It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ini masih chapter satu masih panjang hahaha. yg chapter 1 udah di baca sampe akhir mas? kritik sarannya dong biar ada kemajuan.
sukaaaa...
lain kali tag lg ya mas.
(“ Dasar lu, adalah kepoo.” Jawab Ezka sedikit ketus. Di kejauhan seorang anak kecil tampak berlari ke arah mereka di ikuti seorang pria yang tampaknya adalah bapak Si anak di lihat dari cara dia mengkhawatirkan si anak yang takut terjatuh ketika berlari setengah melompat-lompat.
“Wah dek liat mamah kamu selingkuh ama orang lain,” Si pria yang baru tiba membuka percakapan. Kemudian dia tertawa.
Ben tampak sedikit terkejut, sejenak melihat anak kecil itu yang kini sudah ada di pangkuan Sophie, kemudian berpindah melirik pria yang bernama Dimas dan terakhir menatap Sophie tak percaya.
“ Udah hasil lu berdua?” Ezka masih berwajah bingung
“ Iya anak gw ” balas Sophie seolah sudah membaca apa yang di maksudkan Igad mengenai rasa bingungnya.) apakah salah tulis nama?
Dan sophie memberi nama anaknya ezka...apakah itu nama lain dari igad? Ato ezka sudah dewasa dan menjalin hubungan dengan surya lalu ben?
Ceritanya sangat menarik, cuma aku sedikit ragu pada penempatan nama di atas... Apa nanti akan ada penjelasan secara rinci tentang kaitan-kaitan nama di atas? Sedikit penjelasan donk @Rayyi
@haha5 : Keep mention yah makasih udah baca. Kritik dan sarannya di tunggu.
@aurora_69 Makasih udah mampir.
@akina_kenji makasih udah di baca dan di koreksi. iya itu sebenernya typo masalah penulisan. karena saya buka Boyzforum lewat Proxy jadi susah untuk mengedit sama memperbaiki postingan. saran , kritik dan pembahasannya sangat membantu. di tunggu yah koment lanjutan di sesi berikutnya. makasih
@jimaVian_Fujo iya mas cerita ben dan ezka akan membahas kejadian sekarang yang mundur ke masa lalu mereka. sedangkan cerita igad dan lingga akan maju dari masa sekarang ke masa depan alurnya.
Lalu apakah kesalahan ben?
Lanjut deh...
beberapa postingan yang lagi di perbaiki saya post di Blog so jika mau mampir cekidot >>>> http://omongangakmutu.blogspot.com/
***
Igad merasakan tubuhnya yang sedang berbaring berjalan melayang-malayang, sementara matanya menerawang ke langit-langit yang sepanjang penglihatannya langit-langit itu di pasangin lampu neon berbentuk panjang. Ada sosok-sosok putih yang berkelebat di samping secepat tubuhnya yang selama ini masih ia rasakan seperti malayang.
“Apa mereka malaikat?” Igad mencoba menebak.
Tapi kemudian pandangan Igad yang tadi memburam perlahan menjadi jelas. Ia menyadari bahwa saat ini tubuhnya sedang berada di ranjang dorong yang dengan tergesa-gesa di bawa oleh dokter dan beberapa perawat entah tepatnya akan kemana. Mungkin dia berada di rumah sakit pikirnya. Tubuh Igad kini sudah tidak terasa seperti melayang lagi karena kasur dorongnya sudah berhenti. Dokter dan perawat-perawat itu seperti saling berteriak satu sama lain, tapi aneh sekali ia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tiba-tiba tubuhnya terasa seperti di cubiti ketika beberapa kabel yang berwarna-warni terlihat menempeli tangan dan kakinya, sensasi dingin dan tersengat mengalir di mana-mana. Igad mencoba meronta, berteriak meminta pertolongan tapi tubuhnya terasa sangat lemah tak bisa apa-apa.
Perlahan matanya memburam kembali, cahaya kecil seperti kunang-kunang bermunculan. Ketika tubuhnya yang lemah terasa melayang lagi dalam posisi seakan didorong memasuki sebuah lubang di dinding yang mengingatkannya kepada alat yang biasa di pakai dokter untuk melakukan CT-ray. Kunang-kunang yang tadi terlihat di matanya sekarang seperti berkembang biak bertambah banyak, mulai dari Lima, tujuh, sembilah, sepuluh, belasan, ratusan , ribuan sampai ia tidak mampu menghitung jumlahnya yang kemudian cahaya kecil itu seakan menyatu meledak menjadi sebuah cahaya besar yang membuatnya sesak.
***
“Tidaaaak,” Igad berteriak. Ia terbangun dengan tubuh penuh dengan keringat. Nafasnya tersengal-sengal dan secepat yang dia bisa ia mencoba meredakannya. Untuk beberapa saat yang ada di pikirannya adalah menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dan belakangan dia merasa sangat bersyukur bahwa apa yang terjadi sebelumnya, ternyata adalah sebuah mimpi.
Setelah kesadaran kembali seutuhnya Igad kembali membaringkan tubuh di kasur, menyibakan selimut karena kakinya terasa menempel dan sangat panas di atas kasur yang tertutup. Ia melirik jam di dinding yang menunjukan hampir pukul dua belas malam. Dengan masih lemas Igad mulai berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Membuka pakaiannya yang baru saja seakan di cuci dengan air keringat ke wastafel. Sensasi dingin terasa menjilati wajah dan tangannya ketika ia membasuhkan air dingin dari keran kamar mandi.
“Apa sebenarnya itu tadi, aku bermimpi di rumah sakit? Apa itu firasat,” tiba-tiba Igad teringat dengan Lingga yang kemudian dia coba untuk menepisnya dengan menghibur diri mengatakan, “Cuma bunga tidur.”
Ia keluar dari kamar mandi, dan dengan segera mengambil handphonenya. Berharap ada sebuah pesan dari Lingga karena hari ini adalah tanggal 25 tepat sebulan sejak ia dan Lingga jadian. Tapi tak ada pesan apa-apa di sana kecuali layar yang menampilkan jam digital yang hitungan detik saja angka-angka terpampangnya akan berubah menjadi 00:00.
Tengah malamnya lewat sudah tak ada ucapan atau sekedar kata selamat. Di antara ribuan panah jarak mereka apa sebenarnya yang kini sedang Lingga pikirkan batin Igad kembali membisu. Mungkin tak ada sinyal di sana karena dia masih berada di semeru atau mungkin dia benar-benar tidak peduli dan mungkin hubungan ini cuman lelucon main-main.
Sekonyong-konyong seekor kucing tiba-tiba terjatuh dari pelafon kamar, berguling ke arak buku kemudian meloncat ke atas kasur. Igad benar-benar terkejut bukan kepalang dengan kemunculannya, kucing hitam berbulu rata hitam dengan mata bergaris bulan sabit yang terlihat menyala karena berada di kegelapan dan yang terjadi berikutnya benar-benar di luar akal sehatnya.
Kucing itu merenggangkan tubuhnya seakan menggeliat karena baru saja terjatuh dari tempat yang tinggi. Pertama kucing itu mengeong kemudian bicara “Punggungku argg..”
Igad terkesima.
“Kucing itu bicara? Tidak.. Tidak mungkin,” sanggah Igad. “Pasti dia tadi mengeong dan selintas mirip bersuara. Kucing kan tidak bisa bicara.”
***
Sang Pesulap
DI suatu tempat ada penyihir yang lebih menyebut dirinya sebagai pesulap, ia bernama Winnie. Winnie tinggal di rumah serba hitam. Dari mulai dinding sampai seprai. Semuanya hitam. Di sana Winnie hanya di temani seekor kucing yang juga hitam. Satu-satunya yang bisa membedakan Si kucing dari ruangan dan seluruh isinya adalah matanya yang hijau. Begitu Si Kucing tidur dan kelopak matanya menutup, maka ia akan hilang seolah menyatu dengan rumah. Berkali-kali Winnie menduduki Si kucing secara tak sengaja. Dan itulah awal dari segala permasalahan antara Winnie dan Si kucing.
Setelah sering terjungkal dari tangga karena menyandung Si kucing yang tidak terlihat ketika sedang terlelap, Winnie lalu memutuskan untuk menggunakan sihirnya, dan… ABRAKADABRA! Si Kucing berubah menjadi berwarna hijau. Sekarang, di mana pun Si Kucing berada, ia selalu terlihat. Termasuk saat Si Kucing mencuri-curi tidur di tempat peraduan Sang Pesulap. Karena tidak mengizinkan Si kucing tidur di kasur, akhirnya Winnie meletakkan Si kucing di pekarangan rumput.
Masalah baru timbul. Si Kucing, yang sekarang berwarna hijau, kembali tak terlihat di tengah-tengah rumput. Bahkan saat ia membuka mata sekalipun, berhubung matanya juga berwarna hijau. Winnie, bangun dari tidurnya, lantas mencari Si Kucing di pekarangan. Lagi-lagi, penyihir yang lebih suka menyebut dirinya pesulap itu tersandung kucingnya sendiri, lagi, jumpalitan tiga kali di angkasa, dan tersuruk di tanah.
Kali ini, Winnie benar-benar kesal. Disambarnyalah Si kucing, dan… ABRAKADABRA! Si Kucing berubah menjadi… warna-warni! Kepalanya merah, kupingnya kuning, kumisnya biru, badannya hijau, empat kakinya berwarna ungu, dan ekornya... pink! Winnie sangat puas. Sekarang, di mana pun Si Kucing berada, baik di rumah maupun di pekarangan, ia pasti akan terlihat.
Namun, Sejak kejadian itu Si Kucing tidak mau kembali ke rumah. Ia sangat malu dengan warna tubuhnya yang tidak karuan. Ia bahkan ditertawakan oleh binatang-binatang lain. Si Kucing kabur ke puncak pohon tertinggi dan tidak mau turun - turun. Pagi sampai malam, Si Kucing bertahan tidak pulang.
Melihat Si Kucing yang menderita, Winnie pun merasa sedih. Si Kucing adalah segalanya bagi Winnie. Tapi ia malah membuat Si Kucing sengsara karena kehendaknya sendiri. Winnie akhirnya beringsut ke pohon tempat Si Kucing bergantung, dan dengan tongkat sihirnya ia mengubah Si Kucing kembali hitam. Perlahan, kucing itu kembali turun ke tanah.
Bersama Si Kucing yang kembali di sisinya, Winnie menghadap rumahnya yang serba hitam, membaca mantra sihirnya di udara, dan… ABRAKADABRA! Rumah hitamnya berubah kuning dengan atap merah menyala, sofanya berubah putih, karpetnya menjadi hijau, tempat tidurnya biru, selimutnya pink, dan kamar mandinya putih berkilau. Dengan perubahan baru ini, Si Kucing dapat terlihat dengan mudah… tanpa perlu berubah.
***
Aku selesai membaca Bab ke dua buku itu dalam sepuluh menit. Namun kesan yang tertinggal tak terukur oleh waktu . Winnie mengingatkan ku pada kita semua. Kita, yang seringkali bersikukuh untuk mengubah seseorang, memermaknya agar sempurna di mata kita, memaksanya agar muat dan tepat dalam ruang hidup kita, memangkas atau menambalnya agar bisa pas dengan kebutuhan, tanpa peduli bahwa apa yang kita perbuat sesungguhnya adalah siksaan bagi yang bersangkutan. Dalam penjara logika dan mental kita masing-masing, kita berpikir bahwa mengubah seseorang adalah solusi yang realistis dan humanis. Atas nama cinta dan apa pun, kita bahkan merasa bahwa kita sedang berbuat kebaikan.
Namun Winnie Sang Pesulap mengingatkan ku bahwa ada satu hal penting yang sering terlupa: diri kita sendiri. Perubahan tak pernah terjadi oleh hal lain di luar kita, meski faktor eksternal bisa jadi pemicunya. Yang mampu menggerakkan perubahan sejati hanyalah kita sendiri. Seperti halnya Winnie yang luput membenahi rumahnya dan malah sibuk mengutak-atik Si Kucing tanpa sadar kalau aneka sihirnya malah membuat SI kucing terdera karena menjadi sesuatu yang bukan dirinya, kita pun acap kali terlena dalam ekspektasi serta upaya untuk mengubah orang lain, dan malah lupa dengan pembenahan yang paling penting dan realistis yakni, sekali lagi, diri kita sendiri. Dan ini adalah masalah yang amat sering kita alami. Dari waktu ke waktu.
“Oke sudah kuputuskan kita akan berubah menjadi kucing seperti yang Ezka tulis di buku ini,” kataku kepada Dennis yang memakai kaca mata berbentuk bulan separuh yang dari tadi mengamati duduk di samping.
“ Hei tunggu dulu,”
“ Sudah tak ada waktu, dia akan segera terbangun,” Aku memutar-mutar jam di tangannya kemudian merapatkan jari-jari dan dengan sekali jentikan di ikuti bunyi ‘Pofff’ Dennis sudab berubah menjadi kucing.
“ Hei jangan bertindak semaunya ini tidak adil,” dengus Dennis “ Dan ini terlalu cepat, kita tidak perlu ikut campur terlebih dulu awas kau akan ku cakar.”
Dennis melompat menuju tubuhku namun tidak mampu mengenainya dan malah membuatnya melesat kesamping dan terjungkir, dari atas genting Dennis yang sudah berubah menjadi kucing terperosok, berguling-guling dua kali sebelum akhirnya menjebol plafon, membentur rak buku dan mendarat di kasur.
“Punggungku Argg…”
***