CERITA ATAP
Sebuah drama cerpen remaja
“Huufftt “
ku hembuskan gumpalan asap melalui mulutku. Melepasnya pergi bersama segala penat yang bersarang di kepalaku. Lantunan musik punk ala rancid terputar sedari tadi melalui mp3 player ku. Bosan dan jenuh. Tapi ini adalah sebuah keseharian yang biasa ku lalui. Duduk di atas atap menanti datangnya senja.
“Bay, kerja lagi yuk.”
Seseorang yang baru saja tiba menyerukan untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat kepadaku.
“Yaudah yuk jalan.”
“Oke.”
Kami pun bergegas meninggalkan atap tersebut. Berharap mendapatkan hasil dari pekerjaan kami.
***
“Pasar cukup ramai ya hari ini bay.” Ujarnya sembari memperhatikan sekitar.
“Ya, namanya juga pasar. Maklumi saja kalau memang ramai.”
“Nah tuh ada ibu-ibu, kayaknya bawaannya banyak tuh Bay.”
Ku perhatikan dimana arah dia melirik. Terlihat seorang ibu yang sedang kesulitan dengan bawaannya.
“Dapat kerjaan satu tuh Bay. Sana gih elu samperin.”
Aku pun mendekat kearah ibu tersebut. Di pasar yang padat ini, memaksakan ku harus berjalan secara berdesakan. Dan, yap dapat. Aku berlari secepat yang ku bisa. Menembus keramaian. Kembali ketempat dimana aku biasa beristirahat seusai pekerjaanku.
Setelah berlari cukup lama. Akhirnya tiba juga di atap tempatku semula berada. Ku periksa sesuatu yang kudapatkan tadi. Ada beberapa kartu ATM dan kartu-kartu yang terlihat cukup penting lainnya. Tapi bukan itu tujuan ku. Aku hanya membutuhkan nominal yang pasti.
“Berapa isinya Bay.?”
“Empat ratus ribuan.” Jawabku sambil terus mencari-cari isi dompet tersebut.
“Lumayan tuh, dapat banyak hari ini.”
“Ya, gitu deh.”
Ya, inilah pekerjaanku sepulangnya dari sekolah. Pekerjaan ekstrim yang menantang dan melawan hukum. Pencopet, itu julukan orang-orang kepada mereka para pencuri dompet. Latar belakang keluargaku bukan dari orang yang tak berada. Bahkan kami bisa disebut orang yang lebih dari pada berkecukupan. Hanya saja kegiatan mencopet ini adalah hobiku semata. Entah kenapa, tapi semua ini membuatku merasa senang dan puas.
Duduk dan kembali mencoba untuk rileks. Menghabiskan sisa-sisa temaram senja diatas atap ini. Sambil menyulut api pada ujung rokok ku. Mengabaikan segala kebisingan kedua orangtuaku di bawah sana. Dan aku hanya bisa kembali dalam fantasiku. Ya, hanya aku.
***
Entah apa yang menjadi keributan hari ini. Akan tetapi terlihat seperti sebuah berita panas di pagi ini. Mulai dari koridor bahkan hingga kedalam kelas anak-anak terlihat sedang antusias membicarakan sesuatu. Mungkin ada tranding topic terbaru yang muncul pada hestag twitter.
Akan tetapi ada sesuatu yang aneh. Kenapa di meja ku begitu banyak kerumunan orang. Aku langsung saja menuju ke tempat duduk ku, dan tanpa menghiraukan kerumunan orang tersebut, aku langsung saja duduk di tempatku.
Aku sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan gosip ala anak SMA. Hanya saja, sesuatu seperti baru saja memberikan tamparan keras padaku.
“Iya, kata nyokap, seragam olahraganya terlihat sama dengan seragam sekolah kita.”
“Tapi nyokap lu inget wajahnya.”
Pertanyaan ala tim introgasi memberondongi anak yang duduk tepat di sebelahku.
“Gue aja yang dua tahun disini gak bisa hafalin satu-persatu siswa yang ada di sini, apa lagi nyokap gue yang jelas-jelas gak tinggal di sekolah ini.”
“Emangnya kenapa sih sampai segitunya elu antusias sama tuh pelaku. Kepanasan amat lu buat hajar tuh copet.”
“Sebenarnya terserah dia mau ngambil tuh duit di dalam dompet. Tapi masalahnya ada barang yang lebih penting di dalamnya.”
“Apaan emang yo.?”
“Pokoknya ada lah, yang jelas penting banget.”
“Yaudah, nanti gue sama anak-anak bantu cariin deh siapa tuh pelaku. Biar sekalian kita hajar sampai babak belur.”
“Gak usah di hajar. Yang penting balikin aja tuh dompet. Nyokap gue juga dah ikhlasin uangnya kok.”
SHIT..!!! gue baru inget kemaren pas nyopet masih belum ganti seragam sekolah. Bodohnya..!!!
“Bay, ada info gak.??”
“Info apaan.” Jawabku cuek.
“Ya mungkin aja elu tau siapa pelakunya. Kan rumah lu gak jauh dari lokasi pasar.”
Ampas.!! pernyataan Rio benar-benar menyudutkan ku saat ini. Seakan dia tahu bahwa aku pelaku dari kejadian tersebut. Aku hanya bisa beranjak dan pergi meninggalkan kelas untuk sementara waktu tanpa berbicara apa-apa. Dan dia hanya bisa menatap kepergianku. Ku kira ini cara terbaik agar aku tidak keceplosan saat berbicara dengannya. Bisa gawat kalau saja image seorang pencopet melekat kepadaku. Selain dikeluarkan dari sekolah, bakal ada sanksi social yang akan menghantuiku dalam waktu yang cukup lama pastinya.
***
Hah lelahnya. Kalau saja bukan untuk pengambilan nilai, tak akan ku pacu lari ku tadi. Alhasil, rekor pencatatan lariku mengalahkan anak-anak yang lain. Mungkin itu dikarenakan skill berlari yang cepat adalah skill yang paling penting bagi seorang yang punya hobi mencopet sepertiku. Ya, bukan sebuah tempat pencari penghasilan. Mencopet hanyalah hobi buatku.
“Ahhh, kemampuan lu gua acungin jempol dah Bay. Lari elu kaya angin aja.”
“Kentut itu angin bukan sih?”
“Bukan itu maksud gue. Tapi beneran, lari lu cepat banget soalnya Bay.”
“hahahaa.”
Tidak seperti biasanya. Anak bernama Rio ini mendadak mulai mengakrabkan diri denganku. Entah ada maksud lain apa, akan tetapi semua ini mulai terasa mencurigakan dan sedikit menbuatku resah. Tanpa basa-basi lebih panjang, ku tinggalkan oembicaraan tersebut, mengarah ke anak tangga dan menaikinya satu-persatu munuju kedalam ruangan kelas.
Tanpa kusadari seseorang mengikutiku dari belakang. Dia berdiri terdiam dengan tatapan tajam yang tertuju kearahku. Tatapan tersebut seakan men-judge ku dan membuatku terasa dipojokkan. Persetan.!! Aku mencoba untuk tak mengabaikannya.
Beberapa waktu tanpa ada sepatah kata. Hanya ada tatapan yang benar-benat membuatku risih. Aku sudah tidak tahan lagi dengan situasi ini. Ku beranikan diri untuk membalas tatapan itu. Menantikan sepatah kata yang akan keluar dari seorang anak yang berada di hadapanku.
“Ada apa.??”
Akhirnya aku mulai mengalah dari situasi yang mencekikku tersebut dengan melontarkan pertanyaan terlebih dahulu kepadanya.
Ku perhatikan bibirnya mulai bergerak. Terlihat gemetar, seakan dalam perasaannya begitu gamang, gundah untuk menyampaikan sesuatu. Masih berat untuk dia lontarkan maksud dari kedatangannya disini. Apa dia akan menuduhku secara sepihak.? Aku benar-benar merasa tersudutkan olehnya saat ini.
Tak lama kemudian, kedundahannya mulai tersisihkan. Dia dengan mantap melontarkan sebuah pertanyaan. Berbeda dengan pemikiran awalku tadi. Sebuah pertanyaan kali ini lebih menjurus kepada sebuah permintaan ketimbang subuah pernyataan intimidasi.
“Bay, gua mau minta tolong sama lu buat bantuin gue cari pencopet yang nyopet dompet nyokap gue.”
“Disini.??”
“Bukan, tapi di lokasi kejadiaannya.”
Oke, kurasa kali ini aku akan dapat suatu pekerjaan yang merepotkan. Aku membantu seseorang untuk mencari pelaku kejahatan. Dan sialnya pelaku tersebut adalah aku. Situasi bodoh macam apa ini. Tapi setelah ku pikir-pikir. Hal ini justru menguntungkan ku. Tidak mungkin dia menyadari keberadaanku jika aku seolah berada di pihaknya. Bukankah itu lebih baik.
“Oke gue bisa bantu, hanya saja juka kegiatan ala detektif ini gak ganggu aktifitas gue yang lain.”
“Gue hargai itu. Dan sore ini gue bakal datang kerumah lu.”
“Jangan masuk dari pintu depan. Langsung aja naik keatap dari tangga samping.”
“Oke, sesuai intuksi komandan.”
Sekarang aku hanya bisa terdiam dan berfikir. Sebenarnya apa yang baru saja terjadi.? Ahh sudahlah. Semua juga sudah terlanjur.
***
Rutinitas yang sama seperti biasanya. Duduk dan menatap entah kemana. Terbang bersama anganku menumbus kepulan asap rokok yang tak henti terhembus dari mulutku. Kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Sebuah lagu lawas dari Bee Gees terlantun dari mp3 player-ku. “I started a joke”, sebuah judul yang seakan menyindirku, menusuk hingga tulang rusuk ku. Tapi entah kenapa aku lebih memilih lagu tersebut tetap terputar hingga habis.
Seseorang muncul dari arah tangga. Mendekatiku, dan kemudian berdiri terdiam disampingku. Menatap kosong kearah aku memandang. Layaknya aku, entah apa yang dipandangnya. Suara cekcok di bawah disamarkan oleh Payung Teduh yang sedang konser di dalam Mp3 player-ku, akan tetapi terdengar cukup jelas.
“Membosankan ya.?” Sebuah pertanyaan keluar dari mulutnya.
“Gue malas kalo elu ngebahas masalah dibawah.”
Aku berpura-pura bersifat acuh tak acuh akan pertanyaan tersebut.
“Ya. Secara tidak langsung kita hampir sama.”
“Maksudnya.?”
“Semua orang punya cara untuk lari dari kenyataannya masing-masing kok Bay.”
“Bicara elu berbelit-belit. Gue kagak ngerti yo.”
Kemudian dia mengangkat sesuatu dari tangannya. Dia meletakkan benda tersebut disamping ku. Sebuah dompet berwarna coklat. Ya, dari ukurannya sudah dipastikan bahwa ini bukan dompet untuk seorang laki-laki. Aku mengenal benda tersebut. Benda yang kudapatkan beberapa hari lalu.
“Gue nemuin nih dompet di tempat sampah dekat tangga tadi. Mungkin aja tuh copet gak sengaja buang nih dompet di dekat sini.”
Aku merasa tercekik atas pernyataan tersebut. Kelalaian ini benar-benar sangat fatal bagiku. Dan sekarang, mungkin image buruk akan melekat padaku. Sial..!!!
“Gue gak butuh dompetnya kok bay. Yang gue butuh cuma ini.”
Tak ada penjelasan yang diminta olehnya. Seakan dia mengerti akan segala sesuatunya. Aku merasa bingung dengan keadaan ini. Raut mukanya terlihat begitu lega. Seakan dia lebih lepas dan relax dari sebelumnya. Mataku tertuju pada sesuatu yang berada di tangannya. Hanya sebuah buku kecil yang tidak ku ketahui kegunaannya. Tanpa ku sadari, dia sedang memperhatikan peringaiku.
“Ini??”
Dia mengangkat benda tersebut dan menunjukannya kearahku.
“Ini buku nikah kedua orangtua gue. Benda ini begitu penting untuk kelangsungan hidup gue Bay.”
Suasana yang sedari tadi terasa canggung, kini dibawanya dengan lebih santai. Walau perasaanku masih terasa kurang enak saat ini. Dikarenakan benda yang dia cari berada di tempat sampah milik ku. Secara otomatis aku adalah tersangka utamanya saat ini. Aku hanya bisa terdiam dan mendengarkan. Terdiskriminasi oleh situasi yang dilematis ini.
Kemudian dia pun mulai bercuap. Bercerita tentang kisahnya.
“Bokap gue udah gak tinggal sama nyokap dan gue lagi. Status mereka sekarang bisa dibilang ngegantung. Cerai enggak, dibilang nikah tapi seperti orang yang udah cerai. Dan buku ini satu-satunya alasan gue masih sekolah sampai saat ini. Buku ini alasan gue masih bisa hidup. Karna buku nikah ini nyokap masih bisa mendapatkan gaji dari bokap.”
Dia menatatap ku begitu lekat. Kemudian dia pun bertanya.
“Bay, gue yakin elu nyopet bukan karna gak mampu. Dari rumah lu aja gue bisa lihat keadaan ekonomi elu gimana. Pasti ada alasan lain kenapa elu lakuin hat itu.”
Aku hanya bisa terdiam. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Karena ku akui, semua perkataannya terhadapku adalah benar.
Kemudian hening kembali bersama kami. Hanya lagu-lagu dengan lantunan lembut yang mengisi kekosongan saat ini. Cukup lama. Hingga keadaan serba canggung ini terpecah oleh sepatah kata.
“Maaf.”
Ya, kata yang simple tetapi begitu rumit untuk diucapkan.
Dia hanya menatapku sejenak, dan kemudian ia kembali menatap langit dengan senyuman. Entah apa maksudnya, tapi dia terlihat seperti seseorang yang bahagia saat ini.
“Seandainya bokap gue lebih jantan untuk mengatakan hal itu. Mungkin situasi ini gak harus gue alamin.”
Entah terju kepada siapa. Perkataannya mengisyaratkan bahwa sejak awal kata itu yang dia tunggu. Ya, sekarang aku benar-benar terpojokkan oleh situasi.
“Kayaknya gue harus pulang Bay. Lagian gue rasa ada sesuatu yang harus elu selaikan di bawah.”
Dia pun berjalan pergi bermaksud meninggalkan tempat ini. Akan tetapi sebelum dia benar-benar pergi ada sebuah pesan yang dia sampaikan padaku.
“Bay, silahkan elu mau lari sejauh apapun. Selama itu nggak merugikan orang lain. Dan sekedar saran gue. Ketimbang elu musti lari, kenapa elu gak coba untuk hadapi.?”
Kemudian dia tersenyum dan pergi meninggalkanku. Perkataannya membekas dalam pikiranku. Ya, selama ini aku hanya lari dan acuh tak acuh terhadap situasi di dalam keluargaku. Aku belum pernah berbicara kepada orangtua ku. Dan, aku masih punya hak atas keluaga ini. Kurasa mungkin ini saatnya aku mencoba. Ya, harus..
End…. DS as AP
Comments
ada kelanjutannya gak?
Ditunggu cerpen2 slnjutnya...
@raka rahadian yoai kak.. kelarin itu part terakhir novel Bukan sebuah angka dlu
@lulu_75 maklum ke post pas lg mabuk kak, jd lum sempat sunting >.<