It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sebulan rasanya terdengar begitu lama, tapi bagiku 28 hari yang telah lewat berlalu dengan meninggalkan banyak kenangan indah. Minggu datang dan pergi begitu saja dan kebahagiaan dalam hatiku tumbuh semakin besar setiap harinya. Perasaanku dan perasaan Vincent tumbuh menjadi sesuatu yang jujur dan menakjubkan. Kami terus berkencan disetiap malam weekend, atau minggu malam, kadang dirumahnya, kadang juga diluar di tempat tempat yang bagus. Aku selalu menanti nantikan setiap moment spesial yang berlalu dengan dirinya. Semakin aku mengenalnya, semakin aku tahu betapa lucu, menyenangkan, sensitive, dan betapa dia sangat ingin menghibur orang lain. Tak peduli apapun yang dibayangkan orang orang tentangnya, aslinya dia benar benar jauh berbeda dari apa yang dibicarakan. Aku sangat yakin kalau aku sudah jatuh cinta padanya. Atau mungkin.. aku memang sudah terjatuh untuk mencintainya.
----
WEEK 1
Olive dan aku sedang berjalan pulang kerumah bersama saat itu ketika pulang sekolah, waktu itu hujan dan dia sangat sangat sangat ingin tahu tentang perkembangan antara aku dan Vincent.
"So come on! Katakan padaku tentang semuanya! Malam itu kau pergi kencan lagi kan dengannya?"
Badannya menempel padaku, lengannya melingkar dilenganku.
"Mungkin..." Jawabku sok misterius. Dia semakin mengeratkan lengannya di lenganku.
"Argghh! Jawaban macam apa itu?! Aku ingin tahu apa yang terjadi! Kau harus mengatakan padaku semuanya atau aku mungkin tiba tiba akan..."
Aku langsung menoleh padanya. Memperingatkannya. "Ack, Olive! Kau janji tidak akan memberitahu siapapun!"
"Ok, fine... tapi aku masih tak mengerti kenapa kau merahasiakannya. Apa kau takut pada Alexis? Atau yang lainnya?"
Aku menggelengkan kepala, membuat rintikan air hujan yang jatuh keatas rambut ikalku jatuh ke jalan dibawah. "Bukan seperti itu... hanya saja... aku masih butuh waktu untuk mengerti dengan,.. hubungan yang terjadi antara kami.. aku masih belum siap jika nanti orang orang saling mengawasi kami,... maksudku,.. aku tak pernah ingin menyembunyikan apapun.. hanya saja.."
Olive menyela kalimatku. "....... kau SANGAT menyukainya?"
"Yeah" balasku dengan wajah yang terasa panas. "Aku SANGAT menyukainya"
Dia lalu tersenyum padaku. "It's OK. Kau tau aku takkan mengatakan apapun kecuali kau sudah siap"
Aku semakin mengeratkan gamitan lenganku di lengannya.
"Tapi kau harus menceritakan setiap detilnya padaku. KATA PER KATA"
"Oooowwwwwwww Olive!!!"
---
"Jadi... meski Mechamonkey-ku dua level diatas Pikamunchy mu, aku masih saja kalah? Apa itu adil?"
"Karena..." jelasku pelan, bak sedang menerangkan pada anak kecil. "Pikamunchy-ku memiliki elemen listrik dan Mechamonkey-mu memiliki elemen air. Salahnya adalah, air bersifat konduktor pada listrik"
Vincent menghempaskan Gameguynya ke lantai. "Ini benar benar bodoh! Sejak kapan monyet bisa mengendalikan air?"
Aku langsung memberikannya tatapan buruk. "Hey! Hati hati dengan GameGuy itu, aku tadi meminjamnya dari Olive! Jangan dihancurkan begitu saja hanya karena kau pecundang yang payah"
"Aku bukan pecundang yang payah, kau saja pemenang yang licik"
Aku terbahak bahak dan kemudian menjatuhkan Gameguy ku saat Vincent menghujani wajahku dengan ciumannya.
---
WEEK 2
Aku sedang duduk di meja belajarku, mengerjakan PR sambil mendengarkan lagu dan ber-chatting-ria dengan Olive di laptop. Aku selalu memilih untuk bekerja dengan suasana yang ribut dan playlist ku kali ini benar benar menginspirasi. Aku mengacak lagu yang ada di demo Vincent dan semua album yang dia belikan dan mendengarkannya berulang ulang.
Saat sebuah lagu Ryan Adams diputar, aku langsung berhenti menulis. Musik itu memiliki pengaruh besar bagi diriku karena lagu ini dulunya adalah latar suara dari ciuman pertamaku bersama Vincent. Karena itu, aku kemudian untuk mengutip sebuah potongan lirik dari lagu itu.
"It takes two when it used to takes only one....... X"
Aku tak mengira kalau Vincent akan mengirimkan balasannya secepat ini karena sekarang dia sedang berada di rumah Alexis. Malam Showcase semakin dekat dan mereka ingin set yang sempurna untuk mengesankan para juri. Lima menit kemudian, ponselku berdering dan Vincent mengutip balik lirik dari lagu yang sama.
"I got a really good heart,.. i just can't catch a break. If i could i'd treat you like you wanted me to, i promised. Xx"
Kata kata tersebut mengirimkan kejutan kejutan listrik di kulitku. Dengan itu, aku lalu meletakkan ponselku,mengambil pena dan kembali melanjutkan tugasku. Tapi aku tak pernah mengerjakan tugas dengan senyuman yang menghiasi setiap inchi wajahku.
----
Vincent menghidupkan lagu, melompat keatas sofa lalu berpura pura bermain gitar. Kemejanya terbuka. Biasanya dia bawaannya selalu santai, kalem, sekarang entah kenapa dia jadi tak terkontrol. Bersikap random.
"Apa yang kau lakukan?" Aku tertawa melihatnya melompat naik dan turun diatas sofa.
Dia mencuekiku dan lalu bernyanyi. "Woaaah!! Woaaah!! There she stood in the street, smilin from her head to her feet!"
Sekarang aku terbahak bahak melihat tingkahnya, melambai lambaikan tangan lalu mengangguk angguk kepala saat lagunya memasuki bagian chorus, dia kemudian menarikku ke atas sofa bersamanya.
"SEKARANG SCOTTY!!! SEKARAAANGGG!!!"
Aku lalu mengikutinya, melompat dan bernyanyi sekeras mungkin.
---
WEEK 3
Vincent berpapasan denganku saat berada di koridor. Alexis mengekorinya dibelakang, masih mengacuhkanku.
Kami berpura pura saling tak peduli satu sama lain, tapi Vincent sengaja menyenggolkan tangannya dengan tanganku. Dan dengan yang begitu saja, sukses membuatku seperti tersengat listrik.
Saat mereka sudah menjauh, Alexis tampak seperti masih tak tahu. Dan kemudian aku menyembunyikan tawaku dibelakang buku bukuku.
----
"Apa... kau mau berhenti?" Vincent membelai wajahku dan menatap mataku dengan intens. Kami baru saja berciuman diatas kasurnya, dan kami sama sama topless.
Dia pasti menyadari kekecewaanku, aku berkedip dan kemudian memalingkan wajahku darinya. "Mungkin...."
Dia menciumku sekali lagi dan lalu berguling ke sisi ranjang. "Scotty, aku sudah bilang padamu, kita tak harus melakukan apapun kalau kau belum siap"
Hatiku lalu dipenuhi oleh kecanggungan. Aku tak mengerti masalahnya apa. Hanya saja terakhir kali aku terlibat suatu hubungan bersama Taylor, hubungan itu berakhir dengan buruk. Dan itu membuatku merasa takut jika memiliki kedekatan khusus secara fisik dengan orang lain.
"Aku... cuman tak mau kau jadi tak sabaran..." jawabku dengan suara yang sengaja kukecilkan.
"Jangan konyol!" Pekik Vincent. "Ngga apa apa kok. Lagian itu sesuatu yang besar untuk dilakukan. Aku bahkan tak tahu apa aku siap melakukannya jadi.. biarkan saja dulu seperti ini"
Karena beberapa alasan, aku tak pernah berhenti memikirkan perasaan Vincent padaku. Dia sangat menutup diri dari orang lain dan jadi kupikir, melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar berciuman mungkin akan membuatnya takut. Aku lalu menoleh padanya.
"Aku tahu kau pernah berpacaran dengan Alexis... tapi.. apa kau pernah pacaran dengan laki laki lain sebelumnya?"
Vincent tersedak. "Specs, aku kan sudah bilang padamu. Tak ada yang lain sebelum kau. Aku tak pernah mencium laki laki manapun,... apalagi perempuan.. pengecualian bagi Alexis"
Aku benar benar kaget dengan pernyataannya ini. Kupikir Vincent pasti mempunyai pengalaman yang lebih banyak dariku, entah itu dengan cewek dari sekolahnya (SMP) dulu.
"Bagaimana denganmu? Apa... kau.. pernah berpacaran.. dengan... orang lain?"
Kulitku tiba tiba saja jadi berkeringat mendengar pertanyaan itu. Ini adalah saatnya bagiku untuk mengatakan semuanya pada Vincent, tapi entah mengapa aku tak bisa melakukannya. Tidak saat semua sedang berjalan dengan baik saat ini. Aku tak pernah menganggap Taylor sebagai pacar pertamaku karena semuanya terjadi sangat cepat dan penuh dengan keputus asaan. Aku ingin benar benar menghapusnya dari hidupku, biarlah dia menjadi masa laluku. Lalu kemudian, aku berbohong pada Vincent.
"Aku... dulu pernah berciuman dengan seseorang... ehmm.. itu dulu waktu aku masih 15 tahun dan orang itu dulu sekelas denganku.. dia langsung melupakannya. Dan ciuman itu bukanlah apa apa..."
Vincent lalu menyeringai sambil menggodaku. "Oh.. jadi kau sudah punya orang lain selain aku? Kuharap kau tau kalau sekarang aku terbakar api cemburu"
"Vincent! Ciuman itu bukan apa apa!"
Dia terkekeh lalu meraih wajahku dan lalu membelainya. Aku sedang tidak memakai kacamata dan rambutku sekarang benar benar berantakan setelah sesi cium-mencium tadi.
"God... lihat dirimu... kau tampak menawan seperti ini.."
Dia lalu mendekat dan mencium bahuku, membuatku bergidik karena bahagia.
----
WEEK 4
Matahari sedang bersiap siap untuk terbenam saat aku dan Vincent sedang berbaring sambil saling berangkulan diatas tikar di taman, ditemani oleh sisa sandwich daan sosis beserta cocktail yang tadi kami bawa untuk makan siang. Kami berdua menggunakan mantel dan juga jumper karena diluar sangat dingin. Karena ini adalah minggu pertama setelah beberapa minggu yang lalu terus hujan, makanya kami memutuskan untuk berpiknik.
Aku tetap mencemaskan, bagaimana jika seseorang melihat kami? Maksudku, kami duduk diatas tikar yang dibentangkan di atas rumput hijau ditengah tengah taman, siapa saja pasti bisa melihat dan mengenali kami dengan mudah. Dua orang cewek berjalan melewati kami dan mereka tampak seperti siswa Havensdale, aku sedikit terperanjat karenanya.
"Vincent.. kau yakin ngga mau pulang sekarang? Bagaimana jika seseorang melihat kita?"
Dia memutar matanya. "Specs, aku tak peduli jika seseorang melihat kita"
Cewek cewek itu lalu berjalan didepan kami. Meskipun mereka siswa Havensdale, tapi mereka tampak cuek dan tak mengenali kami.
"Aku juga tak peduli jika orang lain tau..." kataku. "Kecuali Alexis..."
"Tapi kita tetap harus mengatakannya padanya" Vincent menghela nafas.
"Aku tahu" balasku. "Aku hanya tak ingin hal ini menganggu kalian, tidak karena ini sudah hampir dekat dengan hari showcase. Mungkin lebih baik kita tunggu saja sampai semuanya selesai" aku mengambil jeda sebentar sambil memakan sandwhich. "Lagian itu juga tak akan begitu mempengaruhi image mu"
Vincent menoleh padaku. "Apa maksudmu?"
"Well, bandmu" gumamku. "Kau adalah rockstar-nya Havensdale. Apa yang fans cewekmu katakan kalau tahu kau adalah gay?"
"Aku tak peduli"
Suaranya terdengar begitu santai. Aku lalu kembali bertanya.
"Yeah,.. mudah mengatakannya.. tapi kau yakin tak akan peduli? Kau nggak pernah terbuka soal orientasi sexual mu pada orang lain. Apa kau pernah membayangkan bagaimana reaksi orang nanti?"
"Scotty, aku tak peduli..."
"Tapi..." lanjutku. "Bagaimana jika semua itu berpengaruh pada bandmu? Bagaimana jika itu membuat orang orang berhenti mendengarkan lagu-lagumu?"
Dia kemudian meraih tanganku, mengenggamnya erat.
"Aku. Tak. Peduli. Apa terjadi terjadilah. Lagian ngga penting juga mencemaskan itu, karena kau tak bisa mengubah sesuatu yang akan terjadi. Aku ingin terus bersamamu dan jika orang orang tidak suka maka mereka bisa pergi."
"Oh" balasku. Dia benar benar tidak peduli ternyata.
Dia kemudian melingkarkan lengannya di bahuku dan lalu mencium puncak kepalaku.
"Kalau kau masih mencemaskannya, kita bisa menunda memberitahu Alexis. Semuanya terserah padamu, Specs"
"OK" Balasku. "Karena kau tak peduli"
"Benar" katanya. "Tapi aku sungguh sungguh peduli padamu"
Kening kami lalu beradu, dia mengunci kepalanya dengan kepalaku, dan kemudian menciumku lembut dan penuh dengan kasih sayang.
---
Aku merasa seseorang sedang mengawasiku saat sedang belajar di meja makan. Aku lalu berpaling dan melihat Ibu berdiri didepan pintu, menatapku dengan tatapan menggoda.
"Bu, apa yang kau lihat?"
"Oh.. nggak ada..." jawabnya sambil bernyanyi. "Aku cuman sedang mengawasi anak lelaki kecil kesayanganku"
Kenapa para Ibu jaman sekarang tiba tiba jadi doyan untuk membuat anak mereka malu sendiri? Aku lalu melipat kedua tanganku. "Bu, berhenti bersikap seperti itu jika kau tak punya alasan apapun untuk melakukannya..."
"Sorry" dia tersenyum. "Aku cuman belakangan melihat kau jadi lebih bahagia. Itu membuatku juga ikut merasa bahagia"
"Maksudmu?" Tanyaku kebingungan.
"Well, saat ini kau sedang bahagia kan? Kau juga tak henti hentinya tersenyum belakangan. Dan karena kau juga sering keluar rumah belakangan ini... kutebak.. kau sedang berkencan dengan seseorang?"
Wajahku mendadak jadi panas sendiri. Oh my god, aku tak mungkin membicarakan masalah percintaanku dengan ibu! Saat aku masih kebingungan untuk mereson seperti apa, dia lalu tertawa.
"Tenang saja.. aku tak akan memintamu untuk menceritakan semuanya. Aku cuma ingin kau tahu, selama orang ini memperlakukanmu dengan baik dan membahagiakanmu, maka aku juga akan bahagia. Apa dia memperlakukanmu dengan baik?"
Wajahku semakin terasa panas dan aku mengangguk.
"Dan apa kau... sudah.. melakukannya?"
"IBU!!! JANGAN BUAT AKU MENCERITAKANNYA."
Dia lalu mengangkat kedua tangannya. "OK, OK! Aku mengerti.. aku cuma ingin mengatakan kalau.. hmm.. apa kalian memakai pengaman? Aku cuma ingin tahu apa kalian..."
"IYA BU! IYA!!"
Aku kembali mencoba mengerjakan tugasku saat percakapan tadi terngiang ngiang di benakku. Ibu masih saja berdiri di depan pintu.
"Ibu, apa ada yang lain yang ingin kau katakan? Bisa kan kalau kita selesaikan saja sekarang?"
Dia lalu menatapku dengan matanya yang besar. "Well.. kalau kau sudah siap untuk menceritakan tentang "seseorang" ini... kau mau kan mengundangnya ikut makan malam bersama kita? Aku juga ingin mengenalnya..."
Aku terssenyum padanya, merasakan semangat yang menerpaku.
"Pasti, Bu. Aku akan mengundangnya"
Sebulan terdengar sangaaaaat lama. Dan saat satu bulan tersebut diisi dengan banyak keceriaan dan kegembiraan,.. semua itu bisa dengan mudahnya pergi dan hancur begitu saja...
#kuharapceritainicepatberlanjut
Thanks
Ah semoga gpp dah...
Dan tak tahu knp aku sangat suka ama taylor...
Tp kok taylor nya lama bgt gak muncul2..
"Aku masih belum bisa percaya!" Kataku sambil membesarkan mata pada Vincent.
Dia menoleh padaku dari sisi meja yang lainnya. "Percaya apa?"
Aku menyeringai. "Kalau kita memakai dasi! Kapan kita berdua pernah secara resmi memakai dasi?"
Saat ini, kami sedang duduk didalam sebuah restoran bertemakan Italia dia luar kawasan Havensdale. Restoran yang bernama Bello ini adalah salah satu restoran yang mewajibkan pelanggannya untuk memakai pakaian resmi, dan juga harganya sangat mahal. Makanya Vincent dan aku belakangan ini menabung agar bisa kemari, merayakan hari jadi kami yang ke-satu-bulan. Aku masih mempunyai beberapa sisa uang dari saudara, dan Vincent mengambil uang dari sisa gaji ayahnya.
Saat aku melihat harga didaftar menunya, aku jadi merasa bersalah karena akan menghabiskan semua uang yang kami tabung nantinya hanya untuk satu makanan.
"Ehmm.. aku baru melihat harga makanan disini.. kau yakin nggak mau makan di Burger King saja?"
Vincent tertawa. "Oh Come on, Scotty! Kupikir malam ini kita akan melakukan sesuatu yang spesial"
"OK" Balasku. "Hanya karena ini adalah saat yang special"
Dia tersenyum dan lalu menggapai tanganku di seberang meja. Meski sudah beberapa minggu, sentuhannya masih saja membuatku merasa seperti disengat listrik. Malam ini, dia tampak sangat menawan, maksudku, sangat sangat tampan dan juga menawan dan aku rasanya sampai ingin meninggalkan acara makan malam ini dan mencium wajahnya.
"Aku masih tidak percaya, ternyata sudah sebulan saja..." kataku sambil meremas tangannya.
"Aku tau..." balas Vincent. "Apa ini membuat kita resmi berpacaran sekarang? Atau yang lainnya?"
Faktanya, tak seorangpun dari kami yang memberikan label tentang hubungan ini, yah meski sudah jelas apa yang sedang terjadi ini namanya apa. Yang kami tau, sebulan telah berlalu dengan banyak percakapan random, dan juga sebulan telah berlalu sejak Vincent mengajakku ke Toko Kaset. Kami semua kaget betapa cepatnya waktu berlalu. Mungkin kami harus menandai di kalender hari ini dan bulan depan merayakannya di tempat yang lebih bagus.
Pelayan lalu datang membawakan pesanan kami, dan lalu kami mengambilnya dan mengobrol. Ada sebuah lilin di tengah tengah meja yang sedang hidup dan menambah kesan romantis. Cahaya oranye nya menerpa wajah Vincent dan membuatnya tampak eksotis. Jika satu tahun yang lalu ada yang bilang kalau aku akan saling bertautan tangan dengan Vincent di Bello, maka aku tak akan percaya. Bagian diriku masih tak percaya kalau ini sedang terjadi. Karena ini rasanya terlalu indah untuk jadi kenyataan.
Makanan kami tampak sangat lezat. Vincent memesan pizza sedang aku memesan sebuah Tomato and Chicken Pasta.
"Sebentar lagi Paskah kan? Senang rasanya bisa berlibur. Bagaimana kalau aku mengambil kerja sampingan, agar nanti kita bisa berjalan jalan keluar Havensdale?"
Vincent tersenyum. "Yeah... pasti keren. Tapi kau harus fokus pada ujianmu. Aku juga sih. Ditambah lagi, showcasenya juga diadakan di hari Paskah"
"Oh my god, secepat itukah?" Kataku sambil mengangkat garpu yang berisikan pasta.
Vincent kemudian menyeringai gila dari sisi lain meja sambil menunjukkan jarinya padaku. "Ehmm.. Specs.. kau sepertinya lupa letak mulutmu dimana"
Aku menundukkan kepala dan menemukan saus tomat yang berserakan di kemeja putihku. "Oh no!!! Aku seharusnya tau kalau berbicara sambil makan itu tidak baik!"
Aku lalu membersihkannya dengan sapu tanganku, tapi sausnya malah menyebar dan aku membuatnya semakin parah. Vincent terbahak bahak dari kursinya.
"Nooo, ngga lucu tau!"
"Lucu"
"Ini ngga lucu! Kenapa aku selalu..."
"God.. i fucking love you"
Kalimatnya menginterupsiku dan aku tak yakin dengan apa yang kudengar. Kepalaku langsung berdiri tegak.
"Kau... barusan.. bilang apa?"
Vincent langsung menutupi mulutnya dengan tangan. Dia tampak benar benar malu.
"Ngga!...... maksudku... pergilah dan bersihkan dirimu!"
Kalau aku tak salah, ada sedikit rona merah di pipinya. Apa dia baru saja mengatakan apa tepat seperti apa yang kubayangkan? Dia tampak malu, tapi hatiku terasa meledak ledak saking bahagianya karena kata kata yang baru saja terlontar dari mulutnya.
Aku lalu memutuskan untuk tidak begitu mempedulikan reaksinya. "OK, kalau begitu aku bersihkan dulu.." kataku sambil berdiri dan kemudian berjalan ke toilet. Saat aku berbalik, aku tak bisa lagi menahan senyumanku.
---
Tak peduli sebanyak apa aku menggosok kemejaku, noda saus tomatnya nggak mau hilang, malah menyebar ke bagian yang lain. Dan sekarang, aku tampak benar benar seperti orang bodoh. Tapi aku tak peduli. Tidak setelah pernyataan Vincent tadi.
Aku dengan perasaan berbunga bunga keluar dari toilet. Saat melewati sudut restoran, perutku mendadak terasa seperti akan jatuh.
Pelayan yang tadi melayani kami sekarang sedang meladeni sepasang muda mudi yang duduk dimeja yang tak jauh dari kami. Mereka berumur tak jauh beda dariku dan mereka berpakaian sangat formal. Si cowok berbadan atletis, dan rambut blondenya ditata menjadi spike. Sedangkan ceweknya.. berambut panjang dan dikuncir bagai ekor kuda. Melengkapi wajahnya yang juga mirip kuda.
"Oh my god! Apa yang disana itu Scotty Williams?"
Patricia menoleh kearahku sambil menunjuk nunjukku. Taylor juga memutarkan kepalanya dan lalu mata kami bertemu. Aku bisa melihat dia terkejut. Mungkin dia takut bertemu denganku seperti aku yang dulu juga takut bertemu dengannya. Mengingat percakapan terakhir kali sih diantara kita. Apalagi di bagian, "Aku selalu memikirkanmu saat meniduri pacarku". Ok, itu awkward.
Aku berpura pura tidak melihatnya, dan berjalan dengan cepat sambil menundukkan kepala di sepanjang jalan menuju mejaku. Dari belakang, aku bisa mendengar suara nyaring Patricia.
"TIDAK MUNGKIN.... yang bersamanya itu Vincent Hunter, kan?!"
Aku tak tahan lagi untuk menoleh kepada Patricia. Sekarang dia bersandar pada Taylor sambil berbisik bisik mencurigakan tentangku. Taylor melirik Vincent dengan ekspresi kelam dan datar. Melihat itu, aku cepat cepat menghempaskan bokongku di kursi.
Vincent tidak menyadari apa yang sedang terjadi dan lalu tersenyum saat aku datang dengan saus tomat yang berserakan di kemejaku. "Oh Scotty, kau membuatnya sepuluh kali lipat lebih parah!"
Aku kemudian memajukan badanku dan berbisik padanya.
"Vincent.... aku baru saja melihat Taylor Raven dan pacarnya... mereka duduk tepat dibelakang kita dan mereka melihat kita...."
Vincent kemudian mengedarkan pandangannya ke belakangku dan langsung menemuka mereka. "Oh shit..."
Kami pikir, kami tak mungkin berjumpa dengan orang yang kami kenali di Bello mengingat betapa kerennya tempat ini dan juga lokasinya yang berada diluar Havensdale. Aku nggak kaget sih saat melihat Taylor dan Patricia juga disini. Terlebih lagi karena mereka kaya. Aku jadi menyalahkan diriku sendiri karena tak berhati hati dalam memilih tempat.
"Apa yang akan kita lakukan.....?" Bisikku.
"Hey, it's OK" Balas Vincent. "Aku disini. Dan aku takkan membiarkannya menganggumu. Dia tak akan berani"
Vincent sama sekali ngga mengerti maksudku. "Tidak.. maksudku.. mereka SUDAH melihat kita... KITA"
Dia mengangkat bahu dan melanjutkan makan pizza-nya. "Oh, well, terus? Siapa yang peduli?"
Aku melirik kembali Patricia yang masih sedang menggosipkanku sambil menunjuk nunjukku di mejanya. Taylor menunduk, mencoba fokus dengan menu.
"Bagaimana kalau mereka menceritakannya ke orang orang di sekolah?"
Vincent lalu menangkap kedua bola mataku dengan miliknya, menatapnya intens dan tajam. "Scotty, mungkin ini memang waktunya bagi orang orang untuk tahu. Aku tak ingin menyembunyikannya lagi. Jika mereka menceritakannya, aku tak peduli..." kemudian dia berhenti sebentar. "Kecuali... apa itu menganggumu?"
Kecemasan di wajahku perlahan memudar. "Tentu saja tidak..."
Tiba tiba saja, aku jadi merasa tak mengerti kenapa rahasia ini malah memusingkanku sendiri. Hampir setiap orang yang kami kenal bertanya tanya apa yang sedang terjadi diantara kami dan sejujurnya aku tak peduli tentang apa yang orang lain pikirkan. Kecuali satu orang.
"Aku cuman... aku mencemaskan Alexis. Dia pasti takkan bisa menerima ini semua dengan baik..."
"Memang" balas Vincent tegas. "Tapi, dia sahabatku. Aku tak bisa terus menerus berbohong padanya. Dan kau tentu juga harus mengatakannya pada Olive"
Aku langsung menggigit bibirku sediri merasa bersalah.
"Dia sudah tahu ya?"
Aku mengangguk lemah, pipiku merona.
"Oh, come on Scotty" ucap Vincent. "Seriously, Alexis tak mungkin jadi orang terakhir yang tau. Aku muak terus menerus berbohong kepada semua orang, aku hanya ingin mereka tahu betapa aku mencint...."
Dia menghentikan kalimatnya sendiri.
"Betapa aku... menyukai bersamamu.. atau semacamnya..."
Meski musuh terbesarku sedang duduk bersama pacarnya tepat dibelakangku saat ini, dan opini tentang memberitahu Alexis saat ini menghantuiku seperti awan hitam.... aku tak bisa menahan diriku untuk langsung mengenggam kedua tangan Vincent dengan lembut dikedua tanganku. Aku tak akan membiarkan kejadian ini berlangsung dua kali malam ini.
"Vincent... it's OK. Aku juga"
Dia menatapku bingung, aku semakin mengenggam erat tangannya.
"I love you too. I really love you"
Kata kata itu meluncur begitu saja dengan mudahnya dari bibirku dan aku tau, aku mengatakannya tepat dari hatiku. Vincent tampak sedikit terkejut.
"Ka.. kau dengar yang tadi?"
Aku tersenyum padanya. "Ya iyalah. Sudah jelas kan?"
"Oh God, Scotty... aku tak bermaksud untuk mengacaukan semuanya. Aku cuma tak tahan lagi, aku tau ini terlalu cepat... dan kau tak perlu mengatakan..."
"Vincent" potongku. "I. Love. You."
Dia kemudian menatapku, mempelajari wajahku kalau kalau aku sekarang sedang bercanda. Saat dia sadar aku sedang serius, dia langsung tersenyum padaku.
"Oh Specs..."
Dia berdiri dan lalu berjalan memutari meja ke kursiku, dan lalu menciumku. Seisi restoran sontak menoleh pada kami, termasuk Taylor dan Patricia. Tapi.. aku tak peduli.
----
Sisa acara makan malam kami berakhir dengan menyenangkan. Perut dan hatiku terasa sama sama penuhnya. Aku bahkan tak menoleh pada Taylor dan Patricia saat berjalan keluar, karena saat ini pikiranku dipenuhi oleh Vincent. Betapa berartinya dia saat ini bagiku.
Dia lalu membawa mobilnya kembali ke Havensdale. Selama di perjalanan, kami memutuskan untuk memberi tahu Alexis esok harinya sebelum dia mendengar rumor apapun tentang kami dihari senin. Rasanya menakutkan dan juga melegakan disaat yang bersama saat mengetahui orang orang akan tahu tentang kami.
Mobilnya lalu sampai didepan rumahku dan aku tak ingin malam ini berakhir begitu saja.
"Kuharap aku tak begitu cepat pergi.."
Vincent mematikan mesin. "Aku tahu.. tapi.. ibumu pasti sudah menunggumu didalam.."
Aku mengambil ponselku dari kantong dan memain mainkannya. "Aku bisa mengabarinya... kalau... malam ini.. aku menginap diluar?"
Kemudian hening dan aku bisa merasakan masing masing detak jantung kami yang memacu kencang.
"OK.. Apa kau mau kembali ke apartemenku?"
----
Saat memasuki apartemen Vincent, kami langsung dikuasai oleh hasrat. Aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya dan lalu menciumnya. Dia menciumku balik dengan keintens-an yang sama, mendorongku semakin menempel ke badannya yang hangat, membiarkan tangannya menyelinap masuk kedalam kemejaku dan menjelajahi punggungku.
Kami lalu menjatuhkan diri di sofa di ruang tengah dan aku saat ini sedang berada dibawah tindihan Vincent. Dia kemudian berbisik lembut di telingaku.
"Mungkin kita harus berhenti Scotty..... aku tak yakin apa aku bisa menahannya lagi...."
Jemariku bergetar karena adrenalinku, dan kemudian melepaskan kancing kemejanya satu persatu.
"Aku tak ingin kau menahannya lagi...."
Dia menahan nafasnya karena sentuhanku dan kemudian menarik dasiku, mulai melepasnya. "Kau yakin... ? Kita masih bisa berhenti kalau kau belum siap..."
"Vincent.. aku siap.. aku tak pernah sesiap ini..."
Dia lalu menciumku. Dalam dan lama. Aku yakin sekali kalau aku akan meledak ditempat jika harus menunggu lebih lama. Lalu nasihat ibu tentang memakai pengaman terngiang ngiang di telingaku. Tidak sepertiku, Vincent sudah lebih berpengalaman dan aku yakin kalau ini akan benar benar aman.
"Apa kau.. apa.. kau punya..."
Dia mengangguk diantara ciuman kami. Aku menghela nafas lega dan menutup kedua mataku, membiarkan sensasi baru merasukiku.
"Scotty, I love you" bisik Vincent di telingaku, yang membuat bulu kudukku berdiri. Dia kemudian meraih kedua tanganku, dan menuntunku ke kamarnya, melepaskan kemeja dan ikat pinggangku sebelum kami bahkan sampai di pintu kamar.
"Apa kita bisa pelan pelan nanti?" Kataku pelan saat kami sampai di pintu.
"Tentu saja"
Dia menciumku lebih pelan, membelai kedua pipiku lebih lembut.
Lalu dia menutup pintu dan semua akal sehat yang kupunya meleleh semua malam itu juga.
lupa mention @bapriliano . maaf yaaa...
@arya_07 masih berlanjut kok. masih 23 chapter lagi sebelum tamat.
@harya_kei waah harya...
@lulu_75 semua akan terjawab di 4 chapter kedepan
@Adamy hahahahaha bener bener ibu yang pengertian
@Toraa kayaknya waktu Becky nulis itu, dia mau fokus dulu ke Scotty dan Vincent selama beberapa part. Habis itu baru deh dimunculin lagi Taylor. tuh udah muncul. Di chapter2selanjutnya bakalan lebih banyak Taylor nya