It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
lanjut terus ya...
baca nanti deh. save dulu
@lulu_75 kyaaaa~ (////)
@harya_kei asyiiik XD
@AlmeraVan sip
@Zhar12 sama nih. huhu
@andyanz makasih
@alvin21 iyaaa nih XDXD
@centraltio thank you so so much
@akina_kenji iya.. aslinya emabg udah lama.. chapter berikutnya dijelaskan kok
@CurhatDetected oke
@new92 samaa XD gue aja yang tranalate jufa seg deg
Gue gak bisa ngebayangin kalo ada diposisi Specs saat itu,, dansa dengan seorang pria yang disukai.. :x :x
kemaren aku minta dimention tapi ga di mention
kemaren aku minta dimention tapi ga di mention
Aku mendongakkan kepalaku. Jantungku memacu sangat cepat. Apa ini benar benar nyata?
"Kau... kau menyukaiku?"
Dia menggoyang goyangkan hidungnya didepan hidungku. "Tentu saja aku menyukaimu. Bukannya sudah jelas?"
Dia kemudian kembali menciumku lembut dan lalu aku seutuhnya meleleh padanya. Dia pasti tadi makan permen karet, bibirnya terasa mint dan juga harum. Dengan itu, aku lalu mendorongnya.
"Tunggu, bibirku nggak terasa seperti Fish and Chips kan?"
Vincent tertawa dan lalu meletakkan tangannya di pipiku dan membelainya.
"Oh my god... kau benar benar menggemaskan"
Sentuhannya membuatku merasa seperti kembang api yang diledakkan ke langit. Setelah beberapa lama aku selalu berada didalam neraka disekolah, kini akhirnya aku bertemu dengan surga.
"Kenapa kau tak bilang lebih awal?" Kataku. "Kupikir kau hanya mau menjadi teman"
"Aku memang ingin menjadi temanmu" Jawab Vincent dengan seringai diwajahnya. "Apa itu artinya aku tak boleh menciummu juga?"
Dia mendekat dan kemudian kembali menciumku. Kemudian, aku mendadak terjebak didunia dimana hanya ada aku dan Vincent dan juga suara Ryan Adams dari vinyo yang diputar. Kami berciuman, lembut, pelan, sambil berdansa mengikuti alunan musik yang lembut.
Saat musik berhenti, ciuman kami berakhir dan Vincent lalu mendesah. Kacamataku mendadak jadi kabur dan aku lalu melepaskannya. Vincent lalu tertawa terbahak bahak.
"Hey! Itu tak lucu!" Kataku dengan senyum kecil. "Aku benar benar ngga bisa melihat apapun!"
Dia lalu mendorongku keatas kasur yang ada di belakang kami. "Berhenti jadi sangat lucu karena aku tak tahan lagi!"
Kami kemudian tertawa lalu dia menjatuhkanku diatas bed cover navy nya. Badannya berada diatasku dan tangan kami saling bertautan satu sama lain. Aku menginginkannya... lebih dari aku menginginkan apapun. Dan semua hasrat ini membuatku takut. Kami tadi masih terjebak di bumi dan sepuluh menit kemudian kami berdua sudah melayang layang di luar angkasa. Aku.. hanya agak merasa pusing.
Vincent melihat ekspresiku dan lalu bangkit dari atas tubuhku. "Hey... kenapa?"
Aku bangkit. Memperbaiki kacamataku. "Ini.. ini.. ini agak.. tergesa-gesa.."
"It's OK" Kata Vincent, lalu bangkit duduk disampingku. "Kita tak harus melakukan apapun, ayo kita ngobrol saja"
Vincenr lalu meraih minuman yang tadi dia bawa dan memberikan segelas padaku. Lalu kami minum dan menenangkan diri. Kami masih di kasur, tapi duduk dan tak bersentuhan lagi. Aku agak merasa bersyukur sekarang.
"Thanks......." kataku setelah jeda yang panjang. "Ini semua... gila.. aku pikir.. aku pikir aku tak pernah punya kesempatan untuk bisa bersamamu"
"Kau bercanda?" Katanya. "Aku yang berpikir tak punya kesempatan bersamamu! Aku takut kau akan menyuruhku untuk menjauhimu..."
"WHAT!?" Pekikku. "Darimana kau bisa berpikir aku akan melakukan itu!?"
Vincent memutar mutar gelas yang ada di tangannya. "Well.. kupikir kau tak tertarik padaku. Aku terus mencoba untuk memberikanmu kode, tapi kayaknya nggak berhasil..."
Vincet mendatangi Dungeon Adventures Club. Obrolan kecil di hallway. Pesan di facebook dan juga kita yang hampir berciuman di atap. Semua itu sama sekali tak pernah kupikirkan. Aku tak pernah merasa sebahagia ini disekujur tubuhku.
"Aku selalu menyukaimu.." kataku. "Kupikir.. aku menyukai orang yang salah.. aku yakin kalau kau itu straight.. dan lalu katamu tentang kau dan Alexis..."
Vincent meletakkan tangannya sendiri di dahi dan kemudian meremasnya. "Shit! SHIT! Aku tau kalau aku menyakitimu saat mengatakan itu!"
Aku menoleh padanya dengan bingungnya. "Malam itu diatap, aku benar benar ingin mengatakan padamu tentang perasaanku yang sebenarnya.. tapi aku malah mengatakan itu dan mengacaukan semuanya.. aku, aku tidak bermaksud untuk membuatmu sedih waktu itu.. aku cuma ingin jujur padamu jika sesuatu terjadi. Aku merasa aneh menyimpan perasaan ini darimu"
Aku agak merasa bersalah dengan statement nya. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan pada Vincent, tapi ini sepertinya bukan waktu yang tepat. Aku harus mengambil kesempatan ini untuk mengkonfirmasi hubungannya dengan Alexis. Sebenarnya aku tak ingin mengetahuinya, tapi aku benar benar ingin mengetahui apa saja yang telah terjadi.
"Jadi itu benar?...... kau dan Alexis.."
Vincent menghela nafas. "Ya.. hubungan kami rumit dan tak seperti yang kau bayangkan"
Aku tak ingin bertanya lebih lanjut, tapi Vincent tau dari ekspresiku kalau aku butuh jawaban yang lebih. Dia lalu berdiri dari kasur. "Ayo duduk di ruang lain saja. Akan kuceritakan semuanya padamu"
Dia meletakkan tangannya ke bahuku, lalu menuntunku ke ruang tengah. Kami duduk di sofa yang berbeda, tapi tangan Vincent menggantung dan menggosok gosok punggungku dengan lembut.
"OK..." mulainya. "Jadi.. yang terjadi sebenarnya.."
"Aku sudah mengenal Alexis semenjak beberapa tahun yang lalu. Aku bertemu dengannya waktu masih berada di Year 7 disaat kami berada di tutor grup yang sama. Kami berdua diacuhkan di kelas. Aku membenci semua orang dikela, tapi Alexis adalah satu satunya orang yang kubiarkan berada di sisiku. Dia lucu dan keras seperti baja. Dia menyukai musik dan tau semua band favoritku. Kami.. kau tau, klik begitu saja dan kemudian sejak saat itu kami selalu bermain bersama.
Kupikir dia selalu menyukaiku, tapi aku tak pernah memikirkannya seperti itu. Aku menyukai pertemanan kami.... tapi aku tahu kalau aku itu gay. Kau tahu kan? Aku selalu menyukai Billie Joe Armstrong. Aku menempel semua posternya dikamarku. Dan aku tahu kalau itu lebih dari sekedar aku ingin menjadi sepertinya, aku menginginkannya! Hahaha
Tapi aku bingung karena aku tak pernah menjadi orang yang feminim sebelumnya. Dan juga aku tak menyukai hal hal yang membuat orang otomatis berpikir kalau kau adalah gay. Jadi.. kupikir mungkin aku salah. Mungkin itu hanya semacam fase yang aneh atau yang lainnya... Bukan karena come out saat ayahku dirumah adalah ide yang bagus, khususnya aku juga ngga yakin apa aku gay atau tidak. Come out bukanlah sesuatu yang kubutuhkan. Lagian aku juga tak tertarik pada orang lain. So, kenapa harus come out?
Jadi tahun demi tahun berlalu, aku dan Alexis menjadi semakin akrab. Kami lalu mulai mendirikan band untuk jadi pelarian dari kehidupan dirumah. Dia membuat studio sendiri di kamarnya dan dia benar benar hebat dalam membuat lagu. Aku tak pernah bertemu dengan cewek seperti itu sebelumnya, dan kupikir itu benar benar keren.
Keluarganya juga berantakan. Ibunya meninggalkannya dan adiknya yang masih berusia 10 tahun. Dia sama sekali meninggalkan tanggung jawabnya, dan membangun keluarga baru bersama laki laki lain. Awalnya dia terus berkomunikasi dengan Alexis, tapi panggilan itu makin lama makin berkurang sampai dia mencampakkan anaknya sendiri dari kehidupannya.
Ayah Alexis adalah pengusaha besar berkebangsaan Jepang yang menghabiskan waktunya terbang ke UK atau Jepang ataupun sebaliknya. Kupikir ibunya pasti muak dengan sikap ayahnya yang seperti itu, dan itulah yang membuatnya meninggalkan anak anaknya. Pada dasarnya, Alexis menghabiskan masa kecilnya sendirian dirumah sambil membesarkan adiknya sendirian. Ayahnya sesekali akan datang mengirimkan uang, dan juga membawa kakek neneknya ke rumah sakit untuk check up mingguan. Pada dasarnya, dia itu dibuang oleh keluarganya. Itulah kenapa dia selalu kesal dan cemburu pada semua orang. Aku tahu ini pasti cuma gara gara masa lalunya. Tapi jauh daripada itu semua, Alexis adalah gadis yang baik kok.
Musik adalah pelarian bagi kami. Kami mulai menulis lagu dan bermain sebanyak yang kami bisa. Aku biasanya selalu mengunjungi rumahnya karena selalu kosong dan menjauhkanku dari rumah sendiri. Mungkin aku harus menceritakan sedikit tentang ayahku, meski aku benar benar malas untuk menghabiskan satu nafas saja untuknya. Dia selalu menjadi pemabuk yang kerjaannya hanya merepotkan saja. Selalu begitu setauku... ayah akan menjadi seperti biasa selama seminggu dan kami akan menjadi keluarga bahagia untuk sementara waktu. Kami pergi berlibur, membantu mengerjakan PR dan apa saja yang keluarga bahagia lakukan di iklan iklan TV. Lalu kemudian ayahku mendadak jadi aneh dan itulah saat pukulan itu terjadi...
Jika tidak memukul ibuku, maka akulah yang dipukulnya. Ibu selalu membela ayah. Akan selalu ada alasan dari ibu untuk menyalahkanku. Apakah itu aku yang terlalu ribut, aku yang terlalu keras kepala, atau aku yang terlalu bodoh. Suatu saat, Ayah melemparkan sebuah kursi kayu yang cukup kuat dan berat yang selalu kami pakai untuk makan malam. Kursi itu tepat menghantam kepalaku dan membuat kepalaku harus mendapat beberapa jahitan. Ibu mengatakan pada pihak rumah sakit kalau itu karena ulahku sendiri yang bergelut dengan teman dan berakhir menyakiti diriku sendiri. Aku tak tahu lagi yang mana yang paling sakit, luka fisik dari Ayah atau kebohongan Ibu. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk berhenti bicara pada semua orang. Dan itu membuat semuanya menjadi lebih mudah.
Setelah penyakit aneh mabuk ayah itu berakhir, dia selalu bertingkah sama. Meminta maaf dan berjanji kalau itu semua takkan terjadi lagi. Katanya selalu "Itu yang terakhir". Selalu. Dia tak menyelesaikan masalah apapun dengan kakek.. dan masalahnya adalah dia punya penyakit kontrol emosi yang buruk. Dia berjanji akan mengobatinya dan pergi ke dokter. Tapi dia tak pernah melakukannya, ibu selalu menginngatkan.
Dan semua ini berlangsung selama bertahun tahun. Aku merasa bagai berada dineraka, tapi aku tetap bertahan. Lalu suatu hari, tepat sehari sebelum awal Year 11 dimulai, dia emosinya kambuh lagi dan inilah yang terparah. Aku bahkan ngga ingt apa yang membuatnya jadi seperti itu. Itu benar benar sesuatu yang bodoh yang seharusnya kulupakan dan tak kuingat ingat lagi. Dia mabuk mabukan sepanjang hari tanpa bisa dikontrol. Berteriak lalu membentak semua orang. Aku tak terima dan balik membentaknya. Lalu dia meninjuku. Biasanya aku menerima mentah mentah semua pukulan yang dia layangkan padaku, tapi saat itu sesuatu membuatku meninjunya balik. Sebelum aku sadar bahwa kami berkelahi dan saling melukai, ibu berteriak dan menyuruh kami untuk berhenti. Kami berakhir dengan banyak luka dan memar disekujur tubuh. Dan pada akhirnya, ayah kembali menendangku dan langsung membuatku tak sadar diri.
Ibu menangis dan berteriak kalau ayah sudah keterlaluan. Aku masih pusing dan butuh beberapa lama untuk sadar seutuhnya. Tapi saat aku sadar, semua jelas sudah kalau aku tak bisa lagi tinggal dirumah. Aku mengemasi barang barangku dan entah kenapa bisa berakhir didepan pintu rumah Alexis. Aku tak tahu lagi harus mengadu ke siapa dan Alexis berdiri disana, melihat mataku yang berkaca kaca dan tampang lusuh seperti baru saja selamat dari medan pertempuran. Itulah saat pertamakali dia memeluk dan menciumku. Aku sangat sedih dan kesepian, aku hanya ingin seseorang ada dan peduli padaku. Dan Alexislah satu satunya orang yang melakukan itu saat yang lainnya membuangku.
Aku berakhir dengan menghabiskan sisa musim panas di rumahnya. Kami selalu bersama. Kadang kami juga berjalan jalan membawa adiknya keluar rumah. Kami juga membuat musik, dan memasak makan malam bersama. Kadang kami juga berciuman. Rasanya kayak main rumah-rumahan, tepat seperti keluarga yang kuinginkan.
Setelah beberapa bulan, orang tuaku mencoba untuk membawaku kembali pulang tapi aku menolak. Itulah saat dimana ayah terlibat dalam perkelahian di bar yang membuatnya dijebloskan ke penjara. Aku kayak, menyalahkan diriku sendiri atad itu karena akulah pemicunya. Lagian kalau bukan karena aku, pasti ada orang lain yang menyebabkannya menjadi seperti itu. Aku senang saat tahu dia dipenjara, seperti.. kelegaan tersendiri. Dia pasti merasa menyesal karena telah memberikan gaji bulanannya untukku dan itulah yang membuatku bisa hidup sendiri. Ibu juga sangat marah dan menginginkanku untuk kembali bersamanya, tapi meski ayah sudah dipenjara. Aku akan tetap menolak. Semuanya sudah terlambat.
Kupikir, pindah ke tempatku sendiri akan membuat sesuatu diantaraku dan Alexis berakhir. Senang rasanya bisa hidup bersamanya, rasanya seperti berada di dunia dongeng. Maksudku, kayak pelarian. Yah semacam itulah. Maksudku, jangan salah pengertian. Aku cinta Alexis, aku menyayanginya, tapi tepat seperti cinta dan rasa sayangmu pada Olive. Aku benar benar menyayanginya. Tapi tak seperti rasa sayang dan cintanya padaku. Dia menyukaiku dalam pengertian lain dan itulah yang membuatku bingung.
Untuk beberapa saat, aku mencoba untuk mengikuti arus. Meyakini diriku sendiri bahwa semuanya baik baik saja. Semuanya akan jadi lebih mudah seperti itu. Senang rasanya mengenal seseorang yang akan selalu berada disisimu, dan aku tak ingin kehilangannya. Plus, aku sedang berjuang untuk hidup sendiri dan aku marah saat semua rumor tentang ayahku beredar luas lalu aku harus terlibat banyak masalah sepanjang waktu. Alexis memintaku untuk kembali tinggal bersamanya, pun demikian, sesuatu menghentikanku. Aku harus belajar hidup mandiri dan aku tahu bahwa Alexis adalah garis hidupku dan aku tak bisa menjauh darinya.
So yeah... kami hidup bersama lagi selama beberapa bulan berikutnya. Dia selalu ingin mendekatiku secara fisik, tapi aku selalu menghentikannya sebelum berbuat terlalu jauh. Kupikir dia bingung dan mengira pasti ada sesuatu yang salah dengannya. Aku merasa sangat kejam dan pada akhirnya kupikir,... fuck it, kenapa ngga dicoba saja dulu? Lagian dia yang mau kan? Jadi kami melakukannya... tapi itulah saat dimana semuanya jelas. Aku hanya ingin memuaskannya dan kupikir mungkin aku bisa mencoba.. tapi aku sama sekali tak merasakan apapun dan itu sangat tak adil baginya..
Setelah berbulan bulan akhirnya kami sadar bahwa ada sesuatu yang salah dan lalu aku mengaku padanya bahwa aku gay. Rasanya aneh mengatakan itu, tapi rasanya juga seperti sesuatu diangkat begitu saja dari bahuku dan membuatku merasa lega. Kupikir dia akan menanggapinya buruk, tapi jujur, dia benar benar pengertian. Aku tahu dia merasakan sakit didalam hatinya, tapi dia hanya ingin berada disisiku. Lalu aku berjanji, bahwa kami akan selalu bersama meski tak seperti dalam hubungan yang dia inginkan. Itulah kenapa lalu kami memulai mendirikan band keren kami dan bermimpi untuk menjadi bintang rock ternama. Dan kau tahu, sejauh ini aku sudah mencoba melakukan apapun untuk menjaga janji itu..."
----
Ada jeda panjang setelah Vincent menyelesaikan ceritanya. Aku duduk dan menyimak dengan tenang disampingnya. Banyak sekali yang dia ceritakan. Dan kemudian dia menghela nafas.
"So,.. itulah yang terjadi. Nggak semuanya, tapi mencakup semuanyalah. Hingga kemudian kau menabrakku di hallway dan saat itu cahaya tepat menyinari dirimu dan semenjak saat itu kau selalu membuat hidupku jungkir balik" dia tersenyum padaku dan kemudian aku merasa semua kupu-kupu beterbangan tepat kearahku dengan indahnya.
"Ka... kau ingat itu?!"
"Tentu" balasnya. "Karena sampai detik itu, aku menyukai cowok bukanlah sebuah masalah yang serius. Tak pernah ada yang datang mengangguku dan Alexis. Dan waktu kau menabrakku di hall itu, aku berpikir sepertinya aku baru saja melihat sosok paling menggemaskan yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Kau seperti..... satu satunya orang yang tak ingin kupukul disekolah"
"Santai" kataku. "Itu pernyataan yang sangat berat kalau kau nggak bersungguh sungguh"
Dia tertawa. "God, kau membuatku tertawa" Lengannya melingkar di punggungku, membuatku merasa berdebar debar. "Aku merasa kau sepertinya tak menyukai Alexis, dan itu pasti karena dia sudah bersikap kasar padamu dan kau tak mengatakannya padaku"
Aku terdiam.
"Please.. jangan berpikir yang tidak tidak tentangnya.. nanti akan kuberitahu dia..."
"Kita tak harus memberitahunya.." kataku. "Maksudku.. belum. Bisakah kita.. pelan pelan dulu? Cuma.. untuk sementara waktu?"
Vincent meraih kedua tanganku lalu mencium punggung tanganku. "Tentu saja, Specs. Apapun keinginanmu akan kuturuti"
Aku meremas tangannya. "Aku sangat menyesal tentang semua yang telah terjadi padamu. Kuharap aku bisa menemanimu saat itu"
Dia balik meremas tanganku. "Kau disini sekarang. Menemaniku"