It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tora sama Zain aja deh, biar couple semua itu isi rumah.
masa gay semua seisi rumah??
bisa aja sih, tapi mereka masih SMP loh. tar dikira pedhofil :v
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara
×××°•••°°•••°×××
Side Story kemarin itu sebenarnya sekedar Prolog pergantian POV.
Thanks
Aku melihat bayangan diriku di dalam cermin. Hmm... Mataku masih sembab. Hidungku juga masih sedikit agak merah. Aku bukan sedang sakit flu. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa menangis sendirian di dalam kamar seperti sudah jadi rutinitasku sebelum beranjak tidur saja.
Ibuku biasanya cuma bisa menghela nafas panjang setiap kali melihat wajah kusutku seperti ini. Ya seperti pagi ini ketika melihat mataku sembab saat berjalan keluar kamar untuk mengambil sapu dan peralatan pel yang biasa aku letakan di pojokan parkiran motor. Beliau bukan tidak tau. Tapi Ibu sudah kehabisan kata-kata untuk menasehatiku.
Mungkin karena Ibu sudah lelah mendengar jawabanku. Seandainya merubah perasaan semudah berganti pakaian. Atau semudah ketika aku memutuskan untuk tidak menaiki kendaraan umum yang tidak ingin aku naiki ketika jurusan yang ingin kutuju mendadak berubah. Aku pasti tidak nelangsa seperti ini.
"Memangnya Ibu bisa ngelupain Bapak begitu aja? Kalau bisa, Wahid pasti sudah punya Bapak baru dari dulu kan?" Begitu pertanyaan yang ku utarakan pada Ibu. Beliau hanya bisa menghela nafas panjang lagi.
"Tapi kamu itu bukan Ibu, Nak. Kalau Ibu... Ah! Ya sudahlah... Sakjane Ibu masih berat nerima keadaan kamu yang seperti ini. Kamu itu sama keras kepalanya seperti..."
"Yo seperti Ibu tho? Lha wong Wahid anak'e Ibu" aku memotong.
"Hih! Angel ancene ngomong karo kowe!" Serunya, lalu mencubit gemas kedua pipiku. Sampai aku mengaduh kesakitan. "Sarapan disek kono lho. Nek kowe semaput, Ibu seng soro!"
Aku mendengus. Menahan tawa. "Ibu itu aslinya orang Bali atau orang Jawa tho? Kok selalu paling medhok Jawa-nya tiap ngomong ke Wahid"
"Lha wong Buapakmu itu wong Jowo, Hid!"
"Enjih Biyung...!" Aku menyahut menggoda Ibu. "Pantesan aja mendung. Lha wong Ibu tumben masak isuk-isuk" godaku lagi sambil menatap kearah langit yang memang sedang mendung.
"Ealah. Cah iki lho yo! Soyo ndugal ae!!"
"Iya iya... Wahid tak maem disiiik..." Aku menyahut dan kabur, menghindari tangan-tangan liar Ibu yang ingin mencubit pipiku lagi.
Saat aku melangkah masuk ke dapur, aku segera menuju ke arah meja makan. Kubuka tudung saji, dan melihat nasi goreng di sebuah piring dan telur mata sapi dibagian atasnya. Tanganku meraih toples kaca kecil di sebelah piring. Lalu kutaburi abon ayam buatan Ibu.
Ini memang menu kesukaanku sejak kecil. Walaupun aku malas makan, dan sedang benar-benar tidak bernafsu makan. Kalau sudah melihat nasi goreng buatan Ibu yang ditaburi abon ayam buatan Ibu, sepersekian detik kemudian aku pasti langsung ngiler.
Jangan heran saja kalau melihat stok abon ayam di meja makan. Karena dari dulu aku tidak akan tahan godaan ketika mencium aromanya. Tapi harus abon ayam buatan Ibu. Aku tidak pernah tergoda dengan abon-abon lain. Selain abon, aku juga sangat suka dengan ayam suwir buatan Ibu. Apalagi kalau ada sayur bening. Uh! Aku pasti sanggup menghabiskan semuanya.
"Pelan-pelan Hid..." Ibu berujar lalu meletakkan teh manis hangat di dekat piring.
"Wenak'e Bu..." Aku menyahut dengan mulut penuh. Ibu tersenyum simpul dan membelai kepalaku. Langsung saja kugeser letak kursiku dan mendekati Ibu.
Aku dan Ibu memang selalu dekat. Mungkin karena Ibu selalu memanjakanku. Kalau bukan Ibu, siapa lagi yang akan memanjakanku?
Sebenarnya aku punya dua orang Kakak laki-laki. Bukan karena jarak usia kami yang terpaut jauh, yang membuat kami tidak akrab. Tapi karena mereka ikut dengan Ayah kandung mereka. Aku sampai lupa kapan terakhir bertemu dengan mereka.
Memang tidak banyak yang tau mengenai hal ini kecuali saudara dan kerabat dekat kami saja. Dulu Ibu menikah dengan Ayah tiriku itu karena di jodohkan oleh orang tua Ibu. Sayangnya saat itu, Ibu sudah punya pacar. Dan mau tak mau mereka berpisah.
Tapi pernikahan dengan suami pertama Ibu tidak berjalan mulus. Dua tahun setelah memiliki anak keduanya, Ibu bertemu dengan mantan pacarnya lagi. Hingga membuat Ibu harus bercerai dengan Suami pertamanya itu. Selang beberapa bulan kemudian, Ibu menikah dengan sang mantan pacarnya semasa Ibu masih remaja dulu. Tidak lama, Ibu mengandung aku.
Tapi sebuah musibah tak terlupakan, membuatku harus kehilangan Bapak.
Mantan suami pertama Ibu yang masih mencintai Ibu, bertikai dengan Bapakku. Hingga membuat nyawa Bapak melayang.
Kalau kata Bibi dari Bapak, waktu itu mantan suami Ibu maunya membunuh Ibuku. Tapi Bapakku yang...
Ugh! Miris kalau mengingat kisah itu.
Beruntung, semua saudara dari Bapakku, tidak pernah membenci Ibuku. Karena kata Bibi, dulu itu Ibu sudah kenal dekat dengan semua keluarga dari Bapak. Tapi ya begitulah. Karena Ibu dipaksa menikah dengan pilihan kedua orang tuanya, mau tak mau, keluarga Bapakku harus merelakannya juga.
Akan tetapi keluarga Bapakku tidak bisa menerima saat harus menerima kenyataan bahwa Bapak tewas ditangan mantan suami pertama Ibu. Pada akhirnya mantan suami Ibu mendekam di jeruji penjara. Beliau meninggal saat berada di jeruji penjara akibat stress berat. Naasnya, Bapak tiriku itu meninggal bunuh diri disana. Begitu yang aku dengar.
Beruntung, mendiang Bapakku meninggalkan sejumlah harta untuk Ibuku. Jadi kami berdua tidak mengalami kesulitan yang berarti. Terlebih, Eyang dari Bapakku sangat sayang padaku. Eyang Putri sering bilang kalau wajahku sangat mirip dengan Bapak. Saking sayangnya, aku sampai ikut dengan Eyang sedari aku masih duduk di bangku SMP. Lulus dari SMP, aku dipaksa masuk pesantren oleh Eyang Kakung.
Dilain pihak, aku dijauhkan dari pulau Bali karena untuk mengamankanku dari kedua Kakak tiriku. Mereka memang membenciku. Padahal kalau aku mau, bisa saja aku yang membenci mereka. Karena aku tidak pernah tau bagaimana suara dan rupa Bapakku sendiri. Paling, aku hanya bisa melihat dari foto-foto lawas Bapak di album foto yang disimpan Eyang. Mau bagaimana lagi. Lha wong Bapak pergi saat aku masih ada di dalam kandungan Ibu. Aku lahir tepat di tujuh hari kematian Bapak.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
...
Daku tulus berkata, ucap terima kasih
Segala pengorbanan cinta
Lara aku kehilangan dikau
Selamanya takkan melihat
Hadirmu seperti dulu, aku kehilangan
...
[ Kehilangan - Christina ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku mendengar suara bel dari pagar seusaiku mencuci piring. Aku segera melangkah keluar, karena tidak mendapat tanda-tanda kalau Ibu membukakan pagar. Mungkin Ibu sedang di kosan. Karena letak bangunan kosan Ibu dengan rumah kami berseberangan.
Aku mengernyitkan alis saat melihat orang yang berdiri di luar pagar. Dia berdiri memunggungi pagar.
"Maaf. Cari siapa ya?" Tanyaku dengan ramah. Bisa saja orang yang sedang cari kosan.
Kata Bang Zaki, pembawaanku memang ramah. Tak jarang aku mendapat pujian Bang Zaki karena kerjaanku selalu bagus dimatanya. Bahkan Kak Zulfikar juga selalu memuji kerjaku. Katanya kerjaanku selalu lebih baik darinya. Padahal menurutku, Kak Zulfikar saja yang terlalu merendah.
Orang di depan pagar masih mematung dan menatapku. Karena dia memakai helm yang kacanya gelap, aku jadi tidak bisa melihat wajahnya.
"Halo? Mau cari siapa Mas? Pak? Om?" Aku bertanya sambil melambaikan kedua tanganku didepan helm orang itu.
Saat orang itu melepas helm-nya. Membalas tatapanku. Aku langsung mengernyitkan alisku lagi. Karena wajahnya terlihat tidak asing. Terlebih orang itu, yang ternyata seorang cowok cakep, balas menatapku dengan sama-sama mengernyitkan alisnya.
"Ibu... Ada?" Tanyanya ragu. Kali ini ia menatapku dengan angkuh.
Kalau saja aku tidak mengenal Kak Taka. Aku pasti sudah ciut menghadapi keangkuhan cowok ini. Walaupun sebenarnya Kak Taka itu tipe periang, tapi dia sempat sangat...sangaatttt membuatku sering ketakutan. Terlebih waktu kasus foto-foto yang dulu pernah aku posting di sosial media beberapa waktu lalu. Ugh! Angkuhnya bukan main. Tapi itu belum seberapa dibanding perlakuan yang ku dapatkan dari Kak Tiki.
Aku sampai menangis mendapati sikap Kak Tiki waktu itu. Orang lain aku masih berusaha sekuat tenaga untuk tidak takut. Tapi kalau Kak Tiki yang seperti itu, aku tidak kuat.
"Ditanya malah diem!"
Aku tersentak kaget mendengar cowok itu membentakku. "A-anu... Ibu kayaknya lagi keluar" aku sampai gelagapan.
"Kok kayaknya?"
"Ibu enggak pamit kalau mau keluar. Mari masuk dulu. Mungkin sebentar lagi Ibu sudah kembali. Mungkin Ibu lagi ke swalayan di depan" aku mempersilakan cowok itu untuk masuk. Aku membukakan pagar agar motornya bisa diparkir di dalam halaman rumah.
Setelah menyilahkan duduk, aku bergegas ke kamarku yang berada di area kosan. Aku lupa membawa ponselku tadi. Akan aku coba hubungi Ibu saja. Mudah-mudahan Ibu tidak meninggalkan ponselnya dirumah.
Aku melangkah tergesa-gesa menuju ke rumah. Saat melangkah masuk ke halaman, aku tidak melihat cowok itu lagi. Tapi aku melihat motor milik Ibu terparkir di samping motor cowok angkuh itu. Pantas saja panggilanku tidak di tanggapi. Mungkin Ibu sudah tau kalau aku menghubunginya karena ada tamu.
Suasana tegang terasa diantara Ibu dan cowok itu. Ada apa ini?, tanyaku membatin. Akhirnya aku berdeham untuk memecah kesunyian. Dan duduk disebelah Ibu.
"Jadi ini... Anak Ibu dari..."
"Iya. Bagaimana kabar Kakakmu?"
Aku memandang bergantian kearah Ibu dan cowok itu. Tidak mengerti maksud dari ucapan mereka.
"Kabar Ibu kayaknya baik saja"
"Begitulah..." Ibu menyahut santai.
"Kenapa Ibu tidak pernah menemui kami?"
"Memangnya sejak kapan Ibu diperbolehkan menemui kalian?"
"Waktu Bli Arya nikah, Ibu juga tidak datang"
"Hah! Kayak Ibu boleh masuk saja. Ibu sudah dicegat saat mau memarkir motor. Untungnya Ibu pakai motor. Coba kalau bawa truk. Bisa bingung Ibu mutar balik"
"Jadi Ibu memang tidak sayang dengan kami?"
"Pertanyaan konyol! Lalu buat apa Ibu sampai jauh-jauh kesana, hanya untuk diusir dengan tidak hormat?"
"Tapi Ibu..."
"Kalau Ibu sayang dengan kami, kenapa Ibu tidak menerabas masuk saja?"
"Memangnya Ibu bisa berbuat apa kalau semua Pamanmu yang sebesar badak itu mencegat dan mencegah Ibu masuk? Teriak-teriak diluar dan mempermalukan Kakakmu?"
"Itu lebih baik. Dari pada tidak ada usaha sama sekali"
"Tidak ada usaha sama sekali? Sedangkan segala cara sudah Ibu tempuh. Tapi tidak satupun yang menemui titik terang? Kenapa bukan kalian saja yang kemari menemui Ibu? Jadi kamu jauh-jauh datang kemari untuk cari masalah baru?"
Belum pernah aku melihat Ibu seperti ini. Tidak banyak yang bisa kuperbuat selain memeluk Ibu. Berusaha menenangkannya.
"Ya enggak lah Bu! Akhza kesini karena kangen sama Ibu!"
"Kangenmu setelah sekian lama begini?"
"Karena baru sekarang Akhza bisa bebas Bu..."
Ah! Akhza dan Arya. Jadi dia adalah Kakak tiriku. Pantas saja wajahnya tidak asing. Terakhir kali kami bertemu saat aku masih duduk di bangku kelas satu SMP. Dan karena ulahnya, aku sampai diajak Eyang dan menetap disana.
"Wa-Wahid ngambil minum dulu ya Bu...?"
"Gak usah... Kamu disini aja" Bli Akhza mencegahku.
"T-tapi..."
"Kamu disini aja Hid. Temani Ibu" Ibu juga mencegahku.
"Akhza enggak akan ngulang kejadian dulu Bu... Akhza kemari juga mau minta maaf..." Bli Akhza menatapku, tapi aku hanya bisa menunduk. Mencoba untuk tidak membalas tatapannya.
"Kamu mau minta maaf, atau mau mengancam Wahid lagi?"
Bisa kudengar Bli Akhza menghela nafas. Kemudian aku bisa melihat dari kakinya, kalau ia berdiri lalu menghampiriku.
"Maafin aku ya Hid... walaupun itu sudah lama, aku tau aku yang salah..." Bli Akhza duduk bersimpuh di hadapanku dan Ibu. "Bu... Akhza serius kangen sama Ibu..."
"Ibu juga..."
Dengan berlinang air mata, Ibu memeluk Bli Akhza. Begitupun sebaliknya. Dan setelah memeluk Ibu, Bli Akhza memelukku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku menutup pintu kamarku perlahan. Kemudian menguncinya. Setelah melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu yang ada di belakang cermin, aku menaruh jaket dan tas selempangku keatas meja. Aku tidak mau membangunkan Bli Akhza yang sepertinya sudah tidur dikasur.
Sejak kedatangannya pagi tadi, ia lebih memilih tinggal bersamaku di kamar ini. Katanya biar bisa dekat denganku.
"Kok sudah pulang?" Bli Akhza bertanya saat aku membuka pintu kamar mandi. Aku hanya mengangguk sambil memunggunginya. Cepat-cepat aku melangkah masuk kedalam kamar mandi dan menguncinya. Kunyalakan kran air. Kubiarkan air di bak mandi luber.
Dengan tubuh gemetar, kulepas satu persatu pakaianku. Setelah menggantungnya di gantungan pakaian yang ada di dinding, aku segera mengguyur kepalaku dengan air.
Tapi pertahananku jebol juga. Aku mulai terisak sambil terus mengguyur air di kepalaku. Sambil berharap Bli Akhza tidak mendengar suara isakanku yang semakin menjadi.
"Hid? Wahid? Kamu kenapa?"
Ah! Bagaimana mungkin dia bisa mendengar? Apa mungkin suaraku terdengar sampai keluar?
Sebenarnya aku sudah lelah seperti ini. Terus-menerus merasa sakit di dalam dadaku. Tapi kali ini rasanya sakit bukan main.
Bagaimana bisa aku bisa terus bertahan sampai sekarang? Bagaimana aku harus menghadapi kenyataan ini?
Ternyata selama ini Kak Tiki... Dengan Bang Zaki?! Bukankah mereka itu masih saudara? Aku tidak pernah menyangka rasanya sesakit ini! Kupikir aku akan baik-baik saja kalau mengetahui dengan siapa Kak Tiki menjalin hubungan. Dengan siapa Kak Tiki menyandarkan hatinya. Aku pikir aku akan terus kuat bertahan melihatnya bahagia seperti itu.
Kupikir hari itu, saat ia sakit karena kehujanan aku bisa mendapatkan dan memenangkan hatinya. Ternyata aku salah besar! Aku terlalu bodoh!
"Hid? Kamu kenapa??"
Tak kepedulikan gedoran pintu. Tapi aku tidak punya tenaga untuk menghentikannya.
Selama ini aku sudah jatuh terperosok kedalam jurang. Dan bantuan yang kuberikan padanya hari itu ternyata ibarat kata ia membuatku benar-benar terperosok semakin dalam. Keyakinan untuk meraihnya seketika kandas!
Kubanting gayung yang kupakai kearah bak mandi. Sementara kutangkupkan kedua tanganku menutupi kedua mataku.
Aku menjerit. Aku berteriak sekuat tenaga.
Aku menoleh saat kudapati pintu kamar mandi di dobrak Bli Akhza.
"Jangan kesini! Tolong jangan kesini!!" Pintaku memelas.
Aku jatuh terduduk dan menyandarkan tubuh telanjangku ke dinding kamar mandi. Kupeluk lututku. Kubenamkan wajahku diantara lutut.
"Aku mohon... Jangan kesini..." Aku memelas pada Bli Akhza agar tidak mendekatiku. Aku tidak mau ia melihat keadaanku yang seperti ini.
Kenapa harus ada dia disaat seperti ini?
"Bli jangan kesini Bli... Aku mohon... Uuhhhkk...!"
"Kamu kenapa Hid?" Dengan raut wajah cemas ia bersimpuh dihadapanku.
"Uuhhkkk... Gak papa Bli... Uukkhhh... A.. aahhh..."
Aku tak mampu. Tidak sanggup meneruskan ucapanku. Aku hanya bisa menengadahkan wajahku, dengan memejamkan kedua mataku. Membiarkan air mataku mengucur dengan deras. Seiring dengan tangisanku.
Rasanya sakit. Dan sakit ini rasanya bukan main. Membuat dadaku terasa panas. Membuatku sesak.
Kenapa? Kenapa harus seperti ini? Kenapa aku tidak bisa memenangkan hatinya?
Kenyataan ini sangat pahit. Lebih pahit dan lebih sakit dari yang pernah kubayangkan...
Bli Akhza meraih kepalaku. Mencengkram wajahku. "Kamu kenapa? Kamu sakit?" Ia bertanya dan menyeka air mataku dengan jarinya. Aku mengangguk pelan.
"Iya... Sakit... Disini... Sakit banget... Uuukkhhh..." Jawabku terbata-bata sambil memukul dadaku dengan tangan yang terkepal. "Aahh... Uuukkhhh... Sakiiitttt.... banget...."
"Kita ke dokter ya?"
Aku menggeleng pelan mendengar ajakannya.
"Uuukkhhh... Uuukkhhh... Ba... Bapakk... Uuukkhhh... Uuhhhh...."
Bapak... Hanya itu yang terbersit di dalam benakku.
Hari ini tepat hari ulang tahunku. Dan kado yang kuterima tahun ini rasanya membuatku sangat tersiksa.
Dan disetiap sedihku, aku hanya akan teringat Bapakku. Ingin sekali aku menjumpai dan bertanya. Untuk apa aku ada. Kalau aku hanya hidup dan terus menerus tersiksa di dalam batinku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Mungkin hanya Tuhan
Yang tahu segalanya
Apa yang ku inginkan
Di saat-saat ini...
Kau takkan percaya
Kau selalu di hati
Haruskah ku menangis
Untuk mengatakan yang sesungguhnya...
Kaulah segalanya untukku
Kaulah curahan hati ini
Tak mungkinku melupakan mu
Tiada lagi yang ku harap
Hanya kau seorang
[ Kaulah Segalanya - Ruth Sahanaya ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Sudah tenang sekarang?" Bli Akhza meraih gelas berisi teh manis hangat dari tanganku. Aku mengangguk pelan.
Aku sekarang sedang duduk bersandar diatas kasur. Tadi Bli Akhza membantuku mengenakan pakaian. Aku hanya duduk termangu. Menatap kedua kakiku. Memperhatikan celana pendek yang kupakai.
Ini celana pendek yang dulu dibelikan Kak Tiki untukku saat awal kami kenal dulu. Bahkan kaos yang aku pakai sekarang pun, adalah pemberiannya. Aku selalu mempelakukan pemberian Kak Tiki selayaknya harta paling berharga yang pernah kudapat.
"By the way..." Bli Akhza sudah duduk lagi disisiku. Aku menggeser posisi dudukku dan menyandarkan kepalaku di dinding. "Mungkin moment-nya lagi enggak pas. Tapi... Happy Birthday!" Ia meletakkan sebuah kado kecil diatas pahaku.
"Ibu tadi bilang, kalau hari ini... Mmmm..." Bli Akhza meraih dan melihat ke layar ponselnya. "Sekarang pas deh jam nya. Hari ini bener ulang tahunmu kan?"
"Makasih..." Suaraku terdengar serak. Sebisa mungkin aku tersenyum. Tapi aku tidak kuasa untuk menahan air mata yang menggenang di pelupuk mataku.
Kuseka air mataku menggunakan punggung tanganku. Kemudian Bli Akhza membantuku membukakan kado kecil pemberiannya.
"Aku gak tau kamu bakal suka atau enggak... Tapi..."
"Makasih Bli... Bagus kok..." Ucapku sungguh-sungguh. Kuraih arloji pemberian Bli Akhza. Dan setelah menyeka air mataku yang masih menetes. Kali ini karena aku terharu.
Disaat seperti ini, sepertinya Bapak mengutus salah satu malaikat untuk membuatku menyicipi sedikit kebahagiaan.
Malaikat? Padahal dulu aku selalu menganggap Bli Akhza adalah seorang iblis. Karena ia dulu pernah... Ah! Sudahlah! Itu kan karena kami masih anak-anak.
Bukan anak-anak juga sebenarnya. Waktu itu dia sudah remaja. Dan aku baru saja merasakan yang namanya akil baligh.
"Kamu... Enggak berubah ya"
"Hm?" Aku memberikan isyarat bahwa aku tidak paham dengan maksud ucapannya.
"Dulu... Kamu juga nangis gara-gara aku. Lalu kamu manggil... 'Bapak'..." Lanjutnya ragu. Mungkin ia berhati-hati untuk berucap seperti itu. "Padahal gara-gara Bapakku, kamu jadi enggak punya Bapak"
"Bli kesini, karena mau ngambil Ibu?" Tanyaku. Sebenarnya aku ingin menggodanya saja.
Bli Akhza menghela nafas. "Tadinya begitu. Tapi melihat kamu kayak tadi... Aku enggak akan tega. Sudah Bapakku bikin kamu enggak punya Bapak. Masa aku bisa tega ngambil Ibu kamu juga? Manusia macam apa aku ini kalau sampai tega berbuat begitu ke kamu?"
"Tapi Ibu-ku juga Ibu-nya Bli Akhza" jawabku. "Dia Ibu kita..."
"Ngomong-ngomong... Kamu tadi nangis karena takut aku ngambil Ibu... Kita?"
"Ambil aja... Biar lengkap sudah..."
"Tenang aja.... Aku enggak akan ngambil Ibu kemana-mana. Seharusnya sudah sejak dulu aku yang kemari" Bli Akhza menggenggam kedua tanganku.
"Gak papa kok... Lagian aku gak mau bikin Ibu tersiksa batin gara-gara aku..." Ucapanku membuat Bli Akhza terperangah. "Biar berkurang satu beban Ibu" aku melanjutkan.
"Ni orang susah banget dikasih tau! Aku enggak..."
"Iya iya... aku bercanda kok Bli..." Aku tersenyum. Paling tidak aku berusaha untuk tersenyum meskipun rasanya susah. Aku yakin senyumanku akan terlihat tidak ikhlas dimata Bli Akhza.
Aku senang dia berpikir seperti itu. Walaupun faktanya jauh sekali dari yang ia pikirkan. Aku tidak akan mengatakan alasanku menangis seperti tadi. Kasihan Ibu.
Ku ubah posisiku menjadi berbaring. Bli Akhza gantian duduk bersandar di sebelahku. Saat aku akan memeluk guling, Bli Akhza meraih dan menyingkirkannya dariku.
"Kamu tidur begini aja" ia membalikkan badanku agar menghadap kearahnya. Ditariknya tanganku agar memeluk kedua pahanya.
Aduh! Kenapa pula wajahku tepat berada di depan selangkangannya.
"Mmm... Anu... Bisa gak posisinya di ubah?" Tanyaku. Aku memundurkan badan. "Bli Akhza tiduran aja" pintaku.
Tanpa menjawab, ia langsung merebahkan tubuhnya. Kami tidur miring saling berhadapan. Ia lalu mengarahkan tanganku agar memeluk pinggangnya.
Aku bergeser agak ke bawah. Kali ini wajahku tepat berada dihadapan dadanya. Ia mengenakan kaos milik Kak Tiki yang ditinggalkan disini saat ia sakit beberapa hari lalu. Aku membayangkan diriku memeluk Kak Tiki.
Meskipun rasanya jauh berbeda. Karena badan Kak Tiki lebih besar dan lebih berisi. Sementara Bli Akhza sedikit lebih ramping. Walaupun, masih lebih besar dibandingkan dengan badanku. Saat aku menghirup aroma tubuhnya pun, terasa sangat berbeda.
Tentu saja berbeda. Orangnya pun juga beda. Tapi terima kasih pada Bli Akhza. Aku jadi bisa menghayalkan diriku seperti sedang memeluk Kak Tiki.
Dan perbedaan yang paling terasa adalah, saat Bli Akhza balas memelukku erat. Ditambah belaian lembut jemarinya di punggungku.
Ah... Andaikan aku merasakan ini saat bersama Kak Tiki. Alangkah...
Hanya hitungan detik aku langsung terlelap. Dan sudah berada di alam mimpi. Dimana saat ini, aku berdiri berhadapan dengan sosok Bapak. Ia tersenyum saat berjalan kearahku. Ia memelukku erat. Hingga membuatku menangis penuh haru.
"Pak... Jangan pergi... Kalau pergi, Wahid ikut ya?" Bisikku saat memeluk sosok Bapak.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
kalo boleh, senggol tombol "Like"-nya ya
tora sepertinya gay juga...
wahid sedih banget hidupnya...dia diapain aja sama kakaknya selain diancam?