It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Duluan ya, yah”. Kaki pemuda remaja itu melangkah keluar dari rumah sederhana di perkomplekan pemerintah. Warna langit masih hitam kelam dengan sedikit semburat oranye dikejauhan. Baju putih dan celana abu-abunya nampak baru, pas ukuran anak seusianya. Tangannya meregangkan tali ransel kumal ke arah depan, ransel yang sudah ia pakai semenjak bangku sekolah menengah pertama pemberian ibunya. Sesekali tanganya mendorong kacamata longgar yang melorot dari hidungnya yang sedikit mancung. Jalanya gontai, perasaan resah menggelayuti jiwanya, di hari pertamanya menjadi seorang siswa sekolah menengah atas.
Kakinya menginjak halaman depan sekolah. Sudah banyak anak baru yang berdiri dan duduk disekitaran sekolah. Namun, ia memilih untuk duduk sendiri dipojokan tiang depan laboratorium biologi. Sebenarnya ia ingin masuk sekolah tempat dimana teman-temanya dulu bersekolah agar tidak perlu berkenalan lagi. Namun ayah menyuruhnya sekolah disini karena nilai yang cukup tinggi sehingga bisa masuk ke sekolah favorit ini. Ditambah koneksi dengan alumni yang bagus.
Bel berbunyi, pertanda anak baru harus berkumpul untuk perkenalan terhadap staff sekolah dan instruksi orientasi lebih lanjut. Sebenarnya sekolah Ini lebih cocok di bilang bangunan peninggalan prasejarah. Dilihat dari kelas yang berlangit-langit tinggi dan jendela-jendela yang besar,dinding abu-abu serta tiang yang kokoh, khas Netherland. Lapangannya juga tidak terlalu besar, cocok sih karena sepenglihatanya murid baru disini paling kurang lebih 200 orang.
Acara perkenalan formal berakhir. Staf sekolah meninggalkan panggung digantikan dengan panitia ospek. Para murid baru kemudian dibagi pergugus, total ada 8 gugus berdasarkan nomor daftar ulang. Mereka lalu digiring oleh para kakak kelas yang bertanggung jawab terhadap para gugus masing-masing memasuki kelas-kelas yang mengelilingi lapangan. Gugusnya dibimbing oleh dua orang laki-laki berkacamata (salah satu syarat bersekolah disini sepertinya, karena hampir yang ia lihat semua berkacamata!) dan satu orang perempuan. Cek absen , perkenalan, lalu pembacaan tata-tertib dan peralatan ospek, dilanjuti dengan acara-acara lainya.
“Bisa pinjem pulpen lo ga?,” Tanya teman sebangkunya. Saat ini sudah jadwal istirahat siang.
“Oh, iya, nih,” balas Sam sekenanya sambil menyerahkan pulpen ke anak itu. Anak itu menerima pemberian Sam kemudian berlalu pergi ke meja lain, mengobrol dengan salah seorang murid baru. Salah satu sifat buruk Sam, anti sosial. Sedari dulu Sam memang memiliki kencendrungan untuk mengisolir dirinya, atau mungkin popularnya dikenal dengan introvert. Kalau di skala mungkin introvert Sam sudah sangat akut. Simpelnya teman terbaik Sam cuman benaknya sendiri.
“Nama gue Andi, lo?”.
Sam buyar dari lamunanya. Sesosok pemuda sudah berdiri di samping Sam menatapnya dengan penuh keingintahuan. Sam mengerenyutkan dahinya. Ia heran ada orang yang bisa mengajaknya kenalan. Setahunya ia tidak punya tampang ramah atau semacamnya yang mengundang orang untuk mengenalnya lebih jauh. Ia berusaha memasang tampang seburuk mungkin dari awal masuk kelas. (Sebenarnya tanpa berusaha juga sudah buruk sih – Benak Sam).
“Gue?.” Sam berhenti selama beberapa menit. “Samudera...”
“Oke Sam kalo gitu.” (Wah menentukan panggilan sekehendak hatinya, sinis Sam. Walaupun memang panggilannya Sam tapi kenapa harus pemuda itu yang menentukan panggilan untuk Sam?. Siapa tahu kan Sam ingin merubah namanya jadi Dono. Atau siapa tahu ia tidak ingin dipanggil sama sekali selama di sekolah ini. Anggap saja Sam tanaman hias di sudut kelas, itu saja ia sudah senang – lagi lagi benak Sam)
“Kalo lo mau, lo bisa pindah, duduk sama gue, masih kosong. Daripada lo sendirian disini dianggurin, biar lo juga ada temen ngobrol.”
(Andi yang baik, dianggurin dan tidak ada teman ngobrol itu adalah hal yang dicari Sam sebenarnya – senyum benak Sam.)
“Thanks, gue oke kok.”
Andi mengangkat bahunya lalu pergi sambil menepuk punggung Sam terlebih dahulu. Yah, mungkin ia harus sedikit membuang sifat anti sosialnya sekarang di bangku menengah atas, batin Sam. Tapi cepat-cepat benak Sam menepis pikiran batin Sam itu. Seperti pepatah ‘otak daripada hati’.
“Lo keberatan ga pindah duduk, gue mau duduk sama temen gue.” Kebetulan sekali setelah apa yang Andi tawarkan!. Teman sebangku Sam datang dengan seorang temannya yang sudah membawa tas. Tanpa membantah Sam mengangguk, meraih tas nya yang sedari tadi terbaring lemas di atas meja dan pergi berlalu tanpa berucap apa-apa.
“Ini sekalian pulpen lo, thanks ya.” Teman sebangkunya menyerahkan pulpen tersebut ke tangan Sam lalu mengisi bangku yang sedari tadi Sam duduki tanpa jeda sekalipun. Temannya itu (entah siapa Sam tak kenal) lalu mengikuti duduk disampingnya. Sam tidak peduli.
Sam berdiri bak anak idiot menjinjing tasnya ditengah lorong meja. Menjulurkan dan menoleh kesana kemari mencari tempat mana yang benar-benar kosong dan setidaknya berjarak 500 meter dari anak-anak yang lain. Atau mungkin ia harus duduk disamping tanaman hias sehingga tidak ada murid lain yang memintanya pindah. Siapa sih yang mau duduk dekat tanaman hias sehingga ia juga akan meminta Sam untuk pindah dari sana? Tidak ada sepertinya.
“Sam, sini! Sama gue aja.” Andi, teman barunya yang mengajaknya kenalan tadi. Tanganya melambai-lambai di udara lalu menepuk-nepuk meja disampingnya.
“Err...” Sam sedikit ragu. Duduk dengan Andi berarti akan menghabiskan waktunya berkutat dengan pertanyaan Andi yang pasti banyak sekali (jangan lupa bagaimana ia menentukan sendiri panggilan untuk Dono-eh-Sam). Tindakannya yang sukarela memperkenalkan dirinya terhadap Sam dan bagaimana intonasi Andi yang kedengarannya sangan menginginkan Sam duduk disampingnya lantas membuat Sam curiga. Mungin anak ini cuman ingin memperalat dan memanfaatkan diri Sam. (Karena Andi duduk sendiri dan merupakan makhluk sosial yang aktif maka kemungkinan Andi untuk merasa bosan sangatlah tinggi. Jadi ia memanggil Sam cuman ingin menghilangkan rasa bosanya dengan mengajak Sam duduk bersamanya – analisa benak Sam).
Tapi Sam tidak punya pilihan lain. Sam berusaha berpikir positif. Dengan duduk bersama Andi kemungkinan untuk di usir lagi sangat kecil, karena Andi sendiri yang mengajaknya duduk (kecuali kalau ia tipe orang plin-plan). (Lagipula cuman cukup menjawab sekenanya kalau di Tanya Andi. Tahu tahu ntar dia capek sendiri lalu berusaha mencari teman lain. Oke, itu berarti kemungkinan untuk di usir meningkat. Yah kalau gitu, jawab satu kalimat dua kalimat juga oke kok, lanjut benak Sam). Ia lalu melangkahkan kakiknya ke meja Andi dan menghempaskan badanya di kursi.
“Soalnya anak itu satu sekolah sama gue dulu, gue udah tau dia bakal duduk sama temen akrabnya itu,” ujar Andi sambail mencibir ke arah kedua anak tersebut. Wajahnya tampak tidak suka.
Sam menolehkan kepalanya ke arah tempat duduknya tadi. Dua sejoli tadi sudah asik bercengkarama. Ia menghela napas melihat kejadian sosial ini. Sam mengaduk-aduk tasnya, mengeluarkan buku lalu membacanya. Berharap Andi mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pembicaraan yang sepertinya tidak mungkin.
“Eh Sam, lo ga baca peraturan emang. Kan ga boleh bawa barang selain dari daftar yang dikasih waktu daftar ulang.” Andi terlihat cemas melihat apa yang di pegang Sam. Andi sepertinya tipe anak yang takut berhubungan dengan hukum, bermain aman. Salah satu aspek yang sepertinya membuat Sam akan akrab dengan Andi. Tapi kalau Sam lebih kepada tidak ikut bermain sama sekali.
“Baca kok, lagian ini buku dari sekolah,” ucap Sam sekenanya.
Tiba-tiba --Brak!
Segerombolan senior masuk sambil membuat suara gaduh dengan menepuk jendela dan menggebrak meja. Otomatis semua kaget ditambah dengan tampang ketakutan pastinya. Para senior itu sekarang sudah ada di depan kelas. Sepenglihatan Sam, mereka terdiri dari 3 laki-laki dan 2 perempuan. Yah, tampang mereka persis seperti bapak-bapak atau ibu-ibu yang kedapatan melihat anaknya mencolong.
Sam buru-buru memasukkan buku yang ia baca beserta tasnya ke dalam meja berharap tindakannya yang tiba-tiba ini tidak terlihat. Sam lalu berdiri bersama dengan murid lainnya, setegap yang ia bisa sambil melihat lurus ke depan. Hal-hal yang sedang terjadi ini sangat dibenci Sam. Tidak ada gunanya.
“Yang tidak pakai name tag ke depan!.” Sam lolos.
“Yang memakai atribut tambahan ke depan!.” Atribut Sam masih di dalam aturan, lolos.
“Yang membawa barang selain yang diberitahukan ke depan!.”
Err, Sam mulai gelisah. Maju ke depan adalah pilihan paling terakhir yang ia buat semenjak masuk sekolah ini. (Soalnya berhubungan dengan ‘semua mata tertuju padamu’ dan ‘yang ke depan dapat nilai bagus’. Bah! Kalau gagal UN, maju ke depan bakal sia-sia – Benak Sam). Tapi haruskah ia maju ke depan? Tapi yang ia bawa buku pelajaran, aneh kan kalau ada yang melarang bawa buku pelajaran ke sekolah.
Satu persatu siswa di kelas Sam mulai maju ke depan. Sam? Ia masih berdiri terpaku di belakang mejanya. Masih menimbang maju atau mundur. Hingga salah satu senior perlahan menghampiri mejanya.
Senior tersebut, ya senior tersebut merupakan kakak kelas Sam ketika di sekolah menengah pertama dahulu. Entah ia mengenali Sam atau tidak, tapi Sam sangat mengenal sosok senior tersebut. Sebut saja selebriti sekolah berwajah tampan menjadi idaman para remaja wanita lengkap dengan kesayangan para guru dan staf . Pemuda dengan segudang prestasi yang mengharumkan nama sekolah Sam sebelumnya. Kebetulan waktu itu kelas mereka berseberangan dan kebetulan juga meja Sam dekat dengan jendela (terlalu banyak kebetulah eh). Sam kadang tidak sadar kalau matanya sering memperhatikan superhero sekolahnya dahulu itu.
Senior tersebut berhenti dan berdiri diam disamping Sam. Ketegangan Sam menjadi berkali-kali lipat, ketakutan akan dihukum atau tidak, ditambah kehadiran senior tersebut disamping Sam. Keringat sudah mulai membasahi tubuhya, temperatur tubuhnya menjadi tinggi. Penyakit Sam lainnya, social anxiety.
Salah satu senior mulai bergerak dari arah depan memeriksa setiap tas siswa. Senior ini berbadan besar dan brewokan, (baru SMA tapi sudah brewokan!, benak Sam kembali menginterupsi). Sam menelan ludahnya, tenggorokannya menjadi sangat kering. Perlahan senior tersebut datang, dan tiba saatnya meja Sam di periksa.
“Tasnya udah gue periksa. Aman ga ada apa-apa.” Ujar senior yang sedari tadi berdiri di samping Sam.
Senior yang bertugas memeriksa tadi mengangguk dan melanjutkan pemeriksaanya. Menghela napas perasaan Sam sedikit lega namun langsung diganti perasaan bingung dengan cepat. Kenapa senior ini berbohong? Kecurigaan Sam timbul. Atau ini hanya taktik para senior, tahukan kadang mereka membuat suatu skenario untuk mengerjai salah satu murid.
Spekulasi demi spekulasi bermunculan di benak Sam, dari yang positif sampai yang benar-benar negatif. Kebanyakan spekulasi negatif.
Spekulasi yang diciptkan benak Sam lalu buyar seketika akibat pukulan lembut di kepalanya.
“Lain kali jangan bawa barang yang ga ada di list barang bawaan ospek. Buku dari sekolah sekalipun,” ujar senior yang berdiri di samping Sam, tangan kanannya lalu mengusap sedikit kepala Sam. Senior itu berjalan perlahan ke depan, bergabung dengan senior lainnya lalu keluar ruangan.
Muka Sam mulai panas, jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Mungkin kalau ia tidak segera memegang ujung meja ia bisa langsung terjatuh saking kagetnya. Pikiranya kacau.
Waktu istirahat tiba.
“Wah hebat lo bisa lolos ya.” Ujar Andi sambil meminum air dari botol minumannya. Andi duduk dengan memeluk kursi dengan satu lengan, mencondongkan kepalanya ke arah Sam.
Sam sibuk mengunyah makanannya sambil melempar pandangan jauh ke arah lapangan. Pikiranya masih berkutat tentang kejadian tadi. Ia masih penasaran, kenapa orang itu bisa tahu kalau ia melakukan pelanggaran. Bahkan Sam baru membuka bukunya itu cuman beberapa menit, tak lebih dari satu setengah menit mungkin. Sam tidak tahu kalau sebenarnya senior itu sudah memperhatikan Sam dari luar kelas sepuluh menit sebelum aksi penggebrakan.
“Sam, lo dengerin gue ga sih.” sungut Andi sambil menutup kembali botol minumanya. Andi menggeleng tidak senang melihat tingkah laku yang akan menjadi teman dekatnya ini.
“Hmm..”,Sam mengalihkan wajahnya ke arah Andi. Andi tampak cemberut, lalu beranjak pergi ke meja seberang. Sam mengangkat bahunya, menyendok kembali makananya lalu kembali melempar pandangan ke lapangan.
,..
Masa Orientasi sudah selesai. Kelas juga sudah dibagikan dan kegiatan belajar-mengajar sudah berlangsung selam satu bulan. Entah Sam harus bahagia atau menderita sekelas dengan Andi. Positifnya Sam tidak perlu lagi mencari teman sebangku, negatifnya Andi selalu punya hal yang ingin ia bicarakan sedangkan Sam lebih ke tipe diam adalah emas, berlian, permata dan hal megah lainya.
“Sam, lo gak makan?,” Andi sudah mulai bangkit dari tempat duduknya. Bel istirahat baru saja berbunyi. Sebagian siswa menuju kantin, sebagian tetap di bangku mereka.
“Engga deh Ndi, lagi ga nafsu makan. Lo duluan aja.” Ujar Sam
“Oh oke, lo mau gue bawain sesuatu dari kantin?”.
“Ga usah.”
Andi pun pergi meninggalkan kelas menuju kantin. Andi sudah mulai terbiasa dengan sifat ketidakpedulian Sam terhadap hal sekelilingnya. Hal yang membuat Andi terkesima bisa menjumpai orang dengan karakter aneh seperti yang dimiliki Sam. Sam mengistirahatkan dahinya di atas meja. Merasa bosan tidak mengerjakan apapun Sam lalu mengangkat pantatnya keluar kelas.
Kedua kaki Sam mengantarkan dirinya ke perpustakaan.
Sam membuka pintu perpustakaan bergaya Netherland yang tinggi dilapisi kayu yang sudah tua ditengah-tengahnya dipasang kaca. Perpustakaan disekolahnya tidak terlalu besar, cukuplah untuk menampung buku penunjang pelajaran. Sam melepas sepatunya, sedikt membungkuk dan tersenyum untuk memberi salam kepada petugas perpustakaan lalu berjalan melusuri lorong buku, mengambil asal, lalu mencari tempat tersembunyi di antara lorong.
Tanganya mengibas-ngibas lantai sudut perpustakaan yang tertutup debu. Padahal sudah ada meja yang disediakan untuk membaca. Tapi Sam merasa duduk di lantai akan membuat imajinasinya lebih kuat ditambah pantatnya menjadi dingin. Sam lalu duduk dan membuka bukunya. Ia mulai tenggelam dalam hobi yang sudah ia tekuni sejak balita.
Semenit, Sepuluh menit, hingga setengah jam. Jam istirahat sudah berakhir namun Sam tetap asik dengan dunianya sendiri. Sam tidak menyadari bahwa sedari tadi lonceng pertanda waktu istirahat sudah habis telah lama berbunyi. Perpustakaan terletak dekat gedung administrasi lebih jauh dari gedung kelas jadi bunyi lonceng kadang terdengar kadang tidak dari sini. Dan Sam lebih tidak tahu lagi guru mata pelajaran berikutnya terkenal sangat disiplin.
“Hei..”, suara berat khas lelaki menghampiri telinga Sam. Tapi karena ia asik membaca suara itu terpental jauh dari indera pendengaranya.
“Sam..”
“Sam! ” lelaki itu lalu menghampiri Sam dan menggoyangkan bahunya.
Sam terkesiap, reflek melihat ke arah lelaki yang menggoyangkan bahunya itu. Disebut kenal tidak terlalu, karena Sam cuman mengenali wajah pemuda tersebut dan namanya, tidak lebih pasti kurang. Ingat pemuda yang dibawa oleh teman sebangkunya yang pertama kali saat Orientasi? Nah pemuda itulah yang menegur Sam.
“Er, Di..”, gagap Sam. Sam lalu berdiri dan meletekkan buku sekenanya pada rak. Ia berdiri lalu menepuk-nepuk pantatnya untuk membersihkan debu yang menempel. Perasaanya gelisah karena berdiri dekat orang yang ia tidak kenal. Tubuh Sam sedikit bergetar.
“Lo ga ada kelas?.”
Kelas. Sam terdiam. Otaknya seperti berhenti tiba-tiba. Ada sesuatu yang ganjil pada kata kelas tapi Sam tidak tahu kenapa. Sam menatap bagian antara kedua mata anak tersebut. Ia tidak berani melihat matanya. Sam terlalu takut dan kaget di panggil dan di goyang goyang secara tiba-tiba. Keringat dingin mulai mengucur didahinya.
“Sam!”, ujar Bendi sedikit berteriak.
“Eh iya-iya. Kelas.. kelas..” Sam menggaruk kepalanya
Seketika kepalanya seperti ditabrak segerombolan gajah. Mata Sam melebar mulutnya mengangan. Garukan dikepalanya berubah menjadi tamparan di dahi. Sam bergegas pergi melewati Bendi tanpa mengucapkan sepatah kata. Bahkan berterima kasih saja tidak.
Sam berlari sekuat tenga bergegas kembali ke kelasnya, Sam baru sadar bahwa pelajaran sudah dimulai sedari tadi. Pintu kelas terkunci, Sam lantas mengetuknya dengan pelan sambil mengatur napasnya. Tidak ada jawaban, Sam lalu mengetuk pintunya lagi, namun lebih kencang. Sesosok wanita paruh baya keluar sambil membawa buku yang digulung, wajahnya tampak tak bersahabat. Sam tahu bahwa ini bukan pertanda baik.
“Kamu dari mana?.”
“Dari perpustakaan bu,” ujar Sam sambil menunduk takut.
“Kamu tahu sudah setengah jam sejak jam istirahat berakhir?. Silakan kembali ke perpustakaan, saya tidak menerima orang terlambat.” Wanita paruh baya itu kembali masuk ke kelas dan membanting pintu. Sam terlonjak kaget.
Sam menunduk terpaku selama beberapa menit. Ia lalu membiarkan tungkainya mengambil keputusan akan melangkah kemana. Sam berjalan sambil tertunduk lesu. Tidak pernah di dalam benaknya ia menjadi siswa pertama di kelasnya yang melanggar peraturan. Belum pernah dalam dirinya ia melanggar peraturan apalagi sampai meninggalkan pelajaran seperti ini. Apa kata ayahnya kalau ia tahu Sam bolos masuk kelas. Ia mungkin kadang tidak peduli dengan apa yang terjadi tapi kalau hal yang terjadi itu menyangkut Ayahnya, Sam berubah jadi melankolis.
Tak terasa tungkai Sam sudah membawanya sampai di kantin belakang sekolah. Ia mendudukkan pantatnya di salah satu kursi warung. Karena sudah dekat waktu pulang, kantin tersebut sudah ditinggalkan penunggunya. Masih terletak mangkok-mangkok bekas istirahat siang tadi.
Sam menyingkirkan mangkok yang ada di depanya. Tangan Sam terlipat diatas meja sebagai bantal lalu membenamkan kepalanya untuk beristirahat. Sesekali Sam membenturkan kepalanya sebagai ungkapan kesal. Sekarang yang harus ia lakukan adalah duduk sampai lonceng pulang meraung dan menunggu semua orang hilang dari sekolah sehingga ia tidak perlu memperlihatkan wajah malunya di depan semua orang terutama teman sekelasnya.
“Bolos?.” Seseorang pemuda mengambil posisi duduk di samping Sam, menjulurkan kakinya sambil melipat tangan di dada. Pemuda itu menoleh ke arah Sam yang masih membenamkan kepalanya di tangan.
Sam mengumpat pelan dalam hati. Ia sedang tidak ada rasa untuk menjawab atau berkeluh kesah. Apalagi bertemu orang setelah kejadian memalukan yang baru saja terjadi. Sam tetap bertahan pada posisinya berharap orang itu mengiranya sudah mati jadi tidak ada upaya apapun untuk membuatnya terjaga.
“Kalau orang nanya tuh dijawab, seenggaknya kasih isyarat juga gapapa.”
Sam mengangkat wajahnya dan mulai berdiri, mengambil ancang ancang untuk pergi. Pikiranya sudah sangat kacau dan tidak ingin ditambah lagi dengan argument-argumen yang membuatnya makin bersalah.
“Kamu ada masalah sama saya.” Pemuda itu berujar sambil memancangkan tatapan ke belakang kepala Sam. Sam merasakan kalau kepalanya seperti kena bor. Gelisah seperti kalau seseorang memperhatikan diam-diam.
“Nama kamu siapa?.” Pemuda itu memperbaiki gaya duduknya yang santai ke posisi lebih serius. Tanganya tetap terlipat di dada.
“Samudera,” ujar Sam. Sam lalu mengurungkan niatnya. Sam kembali duduk kembali di kursinya namun sekarang tampak tidak nyaman, tegang. Sam menundukkan kepalanya tidak berani menoleh ke arah sumber suara. Kali ini benak Sam tidak mengambil alih seperti biasanya. Benaknya benar-benar kosong di ambil alih oleh perasaan kecewa.
“Samudera?.”
“Panggil Sam aja.” Sam menatap tajam ujung sepatunya.
“Oh, Sam. Seharusnya sih kamu kenal saya. Masa ga inget sama panitia ospek,” ujar pemuda itu sambil tertawa ringan.
Sam mau tidak mau menolehkan kepalanya untuk melihat siapa pemuda itu. Sam sedikit bergidik ketika tahu siapa yang dari tadi duduk disampingnya.
“Err, iya masih ingat.” Masa tidak ingat sama orang itu, orang yang tiba-tiba saja memukul dan mengusap kepala Sam. Sam sudah melabeli pemuda ini sebagai dukun karena ketahuanya akan buku yang Sam simpan di dalam laci.
“Kamu dari SMP mana?.”
“Tujuh mas.”
“Tujuh?. Wah, jarang-jarang anak tujuh bisa masuk sini. Saya juga dari tujuh”
“Masa? Saya seperti belum pernah liat.” Sarkasme, favorit Sam.
“Bolos kenapa?”
“Telat masuk kelas bu Ratih gara gara kelamaan di perpus, bukan bolos.” Sam menjawab dengan ketus padahal orang yang ada disebelahnya lebih tua. Pemuda itu hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum geli melihat Sam. Sam mulai kesal melihat tingkah laku pemuda ini. Entah apa yang membuatnya melihat kejadian dan tampang Sam saat ini menggelikan.
Bel lalu berbunyi. Pemuda itu berdiri dan memegang pundak Sam.
“Saya duluan yah. Kamu tunggu aja 20 menit lagi, bu Ratih biasanya ngasih kuis dulu sebelum pulang. Jangan terlalu dibawa hati.” pemuda itu menepuk kepala Sam lalu berjalan berlalu sambil tersenyum. Sam mengeleng tampak sangat tidak percaya melihat tingkah laku senior superhero dukunnya itu tersebut
Lanjut deehh...
@StevenAnggara Lo juga introvert? dapet salam berarti dari Sam awkwka
@dafaZartin ini udah di mention, makasih udah komen ^^
@Asu12345 Ada ada tapi adegan seperti apa masih bingung >.<
@3ll0 makasiiiih komen penyemangat posting :P
@Wita yuuk dilanjutin ^^
@Adiie Otak Sam emang dibikin rumit dan belibet hehe
@Bun yaap ^^ oke dilanjutin yaa
Suasana kantin kali itu sangat hiruk pikuk. Sam yang datang belakangan karena harus menyelesaikan hukuman yang diberikan ibu Ratih akibat kebolosanya , berdiri tak tahu harus kemana. Mata Sam menjelajahi seisi kantin. Ah, ternyata di meja paling ujung terdapat beberapa meja yang kosong. Sam lalu melangkahkan kakinya menuju penjual mie ayam, memesan satu mangkok beserta minuman, lalu langsung duduk di kursi paling ujung
Setelah ditegur habis-habisan oleh bu Ratih membuat perut Sam kelaparan. Sam langsung melahap mie ayam yang ia pesan tadi dengan lahap. Sampai-sampai ia tidak tahu bahwa sedari tadi sudah ada pemuda yang ikutan nimbrung duduk di samping Sam.
“Pelan ntar keselek.”
Uhuk! Benar saja, Sam langsung tersedak. Sam terbatuk-batuk, hidungnya panas. Ia mengambil minuman yang ada di dekatnya dan langsung menegaknya sampai habis. Sam langsung ambil ancang-ancang untuk mengeluarkan kekesalanya, ia menoleh dan terdiam melihat pemuda yang tidak bermaksud mencelakainya itu. Pemuda yang menemaninya waktu ia di usir bu Ratih. Pemuda yang melindunginya waktu ospek. Pemuda yang tersenyum licik dan nakal yang membuat Sam geleng kepala.
“M..mas,” ujar Sam terbata. Ia melirik ke arah seragam pemuda itu. Namanya Nanda. Aneh pikir Sam, senior superhero dukun yang ia kenal itu harusnya bernama Nando, bukan Nanda. Ah paling juga salah cetak pikir Sam lagi. Dulu nama Samudera sempat ditulis Samudra, kesalahan klasik. Sam mengalihkan pandanganya ke wajah pemuda itu. Sam merasa ganjil.
“Ga gabung sama yang lain?.” Pemuda itu membuang muka lalu fokus ke makanan didepanya. Intonasinya datar tanpa emosi. Berbeda dengan kejadian di kantin yang lalu. Matanya juga lebih kosong seperti sedang melamun.
“Ngga mas, baru dari ruang guru.” Sam ikut-ikutan fokus dengan makanannya. Kebingungan.
“Kenapa?.” Ia mulai mengaduk-aduk makanan yang ada di depanya. Sam sedikit meringis, aneh melihat perilaku senior superhero yang tiba-tiba berubah tidak bersemangat ini.
“Di panggil ibu Ratih mas, kemarin telat masuk kelas.”
“Karena?”
Sam sedikit bingung, ujaran pemuda itu seperti ia tidak tahu bahwa Sam di usir bu Ratih. Nah, padahal kan ia yang menemani Sam waktu ia di usir. Atau bisa saja ia hanya ingin memperpanjang pembicaraan. Atau bisa saja ia ingin mengetes kejujuran Sam. Atau bisa saja ia punya ingatan seperti ikan mas. Atau bisa saja ia di utus ibu Ratih (yang ini sudah tidak masuk akal).
“Eer,, kelamaan di perpus mas.”
“Ooh.” Pemuda itu menolehkan kepalanya dan memandang Sam. Sam tiba tiba salah tingkah, ia membuang mukanya yang sedari tadi menganalisa wajah senior dukunnya itu. Pandangan Sam fokus melihat makanannya seolah ia bisa menghabiskanya dengan kekuatan pikiran. Mukanya panas, jantung Sam berdegup kencang. Padahal perasaan Sam biasa saja saat waktu pertama kali mereka bercakap.
“Itu ga dihabisin?.”
“Eh iya mas.” Untuk pertama kalinya Sam menuruti perintah orang yang belum ia kenal sama sekali. Bahkan Andi harus meminta Sam tiga kali sampai Sam baru mewujudkan perintah Sam, itupula sudah ditambah dengan umpatan. Sam langsung menghabiskan mie ayamnya namun tidak serakus tadi, nafsu makannya seperti tiba-tiba hilang.
“Saya biasanya makan disini sendirian.” “Saya duluan ya.” Pemuda itu berdiri dan meninggalkan meja Sam.
Sam hanya menatap punggung pemuda itu menjauh. Ia masih kaget dan seperti terhipnotis. Mukanya melongo heran tidak yakin tentang apa yang terjadi tadi. Jantungnya berdegup sangat kencang suhu tubuhnya bertambah. Tak tahulah kenapa. Pemuda itu seperti mengeluarkan aura yang mistis dan aneh, benar-benar aneh.
*bow