It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
AKU TERJAGA saat alarm yang berada di sebelahku berdering dengan nyaring. Pukul 07:30? Oh yang benar saja, waktu sepertinya berputar lebih cepat dari apa yang aku perkirakan. Aku menarik nafas. Nyaris susah menjangkau alarm tersebut untuk mematikannya.
Aku mematikan alarm tersebut.
Tak lama, selanjutnya alam bawah sadarku kembali menggeliat dan bersikukuh untuk tetap tidur di ranjang yang hangat dan memejamkan mata dalam buaian rasa kantuk... sampai Dian –pacarku- menepuk wajahku dengan keras.
“Bangun, bukannya kau ada janji hari ini?” dia kadang akan terlihat lebih mengesalkan dari pada ini.
“kau sendiri tidak bangun!” protesku sambil membenamkan tubuhku dengan selimut lebih dalam.
“Aku tidak punya pasien untuk diobati, dokter Andi Prayoga.” Katanya mengintimidasi.”Dan lagi... aku kedinginan setengah mati, dan kau merebut selimutku!”
Baiklah, bisakah sehari saja aku tidak bertengkar dengan wanita ini?
“kita, nona Dian Rosalina.” aku mengoreksi.
“kita?”
“Selimut kita.”
“Ayolah, bangun!” suara Dian semakin geram, mungkin nada suaranya naik beberapa oktaf.
Aku berbalik untuk menerawang ekspresi wajah wanita yang berada disampingku, terlihat cantik. Walau sedikit terlihat acak-acakan -seperti wanita pada umumnya saat bangun tidur. Aku suka melihat wajahnya seperti ini, terlihat lebih natural dan cantik. Bukan artinya Dian tidak cantik, tapi... saat pagi wajahnya jadi terlihat lebih, seksi. Dan hanya dalam beberapa detik, aku melunak.
Apakah wajahnya merengut? Oh tidak, jangan pagi ini.
“oke, oke... sabar sedikit!” aku bangkit dan langsung menuju kamar mandi dan menutup pintunya. Sebelumnya, sekilas aku menangkap seringai lucunya Dian saat manatap aku yang dengan susah payah mengumpulkan nyawa untuk berdiri. Dasar wanita.
Hari ini aku mengenakan setelan kemeja putih, celana panjang hitam dan beberapa keperluan dokter. Aku kuliah dengan jurusan psikologi, awalnya... tapi kemudian berganti arah jurusan ke dokter umum. Cukup mengesankan, karena aku kemudian lulus sebagai mahasiswa dengan nilai terbaik, yang membuat aku cukup mudah untuk mendapatkan tempat rumah sakit yang aku inginkan. Yah, walaupun tidak semudah yang dapat dibayangkan.
“kau tidak sarapan?” tanya Emel di ambang pintu sambil memperhatikanku merapikan pakaian yang aku kenakan.
“Makan diluar,” jawabku. Aku berbalik menatap kearahnya, beberapa detik ada seringai aneh. Aku berani bertaruh, aku pasti sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya. Ada apa dengannya hari ini? Aku tersenyum, alisku terangkat seolah meminta jawaban yang harus mengejutkanku pagi ini.
“Aku mendapat pekerjaan!” katanya dengan girang. Suaranya tertahan agar tidak berteriak.
Dia serius? Pekerjaan?
Aku mendekatinya, kemudian memeluknya erat. Wajahku pasti berkerut hampir tidak percaya, dia sudah lama menunggu untuk pekerjaannya ini. Oh... ya tuhan, aku bahagia melihatnya bahagia seperti ini.
“Benarkah?” ini yang selalu ia dambakan. “kapan mulai?” aku bertanya setelah pelukan hangatnya menyelimuti tubuhku terlepas.
“minggu depan, aku sangat senang!” katanya hampir tidak bisa menahan suara lengkingan dari mulutnya. Aku tersenyum berseri-seri. Senang? Oh aku teringat moment indah itu.
Aku melirik kearah arlojiku. Pukul 08:17. Baiklah aku harus mengakhiri moment bahagia ini.
“Baiklah nona yang akan segera menjadi sekretaris. Aku berangkat dulu.” Aku mencium keningnya lalu berlalu menuju pintu untuk keluar. Saat aku berada diambang pintu, Dian menyekat langkahku dengan kata-katanya.
“Sayang?”
Sayang? Tidak seperti biasanya Dian memanggilku dengan sebutan sayang. “Ya?” aku menatapnya heran.
“Aku suka rambut cambang diwajah mu, seksi!”
Aku membalasnya dengan senyum manis, sebisa mungkin. Kenapa aku begitu mencintai wanita itu? Oh dia betul-betul selalu menggoda imanku. Apakah aku harus mempertahankan cambang ini? Mungkin.
***
Aku tiba di rumah sakit saat pukul 09 : 10 pagi. Suster yang biasanya berada di lobi menyapaku dengan ramah sebelum aku memasuki ruanganku. Hal yang pertama aku lakukan adalah segera memeriksa daftar pasien hari ini. Aku menyeringai bahagia. Hari keberuntunganmu Andi Prayoga, alam bawah sadarku menyeringai.
Beberapa pasien hanya menderita penyakit ringan ketika menjalani perawatan menginap, tidak terlalu banyak pekerjaan berat, dan ada beberapa janji dengan pasien khusus. Sepertinya hari ini tidak akan menjadi hari yang melelahkan. Dan mungkin aku bisa meminta kelonggaran waktu, pulang lebih awal hari ini untuk merayakan diterimanya Dian bekerja.
Aku bingung, apakah aku perlu memberinya hadiah? Apakah berlebihan? Mungkin.
Aku merogoh iphone yang berada dikantongku, aku mengirim pesan singkat untuk Dian. Mencoba menghilangkan sedikit rasa kebosanan.
Prayoga : baiklah, jangan terlalu banyak tersenyum!
Aku menggodanya. Tidak sabar menunggu respon setelahnya.
Dian : aku bahagia hari ini. Wajar dong!
Prayoga : Benarkah? Apa itu?
Dian : kau lupa?
Aku tersenyum.
Prayoga : sepertinya, ya...
Dian : kau pria yang mengesankan!
Prayoga : memang, saya menyadarinya...
Tidak ada balasan beberapa saat. Ayolah, Dian sekarang kenapa lagi? Oh tidak, aku merasa Dian pasti sedang merengut sekarang. Menanggapi dengan serius candaanku. Dian begitu polos, sehingga dia pikir aku betul-betul melupakan kejadian istimewa ‘baginya’ hari ini. Dan kepolosannya ini kadang sedikit menyusahkan aku dalam langkah menyesuaikan diri dengannya. Biarkan saja dia, alam bawah sadarku lebih rileks untuk tidak menanggapinya.
Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk. Kemudian seorang suster muncul pada ambang pintu, suster elly. Dia tersenyum kearahku, tanda menyapa.
“Dokter Prayoga, pasien anda sedang menunggu...” katanya.
“Persilahkan masuk,”
Aku meletakan iphone ku di atas meja. Mengambil beberapa kertas keluhan yang sebelumnya sudah aku cetak -dikirim lewat emailku oleh pasien khusus-ku. Beberapa pasien khusus mememang menggunakan email untuk membuat janji denganku. Mereka membayar lebih untuk itu, terutama bagi para pengusaha dan beberapa pejabat yang memiliki kekuasaan besar.
“Selamat pagi,” seorang remaja masuk. Wajahnya datar dan dingin. Aku memperhatikannya dengan tatapan tanpa berkedip. Kenapa denganku?
Berhenti memperhatikan pasienmu yang adalah seorang pria! Aku menampar alam bawah sadarku sendiri untuk tidak memperhatikan secara berlebihan ramaja yang belum beberapa detik ini masuk. Sayangnya aku gagal.
Sebenarnya aku tidak begitu yakin dengan spekulasiku saat ini, tapi sepertinya umur remaja ini sekitar 19 atau 20 tahun. Penampilannya cukup mengesankan, sangat rapi, mengenakan setelan kemeja dan jas. Terlihat pas melekat pada tubuhnya, terlebih lagi dengan tinggi badannya yang lumayan.
Aku mempersilahkannya masuk dengan anggukan senyum. “Pagi, silahkan duduk.”
Dia duduk dengan langkah elegan, langkahnya layaknya seorang raja yang sedang berjalan dan duduk menuju kursi kerajaan.
“Saya William stendrey,” sepertinya dia memiliki sentuhan darah luar. Eropa atau... arab mungkin.
Oh? Kenapa denganku? Tidak seperti biasanya aku memperhatikan pasienku secara berlebihan.
dia mengulurkan tangan, kemudian aku menjabat tangannya “Andi Prayoga.”
Baikalah Andi Prayoga, berhenti memperhatikan pasienmu sendiri secara berlebihan seperti ini. Aku menarik nafas.
“Anda akan berkonsultasi tentang kesehatan organ vital anda bukan?” aku bertanya setelah melepas jabatan tangan dan membaca kembali email dari kertas yang sudah aku cetak.
“Benar,” dia menatapku aneh. Matanya berwarna biru gelap, tatapannya tajam dan intens. Aku cukup terbiasa dengan reaksi para pasien yang pemalu. Tapi dengan reaksi seperti ini?
“Hanya sedikit penjelasan disini tentang keluhan anda. Sepertinya disfungsi ereksi pada alat vital anda, tetapi belum terlalu parah.” aku memperhatikan setiap detail tulisan yang kubaca.
Baiklah, biar aku jelaskan sedikit tentang ganguan disfungsi ereksi pada alat vital, khususnya pria. Disfungsi ereksi adalah suatu keadaan dimana pasien yang menderita tidak mampu mempertahankan ereksi penis saat melakukan hubungan intim. Dengan kata lain, pasti seorang pasien yang menderita disfungsi ereksi ini tidak bisa mencapai orgasme saat melakukan hubungan intim. Pertanyaan ku sekarang adalah, kenapa dia mempertanyakan ini? Apakah dia sudah menikah? Di usia semuda ini? Oh, tentu saja. Dia bisa menikah dengan mudah tanpa memikirkan pekerjaan, karena dia memiliki orangtua yang sangat kaya.
“Anda perokok aktif?” aku memulai pertanyaan.
“Of course, no.” William menjawab dengan tatapan bingung.
“Diabetes?”
“tidak.”
“Atau anda pengguna obat-obatan?” aku memperhatikan kertas yang telah aku letakan di atas meja beberapa menit yang lalu.
“Tentu saja tidak, dokter.” Kali ini ekspresi William semakin menuju arah kebingungan.
Oh, pilihan terakhir... pasti dia pernah mengalami trauma.
“Masalahnya tidak terlalu serius, tingkat ringan. Tapi apakah anda pernah betul-betul tidak mengalami orgasme sama sekali saat berhubungan intim dengan istri anda?” tentu ini pertanyaan yang sangat masuk logika saat muncul dari mulut seorang dokter. Tapi bagaimana kalau aku bertanya seakan ingin memastikan apakah dia sudah memiliki istri? Oh aku gila hari ini. Dikuasai oleh alam bawah sadarku sendiri.
“Maaf dokter, anda salah menduga. Saya belum memiliki istri... tentu belum.”
Ah, benar dia terlalu muda untuk memiliki seorang istri. Jadi dia melakukan seks bebas?
“Baiklah, saya memberi sedikit saran tambahan. Bahwa berhubungan seks bebas juga sangat tidak menguntungkan bagi kesehatan anda...” aku sangat tidak bisa menyembunyikan nada sarkasme dari cara berbicaraku. Astaga, kemana topik pembicaraan ini?
“Okey, bagaimana jika dengan aman?” matanya berubah, merasa tidak nyaman dan jika penilaianku tidak salah, dia terlihat sedikit marah.
“Tidak ada yang lebih aman selain dengan cara menikah.” Astaga bodoh! Bodoh! Jaga mulutmu, aku mengutuk alam bawah sadarku sendiri.
“Anda sungguh perhatian...”
“Tentu, William.”
“Terimakasih dokter.”
Aku tidak begitu yakin dapat melanjutkan percakapan ini. Aku hanya dapat memberi saran dan obat yang harus dibeli, dan beberapa terapi ringan. William terlihat mengangguk saja dan tentunya sedikit angukan kesal, beberapa kali aku menemukan dia menatapku dengan tatapan tajam, intens dan dalam. Seolah predator.
William bangkit dari tempat duduk, dan aku mengikuti tindakannya. Dalam upaya untuk menghormati, aku mengatar William sampai di ambang pintu ruanganku.
“Terimakasih untuk waktunya, dokter Andi Prayoga.” Baiklah, kenapa dia tidak menyebut nama belakangku saja?
“Prayoga, dokter Prayoga.” Aku mengoreksi, sekilas bibirnya melengkung, tersenyum tipis kearahku. Senyum pertama sejak dia masuk. Entah apa yang memaksa bibirku untuk tersenyum, aku membalas dengan lengkungan dibibir.
“Kartu nama anda?”
“Apa?” tidak, tidak... aku terlihat bodoh dengan pertanyaan ‘apa?’, jelas dia ingin meminta kartu nama ku. “Oh, ya...kartu nama.” Aku mengeluarkan selembar kertas kecil dari saku baju jas yang aku kenakan. Kertas ukuran kecil.
“Sampai jumpa, dokter.” William kemudian menghilang dibalik ambang pintu, kemudian berbelok menuju lorong. Aku menarik nafas dalam-dalam, dia pria yang memiliki aura aneh. Dan aku, dokter yang terlihat bodoh dan stres! Kenapa dengan diriku yang sialan hari ini.
***
Aku memutuskan untuk mendapatkan kelonggaran waktu hari ini. Mungkin Dian akan lebih senang jika aku pulang lebih awal untuk merayakan hari istimewanya. Aku berpikir, aku juga dapat membawakannya sebuah hadiah. Seperti cincin? Atau buku sastra? Oh, dia sangat suka membaca novel romantis. Aku ingat, dia bahkan bisa berjam-jam membaca buku novel romantis, yang menurutku sangat tidak menarik perhatian dan minatku sama sekali dengan buku yang penuh dengan kedramatisan tersebut.
Aku melintasi lobi sebelum keluar menuju tempat parkir. Sekarang pukul 01:00 siang. Cuaca terlihat cukup panas hari ini, sepertinya malam akan terjadi hujan atau badai dan semacamnya. Statiska cuaca yang rumit, aku tidak terlalu memahami parubahan cuaca akhir-akhir ini yang begitu ekstrim.
“Dokter Prayoga,”
Ada yang memanggilku? Aku berbalik dan melihat suster Elly menghampiriku diambang pintu lobi.
“ya?”
“Anda pulang lebih cepat, ada masalah?”
Tentu saja tidak! Satu-satunya masalah adalah, kamu terlalu perhatian.
“Tidak, tentu tidak.” Aku tersenyum, mencoba membuat diriku terlihat ramah.
Kadang aku sangat merasa risih dengan perhatian yang berlebihan dari suster Elly. Sangat berlebihan. Sangat! Dia satu dari sekian suster disini yang menurutku memiliki kegigihan yang tinggi untuk memikatku. Disatu sisi itu membuat aku tersanjung, disisi sebaliknya aku merasa terintimidasi karena perhatian mereka yang terlalu berlebihan. Terlalu ikut campur dalam masalah pribadiku yang bersifat privasi. Seperti sekarang.
“Anda punya waktu luang malam ini?”
Apa? Lagi? Dia tidak menyerah untuk mengajakku makan malam?
“Sayangnya, Dian membutuhkanku malam ini.” Aku menjelaskan dengan hati-hati.
“Oh, tentu...” Suster Elly tersenyum, dan jika aku tidak salah ada tatapan kecewa pada matanya.
“ya.”
Aku memberi anggukan. Melangkahkan kaki keluar lobi. Menuju parkiran dan kemudian masuk kedalam mobilku.
Kutatap setir mobil di depanku, sepertinya sudah kuputuskan untuk membeli sebuah hadiah untuk Dian. Apa yang akan ku beli? Oh, tentu saja novel romantis, tetapi yang menjadi masalah disini adalah : aku tidak terlalu mengetahui seputar dunia sastra, terutama karya tulis novel. Apalagi dengan ganre romantis, tentu tidak. Aku bukan tipikal pria yang senang mengumbar keromantisan.
Aku manarik nafas panjang, kemudian menyalakan mesin mobilku. Dan hanya dalam beberapa detik aku sudah melaju dengan kecepatan normal di jalan raya kota.
Lampu lalu lintas menyala merah sehingga aku dengan reflek menghentikan laju mobilku.
Aku menyeringai geli, lalu mengerutkan kening seakan tidak paham dengan diriku sendiri. Sekali lagi dari sekian kali aku telah mengecewakan hati seorang wanita. Hah... Aku bingung dengan diriku sendiri, apa yang sangat menarik dengan diriku?
Kau tentu sangat tampan dan gagah, alam bawah sadarku memuji diriku. Apakah aku setampan dan segagah itu? Kenapa aku tidak sadar?
Pikiranku kemudian tersadar ketika lampu lalu lintas menyala hijau. Aku kembali melajukan mobilku di jalan raya, dan pikiran tentang seputar memuja diriku sendiri, otomatis lenyap dari pikiranku. Walau tidak sepenuhnya.
***
Bagus! Ini pasti akan menjadi hadiah yang mengejutkan untuk Dian, dia akan bersedia dengan sepenuh hati memakan tiap lembar kisah novel ini.
Aku tiba di apartemenku saat pukul 02:11, cuaca sedikit menjadi mendung. Aku berjalan melewati koridor, lalu berdiri didepan lift dengan tangan menggendong 5 sekual buku novel romantis. Aku tidak sabar bertemu Dian dan melihat ekspresinya. Mungkin aku bisa menawarinya makan malam? Di restoran dengan suasana roamntis? Oh, tentu. Aku juga bisa melamarnya, karena hari ini aku juga membeli sepasang cincin untukku dan Dian. Ya tuhan, hari ini begitu menyenangkan dan mengejutkan.
Pintu lift terbuka.
Aku masuk kedalam lift, menekan tombol lantai 4 dengan jari telunjukku.
Pintu lift kembali terbuka. Aku sudah sampai dilantai 4. Segera aku dengan langkah ringan menuju pintu, didepan ruang apartemenku. Berharap Dian tidak sedang tidur sekarang. Aku merogoh kunci di dalam kantongku, lalu memasukannya pada lubang kunci disela ganggang pintu.
Pintu terbuka.
Dan? Dian? Apa yang terjadi sekarang? Sejak kapan?
Kau pria bodoh dan goblok! Pikiran bawah sadarku dengan kasarnya mengumpat kepada diriku.
Tanganku mengepal dengan keras, mataku menyipit terbelelak dan dari sekian hari yang pernah aku alami pastinya sekaranglah satu-satunya hari dimana wajahku memerah padam karena emosi yang memuncak disetiap alirah urat nadiku. Aku hanya dapat mamatung memikirkan setiap spekulasi yang ada, dan berbagai analogi apa yang tepat untuk menggambarkan keadaanku sekarang :
Dia wanita jalang!
-Bersambung menuju chapter two : Spekulasi yang tepat-
***
ANDI PRAYOGA
***
WILLIAM STENDREY
***
ANDI PRAYOGA DAN DIAN ROSALINA
***
Writer : EvanFarrel
makasih yaaa. disave duluu.
semua pas. bagus. keren. cuma satu yg bikin bingung. di awal cuma ada dua kan yg dialog? dokter dan dian. terus emel siapa?
Gini lho... awalnya nama Dian itu emel he he, karena berasa kek nama temenku di sekolah, jadi gak dapet feelnya. di ubahlah menjadi Dian @balaka dan kayaknya nama emel ada yg belu di hapus
@balaka
@lulu_75
@abong
@ricko_syilendra
AKU MENGGENGGAM erat botol whisky di hadapanku. Suara berisik dari musik yang berdentum memenuhi seisi ruangan bar, tawa, teriakan, semuanya tersaring oleh musik yang menurutku kurang jelas, tetapi ironisnya, itu membuat aku semakin menikmatinya.
Ini merupakan rekor pertamamu Andi Prayoga, alam bawah sadarku menyeringai jahat. Aku pasti dibawah kendali alkohol!
Oh tidak, aku tidak pernah semabuk ini. Tidak pernah. Seumur hidupku, sama sekali tidak pernah. Ini adalah kali kedua aku pernah memasuki bar. Dan aku bersumpah, tidak akan pernah menginjakan kaki lagi di tempat kotor ini –Setelah pengalaman pertamaku dengan teman-teman SMA-ku dulu.
Dan sekarang? Kau melupakan sumpah mu itu Andi Prayoga!
Arghh... aku menggeram kesal saat mengingat kejadian itu, Dian? Dia bukan manusia. Dia iblis. Dia tidak memiliki perasaaan. Selama 6 tahun aku menjalin hubungan dengannya. Kupikir dia serius... kupikir kami akan menikah! Aku mencintainya. Dan pada akhirnya? dia berbohong, cintanya, senyumnya, tawanya, semuanya.
Lupakan wanita jalang itu! Kau pria bodoh, kembali lagi alam bawah sadarku menggerutu. Ya, aku memang seharusnya melupakan wanita itu. Dia sama sekali tidak pantas denganku. Dia meninggalkanku tanpa merasa sedikit bersalah sedikitpun. Aku pria bodoh yang hanya bisa mematung di ambang pintu apartemen menyaksikan wanita sialan itu pergi dengan bajingan miliknya.
Dia wanita jalang! Kau pikir kau siapa hah, Dian Rosalina?
Tiba-tiba otakku mulai berpikir jernih. Berapa banyak whisky yang aku minum? Ini berbahaya, alkohol merusak jantung, organ-organ dalam tubuhku. Aku tidak boleh mengonsumsi alkohol lagi. Tapi tubuhku memaksaku untuk lebih banyak lagi minum, lebih banyak. Aku lepas kendali sekarang. Aku gagal –Dalam segala hal.
Tidak, kenapa aku menikmati ini? Apakah aku gila? Tersiksa demi wanita jalang itu?
Oh, lupakan pertanyaan itu. Persetan dengan hidupku sendiri, aku akan menikmati semua yang terjadi malam ini. Tidak memikirkan wanita jalang itu. Lupakan Dian! Lupakan. Lupakan.
Elly duduk disampingku. Memperhatikanku tanpa berkedip sedikitpun, tersenyum, mengelus-elus tangaku, dan matanya menatapku penuh gairah, ini berlangsung sejak pertama kami masuk bar beberapa jam yang lalu. Sorot matanya gelap seolah ia ingin menelanjangi aku dan menyiksaku dengan nafsu sex-nya.
Wanita sialan! Seharusnya aku tidak menerima ajakannya untuk pergi ke bar, aku mengutuk diriku sendiri.
Oh, walaupun begitu, wanita sialan ini setidaknya meringankan beban pikiranku yang menumpuk akhir-akhir ini. Setidaknya aku bisa sedikit melupakan masalahku dengan si wanita jalang –Dian Rosalina.
Aku berdiri, meninggalkan minumanku yang tergeletak di meja bar. Pikiranku terhanyut oleh gerakanku sendiri. Kepalaku berdenyut seirama, kemudian terasa sakit seperti tertusuk-tusuk.
Aku menarik nafas.
Aku bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Aku lebih kuat dari apa yang mereka kira! Aku meracau di dalam pikiranku sendiri, berusaha mensugestikan apa yang seharusnya bisa aku lakukan.
Ayo Prayoga! Jangan menjadi lelaki pengecut dan lemah untuk kedua kalinya, alam bawah sadarku mengumpat.
Aku kembali mencoba mengimbangi langkah dengan berat badanku, namun lagi-lagi tubuhku tidak memiliki kuasa yang kuat untuk mengendalikan sistem keseimbangku sendiri. Sialan!
“Kemana?” Elly menggenggam tanganku.
Aku manatapnya penuh kemarahan. Kenapa denganku? Mudah marah sekarang? apa karena alkohol?
Wanita sialan! Kau juga menjadi masalah bagiku. Alam bawah sadarku sekarang penuh dengan emosi, menguap keluar bagaikan air yang sedang mendidih.
“Diam! Dasar wanita sialan.” Aku mengumpat. Bibirku menyeringai puas, sangat puas.
“Andi? Kamu mabuk berat!” Elly berdiri, mengimbangi langkahku menuju sisi meja bar yang lainnya.
Kenapa lagi dengan wanita ini? Aku menatapnya penuh amarah saat dia menjamah tubuhku dari belakang, memeluk tubuhku dengan erat. Hingga jari-jarinya bertemu ditengah bagian perutku.
“Arghh... hentikan kau wanita sialan!” aku mendorong Elly hingga tersungkur di atas lantai bar –keberanianku mendorongnya pasti karena dampak dari alkohol. Elly menatapku takjub, matanya menyipit seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan. Aku menyeringai, tanda aku sangat membencinya. Sangat!
Oh, tidak... aku kembali pusing, kehilangan keseimbangan, kemudian aku merasakan tubuhku terhempas keras pada atas lantai bar. Kepalaku terbentur keras pada bagian sisi meja bar.
Aku bisa bangun!
Aku berdiri, menggenggam erat bagian sisi meja bar. Menyeimbangkan tubuhku samampuku. Namun tidak lagi. Oh, aku kembali terjatuh keras... dan rasanya tidak sakit, sesuatu yang hangat menopang badanku, memelukku dalam pelukannya. Membenamkan kepalaku di suatu bagian yang terasa berdetak kencang. Rasanya hangat... hangat.
Pusing di kepalaku menghilang seiring dengan pandanganku yang memudar. Berharap kenanganku juga ikut memudar dengan berakhirnya kesadaranku sekarang. Itulah tujuanku pergi ke bar ini.
***
Aku terasadar. Cahaya memasuki ruangan melalui jendela kamar apartemenku. Cukup terang sehingga aku yang dengan kesadaran minim mengeliatkan tubuhku dan kemudian aku membuka mataku dengan perlahan, menyesuaikan dengan kontras cahaya yang menyeruak melalui jendela. Aku mengumpulkan energi.
Aku berada di kamar? Dian kemana?
Oh, Dian tidak ada. Aku lupa dia sudah pergi. Bodohnya aku.
Mataku melirik meja di samping ranjang. Makanan? Ada pancake dan segelas susu. Astaga, mungkinkah ada seseorang disini? Seseorang siapa? Apakah Dian?
Mataku menerawang kesekeliling ruangan yang ada di kamarku. Kemudian melihat setiap celah yang ada di kamarku. Tidak, tidak ada satupun makhluk hidup disini. Lalu makanan ini?
Aku meraih segelas susu yang berada diatas meja disamping ranjangku. Hangat. Masih terasa hangat –pasti baru saja dibuat. Aku meminum secangkir susu yang berada ditanganku hingga menyisakan setengah. Segar, terasa hangat mengalir di dalam dadaku hingga menembus lambungku.
Apa yang terjadi tadi malam? Aku bertanya dengan diriku sendiri, saat menyadari rasanya kepalaku nyeri dan tubuhku terasa begitu sakit. Aku mengusap kepalaku yang terasa nyeri, kemudian bibirku. Bibirku juga terasa sakit, seperti tergigit. Seiring dengan tanganku yang tengah mengusap bagian belakang kepalaku, aku mencoba mengumpulkan bayangan-bayangan tentang kejadian tadi malam.
Astaga! Aku bergidik ngeri saat menyadari beberapa hal yang mengerikan terjadi tadi malam : pergi ke bar dengan suster Elly, 7 botol whisky, mabuk, mendorong suster Elly dan kemudian kehilangan kesadaran. Ahh... kenapa denganku tadi malam? Kehilangan kontrol.
Tiba-tiba ada suara pintu terbuka. Kemudian suara langkah kaki.
Jantungku hampir terjatuh saat menyadari seseorang baru saja keluar dari dalam kamar mandiku. Dia pria. Mengenakan handuk yang diletakan diantara lehernya, celana pendek, dan kaus tipis berwarna hijau malam gelap. Oh tidak, dia berbalik menatap kearahku.
Apa? Aku mengerutkan kening dengan heran. Keajaiban apa lagi ini?
William?
“Dokter Prayoga?” katanya dengan senyum tipis saat berada di ambang pintu kamar mandi.
Aku meneguk ludah. Jantungku berdegup kencang, dua kali lipat. Takjub, kagum, heran, dan bahagia, semuanya bercampur menjadi satu di dalam otakku. Hanya satu pertanyaan yang ada di dalam benakku sekarang : Bagaimana mungkin?
Jelas mungkin, itu bisa saja terjadi jika kau berjodoh Andi Prayoga! Alam bawah sadarku yang kurang waras menghantui pikirannku.
“Aku baru saja bangun dan kemudian mandi. Kau ingin makan?” William melanjutkan tindakannya dengan melanjutkan langkahnya menuju ranjangku. Tersenyum manis, kemudian duduk disisi tepi ranjang. “Aku bisa memasak nasi goreng, rasanya tidak terlalu buruk.” Dia mengangkat bahunya.
Bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu. Dia hanya pernah sekali bertemu denganku. Itupun karena ada janji konsultasi antara dokter dengan pasien. Dan sekarang? dia bertingkah seolah telah lama mengenalku.
“Dokter?”
Apa? Oh, aku melupakannya.
“Andi, hanya Andi... kita tidak sedang berada dalam situasi formal sekarang.” aku mengoreksi.
Dia tersenyum manis, dan jika aku tidak salah senyum itu mengarah kepadaku.
Aku hendak berdiri, tetapi tindakanku tiba-tiba tercekat menyadari pahaku terasa dingin dan kosong. Beberapa detik aku berpikir...
Ya tuhan! Aku hanya mengenakan celana dalam dengan kaus tipis.
“Kau yang membawaku pulang?” pertanyaan bodoh pertama yang keluar dari mulutku.
“Ya?”
Oh tidak!
“Kau tidur disini?” aku menatapnya. “Di ranjang ini?”
“Ya...” matanya menerawang. Ekspresinya tidak dapat di baca, mata dan wajahnya begitu tenang.
Dia tidur denganku? Dan aku hanya berpakain seperti ini. Celana dalam dengan kaus tipis. Ini lelucon.
“Kenapa? Tidak boleh?” William bergumam kerahku.
Tidak, bukan begitu. Hanya saja ini pertama kali aku berbagi ranjang dengan pria dan aku tidur hanya mengenakan celana dalan dengan kaus.
“Tentu boleh.” Aku bergegas menjawab.”Hanya saja ini pertama bagiku. Tidur tanpa pakaian lengkap.”
Dia tersenyum geli.”Aku juga. Pertama kali...”
“Tidur dengan pria tanpa pakaian?” entah apakah aku menyinggungnya dengan pertanyaanku. Matanya tiba-tiba berubah, rahangnya mengeras dan bibirnya menutup.
William berdiri. Mendekat kearahku. Sangat dekat, sehingga aku dapat merasakan perubahan nafasnya yang memburu. Matanya yang berwarna biru gelap manatapku tajam, intens dan jika penilaian bodohku ini tidak salah dia menatapku penuh... gairah.
“Tidak.” William mendekat, sedekat mungkin dengan wajahku. Bahkan aku bisa mencium bau nafasnya, mintfresh.”Pertama kali tidur dengan pria tanpa menyentuhnya. Sama sekali, kau tau sama sekali. Itu pertama kalinya bagiku, Dokter Prayoga.”
Jantungku berdetak dua kali lipat lebih cepat. Aku meneguk ludah. Tubuhku seakan dikuasai olehnya sekarang. tidak dapat berkutik sama sekali.
Bergerak Andi Prayoga! Aku memaksa diriku untuk menguasai diri.
“Dan anda, Dokter prayoga... hampir membahayakan keselamatan anda sendiri, yang telah bertindak sebagai dokter yang kurang berkompeten. Meminum absinthe satu botol penuh. Itu berbahaya, dapat membahayakanmu! Merusak mental, bahkan kematian.” Nada suaranya begitu mengancam. Marah. Kecewa. Begitu tidak rela.
Oh, dia marah denganku? Kenapa dengan anak ini?
Matanya dengan tajam menatap kearahku. Aku sama sekali tidak dapat berkutik sekarang.
“ahhh... lupakan.” William manjauh, kembali ketepi ranjang.”Kau harus makan.”
Makan? Aku seperti orang bodoh sekarang. aku manarik nafas panjang, mengumpulkan kesadaran dan energiku. Mencoba mengontrol diri.
“Apa pedulimu?” bodoh! Pertanyaan macam apa itu.
“Jelas aku peduli dengan mu, Dokter Prayoga!”
“oh? Itu adalah sikap aneh dari seorang pasien yang baru sekali bertemu dengan dokternya ditempat yang formal dan hanya membahas tentang konsultasi penyakit yang dialaminya!” aku betul-betul menekankan nada sarkasme disetiap kata yang keluar dari mulutku.
Dia menatapku takjub. Sorot matanya melunak.
“jelas itu tidak aneh,” nadanya terdengar terluka.
Astaga, apakah aku menyinggungnya? Bodoh. Aku memang bodoh.
“Begitukah?”
“ya tentu.”
“Terimakasih William.” Aku melunak. Berusaha mengontrol diriku yang begitu bodoh akhir-akhir ini.
“Ya tentu, aku akan selalu peduli.”
Aku menyipitkan mata. Menatap intens kerahnya.
“Kenapa?”
“karena kau akan menjadi milikku.” William bergumam, nyaris tidak terdengar.
Apa? Pria ini? Aku mengumpulkan semua spekulasi untuk menyimpulkan apa yang barusan dia katakan.
“apa?”
“Ah? Tidak... tidak ada.” William berdiri, menjauh. Menuju ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan kamarku. “Kau yakin tidak ingin makan?” William kembali bertanya.
“tidak...maksudku, aku ingin.” Aku gelagapan bergegas menjawab pertanyaannya.
***
besambung ke chapter 2B
***
ANDI PRAYOGA
***
WILLIAM STENDREY
***
ANDI PRAYOGA DAN DIAN ROSALINA
***
Writer : EvanFarrel
ehh kok tau namaku? ini siapa yaa?
oow gitu penjelasannya. okaay.
lanjutannya aku save dulu yee baca nanti