BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Gay "Rasis"

Gue baru aja pulang kuiliah, lalu langsung meluncur ke rumah Ban dengan menggunakan bus kota jalur 9. Bus kota yang lewat depan kost cuma jalur 9, untungnya trayek melewati kawasan Tamsis. Gue nggak perlu repot-repot pindah-pindah angkot untuk ke rumah Ban. Kali ini gue ke rumah Ban sekedar nebeng ngadem, lumayan bisa tidur pake AC,hehehhe.

Saat gue sampai di kamar Ban, gue terkesima dengan kamar berantakan banget. Kamar berantakan itu biasa, tapi ini yang berantakan adalah tisu tercecer di mana-mana. Ajaibnya tisu itu berisikan ledir berbau anyir. Nah loh pasti udah pada tau kan itu apa? Tisu ini bagaikan jebakan batman dech, kalau nggak hati-hati kamu nginjek, dudukin bahkan nidurin. Emang beneran Ben super jorok. Herannya dia masih aja betah dengan kamar berantakan kaya gini.

“Ich....jorok banget sih kaya gini.” Gue masuk kamar sambil berjinjit untuk menghindari ranjau.
“Hehehehe,” Ben cuma terkekeh. Tubuhnya masih dibalut pakaian lengkap, tampaknya dia juga baru pulang kuliah. “Iya nanti gue beresin,”
“Sekarang bego..... gue kagak mau nginjek pejong kamu,” gue mendengus kesal.

Tanpa diperintah lagi, mungkin dia juga menyadari betapa jijiknya jika menginjak gituan. Ban segera mengambil tisu yang tercecer di lantai, kasur, karpet bahkan ada yang di kolong lemari. Gue heran semaniak itu kah, pantesan aja tangan kanannya kekar.

Setelah kamar beres semua gue tiduran sambil nonton televisi, sedangkan Ban asik sendiri berselancar dalam dunia maya lewat smarthphone. Aplikasi pertama yang dibuka pasti Grindr. Gue sekilas ngeliatin dia, tampaknya kesal. Selepas Grindr berlanjut ke Planet Romeo, mungkin hasil sama saja, bibir Ban tambah monyong aja karena kecewa. Nampaknya masih peasaran lalu dibuka kembali Manjam. Ban membuka semua aplikasi pertemanan dunia homo.

Gue tau pasti Ban sedang mencari mangsa. Mangsanya buat dijadiin partner ngewe, tapi berdalih untuk cari temenan. Biasanya gitu kelakuan gay jaman sekarang. Kalau udah ngewe bisa jadi teman, atau malah dicampakkan begitu saja kalau nggak udah ngewe, tergantung dari service yang didapat. Tapi nggak semua homo gitu ya. Mencari teman lebih baik di forum terbuka atau dari pertemanan secara langsung lewat acara gathering.

Kalau jaman dulu kita temenan dari pertemuan langsung, biasanya ada suatu gathering, di tiap kota pasti ada tempat ngumpul khusus para gay. Jika masih malu-malu dalam dunia nyata, alternatif lainnya lewat dunia maya, chating di MIRC. Aplikasi yang paling ngetren di tahun 90an sampai akhir 2010an sebelum tergusur oleh sosmed khusus homo. Sekarang udah banyak sosmed yang khusus untuk gay, gue udah dijelasin di atas macam-macamnya.

“Elu kenapa Ban monyong gitu?” gue basa-basi nanya gitu. “Pasti nggak ada yang respon elu ya?hehehe,” gue meringis melihat ekspresi Ban yang bibirnya makin monyok.
“Ichhh... sotoy,” Ban menanggapi dengan kesal. Sejurus kemudian melempar smarthphone ke kasur.
“Tapi benerkan?” gue mendesak agar Ban buat pengakuan.

Ban nggak menjawab pertanyaan gue. Mungkin dia pikir tanpa dijawab pun sudah tau kebenarannya. Ban hanya terlentang, sesekali menghembuskann nafas kuat-kuat untuk menghilangkan kekesalannya.

“Kenapa sih dunia homo pun masih ada aja rasis?” Ban mulai menceritakan keluhannya. “Mereka banyak yang memandang fisiknya saja atau penampilan, atau sesuatu yang dianggapnya keren.” Ban membalikkan badannya pada gue. Suaranya terdengar putus asa.
Gue memandang iba pada sahabat yang sedang HBL akut. “Pertama, kita pasti lebih pilih berteman yang ada wujudnya. Elu juga nggak mau kan temenan sama makhluk astral.”
“Emang gue temanan sama elu bukan teman yang mistis? Gue heran bisa temenan sama makhluk gaib macam elu Ben,hahaha.” Ban sukses menyemprot gue.hahaha.
“Setidaknya gue nerima elu apadanya sebagai teman,” balas gue.
“Gue cuma kasihan sama elo, anak rantau yang merana,hahahah.”
“Back to topic,”gue mengalihkan perhatian lagi. Serangan berbalik, gue yang kalah. “Jadi intinya elu juga orang yang merana. Gay seantero Grindr nggak ada yang pilih elu.” Skakmat!

Ban tambah mencelos aja, meringkuk tak berdaya atas penderitaan tak dianggap oleh homo Jogja. Gue sadar kata-kata yang keluar dari mulut gue dalem banget menusuk, tapi kenytaan seperti itu.

“Bukan gitu, intinya rasis nggak dicuma ada di dunia normal aja. Gay juga bisa aja rasis, yang cakep sama cakep, yang manly sama yang manly, gagah sama gagah.”
“Terus yang ngondek sama yang jelek sama siapa?” Gue memotorng omongan Ban. “Nah elo bagian dari mana?” lanjut gue.
“Ahh..... sial, jangan dipotong donk.” Ban terlihat tambah kesal.
“Itulah pilihan mereka. Elo juga maunya sama yang ganteng juga kan? Tapi sayangnya elo jaduh dibawah standar yang emang ganteng beneran,” gue balik nanya ke Ban tentang masalahnya.
“Hhhmmmm.” Ban nggak bisa berkutik, dia sedang cari alasan. “Gue sih nggak mandang fisik. Gue maksud rasis itu, kalau mereka malah ngomongin bahkan mencemooh homo-homo yang nggak “selevel” sama mereka.” Ban mengangkat dua jari terlunjuk dan tengan dari kedua tangan untuk memberi tanda kutip pada kata selevel. “Nggak cuma pas ngumpul aja tapi postingan mereka di sosmed juga, pakai ngata-ngatain lah.”

Gue nggak langsung jawab. Gue berusaha mencerna apa yang barusan dikatakan Ban. Apa benar di dunia gay pun ada “rasis”, maksudnya bukan ras, agama, budaya dll. Tetapi lebih kepada bentuk wujud gay yang bermacam-macam rupa.

“Emang ada yang salah dengan orang ngondek dan jelek?” lanjut Ban sambil tanya ke gue. “Nggak perlu jelek-jelekkin gitu lah. Harusnya dirinya juga ngaca juga donk,” omelan Ban semakin menjadi.
“Ban..... gue nggak tau ya harus jawab gimana. Tapi gue percaya nggak semua homo seperti itu.” Gue menepuk-nepuk punggung Ban agar sedikit tenang. “Kalau gue pikir sih orang-orang kayak gitu cuma kurang pendidikan aja.”
“Eh mereka banyak yang sarjana dan S2 atau lebih cerdas,” Ban menampik omangan ku dengan tangkas.
“Maksud gue pendidikan moralnya. Nilai PMP (Pendidikan Moral Pancasila) mereka merah kali waktu sekolah dulu,” gue ngeles aja,heheheh. Tapi jadul banget ya pelajaran PMP.

Kita terdiam lagi. Bener juga apa yang diomongin Ban, kalau pelaku itu dari mana saja yang mulai dari “S3” samapai sarjana strata tiga. Mungkin mereka kecerdasannya numpuk di otak. Sedangkan kecerdasan nuraninya lupa diisi. Nggak semua homo kayak gini loh. Masih banyak gay yang baik dan nggak sombong nggak lupa rajin menabung.

“Jadi kesimpulannya antara yang rasis sama pilih-pilih itu beda tipis.” Ban menyimpulkan obrolan kita.
“Bedanya apa?” tanya gue bingung.
“Kalau yang rasis itu pakai acara bully kalau yang pilih-pilih lebih ke diem aja atau cukup dengan negasi nggak pakai kata-kata sarkastik,” jawab Ban. Suaranya masih terdengar lesu sedikit kecewa.
“Hhhhmmm gini sih ya Ban. Secara nggak langsung mungkin kita juga ngelakuin rasis itu koq. coba elu panggil gue Bencoooooong, nah gue panggil elu Banciiiiiiii,waakakakka.” Gue berusaha menghibur Ban. Sebagai sahabat wajib donk menghibur teman yang lagi dalam titik nadir.
“Eh bener juga ya, kita hobi ngomongin Waria Maualana (salah satu sahabat kita juga). kita sering nyindir kalau dia ngondek, dia inilah itulah. Padahal kita juga nggak kalah ngondek,wakakkaka.” Ban jadi ketawa terpingkal-pingkal. Syukurlah dia sudah rada membaik dan sadar sebagai pelaku rasis.

Ok. Jadi gue berasumsi. Siapa saja bisa “rasis”, termasuk gue dan mungkin juga elo. Bukannya nggak apa-apa, tapi asal nggak keterlaluan dan menyinggung. Rasisnya cukup dalam hati kita,hehehhe. Rasis gay nggak cuma dalam individu juga, tetapi bisa juga dalam kelompok.

“Rasis juga nggak dalam individu kita aja. Coba aja kalau kita ngumpul sosialita homo pasti ada aja yang rasis. Apalagi kelompok khusus “inilah itulah” diluar itu nggak boleh masuk.” Ban duduk tegak kembali, lalu mengambil bantal.
“Nah tuh kan..... coba dech kalau kita ngumpul ngomongin si ini ngondek terus ujung-ujungnya mereka nggak mau temen lagi sama dia.” Gue ngomongin contoh dari rarsis dalam kelompok. “Rasisnya mereka nggak cuma soal ngondek juga tapi bisa banyak hal, jelek atau ganteng, gedong atau kelinci, fetish, dan lain sebagainya.”
“Iya tuh.... pasti ada aja kelompok nggak nerima homo baru untuk gabung dengan alasan yang elo sebut tadi. Itu sama aja bentuk rasis.”
“Nah orang-orang yang tersingkir tadi akhirnya membentuk kelompok baru yang senasib dan sepernderitaan. Akhirnya tambah lagi kelompok homo rasis baru. Kalau kayak gini emang nggak ada akhirnya,” gue nambahin pendapat Ban.

Gue dan Ban kembali terdiam, memikirkan nasib dunia pergay-an yang begitu rasis juga, malah nggak kalah dengan dunia normal. Tapi buat gue rasis dalam dunia gay nggak se ekstrim dunia normal sana. Dalam dunia gay banyak hal tapi tidak serumit dunia luar.

“Gimana mau diakui atau dihargai sama orang “luar”, kalau orang dalam aja rasis,” Ban menggumam. Tetapi suaranya masih terdengar ke telinga gue.
“Kadang mereka itu nggak sadar antara pendapat pribadi itu sebagai bentuk rasis. Mungkin kata gue sih ya, mereka nggak peka aja atau kurang bisa menghargai dan meghormati apa yang sudah tercipta.” Gue menimpali omongan Ban sambil ngemil onde-onde.
“Tapi biarlah orang kayak gitu, nggak usah dipikirin,” Ban menganggap hal ini kasus yang sepele.
“Nggak bisa gitu jugalah..... kita harusnya bisa menghormati apa yang ada di diri seseorang itu. Dia ngondek atau jelek, cacat, waria punya hak yang sama dalam bersosialisasi. Toh ganteng, pinter, muscle dan “kesempurnaan” lainnya nggak menjamin mereka seorang yang perfect. Tiap homo itu pasti saling melengkapi dan mewarnai dunia perhomoan.” Gue nyamber omongan Ban dengan semangat.

Kita diciptakan memang berbeda. Tapi perbedaan itu jangan dijadikan sebagai jurang pemisah dan dipisahkan. Perbedaan itu untuk saling melengkapi dengan potensi yang dimiliki seseorang. Bertemanlah dengan siapa saja tanpa memandang dia “siapa dan apa”, karena setiap teman pada dasarnya baik. Tapi kita punya pilihan untuk” mengikuti” jejak teman itu atau tidak mana yang baik untuk kita tau tidak. Kalau kamu dijahatin temen berarti namanya apes, dan dia nggak mengaggap kamu sebagai teman.

“Ben.....sini dech ada yang cucok.” Ban kembali memperlihatkan foto cowok yang ada di Grindr. “Tapi nggak deh.....dia orang....... pasti kasar mainnya, udah gitu pelit. Lihat tuh jentiknya ngetril, coooong”
“Nah lohhhhhhh.....” Gue tepok jidat sendiri.

Comments

  • bagus dan menarik ceritanya ... realita memang seperti itu ... kalo gitu sama Ben saja kan cocok ...^^
  • @lulu_75 yup itu emang sengaja aku bikin cerita kayak gitu. coz emang refleksi dari pergaulan sesama gay pun masih banyak yg "rasis". hahahah Ben sama Ban cocoknya sebagai couple sahabatan aja.
  • realitanya emang rata" gitu sih ya, kebanyakan rasis dan pilih2
  • @harya_kei rasis sama pilih2 beda tipis. setipis kondom.heheheh. buat newbie harus siap metal realita dunia gay yang rasis..
  • iya juga tapi justru yang newbie yang rasa penasarannya tinggi n kebanyakan rasis, berdalil masih polos tapi malah gahar hahaha walau gak semua c
  • hahaha bener juga yg newbie malah lebih rasis. coz yang expert udah kebal jadi gak mikirin mau ngondek atau gak, mau fetishnya macem2 juga kadang gak peduli. kayaknya kamu udah expert :p
Sign In or Register to comment.