Masih ingat kali pertama kita bertemu?
Pada awal tahun kedua kita di SMA, dan bahkan kita tidak saling mengenal saat itu. Kamu dengan duniamu dan aku dengan duniaku. Kebetulan kamu berteman dengan salah satu teman dekatku, karena itulah kita akhirnya berkenalan.
Kita menghabiskan waktu satu tahun berada di dalam kelompok sepermainan yang sama. Kita sudah mencapai tahap dimana aku bisa menyebutmu teman dekat, karena hampir setiap hari kita menghabiskan waktu dalam lingkungan yang sama. Tapi waktu itu aku bahkan tidak berfikir akan mengembangkan perasaan lebih untukmu.
Masih ingat ketika aku dengan leluasa duduk di lantai, di sebelah kursimu, dan menaruh kepalaku di pahamu setiap ada waktu kosong? Dan kamu diam saja, bahkan sesekali menepuk kepalaku. Saat itu aku merasakan tanda bahaya. Aku mulai merasa nyaman di sampingmu.
Masih ingat ketika setiap siang saat ada acara di aula, kamu akan mengambil kesempatan untuk menahan badanku dan menggelitik setiap bagian yang membuatku meronta-ronta? Saat itu kamu tidak peduli dengan tatapan aneh orang-orang, kamu hanya melakukan yang kamu mau. Aku pun sebenarnya tak suka dengan kelakuan itu, membuat aku kehilangan tenaga karena menahan rasa geli di berbagai tempat. Tapi senyum itu, senyum puas yang tersirat di wajahmu yang membuatku rela kehabisan tenaga.
Pada awal tahun ketiga kita di SMA, aku sempat mengumpat saat tahu kita tidak sekelas. Tapi kamu meminta agar kita saling menunggu setiap hari ketika bel pulang berbunyi, dan itu lebih dari cukup untuk membuat otakku mati rasa.
"Kalo lo pulang duluan, ke depan kelas gue aja. Kalo gue yang pulang duluan, nanti gue yang ke depan kelas lo."
Pada saat itu kamu tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang aneh melihat kita selalu pulang bersama. Pada saat itu kamu tidak peduli dengan sindiran orang yang mengatakan bahwa kita menjalin hubungan. Lagipula, tidak ada apa-apa bukan diantara kita?
Aku kira semua tidak akan berkembang. Perasaan ini tidak akan berkembang. Aku kira kamu tidak memiliki perasaan apapun. Sampai saat itu terjadi.
Kamu sempat membawaku ke tempat bimbingan belajar. Saat itu kita belum terdaftar di sana, dan hanya berkunjung karena banyak teman-teman kita yang mendaftar disana. Kita berdua masuk ke dalam dan melihat-lihat, aku tidak terbiasa berada di tempat asing sehingga aku selalu mengekori kemanapun kamu pergi. Namun mendadak seseorang menarikku, dan memintaku mengerjakan soal-soal yang tadinya sedang ia kerjakan.
Aku mengeluh, namun tetap mengerjakannya sesudah aku memintamu untuk menunggu sebentar.
Orang itu berterima kasih saat aku mengembalikan kertas soal yang sudah terisi, namun aku terkejut ketika melihatmu tidak berada di dekatku. Oke, aku mengakui ini terkesan berlebihan tapi aku benar-benar panik saat itu. Mungkin sama paniknya seperti ketika aku kehilangan orangtuaku di supermarket.
Aku mencarimu ke kamar mandi, ke lantai atas, bahkan aku mencari ke parkiran dan ya aku masih menemukan mobilmu disana. Yang artinya kamu belum meninggalkan tempat ini.
Aku tidak tahu kenapa, tapi berada di tempat itu tanpa kamu yang membawa ku kesana membuatku merasa asing. Membuatku merasa berada di tempat yang tidak aku kenal, hanya karena tidak bersama denganmu.
Entah sudah berapa kali aku mencoba menghubungi mu, namun semuanya tidak tersambung. Bbm ku hanya menunjukkan tanda centang. Bisa dikatakan aku hampir frustasi, maafkan aku waktu itu aku sangat panik. Aku tidak suka berada di tempat asing, apalagi sendirian karena teman-teman kita yang lain sudah masuk ke ruangan.
Aku hampir saja melangkahkan kaki mencari ojek, namun entah kenapa aku melihat siluet seragam SMA kita dari sebuah tempat makan tak jauh dari tempat bimbel itu dan secara refleks aku mendekatinya.
Dan disanalah kamu. Duduk bersama perempuan-perempuan itu, tertawa diantara mereka.
Aku tak tahu apa yang membuatku kesal. Fakta bahwa kamu mengabaikanku begitu saja, padahal kamu yang membawaku ke tempat ini. Atau kenyataan bahwa kamu dikelilingi oleh perempuan, dan tersenyum bahagia diantara mereka.
Yang aku ingat hanya satu, aku berjalan mendekatimu dan membuka mulut
"Makasih udah ninggalin gue. Gue pulang naik ojek aja."
Aku tak ingat nada dan raut macam apa yang aku tampilkan saat mengatakan itu. Tapi aku bisa melihat ekspresi kalian semua yang berubah seakan merasa bersalah sebelum aku berbalik dan berjalan menuju tempat ojek.
Aku sempat menengok, kamu masih berada disana. Baiklah, kalau ini maumu.
.
.
.
Bersambung.
Comments
Pasti bingung deh yg kena omel....
Lanjuuut^^/
okey #duduk sambil nunggu lanjutan
okey #duduk sambil nunggu lanjutan
Aku tahu aku bodoh, seharusnya aku tidak marah hanya karena kejadian itu. Tapi apa daya, perasaan itu seperti gemuruh, yang perlahan muncul dari bawah dadaku. Saat aku sadar, gemuruh itu sudah mencapai kepalaku dan menutupi pikiranku.
Keesokan harinya kamu tampak menjauhiku, tentu saja, pikirku. Mungkin kamu tidak mau lagi berteman denganku.
Untung kita berbeda kelas, sehingga tidak banyak interaksi yang terjadi di antara kita. Kamu bahkan tidak menengok ketika jam istirahat, ketika kamu berjalan melewati kelasku. Kenapa aku tahu? Karena aku yang selalu menengok ke arah jendela, menunggu sosokmu yang selalu lewat saat jam istirahat.
Kamu terlihat kurus dengan baju seragam yang agak kebesaran itu. Tapi baju yang lebih kecil akan membuat perutmu terlihat, karena posturmu yang tinggi.
Kacamata dengan frame hitam itu tidak pernah lepas dari pangkal hidungmu, yang tanpanya, kamu tidak akan bisa melihat papan tulis dari jarak dekat sekalipun.
Baiklah cukup, aku tidak bisa memandangimu lama-lama. Aku terpaksa mengalihkan pandanganku ke meja. Berharap kamu segera berlalu. Berharap perasaan ini segera berlalu.
Kupikir kamu akan membiarkanku berlalu, namun ternyata tidak. Kamu berada di depan kelasku saat bel pulang berbunyi. Kamu membalas sapaan teman-temanmu yang sekelas denganku seadanya, dan tetap menuangkan perhatianmu padaku.
"Yuk pulang."
Perasaan itu seperti air, meleleh dari kepalaku hingga ujung kaki, membuatku lemas namun terasa ringan. Membuat kaki ku terasa ringan saat mengikutimu namun tetap dapat berpijak dengan mantap.
Kamu membawaku ke parkiran tanpa banyak berbicara. Kamu mengantarkanku ke rumah dengan sama bisunya.
Tak sepatah kata keluar dari mulutku, lagipula apalagi yang bisa kukatakan? Oh. Aku tahu apa yang bisa ku katakan.
"Maaf."
Anehnya, bukan hanya aku yang bersuara.
"Maaf buat apa?" tanyaku.
Kamu terdiam, sepertinya memutuskan untuk berpikir terlebih dahulu.
"Aku minta maaf, kalo aku berlebihan" lanjutku. "Aku cuma panik, aku kira kamu ninggalin aku disana. Padahal ada mobil kamu diluar. Aku tahu aku berlebihan, aku cuma....... gak biasa jauh-jauh dari kamu."
Suaraku memelan setelah kata 'cuma'. Bahkan mukaku sendiri memanas saat sadar apa yang aku katakan.
Aku terlonjak ketika kamu langsung menangkap tanganku.
Hening menyeruak diantara kita, sementara masing-masing hanya bisa membisu, tidak tahu apa yang sebaiknya di ucapkan.
Aku merasa aku sudah berkata cukup, dan aku membuka pintu mobil di sebelah kiriku.
Tak sampai sedetik kamu menangkap tanganku lagi, kali ini dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maaf!!" katamu.
Aku tak dapat menyembunyikan keheranan yang terpampang di mimik wajahku. Aku tidak pernah melihat kamu menangis.
"Gak, gak apa. Bukan kamu yang salah kan?" Aku merasa iba, dan rasa bersalahku rasanya menjadi berkali-kali lipat lebih berat, membuat paru-paruku serasa kaku.
"Maaf. Gak seharusnya aku ninggalin kamu disana sendirian. Padahal aku yang bawa kamu kesana." Kamu melanjutkan. "Tadinya aku mau ngajak kamu, tapi kamu lagi sibuk ngerjain soal dan aku kira kamu bakal nyusul jadi aku pergi duluan"
Sungguh, aku ingin menyanggah. Tapi matamu yang berkaca-kaca dan suaramu yang menahan tangis membuatmu iba. Selain itu aku terharu, aku tak mengira bahwa masalah ini segitu berpengaruhnya untukmu.
Keheningan kembali menyeruak, ketika aku tak menjawab pengakuan bersalahmu. Kamu menjatuhkan kepalamu di pahaku, menumpahkan air mata disana. Kuelus pelan kepalamu, berusaha meringankan rasa bersalah yang kamu rasakan.
Aku kira aku yang selama ini terlalu bermain dengan perasaan. Bahkan aku tidak pernah menangis karenamu. Namun rupanya kamu yang pertama menangis untukku.
Aku mengangkat wajahmu, kacamatamu sudah kau lepaskan, teronggok membisu di atas radio. Wajah yang tadinya berwarna cerah itu kini merah padam, dengan mata yang terendam.