It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
°•¤ The Stars (Act 16) ¤•°
"Ayolah Bar... Please... Elu anterin gue aja deh..." paksa Rivaz lagi.
Aku merespon dengan kesal. Aku memang tidak pernah punya masalah dengan orang-orang di rumah Bang Zaki. Kecuali dengan satu motherfucker itu! Bayu! Entah kenapa, hari ini aku malas sekali untuk datang kesana.
Setelah peristiwa foto yang di posting Wahid tanpa seijin Tiki, aku enggan sekali datang kesana. Bukan karena aku tidak bersimpati dengan Tiki, tapi mendengar cerita versi Wahid, aku jadi enggan kesana.
Wahid bilang kalau dia memang langsung jatuh hati kepada Tiki sejak pertama kali berkenalan. Makanya dia tidak menolak tawaran Tiki untuk bekerja di Warung Makan milik mendiang Bang Toya. Selain aku tidak mendapatkan klarifikasi dari Tiki, karena dia lebih banyak diam. Juga dia terkesan membiarkan kehebohan itu terjadi begitu saja. Karena tidak mungkin ada asap tanpa api. Makanya aku berusaha melihat dari jauh saja perkembangan berita itu.
Aku tidak membela Wahid. Tapi aku juga tidak lantas membenci Tiki karena sikapnya yang mendiamkan Wahid. Bocah itu memiliki bakat aktor, dan bisa membaca situasi. Actingnya yang seolah dekat dengan Wahid di hadapan customer di warung, membuatku merasa muak.
Akan tetapi, saat masalah Wahid dengan Tiki terselesaikan dengan penolakan terang-terangan Tiki di forum itu, aku cuma ikut bersyukur saja. Ternyata dia tidak sebodoh dan senaif yang aku kira.
Dengan cerdas dia membuat video klarifikasi yang ciamik. Penyajiannya pun sangat classy. Dan membuatku terkagum-kagum padanya.
Tapi saat peristiwa dia mengamuk dengan cara menghajar Zulfikar. Aku geram sekali pada bocah itu. Aku ada disana. Aku ikut membantu menjauhkan Tiki dari jangkauan Zulfikar, tapi tetap saja. Aku merasa takut saat melihat api amarah di dalam matanya.
Haa~aaahh... Mereka memang masih saudara. Walaupun tidak sedarah. Tapi tetap saja... Mata itu mengingatkanku pada Bayu.
Dan seharian ini, segala hal yang kulakukan, selalu membuatku teringat Bayu.
Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya? Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku melihat wajahnya, mendengar suaranya?
Sepertinya masih kemarin, saat terakhir kali kami ribut. Karena dia ingin menyudahi hubungan kami begitu saja, di saat aku teramat sangat mencintainya. Seperti masih kemarin saat aku memohon padanya agar tidak meninggalkanku.
Dan apa yang ku dapatkan sekarang? Karena aku bodoh. Karena aku ceroboh. Aku terinfeksi...
"Bar... Malah bengong..." kecupan Rivaz di pipiku membuatku tersadar dari lamunanku.
Mengapa...?
Mengapa saat sudah ada seseorang yang mencintaiku seperti ini, aku tidak bisa membalas dengan rasa yang sama?
Rivaz bukanlah Bayu. Secara fisik dia jauh melebihi Bayu. Rivaz jauh lebih tampan. Rivaz juga jauh lebih sabar. Rivaz tidak pernah marah atau berlaku kasar padaku.
"Kalau masih bengong juga... Hmmmm... Gue mainin ini pake mulut gue deh" tangan Rivaz menurunkan boxer yang ku pakai.
"Elu udah gila Vaz?!" secepat yang ku bisa aku langsung bangkit dari dudukku dan menghindari Rivaz. Kunaikan lagi boxerku.
Rivaz hanya tersenyum melihat tingkahku. Dia tidak marah. Termasuk saat dia tidak pernah kuijinkan menjamahku. Selama hampir dua bulan ini, aku memang hanya akan memuaskan hasratnya saja. Aku tidak pernah mengijinkannya menjamahku.
Aku tidak mau mengulang kebodohanku, seperti yang aku lakukan pada Alit.
'Jangan pendam sendiri penderitaan lu Bar. Bagi juga ke gue' ujar Rivaz, beberapa hari setelah malam dia mengutarakan perasaannya padaku di rumah Bang Zaki. 'Gue rela terinfeksi juga. Supaya kita sepenanggungan.'
Tapi aku menamparnya dengan keras sebagai jawaban.
Aku memang belum memberinya kepastian mengenai hubungan kami. Tapi aku bukan orang gila yang mau merusak hidup orang yang mencintaiku! Aku bukan Bayu yang tega mencampakan orang yang mencintainya!
"Gue emang tergila-gila ama elu, Bar..." jawabnya sambil tersenyum.
Aku melangkah mendekatinya. Kubelai wajahnya yang tampan. Lalu aku duduk bersimpuh dilantai. Mataku lekat memandang wajahnya. Menatap jauh ke dalam matanya.
Yang kulihat adalah... hanya ada aku disana.
Wajah Rivaz mendekat. Satu kecupan ringan mendarat di dahiku. "Mandi dulu sana! Sikat gigi!" Rivaz berujar dengan gemas.
Aku urungkan diriku untuk beranjak ke kamar mandi. Karena mataku menangkap gundukan di bagian celana panjangnya.
"Oke gue mandi. Trus gue temenin ke rumah Bang Zaki... Dengan satu syarat..." kataku.
"Hmm?? Apa?" tanya Rivaz dan memandangiku dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
"Buka celana lu Vaz..." ujarku sambil menenggelamkan wajahku di selangkangan Rivaz. Kugesekan pipiku pada benda keras di bagian depan selangkangannya.
Meskipun Rivaz sempat terlonjak karena kaget. Tapi ia tak kuasa menolak, dan membiarkan jemariku menarik turun resleting celananya.
Dengan pipi bersemu merah. Juga sambil menggigit bibir bawahnya, Rivaz memandangi aktifitasku.
"Rebahan aja Vaz... Biar enak..." kataku memberi usul.
"Lebih enak sambil ngeliat..." ujarnya dengan suara bergetar.
"Dasar!"
"Ahh!! D-dasar... a-apa, Bar?" Rivaz menyahut. Tangannya membelai rambutku. Sesekali meremas, saat lidahku berputar-putar di area frenulumnya.
"Pervert!!" ujarku.
Kutarik turun celana panjang Rivaz. Aku tersenyum saat melihat Rivaz hanya menggunakan jock strap. Itu pun atas permintaanku.
Lebih tepat disebut perintah.
Kuangkat kedua kakinya hingga membuat punggungnya terjatuh di atas kasur.
"Gue gak mau di liatin kalo gue lagi bekerja disini! Tapi gue mau ngedengerin suara nyanyian lu!"
Dan Rivaz pun hanya bisa pasrah dan menuruti mauku. Kubalik tubuhnya. Kuminta ia menungging di pinggiran kasur. Dan seperti biasanya, aku tau Rivaz akan tergila-gila menikmati aktifitas lidah dan jemariku, yang menjamah semua area sensitif miliknya di bagian depan dan belakang tubuhnya.
Kamarku terlalu kedap suara. Tidak akan ada suara apapun yang akan terdengar dari luar. Dan aku akan sangat menikmati nyanyian merdu yang terus tersembur tanpa henti dari bibir ranum milik Rivaz.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Apakah empat tahun itu terlalu sebentar? Lalu mengapa setelah semua yang kujalani sejak terakhir kali bertatap muka dengannya, begitu banyak perubahan yang kualami. Sementara setelah empat tahun, aku tidak melihat adanya perubahan pada dirinya.
Dia masih tetap sama. Senyum yang sama. Tangan yang erat saat berjabat. Suara yang sama. Model rambut yang sama.
Apakah sebuah isyarat saat aku terus saja mengingat namanya sejak pagi tadi?
Apakah doaku setelah sekian waktu yang terlewati telah di kabulkan? Aku hanya bisa melihat wajahnya. Senyumnya. Mendengar suaranya. Namun aku tidak bisa menyentuhnya.
"Bang..."
Aku menoleh, dan mendapati Zulfikar sedang menggenggam tanganku. Dari cara ia memandangiku, aku sudah tau yang akan ia katakan padaku.
Bukan kasihan yang ia pancarkan dari matanya yang masih bengkak itu. Tapi simpati teramat dalam.
Tangannya meraih pergelangan tanganku. Menahanku agar tidak beranjak dari sisinya. Dan memberi isyarat dengan gelengan pelan. Teramat sangat pelan. Hingga hanya aku yang menyadari isyarat yang Zulfikar berikan.
"Elu disini aja Ka... Biar Bang Akbar yang nganter gue ke kamar..." ujarnya seraya turun dari gazebo yang baru di bangun beberapa hari lalu di halaman belakang.
Aku memapah tubuh Zulfikar, yang meskipun tidak sekurus Wahid, tapi memang terlihat ringkih saat ini.
Zulfikar berhenti di ambang pintu. Tangannya yang bebas, meraba bagian engsel pintu yang sudah di lepas. Pintu itu memang rusak saat kejadian dua mingguan yang lalu. Saat dirinya menabrak pintu hingga terbuka dan mematahkan engsel atas dan bawah pintu.
"Liat kan Bang... Udah rusak. Dan ini gara-gara kebegoan gue..." ujarnya diiringi senyum pahit. "Elu jangan sampe ngerusakin pintu kayak gue begini Bang" lanjutnya, dan aku kembali memapahnya menuju kamar di lantai dua.
Sesampainya di dalam kamar, Zulfikar menutup pintu di belakang kami. Dan kakiku pun terasa goyah. Tubuhku terasa lunglai. Aku jatuh terduduk di lantai. Sementara tangan Zulfikar melingkar di bahuku, dan memelukku dengan erat.
Kudorong tubuhnya hingga membuatnya jatuh terjengkang.
Selain sesak di dalan dadaku yang kian menghimpit, rasanya darahku mendidih melihat tingkah dan perilaku Bayu.
Ia sama sekali tidak menganggapku ada. Jadi kedekatan kami itu dulu apa? Apa aku cuma pelarian dirinya karena pernah di campakan pacarnya? Apa aku cuma pengisi waktu luangnya saat dia tidak sedang sibuk dengan semua pekerjaan di kantornya?
Tanganku mengepal. Sampai gemetara seluruh tubuhku.
Yang bisa kulakukan cuma memukul lantai berulang kali. Mencoba melampiaskan kekesalanku!
Belaian tangan Zulfikar yang lembut di punggungku, membuat rasa sesak di dalam dadaku membuncah.
Tanpa kusadari, air yang menggenang di pelupuk mataku menetes. Jatuh satu persatu di lantai.
Aku bukan sedang menangis kan? Apakah aku belum cukup merasa terbuang selama empat tahun ini?
"Lepasin semuanya Bang... Lepasin semuanya... Jangan lu tahan lagi..."
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Motherfucker never loved me
Motherfucker never loved me
So I’ll take it back, what I deserve
‘Cause I deserve better
And you say you never need me
Yeah you say you’re gonna leave me
Well I’d like to see, you try to be
‘Cause I ain’t gonna let you go
Moving on, gotta take control
Staying strong, but it’s taking all
Can’t go back, never going back,back,back
I want you and no one else
I want you for myself
I want you, and nothing else girl
No one acting confused
I’ve got nothing to lose
I want you, and if I can’t have you
Then no one will
So when you think about me
I know you think about me
Does it scare you that, I know everything
And I won’t keep quiet
You got the key to my heart yeah
I got the key to your apartment
Would you let me in, or I’m breaking in
‘Cause I ain’t gonna let you go
Moving on, gotta take control
Staying strong, it’s taking hold
Can’t go back, never going back, back, back
I want you and no one else
I want you for myself
I want you, and nothing else girl
No one acting confused
I’ve got nothing to lose
I want you, and if I can’t have you
[ I Want You - Nick Jonas ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Udah lega Bang?" tanya Zulfikar.
Kami sekarang sedang duduk menyelonjor di beranda kamar. Kusandarkan punggungku pada pagar besi di beranda. Sementara Zulfikar menyandarkan punggungnya pada dinding.
Kami duduk berhadap-hadapan, dan tergeletak sebuah asbak di antara kaki kami.
"Uuuff... Udah lama gak ngeses, rasanya enak banget!" ujarnya penuh semangat.
Zulfikar mengajakku merokok di beranda. Langit sangat cerah siang ini. Bahkan tidak ada satu pun awan yang lewat berarak. Bahkan tidak ada angin sepoi-sepoi yang lewat.
Tidak seperti dulu.
"Bang..." Zulfikar memanggilku. Tangannya menepuk pahaku pelan.
Kuraih punggung tangannya. Kuremas perlahan. "Thanks Kar... Sorry udah bikin lu..."
"Nah! It's okay, Bang. Yang penting elu udah sedikit lega"
"Dari mana elu tau kalo gue baru ngerasa sedikit lega?"
"Karena gue tau rasanya..."
"Maksud lu?"
"Udah ada yang tau alasan Bang Ki sampe ngehajar gue, dan bikin gue babak belur kayak begini?"
Aku menggeleng. Kini aku menatap wajahnya.
Zulfikar menatapku. Tersenyum getir usai menghembuskan asap tebal dari dalam mulutnya. Kedua sudut bibirnya masih terlihat luka sobekan. Karena tadi Rivaz sengaja membuka perban yang menempel di kedua sudut bibirnya. Juga melepas perban di dahinya.
"Gue jatuh cinta... ke Bang Ki..." ucapan Zulfikar membuat tubuhku mengejang sesaat. Seolah ada aliran listrik menjalar dari ujung kakiku dan naik hingga ke ubun-ubun.
"Gue emang salah... Salah udah menyalahkan kepercayaan dan perhatian Bang Ki... ke gue selama ini. Dan gue udah egois. Gak mikirin perasaannya. Elu tau kan, dia sayang banget ama Taka?"
Aku tersenyum. "Iya. Bahkan elu selalu ngatain dia brother complex"
"Saking sayangnya, dia mertahanin gue disini. Dan ngelakuin segala cara supaya gue bisa balikan lagi ama Taka. Dan akhirnya... Taka balik lagi luar negri kan?"
"Selamat dong... Berarti elu bisa balikan lagi... Ehm... Maksud gue, elu pasti udah balikan lagi ama Taka"
"Masih proses..." sahutnya. "Setelah beberapa tahun gue berhasil move on dari Taka... Udah bisa berpaling, dan... Yah beginilah hasilnya..." ia tertawa. Tawa yang terdengar hambar.
"Tapi elu harus bersyukur... Taka enggak ninggalin elu. Dia bahkan makin berani terang-terangan nunjukin rasa sayangnya ke elu gitu"
"Apa gue perlu bantuin elu Bang? Buat ngedapetin Bang Bayu lagi..."
Aku terpana mendengar ucapan Zulfikar.
"Yang nikah kan masih bisa cerai Bang... Biarin aja bininya..."
"Hahahaha..." sekarang ganti aku yang tertawa getir. "Gak bisa... Gak bisa Kar... Tapi thanks udah nawarin tawaran bagus itu..."
"Kenapa Bang?" tanya Zulfikar. "Selama elu berusaha, elu pasti bisa..."
"Gue punya alasan kuat buat gak ngelakuin itu..."
"Apa karena Bang Bayu udah punya anak?"
Aku tercenung mendengar pertanyaan polos Zulfikar. Lalu aku terkekeh, kutundukan wajahku. Kutatap tangan Zulfikar yang tanpa kusadari, kuremas dengan kedua tanganku semakin kuat.
"Itu alasan ke sekian... Dan alasan utama gue gak mau ngerusak kebahagiaan dia sekarang, karena gue masih... Masih... dan selalu mencintai dia sepenuh hati gue..."
"Artinya dia bahagia di atas penderitaan elu dong" Zulfikar mencoba memprotes.
"Biar... Toh gue udah terlanjur terbiasa ngerasain..."
"Elu mau merana seumur hidup lu Bang? Yakin elu bakal selamanya kuat?"
Aku menggeleng pelan. "Gue yakin banget, kalo gue gak akan kuat. Tapi gue punya alasan sendiri... Cukup gue yang tau..."
"Dan gue gak boleh tau alasan mulia lu itu?"
Aku dan Zulfikar tersentak saat mendengar suara itu.
Bayu!
Entah sejak kapan dia sudah berdiri di ambang pintu. Apakah karena aku dan Zulfikar terlalu fokus, hingga tidak menyadari kedatangan Bayu?
Bayu kini berjongkok menghadap ke arah kami. Tangannya dengan cepat terulur, meraih leher Zulfikar.
"Apa Tiki belum cukup bikin elu babak belur? Punya berapa nyawa sampe berani ikut campur masalah gue?" ujarnya.
"Yu... Jangan Yu... Lepasin... Please..." aku mencoba membebaskan cengkraman tangan Bayu di leher Zulfikar.
Sempat terjadi aksi tarik menarik diantara kami bertiga. Memang masih sangat sulit meredakan amarah Bayu. Bahkan setelah waktu bergulir pun, wataknya satu ini tidak berubah.
"Ow!"
Tubuhku terpelanting, saat tinju yang Bayu layangkan ke arah Zulfikar mengenai wajahku.
"Bangsat lu Kar!"
"ELU YANG BANGSAT, YU!"
Dan tinjuku tepat mendarat di hidungnya. Membuatnya mundur selangkah, dan berhasil melepaskan cengkraman di leher Zulfikar.
"Apa belum cukup setelah semua perlakuan elu ke gue selama ini? Zulfikar cuma bocah yang masih punya hati dan mau ngebantu gue. Bukan iblis macam elu yang cuma ngumbar kebohongan!"
Aku berhasil membuat Bayu mundur beberapa langkah lagi. Dan kuhalangi Zulfikar agar tidak berada dalam jangkauan Bayu. Aku tidak mau dia mati konyol di tangan Bayu.
"Heh! Setelah lama gak ketemu, ini yang elu lakuin ke gue?" Bayu mengusap hidungnya yang meneteskan darah. Tak terlihat sedikitpun rasa sakit di wajahnya.
"Setelah lama gak ketemu, emangnya apa yang bikin elu ngerasa pantas gue hormatin?" aku kembali menyerangnya dengan jenis pertanyaan yang sama. "Gue tarik ucapan gue ke Zulfikar tadi"
"Emangnya apa yang bikin elu yakin bisa ngewujudin ucapan lu, hah?!" tantangnya.
Darahku mendidih mendengar tantangan Bayu.
"Bukannya elu masih cinta setengah mati ke gue?" tanya Bayu dengan nada mengejek. "Kenapa diem? Mati kutu? Hahaha..."
Kupejamkan mataku. Kutarik nafas dalam-dalam. Dan kuhembuskan perlahan.
"Minggir lu! Biar gue mampusin bocah tengik di belakang lu!"
"Langkahin dulu mayat gue, bangsat!"
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
We don't talk anymore
We don't talk anymore
We don't talk anymore like we used to do
We don't love anymore
What was all of it for?
Ooh we don't talk anymore like we used to do
I just heard you found the one you been looking
You been looking for
I wish I would've known that wasn't me
Cuz even after all this time I still want you
Why I can't move on
Just the way you did so easily
Don't want to know
What kind of dress you're wearing tonight
If he's holding onto you so tight
The way I did before
I overdosed
Should've known your love was a game
Now I can't get you out of my brain
Ooh it's such a shame
We don't talk anymore
We don't talk anymore
We don't talk anymore like we used to do
We don't love anymore
What was all of it for?
Ooh we don't talk anymore like we used to do
I just hope you lying next to somebody
That knows how to love you like me
Must be a good reason that you're gone
Every now and then
I think you might want me to come show up at your door
But I'm just too afraid that I'll be wrong
Don't want to know
If you're looking into her eyes
If she's holding onto you so tight
The way I did before
I overdosed
Should've known your love was a game
Now I can't get you out of my brain
Ooh it's such a shame
That we don't talk anymore (we don't, we don't)
We don't talk anymore (we don't, we don't)
We don't talk anymore like we used to do
We don't love anymore (we don't, we don't)
What was all of it for? Ooh
We don't talk anymore like we used to do
Like we used to do
Don't want to know
What kind of dress you're wearing tonight
If he's giving it to you just right
The way I did before
I overdosed
Should've known your love was a game
Now I can't get you out of my brain
Ooh it's such a shame
That we don't talk anymore (we don't, we don't)
We don't talk anymore (we don't, we don't)
We don't talk anymore like we used to do
We don't love anymore (we don't, we don't)
What was all of it for? Ooh
We don't talk anymore like we used to do
We don't talk anymore
(I don't want to know what kind of dress you're wearing tonight)
(If he's holding onto you so tight)
The way I did before
We don't talk anymore
(I overdosed)
(I should have known your love was a game)
(Now I can't get you out of my brain)
Ooh it's such a shame
We don't talk anymore
[ We Don't Talk Anymore - Charlie Puth feat. Selena Gomez ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
@gemameeen udah update.
sorry sengaja update dikit. 4jam cuma dapet segini.
thx buat umix @silverrain atas bantuan koreksinya sebelum posting
terus terang aja, ini scene terberat yang pernah aku tulis. keruan ngebikin scene komedi atau galau² baperan deh.
berat banget nulis scene orang ribut. mudah²an aja kerasa lakik banget. gak kerasa kayak banci kaleng lagi cakar²an rebutan lekongan.
Sikat ja Bar si Bayu, gue ngedukung lo sepenuh jiwa raga gue...#missyoutoya;(
mudah2an ada kejelasan biar ngeh, ya.
bang @tamagokill boleh g nyanyi nya dikit aja,, =3
Akbar cuma fokus ke Bayu. kalo aku ulang jelasin lagi kayak 3 chapter sebelumnya, nanti takut pembacanya bingung. tapi emang nanti di chapter berikutnya ada penjelasan lebih tentang anak istri Bayu dari sudut pandang Akbar.
emang si Suwek apes mulu nasibnya.