It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@arieat kita akan lihat
@arieat kita akan lihat
nama ken kaya pernah ada di awal..
nama ken kaya pernah ada di awal..
@nakashima hmmm kamu pasti suka penggantinya.. tetep ikuti ceritax ajha.. intinya happy ending kan????
Semua orang sudah berkumpul dengan rasa heran dari mereka masing-masing. Bagaimana tidak, tiba-tiba pimpinan memanggil mereka tanpa adanya pemberitahuan. Apakah ini pemeriksaan mendadak atau bagi sebagian orang yang sempat melihat keanehan dari anak pemilik hotel tentu dapat sedikit menyimpulkan apa yang terjadi.
Saat Ken sudah berdiri di barisan paling depan, semua seolah tersihir hingga tak ada yang berani menantang mata pemuda berwibawa itu. Sungguh semua orang menghormati pemuda dengan senyum manis itu.
“Bagi kalian semua yang sudah ada di sini, mungkin kalian bertanya ada maksud apa hingga kalian di kumpulkan di sini tapi demi apapun, aku juga kurang mengerti dengan semua perkara ini dan ku serahkan semua pada Dimitri selaku orang yang akan memberitahu kalian alasan kenapa kalian bisa ada di sini.” Semua menatap kearah pria dengan kulit kecoklatan itu dan tubuh atletisnya.
“Terimakasih Ken.” Ucapnya tersenyum pada Ken dan Kel langsung undur diri, berdiri di belakang Dimitri sedangkan Zac baru saja datang dan sudah terlihat segar dengan penampilannya, rambutnya yang basah menandakan kalau ia baru saja mandi tapi matanya tak pernah bisa berbohong kalau ada yang sedang membuatnya tak tenang.
“Oke saya mulai saja, saya selaku pengawal pribadi dari tuan saya ingin bertanya pada kalian,” Suara tegas tepancar dari suara Dimitri, membuat semua kikuk. “Siapa yang sudah masuk ke kamar tuan saya dan dengan niat baik merawatnya?” Semua mulai riuh saling berbisik dengan temannya masing-masing. Hingga suara di aula itu cukup bising juga dan Dimitri mulai berteriak menenangkan sampai tak ada lagi yang bersuara.
“Saya mohon pada orangnya, siapapun dia, kami hanya ingin berterimakasih karena dengan pertolongannya tuan saya, seperti yang kalian lihat baik kembali.” Tak ada suara, tak ada yang menjawab atau mengaku kalau itu dirinya. Dimitri mulai ragu kalau memang tuannya salah.
“Benar, tidak ada di antara kalian?” Kembali Dimitri bersuara tapi hanya gelengan yang ia dapatkan.
“Mungkin memang tak ada di sini.” Ucap Zac yang sudah berdiri di samping Dimitri tapi belum juga ucapan Brian di tanggapi oleh Dimitri sudah lebih dulu ada seseorang yang maju kehadapannya dengan tatapan tertunduk.
“Kamu orangnya?” Tunjuk Zac cepat dengan nada yang sedikit kecewa seolah ingin orang itu menjawab kalau dia hanya iseng-iseng maju tapi cowok dengan tubuh mungil itu mengangguk.
“Jadi atas dasar apa anda masuk ke kamar tuan saya? Adakah anda perlu di kamar tuan saya?” Seolah pertanyaan itu bagai tuduhan buat pemuda mungil itu.
“Sungguh saya tidak ada maksud lain di kamar bos, saya hanya sedang melakukan tugas saya.” Si cowok membela diri dengan mengangkat wajahnya menampilkan wajahnya dengan bibir tipis dan tentu saja mata biru kucing yang ia miliki.
Zac maupun Dimitri menganga, entah seolah mereka melihat Brian di depan mereka, Brian dalam versi yang agak berbeda tapi mata itu kenapa tidak bisa berbohong tentu saja mata itu terlalu mirip dengan mata pemuda berambut spike yang kini telah tiada.
“Brian!” Suara lirih Zac mampu membuat Dimitri mengalihkan pandangannya kearah majikannya, hanya untuk memastikan kalau majikannya tidak akan memeluk pemuda dengan rambut poni di depan mereka itu.
“Dia adalah tukang bersih-bersih di kamar tuan Zac. Maaf saya tak memperkenalkan dari awal.” Ken membela pegawainya. Melihat Dimitri dan Zac hanya terdiam lantas membuat Ken takut, mengetahui kalau pemuda yang sedang mereka tatap itu adalah pegawai yang ia pekerjakan sendiri.
Entah untuk ke berapa kalinya hati itu terus mencoba menenangkan dirinya tapi rontanya bukanlah hal yang mudah untuk ia kendalikan. Seolah hati itu berteriak agar pemiliknya mau memeluk pemuda yang sekarang menatapnya dengan tatapan bersalah walau nyatanya ia memang tidak salah.
Sungguh bukan kerana ia memiliki mata yang sama dengan mata orang yang telah memiliki hatinya tapi lebih kepada seperti ada ikatan di diri mereka, seolah hatinya kembali menemukan pecahan yang hilang. Mungkinkah bahagia itu telah kembali? Atau hanya rasa sesaat yang bisa hilang kapan saja ia ingin?
“Jadi sudah berapa lama kamu kerja di sini?” Tanya Dimitri yang sudah lebih dulu bisa mengendallikan dirinya.
“Baru dua minggu pak.” Jawab pemuda bermata biru kucing itu, ia mengerjap membuat sosoknya terlihat lucu dengan mata indahnya, manis.
“Siapa namamu?” Lagi Dimitri bertanya, hanya sekedar untuk membuat tuan mudanya sadar kalau orang yang di depan mereka bukanlah orang yang sama dengan masalalunya.
“Justin pak, Justin Hudson.” Lagi pemuda itu menjawab tapi kali ini ia tertunduk.
“Saya rasa anda harus berterimakasih padanya tuan.” Ucap Dimitri pada tuan mudanya tapi Zac diam dan tanpa mau berkata apapun dia meninggalkan tempat itu dengan dada yang terasa terbakar.
Dimitri memaklumi tuan mudanya dan dengan cepat melangkah mengikuti tuan mudanya sebelum lebih dulu menepuk bahu Justin dan memberikan ia senyum tulusnya. Justin hanya diam tak bereaksi bahkan saat semua orang sudah mulai meninggalkan aula itu.
“Kenapa dengan dadamu?” Tanya Ken saat melihat pemuda manis itu terus memegang dadanya sejak Zac berlalu dari hadapannya tapi Justin hanya menggeleng.
“Entahlah, sesuatu yang aneh terjadi padaku.”
“Apa yang aneh?”
“Aku juga tidak mengerti.” Jawapnya polos.
“Sebaiknya kamu istirahat dulu, nanti kita bicarakan ini lagi.” Ken meninggalkan pemuda mungil itu yang masih setia berdiri di sana dengan dada berdetak hebat, seolah detakannya mampu menembus keluar.
“Apa yang salah denganku?” Dia berbicara pada dirinya, bingung dengan perubahan yang terjadi di dadanya. Tentu ini karena pemuda bermata grey itu, detakannya sama saat dia merawat pemuda itu di kamarnya. Detakan yang seolah mendamba.
***
Suara bantingan di pintu menandakan ada emosi yang tengah meluap dengan si pembanting. Emosi yang tak bisa terkendali, emosi yang seolah membuatnya ingin menghilang saja dari dunia ini. Pemuda tinggi itu menghempaskan tubuhnya di sofa, menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Menekan pelipisnya yang tiba-tiba terasa nyeri.
“Anda pasti bisa mengendalikan diri anda tuan,” Suara Dimitri mampu membuat Zac membuka matanya tapi tidak menatap pria atletis itu. Jelas ucapan Dimitri bukanlah sebuah pertanyaan tapi lebih kepada pernyataan untuk tuan mudanya yang sekarang sedang tak konsen dengan dirinya sendiri.
“Jelas kamu tidak mengerti Dimitri, bahkan sangat tidak mengerti. Mata itu miliknya, aku sangat yakin dan kamu tidak akan mengerti karena kamu tidak mengenalnya seperti aku mengenalnya.” Suara bibir ranum itu bergetar tapi penuh kepastian kalau apa yang ia yakini memang benar adanya.
“Saya memang tidak mengenal dia seperti anda mengenalnya tapi atas dasar apa anda menganggapnya adik anda? Bukankah dengan sangat kita ketahui kalau adik anda telah meninggal dunia?” Suara itu seolah mendesak Zac untuk tidak berpikir sesuatu di luar nalarnya.
“Aku tidak pernah menganggapnya adikku, yang ku maksud di sini adalah matanya.” Zac berucap dengan nada emosinya. Emosi kepada argument yang telah di lontarkan pengawalnya.
“Semua orang bisa memiliki mata itu.”
“Jangan membuat aku membencimu Dimitri. Kamu tidak tahu perasaanku sekarang jadi tolong berhenti mendebatku.”
“Maafkan saya.” Zac berlalu meninggalkan pengawalnya.
***
Apa yang bisa kalian lakukan saat debaran aneh muncul di dada kalian dan penyebab debaran itu adalah orang asing yang sama sekali tak kalian kenal. Terlalu aneh menurut Justin hingga ia terus memegang dadanya, hanya untuk sekedar menenangkan hatinya.
Mata biru kucing itu menatap kosong kearah lantai tempat kakinya melangkah, seolah gamang menghampirinya dengan kejam dan membuatnya gersang.
Tabrakan itu tak terhindarkan dan saat tubuh mungil itu hampir jatuh dengan telaknya sudah lebih dulu ada yang menariknya hingga ia mampu kembali berpijak dengan normal. Dia mengelus dada bersyukur kalau ia tak mendarat di lantai yang akan membuat tubuhnya sakit.
“Terimakasih!” Ucap Justin tapi suaranya tertelan saat ia melihat mata grey itu menatap tajam kearahnya, tatapan pemuda itu dingin tapi Justin menyukainya. Entahlah untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia menyukai orang yang menatapnya seperti itu. Mata grey yang begitu memabukkan.
“Lihat jalan saat kau melangkah.” Hanya kata itu dan tubuh pria yang memiliki wangi manly itu berlalu meninggalkannya dengan ke gamangan yang kian menyiksa dirinya. Dia terus menatap punggung si pemuda sampai siluetnya hilang di dinding.
“Hei kenapa bengong terus.” Suara itu mengagetkannya, dan mendapati sosok jack yang sudah berdiri dengan cengirannya.
“Siapa yang bengong.” Jawabnya melengos. Berlalu meninggalkan teman kerjanya itu.
“Hei Hei dari tadi aku tunggu kamu.”
“Kenapa menungguku?”
“Bukankah kamu janji mau main piano di acara akad nikah kakak ku? Jangan bilang kamu lupa sekarang setelah dengan jahatnya kamu memberikan kami harapan?” Suara sedih terdengar dari mulut pemuda gondrong itu.
“Aku tidak lupa tau.” Ucapnya menjitak kepala temannya dan dengan cepat berlari sebelum kepalanya mendapat balasan yang setimpal.
“Berani kau ya!” Mereka akhirnya saling berkejaran.
***
Dia di panggil oleh pimpinan, hingga di sinilah dia sekarang dengan tampang yang selalu manis walau dalam balutan seragam OBnya, tapi sungguh mata biru itu menambah betapa indahnya mahkluk tuhan yang sekarang sedang gugupnya saat sudah duduk di kursi di depan pimpinannya.
“Justin, apa kabarmu?” Pertanyaan ternyata yang di ucapkan Ken sebagai bentuk basa-basinya.
“saya baik pak.” Jawab pemuda bermata biru kucing itu dengan mencengkram ujung seragamnya, jelas ia sangat gugup sekarang, bisa jadi ia akan di pecat dengan kelancangan yang telah ia buat.
“Aku memanggil kamu kesini atas suruhan Bos kita. Dia meminta kamu menjadi tukang bersih-bersih di kamarnya tanpa harus di gantikan lagi.”
“Maksud bapak, saya kerja setiap hari?” Terlihat wajah Justin sumringah, kalau memang pertanyaan benar, ia mungkin tak akan susah lagi membayar rumah kontraknya dan juga hutang-hutang keluarganya.
“Ya tentu tapi dengan satu catatan,” Ken sengaja menghentikan ucapannya hanya untuk mengundang rasa penasaran buat Justin.
“Apa itu pak?”
“Kamu kerja dari pagi sampai malam bukan sore lagi.” Ken memainkan pulpen di tangannya dan matanya terus menatap pria bermata kucing itu.
“Tapi pak, kalau malam saya jadi tidak bisa pulang karena bapak tahu sendiri kan, saya tidak mungkin menemukan angkutan umum di jam 12.” ternyata dugaan Ken benar. Pasti pemuda itu akan terkendala dengan bolak-baliknya.
“Aku juga kurang mengerti dengan hal itu tapi kalau memang kamu mau membicarakan soal masalahmu, kamu bisa temui dia di kamarnya. Dia sedang menunggumu sekarang.” Entah kenapa jantung Justin tiba-tiba kembali berdetak hebat. Kenapa bos itu selalu bisa membuat ia seperti ini, ada apa dengannya?
“Baik pak.” Justin bangkit meninggalkan Ken dan berjalan menuju kamar bosnya yang ada di lantai 20.
Dengan sedikit keraguan ia mengetuk pintu dan dengan cepat suara sahutan itu terdengar, menyuruhnya masuk. Pemuda mungil itu masuk dan mendapati Zac sedang duduk di sofanya dengan ponsel di tangannya.
“Maaf bos,”
“Namaku Zac, panggil aku seperti itu.” Zac menginterupsi dengan mata yang masih tertuju kearah ponselnya.
“Hemm ya tu-Zac. saya di suruh ke sini oleh pak Ken.” Ucapnya memberitahu alasan kehadirannya. Zac menatap Justin yang tengah berdiri dengan gelisah di dekat dinding.
“Ken tentu sudah menjelaskan semuanya padamu.” Lagi-lagi jantung itu berdetak tak biasa, membuat Justin harus memegang dadanya seolah orang dingin yang di depannya mampu mendengar detakannya.
“Saya kalau malam tidak bisa pak karena alasan angkutan umum.” Ucapnya berusaha jujur dan Zac bangkit dari duduknya manggut-manggut mengerti kearah mana pembicaraan pemuda yang memiliki mata adiknya itu.
“Aku akan menyediakan sopir untukmu.” Zac sudah berdiri di depan Justin yang semakin terlihat kegugupannya.
“Tapi,” Ucapnnya terhenti saat tangan Justin menyentuh kepalanya dan mengelusnya dengan lembut, bagai anak kucing ia suka di perlakukan seperti itu dan mungkin sangat suka.
***
“Kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu?” Suara itu membuat Justin kaget dan mengelus dada melihat Zac berdiri di ambang pintu dengan setelan jaznya dan tentu saja ia tak mendengar pintu terbuka karena masih sibuknya dia dengan lamunannya.
“I-Iya.” Lagi-lagi gugup melandanya. Zac tersenyum dan senyum itu mampu mengenyahkan kedinginann yang ada di dirinya.
“Apa yang mau kamu lakukan setelah ini?” Tanya Zac saat sudah melangkah menuju kulkasnya dan mengambil air putih dingin, meneguknya dengan pelan. Justin terus memperhatikan Zac yang minum dan daftar sukanya bertambah, mungkin akan terus bertambah.
“Saya akan langsung pulang.” Jawapnya cepat, berharap bisa cepat berlalu dari sini.
“Baiklah akan ku antar.”
“Tapi Zac,” Belum sempat suara keluar lebih banyak dari mulutnya, Zac sudah lebih dulu menarik tangannya dan membawa ia keluar dari hotel itu.
Semua menatap heran kearah mereka yang masih asik berpegangan tangan keluar dari area hotel, Justin tentu saja risih dengan tatapan iri dari teman-temannya tapi apa mau di kata dia tidak mungkin berani melepas genggaman tangan bosnya.
Zac hanya cuek saja karena ia suka menggenggam tangan mungil itu, entahlah kini dia semakin menyukai semua yang ada di diri si mungil.
***
@zeva_21 @Bun @3ll0
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@SteveAnggara @hendra_bastian
@harya_kei
@fauzhan @NanNan @boy
@BangBeki @arieat @Asu12345
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@4ndho @jacksmile
@kristal_air @Pradipta24
@_abdulrojak @ardavaa @abong
@dafaZartin