Ini sebenernya cerpen buat sekolah, gue sebenarnya pengen nerusin gitu ke kisah anak-anaknya, baca dulu dah, minta sarannya hehe :v
----
---
“Ibu..ibu...” Jagoan kecilku memanggil. Berlari menghampiri meninggalkan acara TV yang di tontonnya, yang menampilkan acara kesukaannya. Spongebob.
Dia memeluk dengan erat, mengalungkan tangan mungilnya ke leherku saat aku menunduk untuk menggendonnya. Aku mencium seluruh wajahnya. Di keningnya yang selalu berkerut, di pipinya yang selalu merona, di matanya yang indah, di hidung mungilnya, hingga di bibir mungilnya yang merekah cerah. Bau tubuhnya masih sama, begitu sejuk dan menenangkan. Setenang hutan yang pernah aku kunjungi dulu.
“Ibu, tadi adja titus, telus atu ketjal. Telus telus ibu atu jatoh, nih batju nya cobek!”
Wajahnya cemberut, menunjukkan kaos biru kesayangannya yang sobek di bagian rusuk. Aku hanya terkikik geli melihat jagoan kecilku yang cemberut, setelah berbicara mengenai bajunya dengan cara yang belum lancar. Sesaat, wajah bak malaikatnya mendekat dan mencium pipi ku sesaat, lalu dia tertawa.
“Ibu, nanthi ibu belikant atu batju lagi kan?”
“Iya Randy sayang, nanti ibu belikan yang ada gambar Superman.”
Aku tersenyum, sambil menoel-noel pipinya. Jagoanku hanya tersenyum, membayangkan dirinya memakai baju dengan gambar pahlawan idolanya. Sesaat, dia kembali tertawa, rambut halusnya yang wangi shampo stroberi jatuh mengenai dahinya. Aku mengusapnya dengan pelan, betapa bahagiannya aku memilikinya. Putraku yang selalu menceritakan bagaimana dia selalu dikatakan cantik oleh teman-teman di TKnya, dan para wali murid terkadang mengira dia perempuan, namun aku selalu memberitahu bahwa dia lelaki. Aku selalu tersenyum menyaksikannya wajahnya yang cantik dan tampan, bak malaikat yang selalu menenangkanku.
“Randy, dimana kakakmu?” aku menanyakan keberadaan Alif, putra sulungku yang berumur 4 tahun. Randy yang berada di gendongan meminta turun. Jagoan ku yang berusia 2 tahun itu berlari menuju ke arah kamar. Aku mengikutinya, dan melihat jagoan ku yang lain sedang terlelap dengan selimut menutup separuh tubuh mungilnnya. Tidurnya telentang dengan mulut yang sedikit terbuka, tangan kirinya mendekap guling lusuh yang ku beli 2 tahun lalu.
Randy yang melihat kakaknya tidur hanya terkikik geli. Dia mendekat dan naik ke atas kasur yang terasa hampir keras. Menaruh kepalanya di bantal tebal, tepat di samping Alif. Lalu tangannya yang mungil dan begitu halus memeluk pinggang kakaknya dengan erat. Matanya mulai terpejam, namun mulutnya masih bergerak-gerak membentuk senyuman kecil.
Aku yang berdiri di ambang pintu hanya tersenyum. Mataku memanas, dan bening air dari mata kembali jatuh. Aku mengusap perutku yang sudah begitu besar. Buah hatiku yang ketiga, adik dari Alif dan Randy.
---
“Rita, ya ampun, ngelamun aja sih lo. Pelanggan lo udah dateng tuh!” salah satu temanku berteriak, seketika membuyarkan lamunanku. Ya, pelanggan yang berusia sekitar 42 tahun, yang selalu membayarku dengan harga mahal, namanya Danu. Dia pelanggan setiaku sejak 3 tahun yang lalu, usiaku yang kini 32 tahun tak membuatnya berhenti menikmati tubuh indahku.
Aku bekerja dengan pekerjaan yang haram. Bersama teman wanita yang menemaniku, berkumpul setiap malam. Mengenakan pakaian seminim mungkin dan bersolek secantik mungkin. Dan bersiap untuk menjajakan diri di rumah penampung kami, yang lebih akrab aku sebut Mama. Benar, pekerjaan ku adalah seorang kupu-kupu malam, yang selalu mendesah hingga cahaya pagi bersinar. Pekerjaan haram yang telah aku jalani selama sepuluh tahun ini.
“Ya ampun Dina, tapi ga usah teriak juga dong.” aku memandang teman sepekerjaanku, dan berjalan tempat pelanggan setiaku menunggu. Mas Danu—begitu biasa aku memanggilnya—duduk dengan menyilangkan kaki kanannya, mengenakan celana bahan warna hitam serta kemeja kuning pucat yang dimasukkan. Juga dasi motif garis-garis putih dan hitam. Rambutnya masih klimis disisir rapi kesamping, menambah kesan rapi pada dirinya.
Aku melangkah dengan anggun. Kaki ku yang dibalut stiletto biru muda pemberian Mas Danu, berjalan dengan anggun. Dress warna peach tanpa lengan, dengan panjang setengah paha, berkibar dengan indahnya. Rambut bergelombang milikku yang ku biarkan terurai tersapu angin ketika aku berjalan. Walau diriku telah berkepala tiga, namun aku masih bisa berperilaku layaknya model, yang membuat pelangganku selalu tersenyum puas.
“Hallo cantik, aku sudah tidak sabar,” dia tersenyum, memandang tubuhku secara keseluruhan. Aku mulai mendekat, duduk dipangkuannya. Jemari lentikku yang dibalut kutek merah merekah, menjalari tubuhnya. Di mulai dari perutnya yang masih rata, naik menuju dadanya yang tetap bidang di usianya, dan terakhir di pipinya kasarnya—bekas cukurannya—yang ku usap dengan begitu manjanya.
Beberapa teman dan para pelanggan yang lewat di tempat ku dan Mas Danu kini duduk, memandang sesaat lalu tak menghiraukannya. Mereka lebih memusatkan perhatian pada nafsu, uang, dan pemikiran mereka masing-masing. Hingga saat aku sedang bermanja ria dengan Mas Danu, mata indahku yang berwarna cokelat gelap bertumbukan dengan mata milik Dina. Dina mendekat, berjalan dengan anggun. Tangannya bergoyang seirama langkah kakinya, menyempurnakan cara berjalannya bak model profesional.
“Ugh, kalian berdua selalu kayak gini, cepat ke ruangan nomor 61. Udah di siapin tuh sama Mama buat kalian!” Dina menyeru lalu melenggang pergi dengan gesit.
Mas Danu yang melihatnya hanya tersenyum, begitupun diriku. Aku mulai berdiri, disusul dengan Mas Danu. Kami berjalan beriringan dengan aku yang bergelayut manja pada lengan Mas Danu. Dia membuka pintunya, dan setelah kita berdua masuk—tak lupa Mas Danu menguncinya—dia langsung menggendongku, menuju ranjang berwarna putih gading. Dia menjatuhkanku dengan erotik, segera mencumbuku yang tak berdaya berada di bawahnya. Tanganku yang nakal melepaskan setiap helai kancing bajunya. Dia membelai rambut halusku dengan tangannya yang besar dan sedikit berbulu. Kami terus memburu dalam deruan nafsu.
---
“Ahh... Ughh Mas, Mas Danu,” aku mendesah di bawahnya. Tubuhnya penuh dengan peluh. Kulirik jam yang berada di nakas meja samping. Ini menit ke lima puluh kita bermain.
“Ritaa, Mas Ahh, Udahh Gakk Ahhh,” dia mengerang mencapai puncaknya. Aku hanya terkulai lemas ditindih tubuhnya yang begitu besar. Beberapa saat kemudian dia berdiri, dan menuju kamar mandi. Aku yang terlalu lelah hanya berbaring, mengambil selimut untuk menutup tubuh yang sehelai benangpun. Lima belas menit kemudia dia keluar, handuk melilit tubuhnya dari pinggul hingga lutut. Mas Danu berjalan menuju celana bahannya yang terlempar sewaktu kita berdua sedang bermain. Diambilnya dompet miliknya, dan mengeluarkan uang seratus ribuan sebanyak lima belas lembar. Mas Danu mendekat dan menyerahkan uang itu kepadaku.
“Terimas kasih mas!”
“Nanti aku transfer sisanya” Mas Danu tersenyum memandangku.
---
Pagi-pagi buta aku sampai di depan rumah. Langit yang berkilat-kilat cerah begitu indah. Matahari mulai menyingsing menampakkan diri. Cahaya yang temaram menimpa diriku yang berdiri di depan pintu. Setelah aku buka kuncinya, aku putar kenop dan melenggang masuk. Suasana masih sunyi dan gelap.
Aku menuju kamar putra kesayanganku. Alif tidur dengan pulas, mulutnya sedikit terbuka dan mendengkur pelan. Kututup pelan pintunya, dan menuju kamar Randy yang berada di samping. Selimut menutupi separuh tubuhnya, dia tidur dengan memeluk Sena—putra ketigaku—yang masih tak bisa tidur sendiri di kamarnya.
Aku hanya tersenyum. Setiap pagi saat melihat mereka yang tumbuh dewasa, yang mulai menginjak keremajaan. Mata selalu memanas, rasa sesal selalu ada. Melihat buah hati yang selalu tak rela melepasku pergi untuk bekerja setiap malam. Aku tak tahu, apakah mereka tahu sebenarnya pekerjaan haram yang aku jalani. Sena selalu memelukku dengan erat setiap hari. Di setiap aku akan berangkat atau pun pagi setiap dia bangun. Membisikkan kata yang selalu menjerat hati.
Kakiku melangkah menuju kamarku yang tak jauh dari kamar mereka. Aku melepaskan sweater putih dan stiletto, meletakkan sembarang di lantai kamar. Aku melompat ke ranjang, mataku yang lelah segera terpejam dengan cepat.
---
“Ibu, bangun ini udah jam 8!”
Aku mengerang, tubuhku serasa di goyang-goyangkan seseorang. Mataku yang masih berat terbuka sedikit. Terlihat Randy yang memegang bahuku. Dia tersenyum saat memandangku.
“Iya, enghhh,” aku menguap saat menimpalinya.
“Kok kamu nggak sekolah Rand?” aku bertanya padanya, dan dia hanya terkikik geli.
“Ibu ini hari minggu. Ayo bangun, aku sama Sena tadi pagi udah masak,”
“Kamu keluar dulu, ibu mau mandi dan ganti pakaian ya sayang.”
Randy tersenyum, dan segera pergi lalu menutup pintu kamarku. Aku berdiri dan segera menuju kamar mandi. Melepaskan baju yang kemarin malam aku pakai untuk menarik Mas Danu. Dan mulai menyriamkan air yang masih terasa dingin ke tubuhku. Pikiranku melayang, membayangkan saat Alif dan Randy. Saat mereka dengan wajah serius menghampiriku yang datang pagi-pagi buta.
---
“Ibu, aku mau tanya, sebenarnya siapa ayah kami?, kami sudah dewasa bu!” Alif bertanya dengan suara yang tenang, sementara Randy disampingnya hanya tertunduk.
“Dulu ibu pernah bilang, ayah kalian sudah meninggal dan di makamkan di luar negeri!”
“Tapi setidaknya kita tahu wajah dan namanya,”
“Untuk apa?, dia telah menghianati ibu nak,”
“Aku ingin tahu bu, walau hanya namanya,” Randy angkat bicara, kudengar dia sedikit terisak, dengan wajah yang masih menunduk. Tangan Alif yang sekarang begitu kokoh mengusap punggung Randy.
Randy semakin menjadi, dia memeluk kakak semata wayangnya, menenggelamkan wajahnya di antara dadanya. Nafasnya tak berarturan, dan sesuatu yang tak pernah ingin kulihat membahasi baju Alif. Alif masih mengusap punggung adiknya. Dan matanya menatapku, seolah meminta penjelasan, agar Randy segera berhenti menangis. Aku ingin menjawab yang sebenarnya, namun mulutku kelu. Mataku mulai memanas.
“Lalu apa pekerjaan ibu yang sebenarnya, kenapa ibu selalu bekerja malam?, apakah wanita yang selalu keluar malam dapat dipandang baik di lingkungannya?, terkadang kami mendengar gunjingan warga ibu,”
“Dimana kakek dan nenek kami tinggal, kami selalu iri ibu, setiap selesai liburan teman kami menceritakan bagaimana kedekatan mereka bersama kakek neneknya. Saat mereka berkunjung, mereka selalu di beri kehangatan oleh nenek dan kakeknya. Kami iri ibu,” sesaat aku teringat mengenai orang tuaku.
“Juga mengenai ayah mereka yang selalu memperbaiki barang mereka yang rusak, mengajari hal-hal yang menarik. Sementara kami hanya menatap dengan nanar. Kami iri ibu, kami ingin merasakannya juga.”
Alif meruntutku dengan pertanyaannya yang beruntut. Lagi-lagi mulutku kelu, tak mampu menjawab pertanyaannya. Randy masih meneteskan buliran nista itu, membasahi baju Alif tepat di bagian dadanya. Alif yang memang tangguh berbeda dengan Randy yang rapuh. Aku yang melihat kedua buah hatiku ingin merengkuh mereka, memberi tahu sebenarnya. Tapi aku masih takut, takut mereka meninggalkanku. Tak terima akan pekerjaanku yang haram, kenyataan masa lalu mengenai orang tuaku dan suamiku, yang akan membuat mereka terpuruk, aku masih takut.
---
“Ibu, ayo cepat, Sena sudah tak sabar ingin makan,” ku dengar Randy berteriak dari luar. Aku cepat-cepat berbilas dan mengeringkan tubuh. Bayangan yang hinggap tadi segera ku hiraukan. Sejak itu mereka tak pernah menanyakannya kepada ku lagi. Saat Alif bertanya dengan beruntun aku langsung terjatuh pingsan, dan pandanganku gelap seketika.
“Ibu cepatlahh...!” kini Sena yang berteriak, aku cepat-cepat memakai baju dan menyisir rambut. Saat aku keluar Alif dan Sena telah duduk rapi di ruang makan, sementara Randy sedang membuat teh. Saat aku duduk di antara mereka, Randy meletakkan teh di sampingku, lalu dia duduk di tempatnya.
“Anak-anak, bedo’a dulu yah!” aku memperingatkan, mereka lalu menunduk beberapa saat, lalu mereka tersenyum.
“Ibu tahu nggak ini hari apa?” Randy bertanya kepadaku.
“Ya ampun Randy, tadi kan kamu memberitahu ibu, ini hari minggu kan?”
“Selain itu?”
“Hari libur?” jawabku sekenanya.
“Masak ibu nggak tahu sih?” Sena berjalan mendekatiku dan memelukku—kebiasaannya—dengan mulut merah mudanya yang cemberut lucu. Kulihat Alif dan Randy berdiri menuju kamar mereka sesaat, aku memperhatikan dan bertanya kepada Sena.
“Nak kakakmu itu mau tidur lagi?”
“Enggak kok, tunggu bentar ya. Oh ya ibu merem dulu dong!” aku menuruti Sena, dan kurasakan dia menuntunkku untuk berdiri. Tangannya yang hangat dan halus menggandengku erat tepat di lenganku. Sena menuntunku berjalan beberapa langkah maju kedepan, dan berhenti dengan tiba-tiba.
“Ibu coba buka matanya perlahan,”
Aku membuka mata, menyaksikan ketiga anakku berdiri berdampingan dengan Randy di tengah. Dia membawa tart dengan tulisan Happy Bhirtday Ibu, serta lilin dengan bentuk angka 33 yang bertengger di atasnya.
Mataku memanas menyaksikannya. Bulir air mata mulai turun, namun mulutku tak hentinya tersenyum. Aku bahkan lupa akan ulang tahunku sendiri, namun anak-anakku yang begitu kusayangi mengingatnya. Sena maju kedepan, mengusap air mata yang jatuh ke pipiku dengan ibu jarinya.
“Ibu jangan nangis dong!” Sena kembali merengut.
“Ibu bahagia nak!”
“Ayo ibu tiup lilinnya dulu,” Randy berbicara dan maju ke depan.
“Jangan lupa make a wish ya bu,” Sena kembali bicara.
Aku mulai mendekat kehadapan mereka, tepat didepan tart yang di bawa Randy, membuat wish mengenai hidup anakku dan diriku, lalu meniup api yang menyala-nyala di atas lilin. Sesaat ketiga anakku begitu bahagia dan tersenyum indah, tertawa bersama. Hingga aku tiba-tiba merasa pusing dan linglung. Semua gelap, dan yang terakhir yang ku dengar adalah saat Alif berteriak dengan begitu kencang.
---
Bau obat membangunkanku. Selang infus terpasang di tanganku. Alat bantu pernafasan bertengger di hidungku. Alat untuk mengecek detak jantung yang tak kutahu namanya berbunyi nyaring setiap detiknya. Ruangan yang kutempati berwarna putih campuran coklat, dengan nakas di samping kanan. Diatasnya ada vas dengan setangkai mawar, dan beberapa buah. Di beberapa sudut ada sofa, dimana Randy dan Sena tidur di sana. Alif tertidur dengan posisi duduk di samping kiri, dengan memegang tanganku secara seduktif. Sesaat aku bergerak untuk duduk, dan membangunkan Alif. Dia berdiri dan berlari keluar. Kembali dengan seorang perempuan mengenakan jas putih, yang kutebak adalah seorang dokter.
Alif segera membangunkan Randy dan Sena, mereka memandangku sesaat dengan pandangan yang tak dapat ku artikan, lalu mereka keluar, terkecuali dokter tadi. Sang dokter tadi memeriksa tubuhku. Setelah aktifitas mengecek yang dia lakukan dia berkata yang membuatkan bergetar.
“Ibu tahu apa yang ibu derita?”
“Tidak dok, memangnya saya menderita penyakit apa ya?”
“Sebelumnya saya ingin memberitahu ibu. Ibu telah koma selama 2 bulan ini!” sesaat aku terperanjat akan apa yang di utarakan sang dokter. Melihat raut wajahku yang seakan ingin tahu apa yang ku derita, dokter tadi kembali berkata.
“Ibu terkena HIV dengan stadium 2,” duniaku hancur seketika, “Dan juga kanker rahim stadium 3 ibu.” tatapanku kosong, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah ini akhir diriku?, lalu siapa nanti yang akan merawat ke tiga buah hatiku?, apakah ini maksud dari pandangan mereka tadi?, mungkinkah ini balasan dosa akan apa yang kulakukan kepada orang tuaku?, balasan dosa akan pekerjaan haram yang aku jalani?. Lalu apa yang harus ku lakukan?
“Lalu dok apakah kira-kira saya bisa sembuh?” aku berucap dengan mulut bergetar, berharap ini hanya cobaan dan peringatan dari Sang Kuasa untuk memperbaiki keadaan. Namun apakah yang Sang Kuasa masih memberi kesempat bertaubat kepada orang nista sepertiku?.
“Kemungkinan ada namun itu sangat kecil sekali, dan mungkin sebentar lagi ibu harus melakukan pengangkatan rahim,”
Aku hancur, benar-benar hancur. Aku memang pantas mendapatkan ini semua, namun bila seandainya nanti aku tak sanggup bertahan, siapa yang menjaga ketiga putraku. Putra yang selalu mendampingi diriku selama akhir ini.
“Saya permisi dulu bu,” dokter tadi keluar, meninggalkanku yang menunduk diam, dengan tetesan air mata mengenai selimut yang menutup bagian bawah tubuh. Pintu kembali terbuka dengan ketiga jagoan ku yang berlari menghampiri, mereka menangis, menunduk memegang kedua tanganku. Randy memelukku seolah tak ingin melepaskannya untuk selamanya.
Aku tahu yang mereka rasakan, mereka pasti lebih hancur dari pada aku. Bagaimana kehidupan mereka setelah aku tak ada. Aku takut, aku benar-benar takut. Oh Tuhan aku takut. Jagalah mereka Tuhan, tuntunlah mereka dengan jalan kebenaranmu. Biarkan aku yang menanggung segala dosa mereka bila mereka berbuat salah. Aku hanya seorang ibu yang tak pantas bagi tiga keajaiban yang kau berikan.
Tiba-tiba dadaku serasa sesak, air mata ketiga malaikatku yang tak pernah ingin kulihat mengenai tubuhku yang kering dan pucat, begitu kurus untuk tubuh ideal. Dadaku begitu sesak. Kudengar Alif berteriak memanggil dokter. Randy terisak memelukku, wajahnya tenggelam di dekat leherku. Sena menangis dalam diamnya, wajahnya tertunduk di atas tangan mungilnya yang memegang tangan kurusku. Air matanya masih dapat kurasakan, begitu dingin, penuh dengan emosi. Apakah ini akhirku? Aku tak tahu, karena semua tiba-tiba gelap. Dan yang terakhir kulihat adalah, wajah tampan ke tiga anakku, memandang dengan penuh kesedihan.
Comments
Aku yang terlalu lelah hanya berbaring, mengambil selimut untuk menutup tubuh yang sehelai benangpun. itu kurang kata 'tanpa'...
Wessss suka sama cerita iseng kamu! Rapih! ><
Keep writing><)b
@Otho_WNata92 iya hehehe :v, kenapa bisa menjadi janda masih rahasia
Gatau nih mau dilanjut atau enggak, mau UKK soalnya hehe