BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Segitiga Pink Terbalik

Letupan suara senapan saling bersautan mengiringi degup jantungku yang berdetak kencang. Ruangan ini sangat mencekam. Di dalam remang, aku melihat kawanku terengah-engah menahan sakit karena tertembak di kaki kanannya. Seorang kawan membantu dengan mengikat lukanya dengan kain seadanya. Tetapi darah terus mengalir. Waktu berjalan begitu lambat hingga aku bisa merasakan bulir-bulir keringat menetes perlahan. Aparat berteriak-teriak menyeru suapaya kami menyerah. Kami semua terkepung di dalam ruangan camp ini bersama orang-orang yang dianggap menyimpang. Menyimpang adalah bahasa mereka menyebut kami yang berbeda secara orientasi seksual. Kami dianggap penyakit dan harus direhabilitasi di dalam camp atau bahkan dihukum mati agar masyarakat tidak meniru kami.

Kami jelas bukan lawan mereka yang sepadan. Bom molotov dan ketapel hanyalah alat perlawanan kami. Dari segi jumlah, kami pun tak seberapa dengan mereka. Apapun yang terjadi, perlawanan ini telah berbuah. Akhirnya aku berhasil kekasihku. Dia meremas bahuku dengan kuat. Giginya gemeretak ketakutan. Pikirannya linglung, mungkin efek terapi hormon yang diterimanya secara paksa

Beberapa kali aparat melepaskan tembakannya. Kami menyembutnya dengan lemparan bom molotov yang tinggal beberapa. Di dalam kekecauan ini tiba-tiba terasa hening. Pikiranku menderu lebih cepat dari berjalannya waktu. Kami tidak bisa bertahan seperti ini. Tidak ada pilihan lain selain melawan kembali.

3 Maret 2015

Telponku berdering terus walau aku sudah mencoba mengacuhkannya. Ini panggilan ketiganya, aku terusik dan menerima panggilan itu. Dari jauh sana kurasakan deru nafasnya terengah-engah.

“Gawat...gawat..!” Nestor berteriak dari ujung telpon.
“Tenang..tenang.. ada apa?” Aku bertanya.
“Hukuman mati untuk gay! Kamu harus datang ke basecamp sore ini. Aku tunggu!”
“tut.....tut....tut” Panggilan berakhir.

Sore itu juga aku datang ke basecamp setelah menembus hujan yang cukup deras. Dari luar basecamp aku melihat beberapa motor berserakan di halaman. Dari luar sayup-sayup terdengar perdebatan. Telingaku mengenali suara-suara itu, suara-suara dengan nada yang selama ini tidak pernah aku dengar sama sekali. Batinku bertanya-tanya, ada apa gerangan?

Aku berdiri di depan daun pintu dan mengamati apa yang sedang mereka lakukan. Tetapi justru tatapan mereka menghardikku. Di saat-saat seperti ini sepertinya semua serba salah. Mengucapkan salam salah karena aku terlambat. Tersenyum juga bukan ide yang bagus melihat wajah mereka yang serius. Nestor menghampiriku dan memberikan pelukan “persaudaraan” seperti biasanya. Aku duduk bergabung dengan mereka dan seketika gaduh pecah menggelora kembali.

Aku diam dan mengamati sesaat. Perbincangan mereka menyoal Fatwa yang hari ini dikeluarkan oleh MUI mengenai homoseksualitas, sodomi dan pencabulan. Dari judul fatwanya saja sebenarnya aku geli. Bagiku mereka-mereka yang mengaku kyai itu tidak paham sama sekali mengenai seksualitas. Bagaimana mereka bisa menyandingkan homoseksualitas yang merupakan orientasi seksual dengan sodomi (perilaku seksual) dan pencabulan (kriminal). Ngawur! Tetapi aku sadar kengawuran mereka itu jelas berbahaya bagi kami, komunitas LGBT di Indonesia.

“Kita semua harus tenang dan dingin menyikapi fatwa ini. Fatwa hanya anjuran untuk umat Islam saja, bukan hukum.Negara Indonesia kan negara hukum. Jangan sampai reaksi kita mengusik masyarakat yang sejauh ini netral terhadap komunitas LGBT.” Kata Obhie, direktur LSM LGBT Jogja.

“Tidak bisa Obhie! Kita tidak bisa melihat masalah ini secara Parsial. Sudah ada beberapa Perda yang mendiskriminasikan LGBT dan kali ini muncul Fatwa MUI. Ini jelas masalah struktural! Kita harus mulai melawan sebelum terlambat.” Nestor menanggapi.

“Melawan? Melawan dengan apa?” Kata Obhie.
Seketika rapat menjadi gaduh.

“Jika kita diam hari ini, aku yakin akan banyak kebijakan negara yang diskriminatif terhadap LGBT. Di hari itu juga kekerasan terhadap LGBT adalah suatu hal yang halal!” Nestor berkata dengan nada tinggi.

“Kamu jangan jadi provokator Nestor!” Obhie menghardik.

Kanan dan kiri, sepanjang sejarah aku menyaksikan bagaimana mereka terus berseteru. Gerakan LGBT hari ini adalah gerakan monolitik yang berkiblat pada gerakan-gerakan liberalisasi. Bagaimana kedua kutub ini bisa bertemu di dalam solusi bersama jika mereka melihat masalah dengan cara yang berbeda. Seperti malam ini, kurasakan perseteruan epik itu melalui diskusi tanpa konklusi. Keputusan gerakan akhirnya bukan berdasarkan argumen berbobot tetapi siapa bersuara lebih banyak. Si pihak yang sedikit mau tidak mau harus menerima atas nama demokrasi. Sebuah demokrasi semu. Kulihat bara api menyala-nyala dari mata Nestor. Tatapan seorang kesepian yang sedang marah dan sedih. Bulir-bulir keringat terhempas dari ubun-ubunnya melewati kacamata bulat yang gagangnya diselotip karena patah. Dia terlihat diam, namun kurasakan gelora dari dalam dirinya.

Nestor menatapku dalam, matanya yang berkaca-kaca. Dia mencari seorang teman, tetapi mulutku tak bisa berkecap. Dia berdiri lalu berjalan sempoyongan ke pintu keluar.Terakhir dia mengebrak pintu dengan sangat keras. Semua orang menganggap itu sebagai angin lalu. Seperti angin malam yang berganti dengan angin siang. Sejak malam itu dia menghilang, tanpa kabar, tanpa perpisahan.

Nestor, si laki-laki kesepian.


****bersambung****

Comments

  • berat tp menarik, lanjut
  • menarik ... dilanjut ...
  • 17 Mei 2022

    Kerumunan ramapi itu terpecah ketika sekelompok orang bernyanyi-nyayi dan bersorak-sorak. Semua perhatian mengarah kepada mereka. Kerumunan eksklusif yang sebagian diantara mereka membawa bendera pelangi kecil-kecil ditangannya, sebagian membawa spanduk bertulisan “equality” disertai dengan simbol-simbol gerakan LGBT libertarian. Cahaya blitz lampu kamera menghujam seperti kilat pada badai. Bersaut-sautan menangkap semua momen yang ada. Hari ini adalah momen yang spesial bagi mereka. Selebrasi, sorak, dan mereka menggelora.

    Aku duduk tidak jauh dari mereka. Rasanya sedikit aneh melihat pemandangan seperti ini. Sudah lama sekali aku berhenti dari gerakan LGBT. Bagiku perjuangan liberal ala-ala barat hanya kesia-siaan. Di antara kerumunan, mataku menelisik mencari seseorang yang memaksaku datang ke acara ini. Katanya aku harus datang ke perayaan tahunan LGBT yang dikenal dengan IDAHOT (International Day Aganist Homophobia and Transphobia). Katanya mereka mengadakan flashmob malam ini dan aku harus bergabung karena aku adalah bagian dari komunitas LGBT. Sebenarnya bukan karena bagian dari komunitas LGBT aku memutuskan untuk datang kesini, tetapi itu semata karena dia. Sejak kami berdua menyatakan saling mencintai. Aku menjadi sangat susah untuk menolak ajakannya, apalagi sebuah ajakan yang menurutku positif.

    Dia berjingkrak-jingkrak di depan Tugu Jogja bersama teman-teman seperjuangannya. Begitu menyenangkan melihatnya berbahagia. Tetapi sorak-sorai mereka berubah jeritan. Sekelompok orang berjubah putih datang tiba-tiba. Mereka mengangkat galah tinggi-tinggi sambil bertakbir. Aku terperanjat dan berlari menuju kekasihku. Kerumunan itu pecah ke berbagai arah. Kulihat dengan seksama bagaimana galah kayu itu menghantam kepalanya dan membuatnya tersungkur ke tanah. Kuraih dirinya yang tidak berdaya. Kepalanya bersimbah darah.

    “Bubar..bubar!” Teriak si pemukul.
    “Stop..stop.” Aku mencoba meredakan amarahnya.

    Kulihat amarah dari bola matanya yang tersembunyi di balik sorban putih. Bagaimana dia bisa semarah itu terhadap kami? Kesalahan apa yang telah kami lakukan? Aku memapah kekasihku cepat-cepat dan pergi dari tempat itu. Biarlah malam ini kami terluka supaya selamat.
    Barisan yang bergembira itu pecah berserakan. Sungguh menyedihkan, apalagi jumlah mereka sebenarnya lebih banyak dari si penyerang. Dunia adalah perulangan. Dan sejarah kembali berulang malam ini. Aku sangat benci!

    ***
    Beberapa hari setelahnya,

    Komunitas LGBT melaporkan penyerangan tersebut ke Polisi. Namun sepertinya mereka tidak menanggapi pelanggaran HAM berat itu secara serius. Beberapa kali kami mendesak kepolisian untuk mengusut kasus itu sesegera mungkin, tetapi mereka berkilah kami kekurangan bukti. Bukti apa lagi yang sebenarnya mereka minta? Tidak cukupkah visum, foto dan video. Bahkan jika mereka mau tegas, kelompok radikal secara terang-terangan membuat pernyataan atas penyerangan LGBT melalui media sosial mereka. Negara Indonesia adalah negara hukum, tetapi supremasinya tidak tegak sama sekali. Lalu apa yang seharusnya kami anut?

    LGBT menjadi headline di koran pagi maupun online. Ternyata, penyerangan tidak hanya terjadi di Jogja, tetapi juga di kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Makasar. Bahkan lebih parah lagi, beberapa orang meninggal karena penyerangan tersebut. Aku begidik membaca koran itu. Belum pernah ada peristiwa kelam seperti ini sepanjang sejarah Indonesia. Beberapa LSM LGBT didukung oleh Komnas HAM melakukan langkah reaksioner, mereka muncul di media televisi mengutuk keras penyerangan yang dilakukan oleh kelompok radikal. Mereka meminta presiden untuk mengambil tindakan. Namun sayang, presiden yang dipilih olek komunitas LGBT itu diam. Dia mengutus juru bicaranya yang pandai berbicara politik untuk menanggapi koar-koar itu. Terlihat jelas, presiden sendiri sangat berhati-hati dalam mengambil sikap. Politik oportunis.
    Sepulang kerja aku menyempatkan diri untuk mampir ke kos kekasih. Kuketuk daun pintu kamarnya berkali-kali tetapi tidak dijawabnya. Biasanya dia sudah berada di kos jam-jam sore seperti ini. Kuputar gagang pintu kamarnya, tidak terkunci. Aku terhenyak ketika melihat kamarnya berantakan seolah baru saja terjadi perampokan. Aku bertanya kepada tetangga kos sebelah. Katanya dia melihat Ben, kekasihku, dibawa oleh polisi. Aku merasa lemas tak berdaya.

    Aku segera pergi ke basecamp komunitas LGBT untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tetapi diluar dugaan, ketika aku sampai di depan basecamp. Mobil polisi sudah terparkir di halaman depan. Kulihat beberapa kawan diseret paksa lalu dimasukkan ke dalam mobil. Aku pun segera berlalu mengindari tempat tersebut.

    Ketika aku berjalan menjauhi basecamp, aku merasa ada seseorang yang mengikutiku dari belakang. Jantungku berdegup kencang, aku merasa terintimidasi. Ketakutan yang pelan-pelan muncul menjadi nyata. Aku mempercepat langkahku agar bisa menghindarinya. Ketengok belakang dan seketika itu dia berlari mengejarku. Aku pun berlari sekencang mungkin walau akhirnya dia bisa meraih diriku dengan sergapannya yang sangat kuat. Kami berdua tersungkur ke tanah.

    “Sal...Faisal..tenang!” Dia memanggil namaku.

    Bagaimana dia bisa tahu namaku? Aku pun menjerit-jerit, memberontak sekenanya.

    “Aku Basquiat, kita dulu sama-sama aktif di komunitas LGBT.” Katanya.

    Aku pun mereda, pelan-pelan dia melepaskan sergapannya. Aku mencoba mengatur nafas sebelum berkata kepadanya.

    “Kenapa kamu mengikutiku?” Aku bertanya heran.
    “Aku melihatmu di depan basecamp tadi.” Jawabnya.
    “Apa yang sebenarnya terjadi?”

    Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tidak tahu. Matanya berkaca-kaca. Sepertinya kami didera kebingungan yang sama.

    “Kawan-kawan ditangkap! Mereka semua dibawa ke camp.”
    Aku semakin lemas mendengar kata-katanya. Terbayang wajah kekasihku yang ketakutan akan siksaan yang diterimanya. Dunia berubah begitu sangat misterius dan pelik.

    “Kita harus segera pergi menemui Warhol.” Katanya.
  • ternyata tidak mudah ya perjuangannya ... harus punya keberanian tinggi ...
Sign In or Register to comment.