maybe I won't leave this story halfway). Anyway hope you enjoy this, and happy reading folks : ) .
Episode 'Jendela'
Tampak namun tak terlihat. Kau mungkin sering melihatku, tapi kamu tidak pernah benar-benar memperhatikanku. Kau hanya menatap menembusku, karena aku hanya sebuah jendela di pinggir jalan.
Kusenku terbuat dari kayu, berwarna coklat muda dengan corak kayu jati yang tertutup di bawah lapisan cat berwarna putih. Warna yang sama dengan interior ruangan sebuah rumah makan cepat saji di jantung ibukota.
Aku tak melebih-lebihkan, tapi aku adalah jendela dengan pemandangan paling strategis dirumah makan ini. Aku dipasang menghadap jalan raya, dan sinar mentari selalu menemukan jalannya menembusku. TIdak heran banyak orang yang ingin duduk di sampingku hanya untuk mengambil gambar makanan mereka, atau mengambil gambar diri mereka sendiri, memanfaatkan penerangan alami.
Seperti pasangan yang duduk berhadapan di sampingku saat ini.
Aku tidak mengada-ada saat menyebut mereka adalah pasangan. Sudah beberapa kali mereka duduk di sampingku - hanya berdua - dan aku tidak mungkin melewatkan momen canggung ketika salah satu dari mereka mengambil gambar diri mereka sendiri, atau gerakan tangan mereka yang kadang saling bertautan di bawah meja.
Aku sering melihat pasangan lain melakukannya, bedanya, pasangan lainnya melakukan gerakan itu di atas meja. Bedanya, pasangan lain biasanya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Bukan sesama lelaki seperti pasangan ini.
Aku tak mengerti kenapa pasangan ini harus menautkan tangannya di bawah meja, ketika pasangan lain bisa melakukannya diatas meja. Aku tak mengerti kenapa tautan itu harus terlepas ketika ada orang yang lewat di samping meja mereka, ketika pasangan lain seakan tak peduli dengan orang lain.
Tapi pasangan ini mempunyai kesamaan dengan pasangan lain, mereka saling memandang dengan tatapan yang aneh. Aneh ku bilang, karena mereka saling memandang seolah mereka menemukan apa yang telah mereka cari selama hidup. Pandangan mereka melembut, aku tidak bisa menjelaskannya secara rinci. Tapi jika kau sudah menjadi jendela selama berbulan-bulan seperti aku, kau akan melihat perbedaannya.
Mereka tidak pernah terlalu lama duduk di sampingku. Lelaki dengan rambut yang lebih pendek biasanya akan memesan kopi dan roti isi, jenis santapan yang bisa habis dengan cepat. Sedangkan lelaki yang rambutnya lebih tebal dan memakai kacamata akan memesan teh hangat serta kentang goreng. Setelah selesai menyantap hidangan masing-masing, mereka akan bertukar kata, dan mereka bisa membicarakan apapun.
Cuaca, pekerjaan, berita hari ini, sarapan tadi pagi, keluarga, tetangga, teman, makanan yang baru mereka santap, apa saja. Lelaki dengan kacamata akan lebih banyak berbicara, dan lelaki dengan rambut pendek akan lebih banyak mendengarkan, sesekali tersenyum untuk menanggapi atau ikut membuka mulut untuk berkomentar.
Pembicaraan akan berakhir ketika lelaki berkacamata menatap layar ponselnya, dan menyerukan sesuatu mengenai jam makan siang yang telah habis.
Yang tidak diketahui lelaki berkacamata itu, lelaki berambut pendek di hadapannya akan menatap dengan tatapan lesu setiap pembicaraan mereka berakhir. Seakan menyesali kenapa waktu berjalan begitu cepat ketika mereka bersama, namun lelaki itu mahir menyembunyikan tatapan lesunya dengan senyum.
.............................................
Layaknya benda lain, aku juga perlu dibersihkan. Debu jalan raya yang berterbangan biasanya akan menempel pada permukaanku, mengurangi daya tarikku. Kalau sudah begitu, seorang pelayan biasanya akan datang dengan botol semprot dan kain lap di tangannya.
Belum selesai pelayan itu membersihkan permukaanku, seseorang telah duduk di sampingku dan memintanya mencatat pesanan. Lelaki dengan rambut pendek itu datang lagi, namun kali ini ia seorang diri.
Tak hanya itu, kali ini ia memesan teh hangat dan kentang goreng, alih-alih kopi dan roti isi.
Ketika pesanannya datang, ia hanya menatap hidangan di depannya tanpa nafsu. Tatapan yang biasanya ditujukan orang padaku, ia menatap hidangannya, tapi bukan itu yang ada di pikirannya.
Beberapa waktu berlalu hingga akhirnya lelaki itu mengeluarkan ponselnya. Fotonya dengan lelaki berkacamata terlihat di layarnya, mereka berdua saling merangkul dan tampak tersenyum disana. Walau aku tahu, setelah mengambil gambar tersebut keduanya menjadi canggung, takut ada yang melihat tingkah laku mereka.
Senyum yang sama muncul di wajah lelaki berambut pendek ketika ia melihat foto itu, namun seketika senyum itu pudar sama cepat seperti kemunculannya. Aku tidak pernah mengerti dengan emosi manusia, sesaat sedih, sesaat senang, sesaat kemudian marah. Semua dapat berubah dalam waktu yang singkat.
Lelaki itu duduk di sana , sampai akhirnya pergi tanpa menyentuh hidangannya.
.............................................
Sebagai jendela dengan tempat strategis, aku tidak bisa menyebutkan sudah berapa banyak orang yang duduk disampingku. Tapi aku ingat keluarga dengan anak yang tidak dapat berhenti menangis, sekelompok remaja yang tidak berhenti mengambil gambar, kakek-nenek tua yang membutuhkan waktu lama dalam menyantap makanan mereka, dan dua lelaki yang menautkan tangannya diam-diam di bawah meja.
Kali ini pasangan itu duduk kembali di sampingku, namun tidak berdua. Ada tangan yang tertaut, tapi kali ini diatas meja.
Seorang perempuan berambut ikal hadir di samping lelaki berkacamata, menautkan tangannya seakan ia akan mati jika tautan itu terlepas.
Lelaki berambut pendek itu tersenyum, namun kau akan tahu itu adalah jenis senyum palsu, jenis senyum yang biasa kau lontarkan untuk menutupi kesedihanmu, supaya orang lain tidak bertanya.
Lelaki berkacamata itu sedang bercerita, tentang bagaimana ia bertemu dengan perempuan di sampingnya. Tentang bagaimana mereka sama-sama menyukai kentang goreng di rumah makan tempatku terpasang. Tentang bagaimana mereka akhirnya jatuh cinta.
Lelaki berkacamata itu menatap perempuan disampingnya dengan tatapan yang sama, seperti yang ia dan lelaki berambut pendek itu lakukan beberapa waktu lalu.
Aku tidak tahu kalau seseorang bisa melakukan tatapan seperti itu untuk dua orang yang berbeda.
Tapi kemudian aku tahu alasannya, lelaki berkacamata itu tidak menatap lelaki berambut pendek dengan tatapan yang sama. Ia melihatnya dengan tatapanku, tatapan jendela.
Lelaki berkacamata itu menatap lelaki berambut pendek di depannya, tapi bukan itu yang sebenarnya ia perhatikan. Lelaki berkacamata itu melihat lelaki di depannya, tapi bukan dia yang ada dipikirannya. Lelaki berambut pendek menyadari hal itu.
Aku baru tahu seseorang bisa melakukan tatapan itu kepada orang lain, dan bukan padaku, si jendela.
Lelaki berambut pendek mengeluarkan layar ponselnya, dan dengan dalih ada urusan lain, ia meminta ijin untuk pamit. Aku tahu dia berbohong, layar ponselnya tak menampilkan apapun karena daya nya telah habis.
Lelaki berkacamata itu mengangkat tangannya, bersalaman dengan lelaki berambut pendek dan tersenyum.
"Terima kasih" ia berkata.
Lelaki berambut pendek hanya tersenyum sebagai balasan, dan bergegas melangkahkan kaki keluar dari rumah makan. Menjauh dari pasangan baru yang kini mengisi tempat di sampingku.
Aku masih memperhatikannya ketika lelaki berambut pendek itu berada di seberang jalan. Ia berbalik, dan menatap lelaki berkacamata untuk terakhir kalinya. Sebelum akhirnya berbalik badan dan menghilang di ujung jalan.
Aku baru tahu, manusia tidak suka ditatap dengan tatapan yang biasa ditujukan padaku. Tatapan jendela.
Comments
Aku sangat menyukai cuaca yang cerah. Bukan berarti aku tidak menyukai cuaca lain -seperti hujan misalnya- tapi aku lebih menyukai cuaca cerah karena manusia terlihat lebih banyak di sekitarku. Lagipula, sedikit yang mengunjungi taman ketika hari sedang hujan.
Aku tergeletak di salah satu ujung taman kecil tengah kota, dikelilingi beberapa pagar rumput yang terawat dengan plot bunga berjejer disampingnya. Seperti bangku lainnya di taman ini, aku terbuat dari kayu suar yang kokoh. Aku tidak sendiri disini, aku bersama tiang lampu yang setia menemaniku sepanjang hari dan menerangiku sepanjang malam. Yah, walau itu membuat pasangan-pasangan mesum di malam hari tidak betah bermesraan di atasku.
Aku tidak terlalu peduli apakah itu pasangan mesum, seorang lelaki yang menunggu kekasihnya, sepasang orang tua yang membawa anaknya, atau pun berbagai macam manusia lain yang menduduki ku. Aku senang jika ada yang menggunakanku, seperti pria mabuk yang sedang beristirahat di atasku.
Tidak seperti kasus manusia yang mabuk pada umumnya, pria ini tidak muntah di dekatku (biasanya bekas muntahan itu akan membuat pengurus taman mengomel sepanjang hari). Ia hanya duduk menyender dengan mata terpejam.
Malam itu langit sedang berawan, bahkan bulan hanya terlihat sebagai siluet terang yang menggantung. Sinar tiang lampu di sampingku tampak lebih terang dengan tidak adanya sumber cahaya lain.
Seperti manusia yang mabuk pada umumnya, muka pria diatasku memerah, dan gestur tubuhnya terhuyung-huyung seakan ia tidak bisa mengendalikan badannya sendiri.
Aku sungguh bersyukur ia tidak memuntahkan tequila atau apapun yang ia minum tadi.
"HOEK"
Baiklah. Aku salah.
"Anda tidak apa-apa pak?"
Seorang pria yang lebih muda mendekat ke arahku -ke arah pria yang duduk diatasku lebih tepatnya- dan menyodorkan sebotol air mineral. Pria yang duduk diatasku terlihat membuka mata, namun menyipitkannya untuk memfokuskan pandangan. Yah kurasa dia cukup sadar untuk menyadari orang di depannya.
Pria diatasku mengulurkan tangannya, namun alih-alih meraih botol minum yang disodorkan, ia malah menarik pergelangan tangan lelaki di depannya. Dengan sosok yang lebih kecil, tentu saja pria yang lebih muda itu dengan mudah tertarik dan tak berdaya saat pria mabuk di depannya itu mulai memeluknya.
Aku bisa merasakan beban diatasku bertambah, sepertinya pria yang lebih muda itu memasrahkan dirinya untuk di peluk. Atau mungkin dia senang dengan keadaan ini?
Sebagai bangku taman, ini pertama kalinya aku melihat dua lelaki berpelukan. Biasanya mereka hanya sebatas berjabat tangan, menaruh tangan di bahu masing-masing, atau pun saling membenturkan lengan dan bahu.
Tapi dua lelaki kantoran ini berbeda. Oh. Bagaimana aku bisa tahu mereka pekerja kantoran? Aku hanya menebak, mereka berdua memakai kemeja dengan celana kain dan sepatu mengkilap.
Pria yang lebih muda memakai kemeja berwarna biru dengan rapi, ia memiliki potongan rambut pendek dengan poni melengkung ke atas. Postur tubuhnya memang kecil, tapi tubuhnya berisi dengan otot yang tercetak jelas di lengannya.
Pria yang lebih tua memakai kemeja putih yang menyembul berantakan keluar dari celana, dengan dasi hitam longgar menggantung di leher. Warna kulitnya terlihat lebih cerah, tidak seperti laki-laki lain yang kulihat berkeliaran di taman.
Pelukan itu berlangsung cukup lama, sampai akhirnya pria berkemeja biru sadar bahwa lelaki yang memeluknya kembali tidak sadarkan diri.
Pria berkemeja biru menghela nafas, dan ia melepaskan diri dari pelukan yang sudah mengendur. Ia duduk diatasku, di samping pria berkemeja putih. Pandangannya tertuju pada langit, yang sama sekali tidak menunjukkan apapun kecuali siluet bulan di balik awan.
Pria berkemeja biru menoleh, pandangannya menyusuri wajah pria yang terlelap disampingnya. Matanya yang terpejam, hidung mancung, kumis tipis yang tumbuh di antara hidung dan bibir berwarna cerah itu.
Aku mendengar pria berkemeja biru menelan ludah. (ya walau aku tidak punya telinga, aku tetap bisa mendengar)
Pria itu tampak gugup, namun pandangannya tetap mengarah pada pria berkemeja putih di sampingnya. Ia terlihat ragu saat mengangkat tangannya, namun perlahan ia meneruskan gerakannya untuk menggenggam tangan pria berkemeja putih.
Matanya terpejam ngeri, takut bahwa pria yang terlelap disampingnya akan terbangun. Namun ketika pria berkemeja putih tak menunjukkan tanda-tanda akan membuka matanya, pria biru itu menghela nafas lega.
"Anda tahu pak?" pria berkemeja biru membuka mulutnya. "Saya sudah lama menyukai bapak, makanya saya memutuskan untuk bekerja menjadi staff bapak."
"Saya langsung mengagumi bapak dari kali pertama saya melihat bapak memperlakukan bawahan bapak, tegas namun terlihat bahwa bapak sebenarnya peduli dengan bawahan bapak."
"Saya tahu saya bodoh. Saya tahu bapak sudah bertunangan dan tahun depan akan menikah. Tapi saya tahu bahwa bapak tidak bahagia dengan pernikahan yang diatur tersebut, dan bapak melampiaskannya dengan alkohol tiap malam."
Pandangan pria berkemeja biru menjadi prihatin, dan ia mengelus tangan yang digenggamnya.
"Saya harap saya bisa melakukan sesuatu untuk bapak."
Pria berkemeja biru terlihat ragu untuk sesaat, namun ia mendekatkan diri ke arah pria di sampingnya.
"Saya mencintai anda, pak."
Setelah berkata begitu pria berkemeja biru menempelkan bibirnya di bibir atasannya. Perlahan wajahnya berubah memerah, dan ia melepaskan tangan yang sedari tadi masih ia genggam dengan erat.
Pandangannya memeriksa lingkungan taman, memastikan tidak ada yang melihat kejadian barusan. Setelah itu pria berkemeja biru memastikan atasannya masih terlelap.
Ia menghela nafas lega, namun tetap saja perasaan was-wasnya tidak dapat hilang. Ia takut bahwa pria berkemeja putih disampingnya dapat bangun sewaktu-waktu dan menyadari kejadian yang baru saja terjadi.
Setelah beberapa saat tidak ada reaksi, pria berkemeja biru memapah atasannya dari atasku, dan membawanya pergi keluar taman.
...................................................................
Esok paginya seperti dugaanku, pengurus taman mulai mengomel ketika melihat isi perut yang tercecer di sampingku. Ia menyiramnya dengan selang dengan volume air tinggi, seakan berharap dapat menyiram orang yang membuatnya mendapatkan pekerjaan tambahan.
Suasana taman di pagi hari biasanya sepi, hanya ada beberapa orang yang menyempatkan diri untuk olahraga pagi, atau beberapa manusia tua yang menghabiskan paginya di taman.
Tapi kali ini, seseorang sudah berjalan menghampiriku. Aku mengenalinya sebagai pria berkemeja biru, dan ia tetap memakai kemeja berwarna biru hari ini, dengan pola yang berbeda.
Wajahnya terlihat muram, dan langkahnya bahkan terlihat berat ketika menghampiriku. Iya mendudukkan dirinya diatasku, di tempat pria berkemeja putih menghabiskan malamnya kemarin.
Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam kantong, dan memandanginya seakan ponsel itu sumber kesedihannya.
Aku sering melihat manusia dengan muka sedih seperti itu. Seperti saat ketika ada seorang kakek yang tiba-tiba jatuh dan tidak pernah bangun lagi, seluruh keluarga yang datang bersamanya langsung mengeluarkan air dari mata mereka.
Atau seperti ketika sepasang kekasih itu saling berteriak, dan si perempuan akan meninggalkan pasangannya dengan air yang juga keluar dari mata nya.
Itu yang terjadi dengan pria berkemeja biru, ada air yang merembes keluar dari matanya. Pada awalnya aku tidak tahu mengapa manusia bisa mengeluarkan air seperti itu. Tapi kemudian aku menyadari, bahwa setiap ada kejadian buruk, manusia mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan air dari matanya.
Beberapa saat ia memasang wajah seperti itu, lalu ia terlonjak ketika ponselnya berbunyi.
Entah apa yang membuatnya sampai terkejut seperti itu, sampai aku bisa merasakan ia terlompat di kayuku. Ia hanya memandang layar ponselnya, membiarkan alunan lagu yang ia pasang sebagai ringtone memecahkan suasana taman di pagi hari.
Berkali-kali ponselnya berdering, dan berkali kali ia hanya menatap layarnya hingga panggilan itu berhenti. Ia menundukkan kepalanya diantara kedua paha dan aku bisa mendengar suara isakan.
Suaranya seperti rangkaian hentakan nafas yang ditarik melalui hidung manusia, dengan sedikit sentuhan basah diujungnya. Aku tidak terlalu mengerti cara manusia bernafas, tapi setidaknya aku mengerti gambaran besarnya.
Aku tidak begitu suka dengan kesedihan manusia, bukan berarti aku membencinya -aku tidak terlalu peduli dengan hidup dari makhluk yang tidak menghargai lingkungan- namun aku tidak suka dengan suasana ini.
Apakah kamu tahu? Perasaan manusia dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya, bahkan untuk benda-benda seperti aku. Entah kekuatan apa yang dimiliki oleh perasaan itu, tapi ketika manusia bahagia, kami dapat merasakannya, begitu pula ketika manusia sedih.
"Kamu sedang apa disini?!"
Pria diatasku menoleh ke arah sumber suara. Aku mengenalinya sebagai pria berkemeja putih, walau sekarang ia memakai kemeja berwarna hitam, dan kumis tipis di atas bibirnya sudah hilang.
"Saya sudah menghubungi mu berkali-kali, tapi tidak kamu jawab." Ekspresi pria yang lebih tua itu terlihat kesal, namun juga khawatir. "Apa maksud surat pengunduran diri itu?"
Saat pandangan mereka bertemu, pria berkemeja biru mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Hei!" Pria berkemeja hitam itu tampak mulai kesal. "Saya tidak suka diabaikan saat sedang berbicara!"
Ia berjalan cepat menhampiriku, dan menahan kedua pipi pria berkemeja biru, memaksanya untuk saling menatap.
"Apa yang kamu maksud dengan surat itu?!" pria berkemeja hitam terdengar jengkel.
Pria berkemeja biru hanya bisa terdiam ketika atasannya menyentuh pipinya, memaksa ia untuk bertatap muka langsung dengan penyebab kesedihannya.
Kejadian itu berlangsung cepat, pria berkemeja hitam mendekatkan kepalanya dan mendaratkan kecupan di bibir pria berkemeja biru. Tentu saja muka pria yang lebih muda itu memerah.
"Saya tahu kamu mencium saya kemarin malam." Ada nada sombong disana, namun pria berkemeja hitam itu benar. "Tapi saya ingin memastikan, apa itu benar, dan bukan hanya khayalan saya sewaktu mabuk?"
Pria berkemeja biru tampak gugup, dan dia tidak bisa menyembunyikannya sama sekali. Bibirnya terkatup rapat, seakan mencegah dirinya berkata terlalu banyak.
Pria berkemeja hitam menghela nafas, dan aku bisa merasakan dia duduk di atasku, di samping pria berkemeja biru.
"Kamu tahu kenapa saya selalu datang kesini ketika mabuk?"
Pria berkemeja biru hanya diam, namun itu karena ia tidak tahu jawabannya.
"Dulu, kakek saya meninggal disini. Semua terjadi begitu saja, tiba-tiba ia jatuh pingsan dan tak pernah terbangun lagi."
Pria berkemeja hitam memejamkan matanya saat ia mengenang kejadian yang ia ceritakan.
"Kakek adalah satu-satunya orang yang menentang pertunangan saya, perjodohan yang diatur karena urusan perusahaan itu tidak pernah membuatnya tenang." Lanjut pria berkemeja hitam. "Karena itu saya datang kesini untuk menenangkan diri, dan untuk mengenangnya."
"S-saya minta maaf." Pria berkemeja biru membuka mulut.
"Hm? Meminta maaf buat apa?" Entah kenapa pria berkemeja hitam tersenyum.
"K-karena saya telah mencium anda.."
Pria berkemeja hitam terkekeh "Haha, berarti itu benar? Kamu memang melakukannya kemarin malam?"
Pria berkemeja biru mengangguk dalam diam, dengan muka yang masih memerah.
"Saya juga melakukannya barusan, jadi kita impas sekarang. Lagipula , saya bukannya tidak suka saat kamu melakukannya."
"Maksud bapak?.."
"Saya sudah memperhatikanmu dari hari pertamamu bekerja." Pria berkemeja hitam itu tersenyum. "Sejujurnya, saya bersikap galak kepada bawahan saya agar mereka bisa berkembang menjadi pegawai yang baik. Tetapi sejak kamu menjadi bagian tim saya, saya sedikit melunak. Karena saya ingin kamu melihat sisi baik saya."
Saat pria berkemeja biru tidak lagi menjawab, pria berkemeja hitam tampak mulai jengkel dan merangkul bahu bawahannya.
"B-bapak?"
"Jangan panggil saya pak! Kita hanya berbeda 2 tahun." Pria berkemeja hitam mempererat rangkulannya. "Saya sudah berfikir, mungkin saya akan menerima surat pengunduran dirimu. Dengan satu syarat."
"Syarat?"
"Ya, jika kamu mau menikahi saya sehingga saya tidak harus melanjutkan perjodohan. Itu syarat satu-satunya."
Pria berkemeja hitam tampak tersenyum ketika ia bangkit dariku. "Jika kamu tidak bisa melakukannya, saya rasa, hari ini saya akan menghukummu karena telat masuk kantor. Karena surat pengunduran dirimu tidak saya terima."
Kesedihan pria berkemeja biru telah sirna, aku bisa merasakannya. Bahkan aku bisa merasakan detak jantungnya yang tidak terkontrol saat ini.
"Tapi yah, walau kamu tetap bekerja, suatu saat saya tetap akan melamarmu." Pria berkemeja hitam itu mengulurkan tangannya. "Bagaimana?"
..............................................................
Esok paginya seperti dugaanku, pengurus taman mulai mengomel ketika melihat isi perut yang tercecer di sampingku. Ia menyiramnya dengan selang dengan volume air tinggi, seakan berharap dapat menyiram orang yang membuatnya mendapatkan pekerjaan tambahan.
Suasana taman di pagi hari biasanya sepi, hanya ada beberapa orang yang menyempatkan diri untuk olahraga pagi, atau beberapa manusia tua yang menghabiskan paginya di taman.
Tapi kali ini, seseorang sudah berjalan menghampiriku. Aku mengenalinya sebagai pria berkemeja biru, dan ia tetap memakai kemeja berwarna biru yang sama dengan kemarin malam.
Wajahnya terlihat aneh, dan langkahnya bahkan terlihat terhuyung-huyung ketika menghampiriku. Ia mendudukkan dirinya diatasku, di tempat pria berkemeja putih menghabiskan malamnya kemarin.
Aku tahu, keadannya sedang setengah sadar entah karena pengaruh tequila atau jack daniel. Pria itu bergumam panjang, namun aku tidak bisa menangkap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tiba-tiba ia menangis, dan tiba-tiba ia tersenyum.
Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam pikirannya, tapi setidaknya, itu sesuatu yang membuatnya bahagia.
untuk yg "bangku taman" diawal dan ditengah bagus jg tp untuk bagian endingnya sya gak ngerti kenapa, dia mabuk tp si "bangku" menangkap cowok tu pikirannya bahagia. ada apa sebenarnya????
kereen. kira2 benda apa lg ya, yg mengutarakan pemikirannya. lanjutkan. he