BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Always And Forever [ONESHOT]

Ini sudah kali ketiga di minggu ini. Aku menerima sepasang bunga mawar didepan pintu kamar ruanganku. Pengirimnya masih tak jauh dari sini. Aku pernah melihatnya sedang memperhatikanku dengan ekor matanya di meja administrasi.

Aku tau dia masih peduli padaku.

Aku mengambil mawar tersebut dan meletakkannya kedalam sebuah pot kecil di jendela bersama 2 bunga yang lainnya. Mereka tampak indah. Hari yang cerah dengan mawar merah di sudut jendela. Seperti beberapa novel roman picisan yang pernah kubaca dulu bersamanya.

Apa dia mencoba mengulangi apa yang pernah kita lalui?

Kuharap dia tidak. Ini sudah minggu ke-7 aku berada di rumah sakit. Vonis dokter akan penyakitku membuat keluarga dan kerabatku pasrah tentang nasibku. Tapi aku tak akan pernah mau melihat mereka meratapi. Tidak selama aku masih hidup.

Kuharap mereka mengerti.

Hari senin pertama di awal musim semi, saat semua bunga bunga bermekaran indah di taman kota. Kincir kincir bergerak gerak oleh angin yang mencumbu. Aku selalu memperhatikan mereka semua dari dalam kamar. Menopang kepala bermimpi kapan aku akan kembali bisa melihat semua itu.

Membayangkan betapa menyenangkannya bisa menikmati suasana di musim semi bersamanya.

Pakaianku lusuh. Piring piring tertumpuk di sudut ruangan. Aku tak pernah suka dengan makanan cair.

Dia tahu itu.

Kuharap dia mengerti alasan kenapa aku menginginkan ini semua terjadi. Setelah semua kata 'aku tak akan meninggalkanmu' dan berjuta kasih sayang lainnya yang ia torehkan.

Aku hanya tak mampu melihatnya menderita bila aku pergi nanti.

Harry dan Selena juga mengerti perasaanku. Sahabat yang mengerti akan diriku luar dalam. Sahabat yang selalu memberikanku solusi terbaik disaat aku berada didalam masalah. Sahabat yang tak pernah memperlakukanku buruk saat semua orang tahu bahwa aku menyukainya.

Sahabat yang akan selalu kuukir senyuman diwajahnya.

Harry selalu bilang, aku tak boleh bersikap keras kepala seperti ini. Harry selalu bilang, dia dan Selena akan selalu ada untukku saat sedih. Harry selalu bilang, bahwa saat mataku nanti sudah tertutup. Tak akan ada orang yang mampu tersenyum.

Aku hanya ingin melihat senyuman itu hingga akhir nanti.

Selena selalu menyemangati. Mengatakan betapa kerennya dia saat mencetak touchdown di pertandingan waktu itu. Betapa kerennya dia saat dinobatkan menjadi king saat pesta dansa. Betapa kerennya dia saat berhasil lulus dengan nilai terbaik beberapa bulan yang lalu.

Dan betapa sedihnya dia saat aku mencampakkannya tanpa alasan.

Aku bahagia bersamanya. Kita melalui banyak hal. Bioskop akan selalu menjadi saksi betapa kami saling mencintai satu sama lain. Pasar akan menjadi saksi betapa kami saling melengkapi satu sama lain. Kebun binatang akan menjadi saksi betapa kami saling memiliki satu sama lain.

Tapi tetap saja dia tak akan bisa merubah apapun.

Dia selalu bilang padaku, dia mencintaiku. Dia selalu bilang padaku, dia selalu menyayangiku. Dia selalu bilang padaku, bahwa akan selalu ada dan tersenyum untukku. Dia selalu bilang padaku,bahwa dia akan selalu bersamaku.

Apapun yang terjadi.

Tapi aku hanya tak ingin melihat semua keindahan terakhir yang kulihat sirna tepat sebelum kepergianku.

Aku begitu mencintainya. Aku begitu mendambakannya. Ditengah malam aku selalu merintih menyebutkan namanya. Berharap dia akan berada disisiku dan menepati semua janjinya. Berbaring disampingku dengan senyuman terbaik. Merangkulku. Mencium keningku. Menempelkan dahi kamu. Mempertemukan kedua ujung hidung kami.

Kami pernah melewati masa masa itu dulu.

Saat kencan kedua kami di awal musim dingin dimalam natal. Dibawah mistletoe, kami saling tertawa dan bertukar kado. Kami tersenyum. Aku selalu menyukai rambut coklatnya yang tampak selalu sempurna dengan penutup telinga di kedua sisi. Dia tampak gagah. Aku memberikannya sebuah sweater bergaris merah yang kurajut sendiri hingga melukai beberapa tangan.

Sweater yang kubuat dengan air mata saat mengetahui fakta tentang penyakitku.

Dia tak pernah tau aku bisa merajut wol. Karena aku memang tak pernah bisa. Dia begitu senang hingga langsung memakainya disaat itu juga. Sweater buatanku tampak sangat begitu pas. Dia tersenyum dan bahagia.

Tapi senyuman itu menohokku.

Kupanggil dia tuan Sweater setelah itu. Karena dia tampak begitu cocok dengannya.

Tapi dia tidak tampak begitu cocok untuk kesedihan yang akan dia dapat jika terus bersamaku.

Dia menyuruhku membuka kado darinya dengan semangat. Dan aku membukanya. Dia begitu bersemangat saat aku, dengan terkejutnya dan tanpa bisa berkata kata mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak itu.

Sebuah liontin.

Aku mengenggam liontin darinya yang saat ini kukalungkan dileher. Dimalam itu, dia selalu bilang bahwa dia, akan selalu berusaha untuk menjadikanku miliknya seutuhnya. Memiliku untuk selamanya. Selamanya menjadi bagian dari hidupnya.

Aku benar benar tidak bisa.

Dia mengalungkan liontin itu, katanya rambut blonde ku yang mencuat sedikit dari kupluk tampak serasi dengan benda itu.

Dia hanya tak tahu betapa rambutku dan penutupnya saling bersimbiosis satu sama lain.

Aku berhenti didepan jendela. Memperhatikan keluar betapa indahnya dunia dengan tiga tangkai mawar dihadapanku. Aku tak ingin meninggalkan dunia ini begitu saja. Tidak disaat seperti ini.

Dia mengajakku pulang. Mengenggam tanganku yang sudah menggigil sedari tadi diterpa salju. Salju yang begitu putih. Semua orang bergembira ria saat ini. Semua orang berbahagia saat ini. Semua orang begitu jujur saat ini.

Tapi tidak denganku.

Kami berjalan bersisian, telapak tangannya yang hangat, tak pernah letih mengenggam tangan pucatku yang ditutupi sarung tangan. Pohon pohon natal tau, betapa aku begitu menyayangi pemuda ini. Betapa aku tak ingin tangannya beranjak pergi dariku.

Kupikir, apa salahku hingga Tuhan membuatku sebegini sakit?

Saat sampai dirumah, di gubuk kecil dibelakang rumahku. Gubuk yang sudah kami sulap untuk menjadi rumah kecil kami. Gubuk yang indah dengan foto foto kami yang menempel di setiap dindingnya. Dia memelukku.

Akupun memeluknya.

Aku tahu mengapa aku menangis waktu itu. Aku hanya tak mampu menyembunyikan apapun lagi. Ego untuk membangun dinding bernama prinsip yang kujaga selama bertahun tahun itu perlahan luntur. Tapi aku tetap tak ingin mengatakan yang sebenarnya. Di dada bidangnya aku terisak, menumpahkan semua yang bisa kutumpahkan di pakaian hangatnya.

'Kamu kenapa?' Katanya. Suaranya begitu berat dan tegas. Seakan akan menggambarkanku yang begitu berat untuk meninggalkannya.

Begitu tegas untuk mengambil keputusan itu.

Dia menghapus air mataku, mencium bibirku. Mencoba menghilangkan semua kesedihanku.

Tapi aku tak bisa.

Dia kembali memelukku. Membelai kepalaku yang masih dikupluki. Aku menyukai bau karamel ini. Bau yang sama saat pertama kali tak sengaja bertabrakan dengannya di locker room, saat dia baru saja membereskan barang barangnya.

Aku mengenalnya sebagai atlit rugby terbaik di sekolah. Dia terkenal sebagai playboy kelas akut. Aku tak pernah menyukainya. Hanya Selena yang begitu ingin menjodohkanku dengannya. Dan dia berhasil.
Setelah itu kami kembali bertemu di hotel, saat aku mengantarkan Ayah untuk acara kantornya. Kami berkenalan dan bertukar nomor handphone.
Kami semakin dekat, Harry menggodaku setiap waktu. Apalagi Selena.
Saat di cafetaria aku sendirian duduk di tengah ruangan, dihina dan didiskriminasi hanya karena ke-tidak-lurusanku, dia berdiri disana dan duduk bersamaku.
Semua orang semakin benci padaku. Tapi aku sadar, bahwa aku menyukainya semenjak hari itu.
Kami pergi berkencan sehari setelah kejadian itu, dia yang mengajakku karena ternyata dia juga sama sepertiku. Diatas biang lala, dia mencium bibirku hangat. Itulah saat pertama kali aku mencium bau tubuhnya. Itulah ciuman pertamaku. Dan setelahnya,kami resmi berpacaran.

Matanya membelalak dan airmatanya keluar, saat aku mengatakan aku ingin semua ini berakhir.

Dia bertanya padaku kenapa. Kubilang aku ingin fokus pada yang lain.

Dia bertanya padaku apa salahnya, disaat dia tak ada salah apapun.

Dia bertanya padaku, apa aku memiliki orang lain di hati.

Dan aku dengan terpaksa mengatakan 'IYA'

Gubuk kami tak pernah lagi menjadi rumah setelah itu. Tak pernah ada lagi senyuman manisnya. Perlakuan manisnya. Semua kata kata manisnya. Dia tak perlu tau hal yang sedang kutanggung saat ini. Dan aku sakit, saat temannya berkata padaku bahwa ia tak peduli lagi padaku.

Tapi aku tahu dia peduli.

Ku hirup aroma mawar merah itu. Bau yang sama: karamel. Seakan akan memberikan petunjuk padaku, bahwa duri itu selalu menyakiti kulitnya. Seperti aku menyakitinya.

Aku bisa menerima itu.

Kupikir, aku akan bisa mati dengan tenang. Penyakit ini, penyakit langka. Aku juga tidak mengerti kenapa dari delapan miliar orang didunia, hanya 5 orang dan termasuk aku yang menderita akannya?

Mataku selalu kehilangan fungsinya di beberapa waktu yang bahkan tak kuketahui kapan. Semua sendiku terasa mati bahkan saat aku sedang tertidur sekalipun. Kulit kulitku menampakkan keriputnya meski aku baru memasuki awal 20-an.

Aku hanya tak mengerti.

Kenapa semua orang menangisi keadaanku. Meratapi dan bahkan mengutuk Tuhan lebih daripada aku mengutuknya karena telah membuat senyuma mereka hilang.

Orangtua ku sudah melakukan segala hal. Tapi nihil.

Heather dan Hermionie juga tak bisa berbuat apa apa. Saudaraku itu hanya bisa menyemangatiku.

Harry dan Selena bahkan meraung raung dikamarku. Terlebih Selena. Dia mengucapkan semua sumpah serapah yang dia ketahui. Dia mengutuk semua produsen makanan cepat saji yang selalu kugemari. Dia menangis diselimutku. Dia bahkan nekat ingin menjagaku sampai saat terakhir.

Tapi aku tak mau.

Aku tak mau dikasihani. Aku hanya ingin membuat mereka bahagia. Tapi kenapa justru air mata yang keluar disaat bibirku tersenyum? Kenapa semua orang terus merasa,bahwa aku adalah seseorang yang patut untuk dikasihani.

Kenapa?

Aku hanya berpikir, apa karena aku terkena penyakit ini? Apa karena aku sekarang tampak lemah? Apa Tuhan juga membenciku seperti homophobic lainnya? Apa Tuhan tak peduli lagi padaku?

Kenapa semua orang bersikap seolah mereka semua peduli pada orang sakit sepertiku?

Kenapa semua orang bersikap seolah aku layak untuk dikasihani setelah semua perlakuan yang telah mereka perbuat padaku?

Aku hanya ingin, mereka peduli dari awal padaku.

Aku hanya ingin, mereka menyayangiku.

Aku hanya ingin, mereka menganggapku sama seperti orang yang lainnya meski aku tak sama seperti mereka.

Dan aku hanya ingin, dia kembali peduli padaku saat itu.

Itu terjadi beberapa minggu yang lalu. Sebelum mawar, dan beberapa surat lainnya datang ke kamarku. Aku selalu menduga itu dari Jesse, pasien lain yang kamarnya berada diseberang kamarku.

Tapi ternyata salah. Aku selalu bergumam, 'Aku tahu kau peduli. Aku tahu kau selalu peduli' saat menerima mawar itu. Ku dekap setiap batangnya disaat malam hari. Meski itu terlihat begitu hiperbolis. Tapi biarlah.

Aku hanya senang bahwa dia peduli.

Bahwa dia tidak membenciku setelah apa yang telah kuperbuat padanya.

Pikiranku campur aduk, kesaat beberapa bulan yang lalu. Saat aku, menerima vonis itu. Aku tak percaya. Aku benar benar tak percaya. Aku membanting semua benda yang ada diruangan praktik itu. Aku meludahi dokter itu. Aku menangis. Aku berteriak. Melakukan apapun yang kuharap mampu untuk mengubah vonis itu meski tak satu hurufpun berubah. Padahal aku hanya ingin memeriksa demamku, tapi semuanya melampaui ekspektasiku.

Kuputuskan untuk menahannya. Tak membicarakan vonis itu pada dia. Meski kami sudah menjadi sepasang dikala itu. Tak ada satupun yang tahu.

Aku menyembunyikan sangat rapat darinya. Aku mencari rumah sakit yang lebih besar untuk memastikan semua vonis itu. Aku pergi ke luar kotaku, ke negara lain. Tapi justru lebih parah yang ku dapatkan.

Asa ku habis sudah. Tuhan memang sudah membenciku karena terlahir menjadi seorang gay. Aku hanya ingin hidup bahagia bersamanya. Dia yang mencintaiku dan bersedia melindungiku.

Tapi kenapa dia ingin mengambilku secepat ini?

Satu tahun, bukanlah waktu yang lama untuk membuat kenangan. Meski sedikit, ku buat sebanyak mungkin yang kubisa bersamanya. Meski resiko yang kuhadapi, aku harus berpuluh puluh kali dihantam rasa sakit dan nyeri, dan keluar masuk rumah sakit.

Aku tak mau dia mencemaskan keadaanku, ku katakan padanya, bahwa aku baik baik saja. Selalu begitu.

Ibu dan Ayah tak pernah tahu. Heather dan Hermionie apalagi. Aku baru akan memberi tahu Harry dan Selena, tapi setelah dia tahu semuanya.

Keadaan berubah, saat dia menjadi sibuk dengan futbol-nya. Dan Olivia yang selalu menggodanya. Dia menjadi sering keluar kota bersama timnya untuk bertanding, bersama tim pemandu sorak: Patricia sebagai pemimpinnya. Dia berjanji akan langsung pulang, dan aku setuju. Dia menyuruhku untuk menjaga kesehatan.

Tapi aku terbaring dirumah sakit selama 3 minggu lamanya.

Dokter memvonis di akhir minggu, hidupku hanya tinggal lebih kurang 10 minggu lagi. Dan saat itulah, aku memutuskan untuk memberitahunya saat natal.

Tapi aku malah menyakiti hatinya. Anehnya, aku malah senang bahwa jika aku pergi nanti, tak akan ada tangisan darinya.

Tapi aku malah berharap akan ada perlakuan manis darinya lagi, akan ada sentuhan hangatnya meski aku tak pernah mengharapkan sentuhan dari orang lain.

Dialah satu satunya yang kuharapkan disaat dia sama sekali tak peduli padaku.

Dan ternyata dia peduli.

Aku baru saja puas menonton pemandangan di musim semi itu, saat tiba tiba dia muncul di depan pintu. Dengan sweater rajutanku. Tampangnya begitu awut-awutan. Bulu bulu halus di wajahnya membuat keadaannya menjadi jelas: kacau.

Aku terdiam didepan jendela. Jantungku mencelos setelah sekian lama aku mengharapkan dia akan mendatangiku.

"Hai" katanya.

"Hai" balasku.

Sesaat, matanya tertuju pada liontin yang saat ini tengah kugenggam dengan tangan. Kemudian dia berdiri disampingku. "Kau menerima semua mawarnya?"

Aku mengangguk dan memalingkan pandanganku kembali kepada kincir kincir itu.

"Terimakasih.."

Aku bahagia mendengar suaranya lagi. Meski untuk yang terakhir kali.

"Aku selalu bertanya tanya sejak kejadian malam itu, kenapa kau memutuskan hubungan kita begitu saja.."

Aku mencoba untuk tak kembali lagi mengingat itu. Tapi aku tak bisa.

"Kupikir, saat itu kau benar benar sudah memiliki orang lain dihatimu. Aku..." kata katanya terhenti. Dari ekor mataku, dia juga tampak memperhatikan lekat kincir angin yang saat ini juga sedang kperhatikan. "Aku begitu membencimu saat itu.."

Dan aku tahu kau juga berlagak seperti tak peduli padaku.

"Aku mencoba untuk melupakan semua kenangan bersamamu. Aku berkencan dengan Patricia. Menghabiskan waktu bersamanya.."

Aku sudah dengar semua itu dari Selena. Mendengarnya langsung dari mulutnya membuat hatiku sakit. Entah mengapa.

"Kupikir dengan itu semua aku bisa melupakanmu. Tapi ternyata tidak. Aku mengunjungi gubuk itu setiap akhir pekan. Kuperhatikan setiap foto yang kita tempel didinding. Heather tak perlu tahu bagaimana aku bisa masuk kehalaman rumahmu. Hanya Hermionie terlalu baik dan mengizinkanku. Aku..."

Bibirku bergetar saat tahu bahwa dia mengunjungi gubuk itu.

"Ingat saat kita pergi ke taman kota? Dan kau begitu terpesona dengan warna warni dari bunga bunga mawar dan lily? Aku selalu membelinya ditoko bunga dan meletakkannya di atas sofa. Didalam gubuk kita. Setiap minggunya. Berharap kau akan datang, dan mencariku. Memintaku untuk menjelaskan semuanya. Agar aku dapat mendengar suaramu lagi..."

Kenyataannya, aku tak pernah lagi mengunjungi gubuk itu. Karena aku terlalu sibuk dengan penyakitku.

"Aku selalu menunggumu dilorong sekolah. Berharap kau, dengan kesalnya membanting pintu lokerku dan memakiku. Setelah itu melindungimu dari apa saja yang Taylor perbuat padamu"

Kenyataannya, aku memutuskan untuk berhenti sekolah. Karena aku tak yakin apa aku akan bisa.

"Aku menunggumu makan sendirian di cafetaria, aku selalu memperhatikan meja itu dari jauh. Aku selalu tak bisa terfokus saat latihan dan berharap kau akan menontonku bersama Selena. Tapi tidak. Kupikir kau benar benar mempunyai sosok lain dihatimu. Dan menghilang begitu saja dari sekolah. Aku berhenti menebarkan kelopak mawar di gubuk kita. Aku menyerah dengan harapanku sendiri bahwa kita akan bisa kembali bersama.. aku.."

Aku terbatuk. Dan meraih sebuah gelas. Aku masih tidak memperhatikannya, tapi aku tau dia memperhatikanku.

"Aku melamar Patricia"

Aku tak terkejut lagi.

"Kupikir, dia akan bisa membuatku menggantikan posisimu. Tapi tidak. Tetap tidak bisa. Aku membohonginya dan semua kebohongan akan perasaanku padanya menjadi semakin besar setiap hari. Dia selalu memintaku untuk bercinta dengannya, tapi akan selalu ada senyum mu yang membuatku tak bisa melakukan itu dengan Patricia. Hingga, dia membatalkan hubungan kami. Anehnya, aku malah merasa senang dan bahagia. Aku merasa bebas. Tapi itu tak bertahan lama saat Harry, tak sengaja mengatakan kebenaran tentang keadaanmu"

Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku lagi.

"Kemudian Selena memberi tahuku semuanya, aku menyesal tidak berada disisimu saat kau menderita. Aku menyesal hanya bisa memperhatikanmu dari jauh"

Aku terenyuh saat dia mengatakan itu. Aku tahu dia tulus. Kata kata itu berasal dari hatinya.

"Connor,.." kataku. Matanya kemudian beralih padaku. "Harusnya aku yang berkata seperti itu. Aku seharusnya mengatakan apa yang terjadi lebih dulu padamu. Apa yang kuderita. Tapi aku malah menyakitimu"

Dia tersenyum saat aku menyebut namanya. Dia mengenggam tanganku. Aku kembali hanyut dalam tatapannya. "Kau selalu mempunyaiku aku untuk bercerita, Lowie. Kau tahu aku tak akan pernah meninggalkanmu"

"Kenyataannya aku yang membuatmu meninggalkanku" tambahku cepat.

"Dan aku menyesal karena telah meninggalkanmu"

Aku melepaskan tanganku darinya. Sudah mulai terasa lagi nyeri dan perih itu. Tapi aku masih bisa menahannya. "Aku akan mati, Connor"

"Aku tahu, Heather menceritakan semuanya saat kami melakukan face to face dilapangan"

Heather, saudara lelakiku yang tak pernah bisa menjaga mulutnya.

"Aku tak mau kau bersama sosok penyakitan sepertiku. Kau pantas bersama seseorang yang lebih baik.."

Dia mengecup bibirku singkat. Kemudian kembali meraih kedua telapak tanganku. "Tak ada yang lebih baik darimu, Lowie. Aku tak peduli meski orang orang mendeskriminasiku hanya karena aku mencintai seorang pria, dan menuduhku gila karena mencintai seorang penyakitan. Biarlah. Aku tak pernah peduli"

"Bagaimana dengan Patricia?"

"Dia menganggapku kacau karena batalnya pertunangan kami"

Dia peduli padaku. Dia benar benar peduli padaku. Aku tak bisa mengelak, aku mengakui bahwa aku cengeng. Airmataku jatuh merembes begitu saja. Diiringi isakan seraya dia mendekapku. Mencium puncak kepalaku.

"Dengar, aku tak peduli berapa banyak lagi waktu yang kita punya. Aku mencintaimu, dan kau mencintaiku. Aku bisa membawamu keliling dunia bersamaku saat ini juga jika kau mau. Aku bisa membawakanmu pesawat saat ini juga jika kau mau. Kupastikan kisah kita tidak akan seperti Brokeback Mountain. Aku akan selaku bersamamu. Hingga kau pergi. Aku tak peduli. Lowie, aku akan selalu menxintaimu. Bahkan hingga saat kau tidak bisa mencintaiku lagi. Hingga hanya ada nisan yang bisa mewakilkan betapa aku mencintaimu nanti. Aku akan mendekapmu. Seperti ini. Selalu. Dan selamanya..."

TAMAT



Soundtrack:

I KNOW YOU CARE by Ellie Goulding
HOW LONG WILL I LOVE YOU by Ellie Goulding
«1

Comments

Sign In or Register to comment.