Sebelumnya saya minta maaf,, "Pom - Pay" belum saya lanjutkan,,, jujur saya masih harus banyak belajar dengan penyakit itu,,, Suatu saat saya akan menyelesaikannya,,, Sebagai penggantinya, saya akan membuat sebuah cerita seorang ahli wabah di Indonesia,,, Dalam cerita ini tidak ada maksud untuk membuka borok instansi pemerintah atau instansi lainnya,,, Hanya cerita ini hanya untuk pembelajaran kita semua,,,
Ketika Vito ditugasi menyelidiki kasus flu unggas yang terjadi secara serentak di delapan kota seputar Indonesia, ia memakai kesempatan itu untuk mencicipi kekayaan kuliner lokal bersama kedua karibnya. Dalam perjalanan mereka, makanan, politik, agama, sejarah lokal, dan realita sosial tak hanya bertautan dengan korupsi, kolusi, konspirasi, dan misinformasi seputar politik kesehatan masyarakat, namun juga dengan cinta, pertemanan, dan kisah-kisah mengharukan yang mempersatukan sekaligus merayakan perbedaan antarmanusia,,
@miw
@Needu
@marobmar
@hantuusil
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
@san1204
@Bintang96
@d_cetya
@catalysto1
@Monster_Swifties
@arya404
@AlexanderAiman
@deltamet43d
Comments
Namanya Arivito Abhimanyu, umurnya tiga puluh satu tahun, dari namanya mungkin ada India-nya mungkin juga tidak, kalau ditilik dari wajahnya yang wayang katakanlah ia Jawa, atau ada Jawanya, atau mungkin Sunda atau Bali. Ia tidak kurus dan juga tidak gendut, katakanlah ia seperti orang yang selalu ingin menjaga berat badan tapi tak bisa menahan nafsu makan. Ia memiliki sifat pendiam yang justru dengan pendiamnya itu banyak diterima banyak pihak, sebab sedikit sekali orang yang cerdas dan tak banyak bicara di dunia ini, orang yang tahu banyak hal tapi tak butuh pamer pengetahuan, dan meskipun ada padanya yang pelit bahkan sedikit kejam, sebagaimana seseorang yang dewasa sebelum waktunya, orang diam-diam terpaku pada sosoknya, pada seorang yang menganggap bicara itu harus di pertimbangkan, sebab waktu itu mahal kawan. Ia mahal dan angkuh dan bisa membuat suatu hal jadi mengguncang atau angin-anginan, hingga kedelai atau cabe atau bawang putih bisa raib begitu saja dari pasar, seperti yang terjadi setidaknya dua kali tahun ini, dan akibatnya sungguh instan dan mengejutkan, misalnya membuat makan bukan sesuatu lagi yang nikmat, lidah kita tiba-tiba loyo, kosa kata kita menyusut (tak ada lagi “mantap”, “nendang”, “maknyus”), kita bagaikan senapan tanpa pelor, burung tanpa pita suara, dan begitulah waktu. Wahai saudara-saudara, ia sangat pilih kasih. Terlalu sering Ia menyediakan diri hanya bagi orang-orang penting atau dengan kata lain bagi orang-orang yang tak butuh waktu karena mereka tak mengenal kerja dan yang rela membayar apa saja hinga dua sampai tiga kali harga normal karena mereka kebanyakan uang. Dan karena itulah Ia, Vito sapaan Arivito Abhimanyu telah lama memutuskan untuk menyediakan waktunya hanya untuk hal-hal yang membuatnya bahagia, ini sangat masuk akal karena orang yang tidak banyak bicara sering disalahartikan sebagai orang yang tidak bahagia, dan dalam usianya sekarang dianggap tidak bahagia bukanlah sesuatu yang menyenangkan, justru sedikit menyebalkan menjurus tidak adil, karena yang tersirat adalah sebentuk kepribadian yang lemah, sepotong jiwa yang rentan, padahal ia seratus delapan puluh derajat berbeda. Paling tidak begitulah ia melihat dirinya sendiri, sebab bagaimana mungkin ia tak berkepribadian apabila satu-satunya hal yang membuatnya bahagia adalah makanan, ikhwal yang kita semua tahu artinya tidak pernah sama dari manusia ke manusia, madu buat A, racun buat B, Mani buat X, Mala buat Y. Tapi yang bagi nya, Vito adalah perekat yang mengaitkan semua unsur kehidupan, merumuskan semua pengetahuan, sebuah dunia yang terbentuk lama sekali sebelum musik, sajak dan gambar, serta pagi, siang dan malam mengisi penuh kepalanya mengisi dan menaungi, seolah ia memiliki pacar yang ideal dan pasangan hidup ideal sekaligus.
Pecinta dan pengayom, dua hal yang bukan kebetulan tak ia miliki, karena ia tidak punya waktu untuk hal-hal yang tidak membuatnya bahagia, ingat!!, dan yang membawanya pergi dari pekerjaan, dari acara keluarga, dari jamuan makan, yang menggerayangi otaknya demi sehimpun imaji, sejumput rasa, secercah warna, semisal putih halus jejaring karbohidrat tipis yang membentuk semangkuk bihun bebek di Muara Karang, atau pertanyaan yang tak harus selalu dijawab seperti paduan paduan emosi apa gerangan yang membentuk kepulenan tiada tara nasi uduk Bu Aminah, apakah itu cemburu, rasa bersalah, pamrih atau cinta tak kesampaian. Ia tak henti-hentinya merencanakan tur kuliner dari bagian kota satu ke bagian kota lainnya, mulai dengan rujak juhi dan berakhir dengan roti kaya atau mulai dengan ketoprak dan berakhir dengan lindung cah fumak, sedemikian rupa hingga ketika orang-orang lain sedang sibuk membicarakan angka kematian, hingga indeks pasar, naik-turunnya harga properti, bukti baru korupsi proyek, pro dan kontra desentralisasi, perubahan iklim, persaingan antar rumah sakit, bisnis sekolah internasional, panjangnya harapan hidup, keamanan dan keselamatan di tempat umum dan tempat kerja, siapa yang lebih digdaya, Barca atau Real Madrid, Messi atau Ronaldo, atau misteri pembunahan istri pertama preman Tanah Abang yang semakin seru dari hari ke hari, ia malah sibuk membayangkan secara detail kelekatan zucchini dengan garam dan minyak zaitun atau cinta mati terong buat bawang putih dan sambal, juga tak hentinya mengumpulkan fakta remeh-remeh tentang makanan tapi yang jika dikeluarkan sesekali dalam sebuah pembicaraan membuat sang pembicara semakin menarik dan misterius.
Pikiran-pikiran semacam itu membuatnya sanggup membeli tiga macam granola atau salsa di swalayan tanpa sudi memilih ketiganya atau memasak resep pasta yang sama berkali kali sampai ia mendapatkan tekstur remah roti goreng paling tepat untuk ditaburkan di sekujur hidangan, dengan kata lain, pikiran-pikiran yang kalau kita jujur membuat kita bahagia karena tak pernah hanya menyangkut kita saja tapi juga tentang hal-hal di luar diri kita, sebab pada akhirnya bukankah itu poinnya, bicara tentang makanan adalah cara paling asyik untuk bicara hal-hal di luar makanan. Ia mengodifikasi sekaligus menyelubungi kebutuhan – kebutuhan lain di dalam diri kita, seks, dendam lama, kasih sayang, pengakuan, ketakutan, akan ditelantarkan. Makanan ternyata sungguh merupakan simbol sekaligus metafora kebudayaan, hingga pada akhirnya kita akan selalu bisa berkata atau berkelit : “tapi kota ini kok kelihatan lain ya, dengan harum kaldu bawang putih yang berenang di dalam batok kepalaku ini,” atau “aduh, meskipun kota ini brengsek aku mending tinggal di sini ketimbang di kota lain, bisa meninggal aku kalau nggak makan sambel lebih dari tiga hari,” dan pada saat itu kota itu memang tak lagi tampak seperti si kota lacur dan laknat yang menghalalkan para koruptur namun mengharamkan orang yang tak beragama, yang dua puluh empat jam meruapkan asap dan sengak karbon dioksida, dan yang begitu piawai menyembunyikan keculasannya, begitu rupa sehingga ia pun, Vito, seorang realis dalm hal-hal tertentu seperti cinta dan perkawinan, atau lebih tepat lagi, kemustahilan kedua hal, membiarkan dirinya percaya pada pada beragam jenis cahaya, itulah rahasia, penemuan-penemuan baru, membayangkan dirinya terbang jauh, karena ia ingin merasakan sendiri bagaimana dua macamputih, satu dari kembang kol dan satunya lagi dari cumi-cumi, andalan sebuah restoran baru di tengah London, bisa bersenyawa dan menghasilkan,seperti kata kritikus makanan asal Inggris yang sangat dihormati, “Kemurnian baru”,atau bagaimana orang Perancis yang begitu digdaya dalam memanjakan semua indra bisa melambai-lambaikan anchovy kalengan mereka dan menyebutnya umami sementara ratusan jalan kecil di Tokyo diam saja padahal mereka menyimpan seluruh rahasia the fifth sense atau bagaimana seonggok telor ceplok empat kali lebih mahal ketimbang versinya yang lebih sederhana di sebuah pasar di Barcelona dan sepuluh kali lebih mahal ketimbang telor ceplok buatan si Inem yang kedahsyatannya terletak pada mentega yang ia gunakan, mentega asli bukan blue band, dan juga pada keteguhannya untuk tidak membiarkan bagian tengahnya jadi gembung dan pinggirnya jadi gosong, karena begitulah prinsip perteluran, kiita harus konsisten, kita harus punya standar yang jelas, kita tidak boleh plin plan, sebab meskipun kita bisa bermain-main dengan makanan, mengganti lada dengan pala, asam dengan blimbing wuluh, kacang tanah dengan kacang mede, kita tahu jahe adalah jahe, kunyit adalah kunyit, sereh adalah sereh, masing-masing adalah republik tersendiri, dan setiap hidangan telur yang lahir dari tangan seseorang, baik dikocok, direbus. Digoreng maupun didadar, tak akan pernah sama dan pada akhirnya hal-hal seperti itulah yang merumuskan kita sebagai manusia.
Jenis manusia manakah Anda?? Puritan atau liberal. Dogmatis atau fleksibel?? Lebih suka soto Kudus atau soto Lamongan, Sari Ratu atau Sari Bundo?? Dan membuatnya beriman pada Makanan, karena bukankah semuanya mudah : Makanan tak menuntut ibadat dan kesetiaan, tak ganas maupun cemburu, ia bahkan tak punya teologi yang pasti, tak menyuruhnya mengadakan korban, memakai jilbab, menaruh sesaji dan melafalkan ayat-ayat suci, tak menampik penggemar menu lain apalagi menyatakannya sesat, ia merayakan panca indra dan bukan ketegaran hati dan pikiran, ia mengambil dan menyerap dari sana-sini, menerima yang tak sementara dan yang tak laras, mengelak dari satu permusuhan, dan tak jarang menyajikan surga di sebuah piring, maka dari itulah ia mencintai segala yang terkait dengan Makanan, dapur yang mengolahnya, penulis resep yang mengabadikannya, juru masak yang mewujudkannya, pemilik restoran yang mewujudkannya, pelayanan yang menghidanglannya, pencinta makanan yang menikmatinya, kritikus makanan yang menilainya, penulis yang merayakannya, dan ia hanya bisa hidup dengan manusia-manusia seperti itu, manusia-manusia yang bisa mencium wangi wedang dari jauh, yang bisa menangkap aroma ketujuh pada segelas anggur merah, yang bisa membedakan kelapa muda dan kelapa tua pada tekstur santan, yang tergila-gila segala jenis madu hutan, yang tahu bagaimana memilih apel dan anggur yang manis yang cocok dengan ketan, mangga dan santan, yang melihat poster Macedonia dan bukan membayangkan kemisikinan dan musim kemarau berkepanjangan melainkan sepiring salad dengan mentimun dan tomat termontok di jagat raya, yang melihat poster kota Venezia dan membayangkan bukan air yang menyapu kaki dan dengkul, melainkan aneka hasil laut yang berlimpah-limpah di Pasar Rialto, manusia-manusia yang tahu bahwa mereka bahagia saat lidah mereka bersentuhan dengan pandan dan gula jawa, saat hidung mereka menghirup harum gula yang lekat, saat leher mereka bergetar didekap kehangatan sup gurame sampan, manusia-manusia yang hidup untuk makan dan dari dalamnya menemukan opitimisme, harapan, sihir, resep yang mengejutkan, restoran yang tak terlupakan, kisah yang tak selesai, kata-kata yang tak terucapkan, malam yang membuka alam setengah mimpi.
Manusia-manusia yang membuat dia, Vito, bahagia, yang melancarkan lidahnya, yang menyulut tungkunya, yang meghidupkan kalimat-kalimatnya, dan dengan siapa ia bisa ngobrol di meja makan siapa pun, di mana pun, dengan cara yang hanya bisa dilakukan dengan seorang teman dan bukan dengan pasangan hidup, karena seorang teman paham untuk tak terlalu berharap dan tahu bagaimana menyayangi tanpa mengikat dan tahu bagaimana mengembalikan ia, Vito dalam kesendiriannya, kesendirian yang mengembalikannya pada makanan, dan itulah nilai manusia tertinggi baginya, meskipun ia tak pernah mengatakannya (bagaimanapun ia manusia yang hidup di antara manusia, dan ia harus tahu berterima kasih), dan pada akhirnya semua cerita butuh pokok dan tokoh, dan oleh karena itulah cerita ini ditulis, dengan Makanan sebagai pokok dan ia sebagai tokoh, dan semua dimulai di sebuah kantor di sudut kecil Jakarta, tempat banyak hal ditentukan dan yang entah bagaimana, disengaja atau tidak mengubah hidup seseorang.
VIRUS
“Pagi, Mas,” perempuan itu menyapaku dari dalam lift.
“Baru bangun ya?? Sudah ditunggu di ruang rapat.”
Aku baru masuk lift, meskipun sebenarnya bisa naik tangga, karena di gedung itu cuma ada dua lantai. Dari mana Bu Nina tahu aku telat rapat karena baru bangun?? Aku mesem-mesem kearahnya tapi sengaja berdiri jauh-jauh. Bu Nina orang Litbang : selalu meneliti kebiasaan orang lain.
Sialan. Sekarang kesempatanku untuk sarapan di kantin lobi lenyap, padahal aku lapar sekali. Aku mencoba tak menengok ke cermin lift. Pasti wajah dan rambutku awut-awutan. Sebelum aku bercerita tentang dua kehidupanku yang bak bumi dan langit (makanan dan politik unggas) perlu kujelaskan bahwa aku sehari-hari bekerja sebagai epidemiologist, tapi aku lebih suka menyebut diriku “ahli wabah”.
Ruang yang sedang kutuju adalah ruang rapat di salah satu gedung Direktorat Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Saking panjangnya, para birokrat menyingkatnya jadi “P2PL” atau “Ditjen P2PL.” Lembaga ini merupakan bagian Kementerian Kesehatan yang berkantor berseberangan dengan Rutan Salemba. Perlu dijelaskan juga aku bukan pegawai di situ. Aku bukan pegawai di manapun juga. Ditjen P2PL sudah enam tahun menjalin hubungan kerja dengan One World, sebuah en-ji-o yang berpusat di Kebayoran Baru. Dari semua en-ji-o yang pernah mempekerjanku, aku paling sering bekerja sama dengan One World, terutama setelah 2005, setelah kasus flu unggas mulai ingar-bingar.
Bagi yang masa itu masih cilik, tidak ngeh atau tidak peduli, Pemerintah Indonesia saking paniknya mendirikan lembaga khusus (tentu saja dengan nama yang panjang, Badan Tanggap Wabah Flu Unggas). Panik itu ditularkan ke masyarakat luas. Orang berbondong-bondong membuang atau membunuh unggas-unggas piaraan mereka karena takut ketularan. Abon ayam tiba-tiba jadi populer. Ini termasuk tanteku di Pamulang yang memiliki empat ekor kalkun, tiga ekor ayam Bangkok dan selusin burung dari perkutut sampai dengan prenjak. Padahal, ia seperti aku, orang yang rasional, dan tidak mudah ditakut-takuti. Tapi unggas itu lain perkara. Tanteku pecinta berat unggas. Unggas yang masih hidup dan juga yang siap disantap. Setiap kali ia melihat ayam berkeliaran di luar rumah, ia akan meminta asisten rumah tangganya untuk menangkap dan dipelihara. Tapi di akhir minggu ia suka membawaku keliling daerah Kota dan berburu masakan ayam maupun bebek. Ia juga memberiku resep confit de canard dan duck a I’orange yang selalu memegang peran utama di dapurku setiap kolega-kolegaku dari One World kangen masakan Barat tapi terlalu pelit untuk pergi ke restoran. Pendeknya perkara flu burung mengganggu kolegaku, confit de canard-ku, dapurku, tanteku beserta segenap unggasnya, dan sampai derajat tertentu hidupku.
*************************************************************************************************************************************************************
Ruang rapat di Gedung C lantai 2 itu penuh sesak. Tepatnya oleh manusia-manusia berpenampilan sempurna yang dari bau mulutnya pasti baru saja sarapan besar-besaran, mungkin nasi goreng yang mengenyangkan atau nasi dengan lauk pauk sisa semalam, tetapi tetap saja tepat waktu. Bagaimana aku bisa bersaing dengan manusia-manusia semacam itu??
Sejenak, aku urung masuk.
Sebenarnya aku sudah bosan dengan rapat-rapat ini, yang kerap disebut “rapat kemitraan.” Setiap kali ada kasus baru yang diberitakan di media massa. Kementerian langsung kebakaran jenggot dan memanggil untuk ketemu. Hal yang paling menyengat adalah perkara korupsi di pabrik vaksin flu unggas di luar Jakarta. Seorang pejabat Kementerian terlibat. Polisi BPK, BAKN, dan KPK berlomba-lomba menuding. Mereka melakukan penelitian, saling mendukung, saling membantah dan kemudian saling mendukung lagi. Kementerian seperti kapal oleng. Aku dengar perkara ini membuat Menteri Kesehatan demam tinggi, sesak napas, batuk-batuk, muntah-muntah dan tidak mau makan. Juga sakit kepala, diare dan radang tenggorokan.
Aku tak tahu persis kenapa Pak Menteri begitu rentang dan terganggu. Mungkin karena ada yang menganggap perkara flu unggas di Indonesia terlalu dibesar-besarkan. Ada pula desekan para pakar agar Pemerintah Indonesia tak serta-merta membantai unggas di peternakan milik rakyat, melainkan mengalihkan perhatian pada breeding farm. Menurut para pakar ini, di area perusahaan asing dan lokal itulah asal muasal virus unggas yang merepotkan itu.
Para birokrat punya pendapat lain, tentu saja. Pernah aku mengikuti perbantahan antara birokrat T (tak kusebutkan nama lengkapnya disini) dan Amirul, kawanku, seorang wartawan kesehatan, ketika kami diajak makan siang Pak T di sebuah restoran di Krekot Bunder, yang terkenal karena gulai kepala ikan dan burung sawah gorengnya.
Amirul : Kasus flu unggas ini kabarnya dibesar-besarkan organisasi penyandang dana di Amerika
Serikat. Tujuannya menjadikan Indonesia bahan studi.
Birokrat T : Saya tidak percaya!!
Amirul : Juga dibesar-besarkan bisnis internasional yang ingin meraup keuntungan miliaran
Dengan menjual vaksin
Birokrat T : Saya tidak percaya!!
Amirul : Dan di bikin heboh oleh pejabat Pemerintah yang ingin mendapatkan dana APBN
Bermiliar rupiah bagi pengadaan alat atau fasilitas ini, itu yang tentu saja untuk dikorupsi
Birokrat T : Saya tambah tidak percaya!!
Terus terang aku kesal dengan Amirul ternyata wartawan payah. Masa mewawancari orang aja tidak becus!! Tapi aku lebih kesal lagi karena makan siang waktu itu jadi tak nyaman, padahal makanannya enak sekali. Tetapi jangan-jangan Amirul benar. Sebab aneh : Menteri Kesehatan, alih-alih tiarap (ia sudah sembuh), malah meminta agar proyek pembuatan vaksin flu unggas untuk manusia terus berjalan. Padahal proyek itu sempat dihentikan. Belum lagi, menurutku, kebutuhan itu belum ada, karena tak ada penularan dari manusia ke manusia. Perlu rekomendasi dan penelitian lanjut oleh panitia kerja DPR, blah-blah. Tapi aku tak berkomentar, juga ketika ketemu Birokrat T di Kementerian. Aku tak ingin mengganggu hubungan. Hasilnya One World selalu dilibatkan dalam diskusi. Dan beginilah aku : nyaris selalu telat meskipun belum sempat sarapan.
*************************************************************************************************************************************************************
Ketika aku akhirnya masuk, hampir semua orang di ruang itu menoleh. Mungkin ini perasaanku saja. Atau mungkin semua orang tahu aku belum sarapan, lalu siapa tahu aku akan dibebaskan untuk turun ke lobi dan sarapan di kantin.
“Apa kabar Mas Vito??” Seseorang perempuan separuh baya, aku lupa namanya, menyapaku. Ia seorang birokrat. Kalau tak salah dari Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Aku lupa namanya. “ Ayo silakan, masih banyak nieh kue susnya – kalau tadi pagi belum sempat sarapan.”
Aku mesem-mesem lagi dan cepat-cepat duduk di salah satu kursi di dekat jendela, menghindar dari meja bundar. Sebelum perempuan itu bertanya-tanya lebih lanjut, aku bertanya, “ Mana Mas Galih??”
“Masih bersama wartawan. Beberapa hari lalu ada kasus lagi.”
“O ya?? Di mana??”
“ Di Desa Gorowong, Kabupaten Bogor. Bocah empat tahun.”
“Hmmm,,, Oke. Pantas Mas Galih sibuk,,”
Galih Shihab adalah staf ahli P2PL yang harus sering berbicara dalam jumpa pers. Ia juga tampaknya harus berkomunikasi dengan badan-badan internasional seperti WHO, terutama apabila Dirjen P2PL sedang berhalangan. Galih menyenangkan. Ia satu-satunya orang di birokrat ini yang bisa bikin aku betah bicara. Artinya, ia sangat piawai membahas tempat-tempat makan yang asyik di Kota. Dan ia tak pernah merengut kalau kolega-koleganya makan makanan haram dihadapannya. Waktu kutanya apakah ia tak takut siksa api neraka, jawabnya, “Kamu dari planet mana sih, Vito?? Aku memang seorang Shihab, aku seorang Sayyid, tapi tak semua Sayyid jengah melihat orang lapar seperti kamu menikmati bakmi disini.”
Aku semakin suka kepadanya.
Sementara aku semakin tak suka kepada di petugas Bina Upaya Kesehatan yang kuajak bicara.
“Kasusnya dirujuk kemana??”
“Kabarnya sih Rumah Sakit Tangerang.”
“Hasil laboratoriumnya sudah keluar??”
“Sudah. Laporan epidemiologinya lengkap.”
“Kapan penyidikannya??”
“Kayaknya sih langsung, sehari setelah dapat laporan. Rumah sakit, rumah korban, lingkungan sekitar rumah korban semuanya sudah disisir.”
“Haa?? Siapa yang kesana?? Ko kita tidak diberitahu??”
“Ya, embuh. Mungkin karena Bogor cukup dekat??”
“Dasar!!” kataku dalam hati. “Asbun aja loe!!”
Tapi aku malas bertanya lebih lanjut. Perempuan itu bukan orang yang tepat untuk diyanyai hal-hal seperti itu, dan mungkin juga dia tidak tahu apa-apa. Instingku mengatakan, pemerintah pusat cepat-cepat turun tangan dan mengambil alih penyelidikan dari dinas setempat sebelum kasus ini tercium oleh media. Aku bisa mengerti. Media, apalagi televisi yang menjengkelkan itu, sering menambah masalah: sebuah insiden dibikin dramatis dan masyarakat panik.
Tapi kenapa kementerian tidak memanggil kami?? Jangan-jangan mereka sudah tidak percaya lagi pada One World. Jangan-jangan ini rapat khusus digelar untuk memecat One World dan menunjuk konsultan lain. Perempuan itu masih menatapiku. Aku mesem-mesem lagi, sambil merogoh-rogoh tas, pura-pura mencari sesuatu. Tiba-tiba ia beranjak, lalu bergabung dengan sejumlah konsultan WHO yang sudah berkumpul di meja bundar. Seperti biasa mereka menjadi pusat perhatian. Aku lupa nama bule yang berperawakan kecil dan nyerocos terus itu. Yang jelas, stafnya si Katrin orang Flores yang cantiknya keterlaluan sedang mendengarkan bosnya dengan mulut setengah menganga. Orang-orang sudah mulai duduk mengelilingi meja bundar. Selain dua wakil Badan WHO, ada empat orang dari kantor Menko, semuanya dari Badan Tanggap Wabah Flu Unggas termasuk sekretarisnya, beberapa orang yang aku tak kenal, mungkin dari universitas dan kalangan konsultan swasta, dua pejabat Kementerian Pertanian dan sekitar delapan pejabat Kementerian Kesehatan, termasuk Mbak Nina dari Litbang Kesehatan dan si perempuan nyebelin dari Bina Upaya Kesehatan.
Aku lega karena Faisal tak ada. Dia konsultan yang diperbantukan ke WHO dan dialah yang pada kunjungan kilat ke lima wilayah dua bulan lalu memergokiku makan-makan dan sesekali minum-minum di Bandung sendirian.Faisal-lah yang mengadukanku ke bosku di One World. Hal-hal seperti itu, meskipun kedengarannya sepele, bisa membahayakan karierku. Tapi bukan sebab itu aku lega ia tak ada di ruangan ini. Meskipun dia resek dan sok cakep, terus terang aku kurang rela kalau dia ikut kesengsem Katrin.
Pukul 09.42, aku ditawari lagi kue sus dan lemper. Kali ini oleh Tam, dosen veteriner dari IPB.
“Kok sendirian Mas Vito??” katanya sambil duduk disebelahku.
“Iya, kali ini cuma aku.”
“Hmmm,,,”
Tam seperti ingin menyampaikan sesuatu. Matanya memandang kesana kemari. Aku cepat-cepat menunduk sambil memelototi layar BB.
“Dari dulu aku sudah bilang...” Tiba-tiba terdengar suaranya yang rada tinggi, seperti burung kutilang tanteku,,, “Kementerian tidak bisa disalahkan terus-terusan. Ini tanggung jawab Kementerian Pertanian yang mengurus peternakan. Mereka seharusnya menyediakan vaksin yang andal untuk unggas. Tapi yang diadakan malah vaksin mahal tapi tidak efektif untuk mencegah penularan. Lini terdepan harus dokter hewan, selama dokter hewan masih dianaktirikan, ya kita bakal begini terus. Sedikit-sedikit rapat, sedikit-sedikit bikin pernyataan, sedikit-sedikit ganti konsultan.”
“Iya, kita kan semua tahu, Kementerian Pertanian sudah terkooptasi oleh budaya korupsi pengadaan vaksin, karena birokrat-birokrat itu kebanyakan orang partai.”
“Partai tertentu....”
“Iyalah, siapa sih yang tidak tahu. Tapi kita sudah lama banget lho kerja sama dengan Kementerian Kesehatan. Ini tahun keenam.”
“Iya, Mas Vito, tapi tidak ada di dunia ini yang permanen,,,,”
Klaimat klise.
Ketika akhirnya Mas Galih masuk ke ruang rapat, jam sepuluh kurang lima menit, wajah laki-laki 36 tahun itu tegang. Dia bersama seorang konsultan asing yang akhir-akhir ini sering muncul di rapat-rapat intern Direjen P2PL. Direktur P2PL yang mengurusi flu unggas dan empat orang lagi. Ketika aku menyadari bahwa empat orang itu adalah Kepala Direktorat Penyakit Bersumber Binatang, Kepala Direktorat Penyakit Menular, Kepala Direktorat Penyakit Tidak Menular dan Kepala Direktorat Survellans, Imunisasi, Karantina dan Kesehatan Matra.
*************************************************************************************************************************************************************
Dua setengah jam setelah rapat selesai, aku dan Mas Galih duduk berdua di sebuah rumah makan di pojok Jalan Salemba. Entah kenapa dia memilih ke sana, dan bukan ke salah satu restoran Arab di daerah Salemba, yang meskipun menurut Mas Galih tak selezat di daerah Condet Pejaten, yang cukup sering kami kunjungi. Atau bahkan warung Padang di depan Rutan Salemba yang sangat laris pada jam makan siang. Mungkin dia sengaja ingin jauh-jauh dari kantor. Atau sedang mencari makanan sehat, karena dia memang tipe laki-laki yang sangat peduli terhadap penampilan. Aku mencoba tidak cemburu, karena pada usianya yang tiga puluh enam tahun tampang dan bentuk tubuhnya seperti laki-laki usia dua puluh tahunan dengan perut yang rata dan berbentuk.
Makan : sayur asam, karedok, rujak buah. Mata Mas Galih sempat berhenti pada kata “lontong sayur” di menu. Selagi dia bimbang, aku cepat-cepat memesan Kol Nenek. Kol Nenek sudah sangat langka di Jakarta. Aku mencoba menjelaskan, tak semua rumah makan Jawa Tengah menyuguhkannya. Mas Galih tampak tak tertarik setelah memandang menu, wajahnya kusut. Tapi aku diam-diam senang. Tadi, usai rapat ia langsung menggamit tanganku dan berbisik, “makan siang yuk, kita berdua saja.” Biasanya, tak mudah bagiku mencari waktu makan siang dengannya. Dia selalu dibuntuti orang kemana-mana, terutama mereka yang tahu dia adalah calon utama pengganti Pak Dirjen dengan usia dibawah empat puluh tahun. Dia orang yang terbiasa dengan stres. Tapi, kasus kali ini telah menghatamnya dengan telak. Aku mencoba memberinya waktu untuk menyerap apa yang baru saja terjadi di ruang rapat. Matanya cokelat bening.
“Memang tidak gampang menyikapi flu unggas,” katanya pelan. “kalau kita bilang isu ini belum serius, bahwa flu unggas belum mewabah pada manusia, kita akan dianggap tidak cukup antisipasi, tidak kompeten, karena memang nyatanya sejak 2005, orang Indonesia ada yang positif kena virus unggas. Dan isu ini akan terus-terusan disoroti selama industri masih ngotot bahwa kita harus membuat vaksin tersendiri.”
“Ya,” kataku pelan. “dan vaksin yang salah lagi,”
Semua ahli wabah tahu bahwa vaksin yang dibutuhkan adalah vaksin untuk unggas, bukan untuk manusia. Maka aku marah tiap kali aku ingat orang-orang yang mendorong-dorong pembangunan pabrik vaksin untuk manusia. Mereka membacot terus tentang virus yang mematikan itu, mereka menakut-nakuti para anggota DPR yang sama-sama bodoh atau bejat supaya untuk proyek mereka digelontori dana besar dan mereka terus mengingkari kenyataan bahwa virus yang ditakutkan itu belum mewabah pada manusia, dan bahwa proses penularannya bahkan lebih kompleks ketimbang hepatitis.
“Tapi kasus kali ini harus diteliti lagi Vito. Serius.”
Sesuatu terasa menekuk di dalam suara Mas Galih yang berat. Dengan pandangan yang suram, ia keluarkan selembar kertas dari tasnya dan meletakkannya di atas meja dihadapanku. Dengan bolpoin, ia lingkari sejumlah kata pada laporan itu.
“Coba kamu lihat,,”katanya. “Delapan kota ini, Banda Aceh, Medan, Palembang, Pontianak, Singkawang, Bangkalan, Pamekasan, Lombok. Apa benang merahnya??”
Aku sama sekali tidak melihat benang merahnya atau benang apapun. Seperti para kolegaku yang cerdas cendekia di ruang rapat, aku tak paham bagaimana dalam waktu satu minggu, gejala pneumonia akut yang menjurus ke gejala flu unggas mendadak dilaporkan dari delapan kota yang jaraknya begitu berjauhan, kecuali Bangkalan dan Pamekasan serta Pontianak dan Singkawang. Delapan kota yang tak semuanya pernah terjangkit flu unggas.
“Aku juga bingung Mas Galih,,” kataku akhirnya. “ Yang jelas ini bukan wabah, karena setiap kota yang disebut hanya melaporkan satu korban jiwa. Satu. Tapi bagaimana bisa?? Ajaib banget.”
“Kamu ingat kata ahli yang dari Bali itu, Pak Degung, waktu ratusan itik mati do beberapa kabupaten di Jawa baru-baru ini??” kata Mas Galih lagi,,, “ ‘Pemerintah tidak tanggap menghadapi penyebaran wabah itu’ katanya seharusnya Pemerintah segera mengosongkan peternakan yang tertular, menutup lalu lintas unggas di sekitarnya. Tapi Pemerintah lambat, selalu lambat’ “
Lalu Mas Galih menambahkan, “Meskipun aku, entah berdasarkan logika apa, tetap berdoa, tetap berharap.”
“Tapi sekarang yang aku paling takutkan terjadi,” kataku,,, “Kita menemukan varian baru dalam virus unggas”
Kurang dari dua minggu yang lalu, Kementerian Kesehatan mengumumkan ditemukannya varian baru virus unggas, di Brebes, yang sampai sekarang telah menjangkit di 63 Kabupaten dan Kota di jawa Tengah dan Jawa Timur, juga di Bali, payakumbuh dan Lampung.
Hening tiba-tiba menyala. Mas Galih seperti tak ingin masuk lebih dalam. Sekilas ada kilat lain pada matanya, sebelum menancapkan garpu pada gugus sayur karedok di hadapannya.
“Ini memang tugas kita semua, bukan Cuma tugas Kementerian,” kataku lagi. “Dan khusus soal peningkatan kesadaran publik yang difokuskan pada pencegahan, itu memang tugas kita. Tetapi selama pengendalian wabah bersumber pada binatang belum termasuk bagian dari Standar Pelayanan Minimal dari Sistem Kesehatan Terpadu, tugas en-ji-o seperti One World juga akan selalu terhambat. Apalagi sekarang Pemerintah Daerah berjalan sendiri-sendiri dengan kebodohan dan korupsinya,,”
“Kamu selalu menyalahkan desentralisasi sebagai biang penyakit”
“Memang kenyataanya begitu kok”
Mas Galih tidak membantah, “Oke,,” katanya
Lalu ia meneruskan,, “Kita harus gerak cepat menyelidiki kasus delapan kota ini. Sebelum bocor ke media dan kita semua dipanggang hidup-hidup,”
“Oke, Mas Galih,”
Garpu Mas Galih masih tertancap pada sehimpun kangkung, taoge dan mentimun di piringnya. Kerupuk dan emping mulai layu, tenggelam dalam sungai saus kacang. Aku diam-diam sedih melihatnya. “Ini manusia Vito, manusia” katanya seperti kepada diri sendiri. Kemudian, “Kamu yakin, kamu sanggup berkunjung ke delapan kota dalam waktu sebegini pendek?? Sekitar dua minggu??”
Aku tersenyum. Sedikit terharu. Ekspresi Mas Galih seperti seseorang yang mencoba mengingat hal penting yang bisa menyelamatkan hidupnya, tapi ia tak ingat itu.
“Aku sudah sempat bicara dengan bos-bosmu, Darius dan Diva. Mereka bilang kamu sudah mendekati batas 150 harimu. Kalau tidak salah, kamu sudah di hari ke 148, betul??”
Aku mengangguk. Seratus lima puluh hari adalah jumlah hari seorang konsultan di Indonesia pada umumnya boleh bekerja dan dibayar oleh pihak yang mempekerjakannya.
“P2PL masih punya dana untuk proyek ini. Jadi kamu bekerja buat aku, oke. Dua minggu dengan rate harian mu yang biasa,,”
Ia seperti menungguku bernegosiasi. Aku sempat berpikir untuk menaikkan rate-ku sekitar 10 persen. Tapi sebelum aku bisa menjawab, pintu restoran terbuka dan seorang menyelak “Nah betulkan, Mas Galih sembunyi di sini. Suaranya terdengar seperti burung nasar. Angin membawa masuk deru mobil dan asap panas jalan, serta empat lagi burung nasar dari Jalan Percetakan Negara, yang segera bergabung di meja kami tanpa di undang. Hanya sedetik aku melihatnya : syok di mata Mas Galih. Lalu, seperti di televisi, dia kembali menjelma Mas Galih yang lama yang senantiasa tertata, yang murah senyum putih rata.
*************************************************************************************************************************************************************
Dan begitulah, dalam sekejap aku kembali tersingkirkan. Aku Vito yang dimata mereka hanyalah si konsultan aneh, si manusia burung, nerd. Tapi aku tak peduli, karena pada saat itu telah kubebaskan diriku untuk menyerap bau dan bumbu. Pelan-pelan, kusurup lagi telunjuk yang baru saja kucelupkanke dalam kuah kol nenek. Pedas, amis sedikit manis. Keoangnya kira-kira seruas jari saja, seperti umumnya keoang sawah. Bentuknya lancip dan panjang, tak seperti keong hijau bulat turut monyong yang pernah kusantap di sebuah restoran di Bogor. Kuangkat satu dengan sendok, lalu dengan mulut yang kumonyongkan kusedot keoang itu. Begitu dagingnya menyembul dari cangkang, segera kuisap. Aku tersenyum karena pada akhirnya berhasil makan kol nenek tanpa tusuk gigi.
BONO
“Mencicipi adalah an act of pleasure, dan menulis tentang kenikmatan itu adalah sebuah gestur artistik. Tapi satu-satunya seni yang benar-benar sejati pada akhirnya adalah membuat lahap orang lain menyantap. Karena itulah aku menjadi chef.”
Itulah kata-kata salah satu sahabat ku Bono. Lama sebelum ia jadi tenar, aku sudah mengenalnya. Ketika itu orang-orang masih memanggilnya Oktavian. Ia bekerja di perusahaan PR dan aku bekerja untuk lembaga advokasi, dan kami bertemu dalam sebuah proyek yang memberi peluang kami untuk diam-diam saling memperhatikan satu sama lain. Usia kami saat itu sama-sama 25 tahun, kami sama-sama tidak suka berbicara, aku baru saja merampungkan S2 di Thailand, dan dia di Amerika. Secara fisik dia sama sekali tidak menarik. Dagunya dobel meskipun tubuhnya tidak gemuk. Rambutnya cepak dan aku tidak suka cowok berambut cepak. Bibirnya sedikit dower, dan entah kenapa selalu lembap dan kejambu-jambuan, seolah disaput gloss atau kebanyakan ciuman. Kulitnya putih, kacamatanya terlalu tebal.
Tapi aku mengenali sesuatu di dalam dirinya yang membuatku nyaman didekatnya, dia seperti orang yang mengenakan baju yang salah, atau warna yang salah, atau potongan rambut yang salah, atau nama yang salah, pokoknya ada sesuatu didirinya yang tak pada tempatnya. Ketika suatu hari aku datang ke kantornya, aku sadar dindingnya penuh dengan imaji makanan, dari iklan Bear Brand sampai Havermout, dari seri Dick dan Jane mengobarak-ngabrikdapur sampai gambar-gambar klasik kuliner Perancis yang dijual sepanjang Sungai Seine, dari foto-foto hitam putih artisik dengan subjek apa saja, seorang perempuan cantik yang memasukkan sepotong daging berlemak ke dalam mulutnya, seorang anak kecil di sebuah cafe yang menumpahkan sebuah susu di mejanya untuk menarik perhatian pelayan. Seorang ibu tua yang sedang tertatih-tatih berjalan di trotoar kota kecil dengan sepotong baguette ditangannya, seekor anjing dengan mata berbinar-binar yang baru saja menggondol apel dari toserba, sampai poster-poster animasi dengan kalimat-kalimat seperti Say Cheez, The Zen of Sataying, dan What Alice Told Her Gardener.
Pada suatu hari, di sebuah restoran, kami mengadakan acara makan-makan bersama dengan rekan kantor. Aku kembali sadar, kami memiliki selera yang sama. Atau, lebih tepat, kami tidak memesan apa yang dipesan orang-orang. Sejak hari itu, setiap kali kami makan rame-rame, aku memperhatikan caranya membaca menu. Di restoran-restoran tertentu, ia bahkan tak merasa butuh membaca menu, tapi di restoran-restoran lain, ia menyusuri deskripsi makanan dengan khusyuk, seakan setiap kata penting dan bisa mengubah pandangannya tentang sesuatu. Ia juga memesan dengan insting seorang tukang makan yang berpengalaman. Di sejumlah tempat, ia akan memesan dengan ortodoks “Buat apa coba steak Wagyu disini, justru karena harganya begitu murah, steak itu tidak mungkin enak” atau saat di restoran Thailand “di restoran Thai ini, jangan pesan hidangan yang aneh-aneh, paling aman pesan hidangan-hidangan klasik, salad mangga, salad jeruk bali, kari daging hijau, kari bebek merah, tumis ayam cincang dengan daun basil.”
Tapi di tempat lain, ia seakan tamu dari planet lain “Di restoran seperti ini, lupakan sushi dan sashimi. Ini bukan tempatnya. Ini tempat aneka makanan ukuran kecil. Semacam tapas bar-nya Jepang. Pesan beberapa hidangan yang namanya tertera di dinding, kalau tidak yakin karena tidak paham bahasa Jepang, bilang sama pelayannya, tolong pilihkan beberapa hidangan ayam, tahu, terong, umbi-umbian, sayur atau daging yang sering dipesan tamu-tamu Jepang. Aku jamin enak. Lain dari yang lain. Tapi enak.”
Ada kalanya ia memesan hidangan yang kedengaran membosankan tapi jika dimasak dengan baik bisa sangat memuaskan, seperti poulet roti di restoran bertema Perancis (“Hanya chef yang benar-benar solid yang bisa membuat roast chicken yang baik.” Katanya selalu)
Tapi dilain kesempatan ia memesan hidangan yang tak akan pernah dijamah oleh orang lain, semisal pasta tipis dengan berlumur caviar dari daftar makanan pembuka di restoran italia. Kami lalu terkagum-kagum karena meskipun porsinya superkecil dan harganya supermahal, hidangan itu ternyata begitu mengesankan, begitu harum dan begitu “bersih,” tanpa melenyapkan rasa bawang putih dan telur ikan yang meletus-letus di lidah. Untuk pertama kalinya aku paham, keindahan tak harus dihadirkan dalam jumlah besar.
“kenapa kamu tidak pernah salah pilih??” tanya salah satu kolega yang selalu salah pilih. “Bisa saja kan roast chicken di restoran ini enak, tapi roast chicken di restoran itu tidak enak. Dari mana kamu tahu apa yang enak di setiap restoran??”
Ia hanya tersenyum karena ia memeng pelit kata.
Tapi aku tahu jawabannya : ia jarang salah karena ia pengunjung restoran yang tak kenal lelah. Insting hanya bisa datang dari pengalaman, ia tak jatuh dari langit, atau menyusup seperti jin ke dalam tubuh, yang dengan baik hatinya mengarahkan panca indramu untuk membuat pilihan-pilihan paling jitu.
Lalu tibalah saat itu, proyek kerja sama kami selesai, dan aku sadar aku tak akan lagi berkunjung kekantornya dua kali seminggu. Kecuali aku rela dianggap naksir dia, dan aku sama sekali tidak naksir dia. Malamnya kami berbondong-bondong ke restoran ke pesta perpisahan perusahaan PR itu. Ia duduk berseberangan denganku. Kami tak saling menyapa. Tiba-tiba seorang perempuan empat puluh tahunan yang duduk disebelahku mulai berkeluh-kesah tentang sulitnya menjamu tamu penting dengan makanan Indonesia tradisional di rumah. Ia menyebalkan. Ia istri si bos, orang Inggris.
“Saya selalu ingin menyajikan makanan Indonesia,,” kata perempuan itu,, “Tapi suami saya memaksa saya menatanya dengan perangkat dari Royal Copenhagen Flora Danica. Tapi, setiap kali saya turuti kemauannya, dia tidak puas. Kurang elegan, katanya. Lalu saya tanya, apanya yang kurang elegan?? Makanannya, kata suami saya. Makanannya kurang elegan”
Orang-orang disekitar meja itu membisu. Pasti tak ada yang apa itu Royal Copenhagen Flora Danica. Bunga resmi Kerajaan Denmark?? Atau bunga yang dipromosikan si pembalap cantik Danica Patrick?? Sadar bahwa kami semua datang dari planet lain, perempuan itu menjelaskan “Saat ini, Royal Copenhagen Flora Danica adalah perangkat makan porselen terbaik di dunia, lebih baik dan lebih mahal daripada Wedgwood.” Lagi-lagi kami bengong. Aku bertambah sebal, karena makanan Indonesia dianggap kurang elegan. Memangnya dia siapa, suaminya, si Inggris itu,merasa bisa menilai budaya orang dari sabang sampai merauke??
“Mungkin masalahnya di juru masak saya. Masakannya lumayan, okelah, tapi entah kenapa penampilannya di meja tak pernah menarik. Pada akhirnya mau sehebat apa pun wadahnya, kalau isinya tak menarik....”
Seseorang berdeham dari seberang meja.
“Zaman sekarang, orang barat semakin tahan makan pedas, Bu”
“Saya tahu itu, tapi maksud saya,,,,” sekarang perempuan itu tampak sedikit malu karena ia telah salah langkah, dan kini ia terpaksa harus mengatakan sesuatu.
Tiba-tiba, dari seberang meja terdengar suara seorang laki-laki.
“solusinya sederhana,” kata suara itu, suara Bono, “Beli asinan sayur kesayangan Ibu, dari mana saja Ibu suka, kalau bisa yang kuahnya bening, jangan yang ada saus kacang,lalu sajikan di atas pinggan lonjong dengan sepotong udang galah atau lobster yang telah dipanggang sehingga warnanya merah menyala. Sama juga dengan rendang. Beli rendang yang paling Ibu paling suka di sebuah restoran Padang, baiknya tidak yang paling pedas, sajikan di pinggan yang elegan, taburi bawang goreng dan letakkan sepotong cabe merah jumbo yang diiris memanjang dari tengah. Lalu cari kambing yang enak, hias dengan daun ketumbar. Beli sate manis Bali, atau sate buntel, pokoknya jangan yang terendam dalam saus kacang yang pekat karena sudah dicampur kecap. Siapkan acar, bawang goreng, sambal terasi, sambal mangga dan sambal kecap di mangkuk-mangkuk cantik. Jangan lupa goreng kerupuk udang atau emping melinjo dan sajikan di dalam toples besar.”
Si nyonya bos terdiam. Bono seakan-akan dapat tepuk tangan meriah dari hadirin yang lain.
Ketika dia keluar untuk merokok, aku mengikutinya.
“Kamu tak akan lama bertahan di kantor itu,,” kataku tanpa basa-basi.
“Emang bukan niatku untuk begitu,,” katanya dengan enteng “Bulan Agustus ini aku akan kembali ke Amerika untuk kuliah lagi”
“Kamu seorang chef, betul kan??”
“Dan kamu,,,,” katanya....... “Kamu bukan ahli wabah sejati. Kamu orang yang bahagia mengerjakan apa saja selama itu menghubungkanmu dengan makanan,,”
***************************************************************************************************************************************************************
Empat tahun kemudian, ketika ia pulang dari New York, ia bukan lagi si kacamata tebal yang nama tengahnya suka dikata-katai orang. Ia lebih dari bonafide, ia telah menjadi sebuah brand. Seperti Tom Cruice atau David Beckham. Dan seperti kedua brand itu, ia tahu bagaimana cara mempromosikan diri. Pada bulan pertama ia kembali ke Jakarta, ia membangun reputasinya sebagai personal chef. Waktu itu sosialita Jakarta telah jenuh melindungi restoran-restoran. Mutu rumah-rumah makan semakin tidak konsisten. Fine dining semakin buruk. Kota semakin macet, orang semakin ingin privasi, juga pengalaman yang tidak bisa dibeli orang lain. Dan Bono memenuhi kebutuhan itu.
Setelah tamat dari Culinary Institute of America, ia bekerja di dua dapur ternama di New York. Ini tahun 2011, seperti anak muda lain yang berambisi menjadi chef, pengalaman bikin salad di salah sati restoran top yang dikenal dunia jauh lebih bermanfaat ketimbang belajar menyiapkan Lobster Thermidor di rumah makan yang biasa-biasa saja. Ini bukan berarti mereka akan berpenghasilan, kebanyakan dari mereka diperlukan seperti stagiaire, pemanggang yang tidak dibayar. Tapi persaingan sangat ketat, dan orang seperti Bono tahu ia termasuk yang super beruntung. Meskipun itu berarti ia harus bekerja lebih keras, lebih lama agar bisa menarik perhatian siapa pun Dewa yang berkuasa di restoran itu. Kesempatan berbicara langsung dengan Dewa Daniel Bouloud, Dewa Dan Barber, Dewa Jean Georges Vongerichten, atau Maha Dewa David Chang tak datang begitu saja seperti anugerah langit.
Dapur tempat Bono bekerja sangat berbeda dengan sistem brigade de cuisine tradisional Perancis. Ia tak di rotasi dari tempat satu ke tempat yang lain. Yang penting spesialisasi, semua orang diharuskan menonjol di satu bidang, menguliti burung, membikin saus, membuat mantau sampai tak ada lagi yang bisa menyainginya. Bagi Bono, spesialisasi berarti memotong bawang dan mengupas kentang dari pagi sampai malam. Ia sabar dan tekun. Kesempatan bertukar kata dengan David Chang baru datang setelah ia membanting tulang selama lima bulan enam hari di dapur Momofuku Ssam.
“ Hai, David. Saya senang sekali bisa bekerja untuk Anda,,” Bono berkata,,,
“Hai, terima kasih,, keep up the good work!! “ ucap David Chang,,,
Perbincangan itu saja sudah cukup membuat hati Bono berbunga-bunga selama sebulan. Setelah dua tahun bekerja buat David Chang di Momofuku dan Andrew Carmellini di Locanda Verde, serta enam bulan di Pollen Street Social, restoran Jason Atherton di London. Mengupas sayur, menggoreng telur, menumis wortel, memanggang steak, menyempurnakan mentega aromatik, barulah Bono merasa sudah saatnya kembali ke Tanah Air. Ia punya tiga alasan : (1) New York dan London terlalu kompetitif, (2) Untuk bertahan di kota seperti New York dan London, ia harus tahan diperbudak dan dibentak-bentak oleh mahachef selama paling tidak dua tahun, sebab itulah waktu minimal yang dibutuhkan untuk membangun keterampilan, mendidik lidah, dan menambah ilmu dan wawasan. Ia siap, tapi ia muda dan lapar, ia tak ingin kehilangan waktu. (3) Di Jakarta, lebih mudah untuk jadi mahabintang.
Lagi pula, tahun-tahunnya di New York dan London telah membentuknya dalam banyak hal. Ia tahu bagaimana bicara tentang tren makanan terkini dari gastronomi molekuler, raw food dan eksperimen dengan wine sampai filsafat makanan yang dekat dengan tanah dan laut. Ia tahu bagaimana memainkan kartu internasionalisme dan lokalisme sekaligus, kapan harus berbicara tentang pengalamannya makan di Noma dan El Celler de Can Roca dan kapan harus berbicara kelezatan kepiting Pontianak atau ayam rica-rica Ternate. Ia tahu bagaimana dalam pengalaman pribadinya yang harus ia kutip di Indonesia, bukan segala pertengkaran dengan sesama chef muda, episode mabuk-mabukan dan pesta-pesta gele atau one night stand dengan orang-orang yang tak jelas. Di Indonesia, ia lebih berbicara tentang segala yang mengembalikan orang kepada keluarga, pada akar pengalaman yang terlama dan terdalam.
Hidup di New York juga telah mengajarinya bagaimana bercerita. Pada akhirnya, di kota itu semua orang harus punya cerita, karena kehidupan lebih gila, lebih besar, lebih meradang ketimbang fiksi, dan untuk berhasil orang tak bisa hanya terapung, sekedar bertahan di air, tapi harus bisa menyebarangi laut. Dan mereka harus bisa bercerita tentang kemenangan-kemenangan kecil dengan santai dan sedikit merendah, seolah akan ada lebih banyak kemenangan-kemenangan lain yang lebih mengesankan, yang lebih berarti, dan yang akan membawa mereka ke pantai-pantai yang lebih jauh. Ia tahu bagaimana bercerita dengan lugu tentang pengalamannya ikut ke Italia selama tiga bulan dengan Andrew untuk mendalami seni membuat pasta, roti, keju dan prosciutto serta berburu truffle di Alba. Juga tentang perkenalannya yang tak sengaja dengan Gabrielle Hamilton di restorannya, Prune dan bagaimana chef perempuan itu tiba-tiba begitu saja bercerita bahwa ia bertahan dengan suami Italia bukan karena ia mencintainya, tapi karena ia mencintai keluarganya di sebuah kota kecil di Italia, tempat dimana ia belajar banyak tentang seni memasak. Dan yang paling penting, ia tahu bagaimana menempatkan dirinya dalam struktural sosial Jakarta. Ia mengenal tipe-tipe orang dengan mudah, dalam dan instingtif, ia tahu kapan bisa sok tahu dan kapan harus merendah, kapan harus nyentrik, kapan harus konservatif. Ia tahu kapan untuk menjadi dirinya dan kapan menjadi bukan dirinya – satu hal yang tak pernah bisa ia lakukan. Dan untuk itu aku salut padanya.
Tapi aku baru menyadari seberapa dalam dan luasnya ia telah mendidik dirinya ketika aku diundang ke sebuah jamuan makan di rumah seorang arsitek muda yang spesialisasinya mendesain restoran. Arsitek itu sangat terkesan pada Bono dan memintanya mendesain menu khusus untuk teman-temannya. Di pertemuan itu ia telah berubah. Ia begitu tampan, tinggi berwibawa dengan dibalut seragam putih chef. Timnya terdiri dari lima orang, dua orang untuk membantunya di dapur, dua orang untuk melayani satu meja panjang yang telah di tata dengan indah untuk delapan belas orang tamu, serta satu penyelia wine. Anak-anak muda yang bergerak dengan kecepatan, energi dan kegesitan yang tinggi, anak-anak yang bisa bekerja sambil bersaing dengan orang-orang sekeliling, yang harus menciptakan semacam sistem untuk diri mereka sendiri, entah yang mengandalkan pada disiplin diri, pengetahuan atau social skills agar tetap unggul. Anak-anak muda yang tangguh, cerdas dan lapar.
Aku menunggu berapa saat sebelum menyapanya dari kejauhan. Ketika ia melihatku dari balik “meja pulau” di dapur terbuka itu, ia segera berlari menyambutku, aduh, aduh aku senang sekali kamu bisa datang Vito. Lalu Bono memelukku erat, sesuatu yang tidak pernah terjadi selama aku mengenalnya. Beberapa jam berikutnya seperti mimpi.
_____________________________________________________________
MAKAN MALAM
Kediaman Aditya Bari
5 Desember 2011
Kembang kol dan cumi-cumi, jus cumi-cumi panggang bening. (terilhami hidangan andalan Jason Atherton di Pollen Street Social, dengan sedikit modifikasi.)
Burung puyuh, sereal, roti, teh
Buratta, daun bawang, truffle.
Spaghetti hitam.
Bebek, Saus Agrodolce.
Torta minyak zaitun dan pir panggang.
Es krim dan sorbet.
CHEF : BONO
_____________________________________________________________
sudah saatnya semua terbuka dan paham dengan kondisi Indonesia..
ditunggu mas rende lanjutannya.. ^^
KEMBANG KOL DAN CUMI-CUMI
Akhirnya diputuskan aku berangkat Minggu. Dua hari lagi. Ini keputusan rapat dengan bos dan kolega-kolegaku yang menyusun jadwal kunjunganku. Kantor butuh satu setengah hari lagi, hari Jumat dan Sabtu untuk mengurus pesawat dan hotel, mengontak instansi Kemenkes setempat dan menyiapkan dana perjalanan. Aku merasa siap dan kembali ke apertemenku di Jalan Pangeran Antasari sekitar pukul sembilan malam.
Bono sedang mondar-mandir di dapur. Entah eksperimen apa yang sedang dilakukannya. Ia telah beralih pekerjaan dari personal chef menjadi chef utama di Siria, restoran yang saat ini dianggap paling keren dan paling inovatif di Jakarta, dan ia nyaris tidak pernah istirahat. Hari ini adalah hari pertama masa cutinya selama dua minggu, dan tanpa diberitahupun aku tahu ia telah memindahkan bahan-bahan makanan dari dapurnya untuk distok dirumahku. Aneka daging, ikan, krim, dan saus, stok untuk sop, beberapa botol wine mahal. Gayanya seperti yang punya rumah. Menyapaku pun tidak. Tapi aku senang melihatnya. Aku selalu senang kalau dia ada di apertemenku, masak-masak,nonton DVD, kadang menginapa satu atau dua malam, terutama di akhir minggu. Kami seperti sepasang adik kakak, atau sepasang kembar atau apalah namanya. Bono pernah menyebut twin solitudes, yang kedengarannya jauh lebih pas, dan lebih jujur, ketimbang soulmates atau belahan jiwa. Kami tahu bagaimana harus hidup dalam kapsul masing-masing, dan karena kami bukan sepasang kekasih, kami jarang menggunakan keheningan sebagai alasan untuk memulai pertengkaran. Tapi begitu makanan mengejawantah di wajan, menghias piring, mengisi ruang, yang ada hanya percakapan.
Aku melongok ke isi wajannya. Nasi goreng dengan apa itu?? Sisa steak atau dari restoranmu??
“Wagyu,” katanya tanpa menatapku. “ Dan sedikit sisa sambal ijo dari itik lado mudo-mu. Kujamin mantap.”
Aku memang baru saja dikirimi gulai bebek ijo dari batusangkar oleh seorang teman yang kerajingan makanan Padang. Seperti biasa, Bono mengendus-endus isi kulkasku dan menemukan sesuatu yang memberinya ilham. Dan seperti biasa, ia tidak minta ijin. Dan aku tidak pernah protes, karena aku menikmati hasilnya. Nasi goreng wagyu, Bakmi Foie Gras, Sambal Goreng Pete Perut ikan Tuna Goreng.
Bono berkata “ Akhir-akhir ini perpaduan kata-kata itu, nasi goreng dengan wagyu, bakmi dengan foie gras bisa membuat orang tertawa dengan alis mata terangkat, karena mereka menyalahartikannya, sebagai contoh ‘fusion’ yang tak imajanitif, seolah yang imajinatif harus melibatkan sepuluh unsur yang radikal atau bertabrakan. Atau mereka akan menganggapnya contoh ‘fusion’ sebagai ‘confusion’, seolah laku memadukan apa saja yang bisa ditafsirkan sebagai ‘Barat’ dan ‘Timur’ merupakan sesuatu yang menggelikan. Aku tak peduli tentang hal-hal seperti itu “
Kamu sudah terlalu lama hidup di Indonesia, katanya pula dan diulangainya tiap kali. Kamu harus belajar cuek. Kalau ada dua persepsi umum yang salah, buat apa kita merasa korban dari keduanya?? Yang penting kita tahu kenapa kita melakukan apa yang kita lakukan.
Banyak hal yang membuat aku sayang pada Bono, ini salah satunya. Dan walaupun aku yakin suatu hari ia pun akan tiba pada titik yang menjadikanku pahit, aku tetap sayang padanya.
Sejurus kemudian kami duduk di meja makan, masing-masing dengan sepiring hasi goreng yang mengepul. Ia membuka sepasang Riesling dingin dari Clare Valley, Australia Selatan-Grosser Polish Hill 2010, salah satu kesayangannya, karena ini sudah hari Kamis dan ia tahu aku sedang stres. Ia bercerita sedikit tentang harinya. Ia masih saja berkeluh kesah tentang perseteruannya dengan sous chef-nya, bekas sous chef di sebuah restoran fine dining yang cukup dihormati di Jakarta, yang menurut dia sangat dangkal. Dan ini bukan karena ia belum pernah magang di luar negeri, katanya cepat-cepat.
“Terus terang” katanya, dengan mata menerawang. “Semua chef, yang terbaik pun, bisa belajar banyak dari timnya. Bukan hanya dari sous chef mereka, tapi juga dari yang lainnya. Selalu ada tradisi makanan yang tak diketahui orang lain.”
“Jadi apa masalahnya??” tanyaku
“Masalahnya”,,kata Bono dengan nada yang menajam, seakan ia jengkel dengan pertanyaanku, “adalah jika ia bekerja buatku, tugas utamanya bukan menunjukkan kreativitas. Apalagi dengan Jonas, Tanya dan Michael!! Tugas utamanya adalah untuk menafsirkan kreativitasku!! Ideku tentang sebuah hidangan, tentang kreasi, datang dari pengetahuanku yang luas dan dalam tentang bumbu dan seni masak!! Dan ide itu yang harus ia junjung dan sempurnakan!!”
Sejenak, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Salah satu tugas utama seorang sahabat adalah tetap mencintai sahabatnya, sebesar apa pun egonya. Mungkinkah sudah satnya Bono perlu pacar?? Tapi, ketika aku berpikir seperti itu, aku jadi sedih. Kenapa pula Bono perlu pacar jika aku pun belum punya pacar?? Lagi pula, siapa yang bisa tahan hidup dengan jam kerjanya yang tak manusiawi, otaknya yang dikendalikan makanan, sikapnya yang implusif dan meledak-ledak, serta beban kesadaran yang dipikulnya pagi, siang, malam, bahwa setiap piring yang keluar dari dapurnya, tak peduli dari tangannya apa tidak, adalah sebuah karya seni yang singular dan tak tergantikan, sesuatu yang bisa mengukuhkan tapi bisa juga menghancurkan??
“Di New York,,: katanya lagi,,, “Seorang juru masak hebat dengan jam terbang dan pengalaman bekerja untuk chef-chef terbaik dunia belum tentu bisa jadi chef restorannya sendiri. Dan ia biasanya sadar itu, ia boleh saja tahu teknik memasak, dari asin ke manis, cara mengurap dan memanggang, seni membuat saus, membumbui, tekstur, kontras, cita rasa, ia boleh saja mengikuti perkembangan gaya chef-chef kontemporer dunia, ia boleh saja tahu bagaimana menawarkan diri. Tapi itu semua tak akan berarti kalau orang itu tidak tahu bagaimana memimpin dan bekerja sama dalam ruang yang terbatas dan panas, di bawah tekanan suhu dan waktu, bagaimana menginspirasi anggota tim, bagaimana........”
“Emang kamu sendiri tahu bagaimana melakukan itu semua??”
“.......mempraktikkan disiplin pada diri sendiri dan pada orang lain, di mana mencari bahan pokok terbaik dengan harga serendah mungkin...”
“Bono!! Kamu dengar gak yang aku bilang??”
“.....bagaimana membangun hubungan dengan ruang makan, bagaimana menunjukkan minat personal pada setiap tamu restoran, bagaimana memenuhi fantasi kuliner publik yang njelimet dan berubah-ubah dan kadang tak masuk akal....”
Aku menuangkan wine lagi ke gelasnya sambil menghela napas.
“Kamu sadar gak sih, kamu itu kecapekan?? Kalau kamu benar-benar percaya apa saja yang baru saja kamu katakan, kamu akan biarkan Arya mengambil alih pekerjaanmu supaya kamu bisa istirahat. Itu tugas dia, meneruskan. Meneruskan bukan berarti memperkenalkan sesuatu yang baru. Meneruskan berarti menjalankan apa yang sudah ada.”
Aku tahu ada yang mengendur didirinya, mungkin ia memang capek dan hanya butuh pelampiasan. Dari segala yang kutahu tentan Arya, ia supel, berbakat, dan punya disiplin tinggi. Dan meski wawasan kulinernya tidak seluas Bono, ia lebih tahu cara bekerja sama dengan tim Bono, yang bagaimanapun terdiri dari orang-orang macam dia, anak kota kecil Malang, lulusan sebuah Universitas swasta di Jakarta, Jurusan Pariwisata, dengan beban tanggung jawab membiayai keluarga serta seperangkat pantangan agama yang mau tak mau membatasi kemampuannya menikmati makanan dalam arti seluas-luasnya. Jika ia sedikit cemburu terhadap Bono, yang meski tidak datang dari keluarga superkaya, tetap saja lebih beruntung dari segi kesempatan, aku tidak bisa menyalahkannya. Dan Tapi itu bukan saatnya membela Arya.
Bono sudah lebih tenang.
Setelah menyeletuk tentang ini itu, kondisi apartemenku yang meski tak bisa dikatakan buruk masih jauh di bawah mewah, kucingku yang sudah enam belas tahun dan mulai sakit-sakitan, karierku yang “jalan di tempat,” bagaimana aku tak seharusnya hidup “begini”,
“ ini bukan hidup yang layak untukmu, entah seperti apa yang layak itu dalam banyanganmu” ucap Bono.
Bono mencoba untuk bersimpati tentang pekerjaanku dan mengajukan pertanyaan-pertanyan yang cukup cerdas, seperti mengapa pemilik-pemilik peternakan yang ungas-unggasnya mati tidak ada satu pun yang kena virus flu unggas (jawabanku : Nah! Betul sekali!), dan apakah ada para korban-korban jiwa yang terkena virus unggas selalu diadakan autopsi (Jawabanku : Tidak, tidak pernah), dan aku mencoba menjawab sekenanya. Lalu aku bertanya apakah ia betul apakah ia betul dari Jawa Timur, dan ia menjawab ia, Madura tepatnya., bapak Madura, ibunya Cina Surabaya. Dan aku bertanya lagi apakah ia tak ingin bergabung denganku sambil menahan diri untuk bertanya apa agama yang dianutnya. Tadinya aku sudah yakin ia tak akan tertarik bergabung karena yang ia butuhkan bukanlah kembali ke masa kecilnya yang sambil mengingat-ingat setiap jenis petis, melainkan tidur-tidur yang dalam dan lama, dan membebaskannya untuk berkarya lagi. Tapi ia tidak mengatakan tidak.
“Jadi kamu mau ikut??” tanyaku
“Ya, oke” jawabnya dengan sedikit melayang.
“Bener nih?? Serius??”
“Iya, aku serius”
“Wah, asyik nih,,”
“Aku sebenarnya penasaran aja. Orang selalu salah menilai Madura.”
“Maksudmu??”
“Maksudku, orang Madura selalu dianggap kasar, cepat marah, beringasan. Setiap kali kita bilang, kita akan menyebrang ke Madura, orang akan berkata, haaaahhh?? Ngapain?? Ati-ati lo, orangnya galak-galak. Salah ngomong sedikit, loe bisa diclurit,,”
“Ha,,, hahhahahaha,,”
“Padahal ya nggak selalu begitu. Orang Madura itu keras, berkemauan baja. Pride-nya tinggi. Tapi mereka juga pintar, uletm jeneka. Dan semakin ke Timur, di kota-kota seperti pemekasan, misalnya, orang-orangnya halus. Makanannya juga.”
“Jadi serius kan mau ikut??”
“Ya,, ya, aku serius,,” katanya lagi,, “Tapi janji dulu satu hal”
Ketika aku tanya apa lagi kiranya yang harus kujanjikanbuatnya di dunia ini, dia menjawab,,”Aku boleh titip Vanilla di sini selama kita pergi, Oke?? Dan Job boleh tinggal di sini untuk jaga kucing.”
Job, aku tidak tahu nama lengkapnya, ia tinggal satu apertemen dengan Bono. Ia selalu mengaku saudara jauh Bono meskipun Bono tidak pernah merasa harus menjelaskan keberaadaanya. Entah apa kejanya manusia itu atau bagaimana ia bisa hidup dengan namanya, hampir setiap hari ia petantang-petenteng dari mal ke mal. Kadang ia bertandang samapai malam di bar restoran Bono sambil ngobrol-ngobrol dengan para mixologist, yang entah kenapa kerap berbagi resep cocktail dengannya. Aku tidak terlalu nafsu membayangkan si Job tinggal, bernapas dan mencemarkan udara di apartemenku selama beberapa minggu, meskipun aku selalu butuh seseorang untuk mengurus kucingku. Gulali, kalau aku pergi.
Tapi dalam satu-satunya hubunganku yang kuat ini, hubunganku dengan Bono, aku telah jatuh, . dengan sendirinya ke dalam peran yang ditentukannya untukku. Aku biarkan diriku, dan hidupku, patuh pada disiplinnya, sebagaimana semua orang yang hidupnya telah bersinggungan dengannya semenjak ia kembali dari Amerika patuh padanya. Banyangkan tiga investor, tiga pemilik restoran, tiga bos dan tak ada satu pun yang berani berkata “ Tapi kita nggak mau kembang kol dan cumi-cumi ; semua orang di dunia ini tahu karya Chef Jason Atherton, dan Siria bukan cabang Pollen Street Social,” atau “ Seperempat dari menu ini isinya babi semua. Kita memang bukan negara Islam, tapi dengan ini kita mempersempit audiens kita. Sudah saatnya evaluasi ulang.”
Tapi, konses-konsesi yang diberikan oleh Jonas, Tanya dan Michael pada Bono mempunyai akar di dalam pertimbangan-pertimbangan bisnis yang ada kalanya mengandalkan diri pada insting, bukan nalar. Keputusan ketiga pebisnis muda itu untuk menanamkan uang dan kepercayaan pada chef semuda Bono, aku yakin tidak lahir dari sikap yang naif. Oleh karena itu, kesedian mereka untuk mengiyakan apa pun yang diinginkan Bono tidaklah seluar biasa kesudianku menata hidupku sesuai dengan visi kehidupan Bono. Bukankah ini ironis?? Bono merasa berkuasa ketika orang-orang yang mencintainya hindup untuk dia, sementara aku merasa berkuasa ketika aku tak punya siapa-siapa dalam hidupku.
“Oke, tapi Vanilla mesti bawa makanannya sendiri,” tukasku dengan tegas “Bilang juga sama si Job, di DILARANG mengambil apa-apa dari kulkasku. O ya, dan ini yang paling penting, di dilarang tidur sama Gulali.”
@Needu
@marobmar
@hantuusil
@lian25
@jokerz
@khieveihk
@Brendy
@Just_PJ
@nakashima
@timmysuryo
@adindes
@Bonanza
@handikautama
@kiki_h_n
@dak
@Zazu_faghag
@ramadhani_rizky
@Gabriel_Valiant
@Syeoull
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
@dheeotherside
@angelsndemons
@bayumukti
@3ll0
@jamesfernand084
@arifinselalusial
@GeryYaoibot95
@OlliE
@callme_DIAZ
@san1204
@Bintang96
@d_cetya
@catalysto1
@Monster_Swifties
@arya404
@AlexanderAiman
@deltamet43d
[url="http://"][/url]
@kiki_h_n - halo mas kiki,,, apa kabar?? Iya cerita ini gak ada maksud nyindir siapa2 ko,, sumpah dah,,, hehehehe
@lulu_75 - makasih sudah mau mampir,,,