“Akan kulakukan apapun yang kau inginkan!”
“— kalau aku menginginkanmu untuk mati?”
:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:
-FIN-
(Twilight Cantabile)
:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:.:
TWC #1 © God
Story © Holicmerahputih
Rated : T
Warning : Yaoi, Boys Love, Typo(s)
Genre : Drama & Romance
Length : Chaptered.
Point of View : Author
Title: -FIN-
SINOPSIS:
Aku
Mario, Mario Ramadiansyah.
banyak yang mengatakan padaku jika aku adalah seorang
workaholic yang setia berkencan dengan tumpukan pekerjaan dan berpacaran dengan sederet kurva angka dan data. namun julukan itulah yang membuatku terdampar di tanah terkutuk bernama Paris.
Orang bilang Paris adalah kota cinta dengan gaya yang megah dan begitu
glamour. Dimana setiap romansa tak akan lengkap jika tidak menjajaki negeri Eiffel tersebut. Namun sepertinya hal itu menjadi sebuah malapetaka bagiku ketika bertemu dengan pria itu! iya, pria bermata kelabu bernama
Sandy.
Bayangkan saja kau terjebak berdua dengan orang yang begitu menyebalkan seperti dia. Orang yang bahkan sepertinya nampak menatapku dengan mata sinisnya. Pria yang bahkan selalu gerah dengan sifatku dan seperti hendak melemparku ke sungai Seine.
Tapi percayalah. dia juga adalah pria yang mengenalkanku pada syahdunya musim gugur di kota ini. Membisikkanku tentang lembayu yang lirih menyapu jengkal telinga.
Tapi sepertinya kisah liburanku takkan berhenti pada dirinya ketika aku berjumpa dengan
Francois, pria yang memberikanku teduhan ketika
Sandy berpaling dariku serta obsidian hangat yang selalu ia pancarkan dari matanya membuat ia seperti matahari terik di kala angin musim gugur bertiup merintih...
~Kenangan hanya bagian pahit dari masa lalu! Tapi cinta abadi adalah masa depan yang dipersiapkan Tuhan~
Comments
Adakalanya aku melihatmu seperti sebuah cermin dari rasa sakit masa lalu. Adakalanya aku ingin menusukkan serpihan kaca menembus jantungmu. Namu dilain pikiran, aku melihatmu sebagai dirimu, bukan sebagai seseorang.
Aku mencintaimu karena kau adalah dirimu. Tapi aku membencimu karena kau adalah dirinya. Kau membuatku bingung dengan pribadimu. Tapi dengan kepribadianmu jugalah kau menyadarkanku.
Karena aku tahu, tak seharusnya aku mengutukmu dengan beban yang tak seharusnya melelahkanmu...
1. Beetween Paris And Jakarta
SANDY
Rue De Rivoli, Paris, Perancis.
.
Daun maple yang mulai berwarna jingga itu turun perlahan ke bahu jalan yang kini tengah disibukkan oleh aktivitas orang – orang yang sedang mengeruk daun – daun berguguran dengan menggunakan garpu jerami. Beberapa pria tua mengeluh kesah ketika daun – daun itu meranggas kembali saat halaman depan rumahnya telah dibersihkan. Bagaimanapun, autumn memang tengah tiba di sudut jalan kota Paris itu. Jalanan di Rue De Rivoli itu memang tengah di sesaki oleh pohon – pohon saga dan maple yang sedang meranggas sehingga jalanan tampak terlihat jingga ke cokelatan.
Tapi nampaknya kebiasaan tersebut tidak terlalu dipusingkan oleh salah satu penghuni apartemen di Rue De Rivoli kala itu. Meskipun daun – daun kering itu sudah menumpuk di halamannya, namun tak ada tanda – tanda penghuninya untuk membersihkan kotoran yang dihasilkan oleh musim gugur.
Tepat di salah satu kamar, seorang pria berparas campuran tengah terduduk di ranjang yang terletak dalam kamar agak gelap. Sebuah cermin di depannya menampilkan dengan jelas sosok sayu dengan dagu tirus yang nyaris tidak terawat karena kumis yang tumbuh liar disana. Tatapannya kosong seolah tengah berpikir keras akan sesuatu. Tentang sebuah kisah masa lalu yang begitu pahit sehingga telah membuatnya menjadi sosok yang begitu pendendam dan arogan.
Berbanding terbalik dengan kebiasaannya yang selalu ceria dan tersenyum manis ke pada semua orang yang pernah di temuinya.
Manik mata abu – abu nya masih memandang kosong ke depan. Tak mempedulikan musim gugur di luar sana yang menurut sebagian orang sangat romantis. Apalagi jika itu tengah terjadi di Paris, kota yang terkenal akan bangunan megah Eiffel.
Tapi jika sesuatu yang menyakitkan itu telah terjadi di Paris, masihkah kau memandang Indah?
Anggap saja sebuah mimpi buruk telah terjadi di kota romantis tersebut. Masihkah Paris menjadi tujuan mu sekedar untuk menghibur diri? Bagaimana kau bisa tinggal di kota yang bahkan ingin kau jauhi karena najis yang menimpamu disana? Memuakkan, kan?
Sandy Ourville.
Sebut saja begitu. Agak aneh mendengar namanya jika ia adalah bangsa pribumi. Namun kenyataannya tidak demikian. Sandy adalah pria dewasa yang mempunyai ayah berkebangsaan Perancis sementara ibunya berdarah asli Pontianak, Indonesia. Sejak usianya menginjak sebelas tahun, ia sudah terbiasa hidup di salah satu desa di Perancis bernama Edensor. Dan empat tahun belakangan ini, dia tinggal bersama nenek dan saudara sepupunya di Rue De Rivoli. Keturunan campuran membuat Sandy memiliki wajah yang sangat unik, menarik dan tidak mudah untuk dilupakan.
Ia memiliki rambut hitam kecokelatan serta kulit putih yang tidak sepucat orang Eropa kebanyakan. Matanya berwarna kelabu namun ukuran kelopaknya terlihat lebih sipit dari orang – orang Perancis. Dengan hidung mancung, dan dipadukan dengan bibir soft yang terlihat begitu ranum. Serta ukuran tubuhnya yang bisa dikatakan tinggi dan tebal dengan otot liat meski tidak bisa dibilang atletis. Perpaduan sempurna.
PRAANNNG!!!
Sandy tiba – tiba meninju cermin di depannya hingga hancur berkeping – keping. Serpihan – serpihan tajam menusuk ke dalam dagingnya hingga darah segar mengalir dari sana. Kita melupakan bahwa saat itu Sandy memang tengah depresi mengingat sesuatu. Dan hal yang wajar bagi seorang pria untuk meluapkan segala emosinya pada sebidang kaca, bukan?
Sandy mendengus keras. Untuk sesaat matanya tampak berkaca – kaca. Sudut bawah kelopaknya berwarna merah seperti orang yang insomnia. Memandang penuh amarah dan mengutuk dalam pikirannya.
‘Bajingan sepertimu! Kenapa tak mati saja?!’, Umpat Sandy.
“Sandy, Quel bruit est-ce?(Sandy! Suara apa itu?).” Dari luar kamar, terdengar seseorang mengetuk dan berseru pada Sandy. Suara seorang wanita tua yang sudah dipanggil nanny oleh Sandy.
Namun ketukan itu tak membuat Sandy bergeming.
“Sandy! Hei? Kau masih disana, kan?” nanny kembali berseru karena tak mendapat jawaban apapun dari cucunya. Dan sontak seruan kedua baru bisa menyadarkan Sandy dari amarahnya. Seolah tersadar apa yang telah ia lakukan dan ada seseorang yang tengah berseru padanya.
“Tidak nanny. Aku baik – baik saja. Aku tak sengaja menyenggol cermin hingga pecah.” Dusta Sandy. Ia menatap serpihan kaca yang masih menusuk di buku – buku jari kanannya.
“Ah, kau membuatku khawatir saja. Cepat bereskan dan segera turun. Makan malam akan segera siap.” Kata nanny dan ia segera berlalu dari pintu kamar Sandy.
Sandy menelan saliva nya pelan. Ia mundur beberapa langkah dan terduduk kembali diranjang dengan darah yang masih mengucur deras di lengannya. Namun tak ada gunanya merasa sakit. Toh, ada sesuatu yang lebih menyakitkan dibanding serpihan kaca yang tengah bersarang di dagingnya. Sungguh ironis.
Drrrt… Drrt…
Getaran ponsel membuatnya lupa sesaat pada luka yang harusnya segera ia obati. Ia menoleh ke samping dan mendapati benda mungil itu tengah meraung – raung minta di angkat. Beberapa saat berlalu ketika ia dengan susah payah meraih ponsel itu dengan tangan kanan yang terluka. Bahkan ia harus mengklik tombol answer dengan jemari kirinya.
Panggilan dari Indonesia.
“Allo.” Gumam Sandy terdengar serak.
“Aish! Berapa kali harus ku katakan padamu jangan berbicara padaku dengan menggunakan bahasa Perancis! Kau ini orang Indonesia, kan?” Rutuk orang di seberang sana. Sandy hanya tersenyum. Ia sudah tahu pasti dengan siapa ia berbicara. Sepupu dari keluarga ibunya, Dante.
“Maaf.” Gumam Sandy pelan. “Ada apa?”
“Bagaimana kabarmu?” Tanya Dante berbasa – basi.
“Baik.”
“Hey San, apakah kau masih bekerja sebagai Tour Guide?” Tanya Dante.
“Ya. Kenapa?” Balas Sandy.
“Bagus! Aku butuh bantuanmu!” Pekik Dante.
-oOo-
MARIO
Jakarta, Indonesia.
.
“Sudah kukatakan berulang kali aku tidak mau!”
Mario menepis seluruh lembaran kertas tipis panjang yang disodorkan ke arahnya dengan kesal. “Aku tidak ingin berlibur ke manapun. Bisakah kau tidak menggangguku? Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku!”
“Kau itu menyedihkan, Mario.”
Mario mendelik pada seraut wajah tegas dengan rambut spiky disana.
“Kenapa? Yang kukatakan betul, kan? Setiap hari kau selalu berkencan dengan laporan dan pekerjaan. Siapapun yang melihatmu juga akan berpikir sama denganku.” Sosok itu berkata tanpa perasaan bersalah, membuat Mario semakin geram.
Ia memperbaiki letak bingkai kaca matanya dan kembali menghadap ke layar komputer. Ada beratus-ratus deret angka di sana. Orang normal mungkin akan merasa malas dan ingin jauh-jauh dari benda berbentuk kubus tersebut, namun tampaknya tidak dengan Mario. Pria berdarah Sumatera itu justru asyik bekerja dengan jari-jari kokohnya yang bergerak cepat di atas papan keyboard. “Terserah apa anggapanmu, Dante. Tapi aku tidak akan terpengaruh ajakan kalian. Jika ingin berlibur, berliburlah sendiri! Aku ingin bekerja saja di sini.”
Mario Ramadiansyah. Seorang penulis sekaligus businessmen yang gila akan pekerjaan. Penuh dengan ambisi dan terkadang tidak peduli pada apapun kalau sudah bekerja. Mungkin itu karena ia adalah orang kepercayaan direktur Purwa Dhirgantara, adik dari pemilik saham terbesar dengan perusahaan tersukses bernama nama belakang keluarga besar Dhirgantara. Mengingat keadaan penerus tunggal Dhirgantara yang mengalami kebutaan akibat kecelakaan, tugas kepemimpinan untuk sementara waktu diserahkan kepada adiknya.
Karena ambisinya yang tinggi, maka perusahaan besar tersebut sepertinya telah menggantungkan kepercayaan pada Mario yang telah menjadi striker bagi perusahaan. Dan dengan kepercayaan yang telah di berikan, telah menjadikan Mario yang gila pekerjaan dan kadang sampai lupa pada waktu istirahatnya.
Namun karena itu pula, ia menjadi seorang author yang dikenal sebagai machine. Karya – karyanya cukup best seller. Meskipun menulis menjadi prioritas sampingannya.
“Ck, dasar workaholic! Ayolah! Apa tidak ada suatu tempat yang ingin kau datangi? Semua prihatin padamu. Aku, Dimas, Adrian, bahkan direktur Purwa juga ingin melihatmu sekali saja untuk pergi berlibur. Kau tahu? Bekerja nonstop tidak baik untuk kesehatan. Kau akan cepat mati!”
“Apa! Kau mendoakan aku untuk cepat mati?!” Mario berteriak tidak terima. Keningnya dipenuhi oleh kerut-kerut kekesalan, namun segera berubah saat melihat temannya menyeringai.
“K-kenapa kau tersenyum seperti itu?”
“Aku tahu kau akan menolaknya.” Dante berkata santai lalu mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya. “Karena itu, kami semua sudah membuat kesepakatan dan rencana ini dari jauh hari,” katanya.
“Apa?” Mata Mario memicing curiga. “Rencana apa yang kalian buat, hah?!” tanyanya penuh selidik.
“Ini.” Dante nenyodorkan selembar tiket, buku passport dan visa perjalanan, lalu meletakkan benda-benda itu di atas meja kerja itu saat Mario tak juga menerimanya. “Kami sudah membelikanmu tiket perjalanan pulang pergi untuk ke Paris selama dua minggu. Lihatlah? Bukankah kami sangat baik? Harganya tidak murah, lho.”
“Apa?!” Mario hampir terjengkang dari kursinya. Keterkejutan di wajahnya semakin berlipat ganda. “Jangan bercanda! Aku tidak mau!” tolaknya mentah-mentah.
“Kenapa? Paris adalah kota yang indah, kota cinta! Lagipula, kau tidak akan sendirian di sana.” Dante kembali tersenyum penuh arti di wajah innocent nya, membuat Mario menjadi kian merinding dan merasakan sebuah pertanda akan hal buruk yang sebentar lagi akan menimpanya.
“A-apa? Tidak sendirian?” Tanya Mario terkejut.
“Kau akan bersama sepupuku di sana. Dia tinggal di Perancis semenjak usianya masih sebelas tahun, jadi itu akan menguntungkanmu. Apalagi dia juga bekerja sampingan sebagai Tour Guide. Aku sudah menghubungi sepupu ku dan kalian akan bertemu saat kau tiba di Paris. Tenang saja, sepupuku adalah orang yang baik dan menyenangkan. Jadi, selamat berlibur!” Kata Dante enteng tak peduli pada Mario yang menganga.
“Hei, aku bahkan belum menyetujuinya!” Protes Mario. Dante hanya mengangkat bahu dan memasukkan tangannya ke saku. Kemudian ia berjalan menuju pintu dan tak peduli pada kata – kata penolakan yang ia yakin tidak akan keluar dari bibir pria yang sudah ia anggap kakaknya sendiri itu.
“Aku melakukan ini karena aku peduli padamu.” Kata Dante sambil menyentuh gagang pintu dan membukanya. Sebelum ia keluar, ia menoleh pada Mario dan tersenyum. “Kau butuh liburan saudaraku. Tidak seharusnya kau terus menerus menjadikan pekerjaan sebagai pelarian kesedihan akibat kematian Marco.” Kata Dante sambil berlalu. Dengan perlahan ia menutup pintu.
Mario tergugu. Ia terdiam ketika sahabatnya itu telah menyebutkan salah satu alasan ia menjadi seorang workaholic. Nama ‘Marco’ yang tadi di sebutkan berhasil menampakkan wajah yang telah hilang selama setahun belakangan ini. Ada perasaan sesak timbul di dalam dadanya.
-oOo-
Iya. selamay udah jadi komentar pertama...
Cerbung......
Mario tengah terduduk di kursi tunggu dalam bandara Internasional Charles De Gaulle. Berungkali kali mengetuk – ngetukkan sepatu kulitnya dan sesekali melirik arloji yang bertengger manis di pergelengan tangan kirinya. Sudah sekitar satu jam yang lalu ia menapakkan kaki di ibukota Perancis tersebut. Orang – orang berwajah ala Eropa berlalu lalang tak memperdulikan pria Asia ditengah – tengah mereka. Namun Mario sendiri pun tak peduli dengan keadaan sekitar karena pikirannya tengah gelisah saat ini.
Mario mengusap keningnya dan menghela napas. Kejadian dua hari yang lalu masih membuatnya syok dan tidak habis pikir. Berkali-kali ia memandangi passport dan boarding pass dalam genggaman tangannya.
SIA157 Destination Paris, France , 8.30 KST
Cukup sulit untuk dipercaya jika pada akhirnya ia sungguh pergi berlibur. Ke Paris, sebuah kota besar di Eropa yang sungguh jauh dari daya jangkau imajinasinya. Demi apa Mario, seorang pekerja keras yang anti berlibur justru pergi berlibur ke negara yang jauh kali ini? Entah setan apa yang merasuki dirinya waktu itu, sampai-sampai Mario mengiyakan tawaran Dante dan mau mengikuti rencana teman-teman jahilnya. Bahkan ia tidak pergi sendirian pula!
“Kau akan bersama sepupuku di sana. Dia tinggal di Perancis semenjak usianya masih sebelas tahun, jadi itu akan menguntungkanmu. Apalagi dia juga bekerja sebagai Tour Guide. Aku sudah menghubungi sepupu ku dan kalian akan bertemu saat kau tiba di Paris. Tenang saja, sepupuku adalah orang yang baik dan menyenangkan. Jadi, selamat berlibur!”
'Tour Guide, apanya?! apa dia sengaja membiarkanku menunggu hingga dua jam lamanya?!’. Umpat Mario.
Ia mengeluarkan salah satu buku novel yang lumayan tebal.
Novel itu adalah salah satu karyanya yang best seller. Kebiasaannya memang selalu membawa buku karangannya kemanapun ia pergi. Ada untungnya juga karena ia bisa membunuh waktu dengan membuka halaman demi halaman dari novel yang berjudul Swan Lake: Isterii vi Moskvu karangannya itu.
Saking seriusnya ia membaca buku, tak sadar seorang pria pribumi berambut agak kecokelatan menghampirinya disana.
“Excusez - moi (Permisi)? ” Sapa pria berkaus putih dengan ransel yang menggantung besar di punggungnya. Mario mendongakkan kepalanya dan mengernyitkan dahi ketika ia mendapati manik mata kelabu itu tengah memandangnya.
“Oui? (Ya). Ada apa?” Balas Mario.
“Monsieur Mario? Indonesia?” Tanya pria itu. Mario lekas mengangguk. Pria itu seraya tersenyum simpul dan mengulurkan tangannya. “Kenalkan, aku Sandy. Sepupu Dante, sahabatmu.” Katanya memperkenalkan diri.
“Owh, Voila! Akhirnya datang juga!” Balas Mario sambil menutup novelnya dan menyambut tangan Sandy. “Bonjour Sandy.”
“Maaf saya telat. Ada urusan yang belum kuselesaikan sebelum datang kesini. Kuharap itu tidak mengganggu waktu anda.” Ujar Sandy. Terdengar dingin meski menampilkan seulas senyum.
“Tak apa – apa. Aku sudah biasa menunggu.” Jawab Mario lebih mengarah kepada sindiran. Namun Sandy tak menghiraukannya.
“Apa ini saja yang kau bawa?” Tanya Sandy tak peduli pada sindiran Mario. Ia menunjuk koper dan tas laptop yang berada di sebelah Mario.
‘Apa orang ini yang akan berlibur denganku?! Menyebalkan sekali cara bicaranya?!’ Cibir Mario didalam hati.
“Ya. Hanya ini.” Kini minat Mario untuk berlibur di Paris agak berkurang. Pertama, ia baru sampai di Paris setelah delapan jam perjalanan termasuk transit di Venice, dan saat sampai bukannya langsung istirahat malah harus menunggu selama enam puluh menit! Kedua, ia mesti berlibur dengan pria yang jutek nya minta ampun! Hello! Dante, akan kubunuh kau saat aku pulang nanti! Apanya sepupu yang baik?! Kesan pertama yang ditampilkannya begitu menyebalkan!
“Baiklah. Sekarang mari kita berangkat ke Porte De Bagolnet. Kau perlu bantuan untuk mengangkat barang bawaanmu, monsieur?” Tawar Sandy. Mario langsung merungut dan menarik tanpa ampun kopernya.
“Tak perlu!” Ujarnya ketus.
-oOo-
“Monsieur, kau marah?” Tanya Sandy.
Mario tak menghiraukannya. Ia berpura – pura tengah tenggelam dalam bacaan Swan Lake di genggamannya. Bola matanya tertuju pada setiap baris namun pikirannya tak ada disana. Tentu saja ia marah! Tidak, tapi kesal! Pertemuan pertama yang membuatnya merasa tak nyaman pada pria dingin di sebelahnya. Ingin rasanya dia pulang saja ke Indonesia, tak jadi berlibur selama dua minggu di Paris.
Mereka kini tengah duduk di dalam sebuah taksi menuju hotel. Pemandangan musim gugur di luar sana sebenarnya cukup menggoda untuk dinikmati. Namun berkat rasa jengkel dalam benak Mario, musim gugur hanya seperti siluet yang dibiarkan lewat begitu saja. Tidak menarik sama sekali!
“Monsieur…” Panggil Sandy lagi. Kali ini ia menggenggam bahu Mario. Mario menoleh sekilas.
“Kenapa?” Tanya Mario datar. Ia kembali fokus pada novelnya.
“Anda marah pada saya?” Sandy mengulang pertanyaannya.
“Apa aku tampak seperti orang marah?” Mario bergumam datar.
“Oui.” Jawab Sandy cepat.
“Bagus.” Mario menutup novelnya secara keras dan mendenguskan nafas. Kali ini menatap langsung lawan bicaranya. Menatap lekat pada wajah manis dengan manik kelabu disana. “Kalau begitu kau sadar apa yang membuatku marah, kan?”
“Saya?” Jawab Sandy agak bingung. Ia menaikkan sebelah alisnya. Mario memutar bola matanya seolah mengatakan sudah jelas,kan?
“Karena saya terlambat?” Tanya Sandy.
“Ya.”
“Saya sudah minta maaf.” Jawab Sandy enteng.
“Kau terlambat lebih dari 30 menit!” Lanjut Mario.
“Hmm…”
“Dan aku baru sampai ke Paris setelah lima jam perjalanan ditambah harus transit di Venice.” Terang Mario kesal.
“Oke…”
“Dan saat aku tiba, bukan kata – kata selamat datang yang aku terima, tapi malah sikap angkuhmu yang menyebalkan itu!” Mario menekan kata menyebalkan dan mendelik tajam ke arah mata Sandy.
“Oh.” Sandy membulatkan mulutnya.
“’Oh’?! hanya itu responmu?!” Mario tak habis pikir tentang jalan pikir pemuda manis disebalahnya ini. Wajahnya memang manis, tapi kenapa otaknya sangat bebal dan sikapnya sangat memuakkan?!
Saat itu juga rasanya Mario ingin menghadiahi bogem mentah ke arah wajah datar itu.
“Ah, sudahlah! Tak usah dipikirkan. Ayo, kita sudah sampai.” Ujar Sandy santai. Mario melongo. Kenapa dia yang bilang ‘tak usah dipikirkan’?! bukankan Sandy yang bersalah?! Bukankah dia yang bertanya kenapa Mario tampak marah?! Dia bahkan belum mengucapkan maaf.
Belum sempat Mario kembali berceloteh, Sandy sudah turun dari taksi dan membuka bagasi. Ia mengambil tas jinjing milik Mario dan menolehkan kepalanya ke dalam taksi. Mario masih terduduk menahan sebal disana.
“Monsieour, anda sudah sampai. Saya yakin anda tak ingin menginap di dalam taksi, kan?” Ujar Sandy sambil berbalik dan berlalu masuk kedalam hotel. Mario menggigit seatbelt dan menumpahkan segala kegondokannya.
-oOo-
“C’est votre clé de chambre. Y at-il autre chose que je peux aider?” (Ini kunci kamar Anda. Apa ada yang bisa saya bantu lagi?) Room boy itu bertanya penuh sopan santun dan membalas senyuman kedua tamu di hadapannya.
“Non, je vous remercie. Mais je veux une bouteille de vin?” (Tidak, terima kasih. Tapi apa aku bisa meminta sebotol wine?) tanya Sandy.
“Bien sûr, monsieur. Sera ensuite conduit à votre chambre.” (Tentu, Tuan. Akan kami antar ke kamar Tuan segera.)
Mario mendengarkan semua percakapan itu dan terkagum betapa cerdasnya Sandy, pria yang menyebalkan itu. Bila tidak berwajah oriental khas Asia, mungkin Mario tidak akan mengira jika Sandy memiliki darah Indonesia karena pelafalan bahasa Perancis pria itu hampir terdengar sempurna di telinganya.
“Apa yang kau katakan tadi?” tanyanya usai Sandy menyelesaikan prosedur i dan berjalan ke arahnya.
“Saya meminta mereka mengirimkan wine untuk kita,” ucap Sandy.
“Wine?”
“Kau tidak suka? Kita membutuhkan minuman itu untuk membuat tubuh kita tetap hangat.” Kata Sandy sambil ikut membantu Mario menyeret kopernya. Mario menatap heran ke arah pemuda manis itu. Sebenarnya ia cukup sopan dan mengagumkan jika sikapnya tak menyebalkan saat ia baru datang di bandara tadi.
Sandy membuka pintu kamar inap mereka dan meletakkan segala barang bawaannya, sementara Mario?
Pria kuper itu kembali mematung dengan mulut yang menganga, mengagumi seberapa indah desain arsitektur khas Eropa sebuah hotel kelas menengah yang ada di pusat kota Paris. Bintang tiga saja semewah ini, bagaimana dengan hotel bintang lima!
“Hei monsieour! Kenapa malah berdiri seperti orang bodoh lagi, sih? Ini kan barang – barangmu! Kenapa harus saya yang membereskannya?!” Seru Sandy. Membuat Mario kembali mengerling galak ke arah Sandy.
‘Sikap menyebalkannya kembali kumat!’ Batin Mario.
“Ya ya. Mana sini! kau tak perlu menyentuh barang – barangku!” Kata Mario sambil menarik koper dari sentuhan tangan Sandy dan menjauhkannya.
“Baguslah kalau begitu.” Gumam Sandy dengan sedikit nada mencibir. “Kalau begitu saya bisa langsung pulang.”
“Pulang?” Mario tampak tak terima. “Kau akan meninggalkanku di hotel ini sendirian?”
“Kenapa memangnya?! anda takut?” Tanya Sandy sambil memandang remeh ke arah Mario.
“Apa? Bukan itu maksudku. Kau itu kan tour guide ku!”
“Saya hanya tour guide. Bukan pasangan berbulan madu. Jadi, biasakan diri anda untuk tidur sendiri setiap malam.” Jawab Sandy terdengan datar namun meremehkan. Ingin saat itu juga Mario mencekik pemuda itu sebelum Sandy berlalu dari dalam kamar itu.
-oOo-
“Sial.” Mario merutuk ketika sudah kelima kalinya ia menelepon namun tak ada jawaban. Hanya suara operator yang berkali – kali ia dengar. Ini sudah kesekian kalinya ia missed call Dante namun tak ada jawaban. Entah apa yang tengah dilakukan pemuda itu hingga tak bisa menjawab panggilannya. Yang jelas ia ingin menyampaikan aksi protesnya pada Dante.
“Apa sih yang dipikirkan manusia itu! Kenapa dia mengirim orang yang menyebalkan untuk menjadi partner liburanku?!” Rutuk Mario mengingat wajah Sandy lagi. Ia menekan kembali nomor Dante dan menempelkannya di telinga. Lagi – lagi jawaban operator yang ia terima.
“Akh!”
Mario mengacak – acak rambutnya. Ia kemudian menatap koper yang isinya sudah berhamburan keluar. Baju – baju yang akan ia kenakan selama di Paris teronggok begitu saja diatas ranjang berukuran King Size. Matanya kemudian mengedar ke tas jinjing disebelahnya. Ia ingat bahwa ia juga membawa laptop dan satu kamera DSLR yang masih baru hadiah dari temannya yang lain, Adrian. Dan tas itu menjadi tempat bagi kedua barang elektronik tersebut.
“Tunggu dulu… Adrian…” Gumam Mario. Ia kemudian meraih ponselnya lagi dan mencari nama Adrian disana. Ia ingat selain Dante, ada nama Adrian yang disebut dalam merencanakan program berliburnya.
Untuk beberapa saat Mario menunggu panggilannya tersambung.
“Hallo…” Terdengar suara diseberang sana.
“Adrian! Ini aku…” Pekik Mario.
“Ah! Mario! Bonjour, bonjour…” Terdengar Adrian tampak seperti sedang mengejeknya dengan aksen Perancis yang terdengar dipaksakan. Tentu saja Adrian tahu tentang keberadaannya di Paris. Dia juga salah satu yang merencanakan semua ini! Sialan!
“Aish! Bahasa Perancismu jelek!” Rutuk Mario membuat Adrian tertawa disana.
“Bagaimana Paris? Kau sudah sampai disana, kan?” Tanya Adrian diseberang sana.
“Aku sudah sampai.” Jawab Mario sambil memutar bolamatanya. “Mana Dante? Aku ingin berbicara padanya. Berkali – kali kuhubungi dia tak menjawab.” Tanya Mario to the point.
“Dia sedang ke Tokyo. Kau tahulah… biasa… masalah dengan istrinya…”
“Aish! Orang itu! Harus berapa lama lagi dia bermasalah dengan istrinya, sih?” Omel Mario.
“Memangnya ada perlu apa kau mencari Dante?” Tanya Adrian.
“Ini mengenai sepupunya. Kau tahu, yang juga menjadi Tour Guide ku.” Bayangan wajah Sandy lagi – lagi membuat Mario muak.
“Aha! Sandy maksudmu?” Seru Adrian antusias.
“Ya.” Jawab Mario cepat.
“Dia manis kan?” Adrian mulai iseng.
“Apa?!... y-ya… ya… dia manis.” Jawab Mario gugup. Tak menyangka jika Adrian akan merespon seperti itu.
“Imut dan wanginya seperti bayi, kan?” Adrian masih saja bertanya hal yang tidak penting.
“Hhhh…” Mario menghela nafas panjang sambil memutar bola matanya. “Ya… dia imut.”
“bagus! Sudah kuduga kau akan jatuh cinta padanya!” Kata Adrian girang.
“Apa?! Kau gila! Dia itu laki – laki! Aku bukan gay, oke?!” Kali ini Mario tak habis pikir dengan jalan pikiran Adrian. Seenaknya saja dia mengambil kesimpulan bahwa Mario menyukai Sandy. Dia itu lelaki tulen! “Lagipula, aku meneleponmu bukan untuk hal yang tidak penting seperti itu! Ada hal lain yang mau kusampaikan padamu!”
“Oooh…” Adrian terdengar mendesah kecewa. Gila! “Baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Adrian.
“Mengenai Sandy, apa kau yakin mengirim orang menyebalkan macam dia menjadi tour guide ku?” Kali ini Mario sedikit mengendalikan nada suaranya.
“Menyebalkan? Maksudmu?”
“Menyebalkan, dia orang yang sangat menyebalkan! Intinya MENYEBALKAN!” Mario tak sabaran dan selalu menekankan kata ‘menyebalkan’ pada kalimatnya.
“Wow wow, sabar – sabar! Sudah berapa hari kau berjumpa dengannya?”
“Satu hari.” Jawab Mario meredakan rasa jengkelnya.
“Baru satu hari dan kau sudah merasa kesal dengan Sandy?” Adrian berujar tak percaya. “Ayolah kawan, sejak kapan kau mejadi kekanak – kanakan begini?”
“Adrian, lebih baik aku pulang ke Indonesia dan kembali bekerja daripada harus liburan dengan dia.” Mario memberikan pilihan pada Adrian.
“Aish! Kau ini menyedihkan sekali, sih! Baiklah, aku akan mencoba berbicara pada Sandy atau Dante. Tapi kumohon jangan nekat untuk pulang ke Indonesia hanya karena jengkel dengan satu orang. Sayang biayanya, dong,” Kata Adrian akhirnya mencoba mencairkan hati Mario. Mario mendengus kesal.
“Hah, jadi kau lebih mengkhawatirkan uangmu daripada diriku?!” Omel Mario. Dia sepertinya benar – benar sensitif.
“Hei, kau pikir kenapa aku memberikanmu kamera DSLR mahal itu hanya untuk menemanimu berlibur disana?! Bukankah dulu kau punya ambisi untuk mengabadikan setiap moment berharga di tempat – tempat indah?! Setelah kematian kakakmu, kau banyak berubah dan tidak menjadi Mario yang dulu ku kenal!”
DEG!
Mario terdiam. Baru kali ini kata – kata Adrian ada yang menusuk di hatinya. Entah mengapa setiap kali membicarakan tentang almarhum kakaknya, ada perasaan yang tidak nyaman dalam benak Mario. Apalagi ditambah dengan ‘perubahan sikap’ yang terjadi dengan dirinya.
“Ma… Mario…? Kau masih disana?... apa, aku menyakiti perasaanmu?” Diseberang sana, Adrian bertanya hati – hati. Beberapa kali Adrian memangil – manggil Mario hingga akhirnya pemuda berparas tegas itu menghela nafas. Tersadar dari lamunannya.
“Maaf, sepertinya aku memang kekanakan.” Jawab Mario. Kali ini lebih tenang setelah mendapat pukulan dari Adrian. “Aku akan berusaha menuruti permintaan kalian. Baiklah, aku akan melanjutkan liburanku.”
Diseberang sana, Adrian terdengar girang. “Nah! Gitu dong! Oke, good luck bro. Masalah Sandy biar aku dan Dante yang urus,” Ujar Adrian diseberang sana. Mario tersenyum simpul.
“Oke. Thanks.” Jawabnya sambil mematikan ponsel. Ia melempar benda mungil itu ke sembarang arah. Dan sesaat kemudian, ia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dan mencoba memejamkan matanya. Ia ingat kalau ia belum tidur sejak sampai di Paris siang tadi.
-oOo-
Sandy memasuki apartemennya di Rue Di Rivoli. Ia kemudian di sambut oleh neneknya yang sedang menyiapkan makan malam. Wanita tua yang rambutnya sudah menguban semua itu tampak tidak terlihat ramah seperti orang Perancis kebanyakan. Namun bagaimanapun, wanita yang memendekkan rambutnya itu sangat mencintai cucunya itu.
“Bonsoir, nanny,” Sapa Sandy. Neneknya segera menghampirinya.
“Sandy, darimana saja, kau? Kau nyaris melupakan makan malam.” Seru Ruth, nama asli nenek Sandy.
“Hanya pulang dari pekerjaan.”
“Selama ini?” Ruth seolah ingin memprotes kedatangan Sandy yang lebih dari terlambat.
“Hanya sedikit berjalan – jalan.” Jawab Sandy tak peduli sambil berlalu, mencoba untuk menghindari percakapan yang membosankan. Ruth hanya bisa berteriak ketika anak itu naik kekamarnya di lantai dua tanpa menjawab lagi. Sikap Sandy yang terkadang terkesan membangkang itu memang selalu saja membuat Ruth jengkel.
Jacques, sepupu Sandy yang memilik rambut pirang tersenyum jahil ketika sepupunya itu mendapati dirinya tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Sandy memutar bola matanya. Rasanya begitu gerah ketika ia harus menghadapai Jacques yang selalu tampak ingin bermain – main dengannya. Jacques dan Sandy sebenarnya sudah sama – sama berusia di atas dua puluh tahun. Namun tingkah Jacques yang terkesan kekanak – kanakan membuat Sandy tak betah berlama – lama di sebelah anak itu.
“Minggir!” Titah Sandy galak dan dingin.
“Hey sepupu, tidak biasanya kau bersikap begitu dingin seperti ini ketika pulang tour guide amatiranmu,” Ujar Jacques sambil cengengesan. Sandy hanya memutar kunci kamarnya tanpa menjawab. Ia lalu segera menghamburkan diri ke dalam kamar sambil melempar ranselnya.
“So… kau mau menceritakan tentang harimu?” Tanya Jacques yang juga ikut masuk ke dalam kamar meski tanpa disuruh pemiliknya. Sandy melepaskan jaket dan menggantungnya. Ia menghadap lemari dan membelakangi Jacques.
“Tidak ada yang perlu di bicarakan.” Jawab Sandy dingin.
“Apa pelanggan mu itu cantik?” Tanya Jacques memancing.
“Dia seorang pria.”
“Pria? Wow! Tak kusangka kau akan menerima permintaan seorang pria lagi.” Ucap Jacques sambil menekan kata pria lagi. Sandy melepaskan kaosnya sehingga kini ia mengenakan celana panjang saja. Jacques memperhatikan tubuh Sandy yang topless itu ketika Sandy menutupinya dengan kaos yang lebih santai.
“Kau ingin membahas masa lalu?” Tanya Sandy memicingkan matanya.
“Ummm… non (tidak). Hanya saja, setelah sekian lama kau berhenti dari pekerjaanmu, aku merasa aneh kenapa tiba – tiba kau setuju untuk menjadi tour guider freelance lagi.”
Sandy mendekati Jacques dan menghela nafas.
“Dante yang memintaku…” Ujar Sandy terdengar seperti menggantung. Membuat Jacques menaikkan sebelah alisnya seolah merasa masih ada yang ingin disampaikan sepupunya itu.
“Oookkee~…” Kata Jacques seolah menunggu kata – kata lain. Lalu mengangkat tangannya sambil membelalakkan matanya seolah berkata apa lagi?
“What?” Tanya Sandy pura – pura tidak peka.
“Apa lagi?!” Tanya Jacques kesal. Akhirnya Sandy menghela nafas sebelum menjawab.
“Dia memiki hubungan sedarah… dengan orang itu…” Jacques membelalakkan matanya seolah mengerti apa yang dimaksudkan Sandy.
“Golly (Astaga)...!” Ucapnya spontan. “Apa dia adiknya… atau—”
“Dia adiknya.” Jawab Sandy. Jacques kembali terdiam karena ia bisa merasakan pancaran kebencian dari mata Sandy.
Menyiratkan luka dalam yang tidak akan bisa disembuhkan. Sandy menatap keluar. Menatap daun – daun yang berguguran, berwarna kekuningan di tempa bias mentari yang masih baik hati menyinari langit musim gugur. Pandangan Sandy tak terfokus karena pikirannya tengah melayang beberapa tahun silam.
“Jadi… kau akan melakukannya?” Tanya Jacques hati – hati.
“Ya.” Ucap Sandy mantap.
“Meskipun dia adalah orang yang berbeda.” Jacques masih merasa iba sekaligus ganjil. Terlalu kejam jika melakukan hal tersebut kepada orang yang tak tahu hal sebenarnya.
“Dia memiliki darah yang sama. Bahkan wajah mereka seperti kembar,” Jawab Sandy netral. Jacques tidak bisa membantahnya. Tidak untuk sekarang. Kalau ia berani membantahnya, maka bisa dipastikan ia akan merasakan kemarahan serigala Paris ini!
“Baiklah…” Sandy menghampiri Jacques dan mendorong tubuhnya. “Sekarang saatnya keluar. Aku ingin ganti celana.”
“Hey, tapi… tapi—”
“Psst… pergilah sebelum aku bertindak yang tidak – tidak.”
“Hey!”
BRAKK!!
Sandy membanting daun pintu saat berhasil menyingkirkan Jacques dari kamarnya. Untuk beberapa saat ia melamun. Memikirkan hal yang telah ia rencanakan sebelumnya serta kata – kata yang diucapkan Jacques barusan. Entahlah. Ada sesuatu yang sepertinya akan menjadi alasan untuknya agar tak melakukan hal itu.
-oOo-
di bab ini terjawab.....