Tulisan pertama sayadi Boyzforum.
Sebenarnya, ini fanfic yang saya,tulis ulang disini dengan beberapa perubahan.
Somoga ada yang suka.
Salam,
Megane.
First Meeting
Aku bahkan sudah bisa menilaimu, padahal ini
pertemuan kita yang pertama.
Kau... dingin namun 'hangat' dalam waktu yang
bersamaan. Aku sedikit ragu untuk mendekatimu
namun tubuh ini ternyata tidak sejalan dengan
apa yang aku pikirkan. Tetap mendekatimu
meski takut dan ragu.
Namun akhirnya aku tahu namamu...
Friend?
Kita telah lama jadi 'teman' walaupun mungkin
ini hanya pendapat sepihakku. Tapi aku senang.
Setidaknya kau mau menemaniku duduk berjam-
jam di sini. Terkadang nyaris tanpa kata. Hanya
diam sambil ditemani secangkir minuman hangat
kesukaanmu.
Rasanya sekarang aku mulai mengenalmu lebih
jauh.
Hold Me
Rasa sakit memang telah biasa bagiku. Tapi,
kenapa sekarang begitu lain? Apa karena ada
kau disampingku? Aku masih merasa janggal
akan semua ini.
Saat kau mulai memelukku.
Share Your Sadness
Aku tahu kau sedang menahan butiran kesedihan
itu dari matamu dan egomu yang terlampau
besar melarangmu untuk menjatuhkan butiran
itu. Apalagi di depanku.
Sudahlah! Apa kepalamu begitu berat untuk kau
letakkan di pundakku?
Aku mohon...
Sekali saja, biarkan aku membelai rambutmu.
Promise
Wajahmu masih saja tertekuk, "apa-apaan ini!"
kau mulai sedikit berteriak. Tapi aku tetap
menyodorkan jari kelingkingku di depan
hidungmu.
"Ayolah..." kataku sambil tetap tersenyum,
tepatnya menahan tawa. Ekspresi wajahmu saat
itu sungguh menggelikan.
"Aku bukan anak kecil! Buat apa melakukan hal
konyol macam begini?" kau masih saja
menggerutu.
"Kau ini memang masih anak kecil 'kan?" Aku
berkata sambil mengacak pelan rambutmu.
"Bodoh!" kau mendengus kesal. Tapi akhirnya
mau mengaitkan kelingkingmu denganku.
Kau tidak akan pernah bisa menang jika
berhadapan denganku karena aku telah berhasil
membuatmu berjanji sekali lagi.
Distance
"Kau tetap akan pergi?" pertanyaan itu entah
sudah berapa kali aku lontarkan padamu dan kau
hanya berkata, "ya."
Aku butuh lebih banyak kata daripada 'ya'. Aku
perlu lebih banyak alasan yang bisa masuk dalam
hitungan logikaku. Alasan yang mampu
membiarkanmu pergi. Walaupun aku yakin tak
akan bisa. Percuma mencegahmu karena kau
telah bersiap untuk berlari.
Kita memang masih saling berhadapan tapi,
entah kenapa aku mulai kesulitan menghitung
jarak antara kita.
How Are You?
Bagaimana kabarmu hari ini? Apa aku sudah
melewatkan begitu banyak perubahan di dirimu?
Aku harap kau masih seperti dulu. Seperti aku
yang memutuskan untuk selalu duduk di tempat
ini. Menghabiskan waktu untuk mengenangmu.
Meski dulu, diantara kita nyaris tidak ada kata.
Tapi aku suka.
Sekarang aku merasa semua ini begitu
menyakitkan. Bukankah dulu aku sudah berhasil
membuatmu berjanji? Lalu kenapa kau tetap
pergi?
Missing You
Sudah aku putuskan. Aku akan mengejarmu.
Sejauh apapun itu. Tak perlu alasan kenapa aku
jadi begini karena kaulah alasan itu. Aku hanya
ingin bertemu denganmu. Hanya itu.
Finally, I Find You
Hari ini, dalam langkah diam-diam, Aku akhirnya
menemuimu. Tak terduga.
Aku memejamkan mata, berusaha menangkap
suara sekecil apapun yang kau buat. Namun
hanya hening...
Sepertinya kita terlalu takut untuk mengawali
kata yang akan menjadi akhir dari ini semua.
Beberapa waktu kita lewati dalam diam,
sampai...
"Kenapa?" kau akhirnya menyuarakan
pertanyaan itu juga.
"Aku hanya ingin memastikan kalau kau baik-baik
saja. Tidak lebih. Aku juga tidak akan
memaksamu untuk ikut denganku atau hal
semacam itu. Aku hanya ingin melihatmu dan
sepertinya kau bahagia."
Perkataanku mengalir dengan lancar.
Perlahan kau mendekat dan menyentuhkan
tanganmu di lenganku sambil berucap, "ya, aku
tidak apa-apa, Ichi. Aku senang kau datang." Kau
sempat tersenyum tipis sebelum melanjutkan,
"kau tahu? Banyak cerita yang selama ini aku
simpan sendiri. aku menunggu saat ini, saat kau
datang. Dan aku akan menceritakan semua,
tanpa kecuali."
"Ceritakan." Aku berujar pelan sambil membalas
sentuhan tanganmu. Tapi kau hanya menatapku
lekat-lekat. Dan akupun seolah bisa membaca
apa yang ada di matamu. Cerita yang mengalir
dalam bahasa nonverbal namun begitu mudah
untuk aku mengerti.
Detik itu juga segala asumsiku terpatahkan.
Tidak ada kata 'baik-baik saja' diantara kita.
End.
Comments
ditunggu karya lainnya.. ^^
@dafaZartin waduh, anehkah? hehehe. maklum, saya masih amatir.
@ kiki_h_n makasih, udah baca.
@ JimaeVian_Fujo iya, ini dari fanfic ffn. suka ke ffn juga?
Dan punyamu terlalu pendek untuk kategori cerpen...,(ini menurutku juga)
Hehehe ^,^
yang masih mengepulkan uap panas tanpa ada
niat untuk menghabiskan isinya yang tinggal
separuh. Pemuda itu kini mengalihkan
pandangannya pada jendela apartemen. Terlihat jelas sisa-sisa hujan beberapa waktu
lalu yang sekarang tinggal menyisakan gerimis.
Lama dirinya memandang apa yang tersaji lewat jendela mungilnya, siapa tahu
diantara lalu-lalang pejalan kaki yang terlihat, dia
menemukan rambut sosok itu
disana. Sedikit berharap tidak ada salahnya
'kan?
Hanya hembusan napas Rei yang kini
terdengar tanpa ada tambahan instrumen apapun lagi, ia menyukai ini. Kesunyian yang
terasa menenangkan sekaligus menyakitkan.
Tapi dulu, ada pemuda berisik yang selalu ada
disampingnya. Itu dulu…
Sekarang keadaannya berbeda. Mereka mungkin
hanya dipisahkan jarak yang masih dibilang
dekat, namun ada hal yang membuat keduanya
semakin menjauh. Jarak itu tidak bisa lagi
dihitung.
Lagi-lagi Rei menghela napas berat. Ia sungguh tidak menyangka Ken akan nekat
menyusulnya ke kota ini. menemuinya dengan
tiba-tiba, membuat dirinya kembali merasakan
perasaan itu.
Rindu.
.
.
.
Suara ketukan di pintu membuat Rei menghentikan acara melamunnya dan berbegas
membukakan pintu. Seketika matanya sedikit
melebar melihat siapa yang berada di balik pintu
coklat itu, "Ken?"
"Hai, Rei."
Hening sejenak sebelum
pemuda itu melanjutkan
kata-katanya dengan canggung. "Boleh aku
masuk."
"Silahkan."
Ken melangkah masuk setelah Rei menggeser sedikit tubuhnya dari pintu.
Membiarkan Ken berjalan ke arah sofa hijau di
sudut ruangan dan dengan satu isyarat, mereka
pun telah duduk berdampingan namun masih
diliputi keheningan.
"Dari mana kau tahu alamatku?"
"Itu rahasia."
Rei memutar bola matanya dengan kesal.
Ternyata setelah sekian lama, sikap orang ini
tidak berubah. Selalu bertindak semaunya.
Sedangkan Ken tersenyum melihat raut wajah
Rei yang dimatanya tampak begitu lucu.
Sudah lama dia tidak melihat ekspresi itu dari
seseorang yang begitu berarti baginya. Sekarang
pun posisi orang itu tetap sama, sampai
kapanpun tidak akan pernah berubah.
"Mau apa kau kesini, Ken?"
"Aku sudah bilang kan, memastikan kalau kau
baik-baik saja."
"Aku baik-baik saja," Tegas Rei. "Aku juga sudah menceritakan semuanya padamu
'kan? Lalu apa lagi?"
Ken terkekeh geli mendengar kalimat yang
mengalir dari bibir itu.Dia memang
sudah tahu alasan Rei pergi
meninggalkannya. Semua ini karena orang bernama Agni, sahabat kecil Rei. Mereka berdua tumbuh bersama di panti asuhan. Dan sejak saat itu, muncul ikatan antara Agni
dan Rei. Satu ikatan yang lebih dari sekedar sahabat. Namun Agni terlanjur
diadopsi oleh keluarga lain hingga mengharuskannya untuk ikut pindah keluar kota,
mengikuti keluarga barunya. Dan janji pun terikat diantara mereka. Bahwa suatu saat nanti, Agni akan menjemput Rei danmengajaknya tinggal. Semua itu mirip dongeng yang sering didengarnya sewaktu kecil.
Janji itu terpenuhi. Agni datang dan membawa
Rei pergi. Meninggalkan Ken yang susah payah mengumpulkan serpihan hatinya yang hancur.
"Begitu sambutanmu pada teman lama,Rei? Setidaknya suguhkan aku minuman."
"Mau minum apa?" tanya Rei ketus kemudian berdiri, bersiap untuk menyiapkan
minuman sebelum pemuda ini semakin berisik.
"Cappucino ."
"Tunggu sebentar."
.
.
.
Hold out my hand, touch your cheek,
if I do so my temperature will hit 40C at once,
the time both of us met, we had that sort of
feeling,
but it changed,
poison lurking in the heart, counteracting the
words were
memories like going through a filter yet though,
far and misty, I can't come across you.
Dua cangkir cappucino, sepiring kue kering dan
dua sosok pemuda yang sama-sama enggan
untuk memulai pembicaraan. Entah kenapa,
kalimat panjang yang diam-diam Ken susun
sebelum datang ke tempat ini seolah menguap
begitu saja. Menyebalkan.
"Dimana Agni?"
Ck! Sial, kenapa harus pertanyaan bodoh itu
yang ia tanyakan!
"Masih di kantornya. Kenapa?"
Ken tersenyum canggung kemudian mengeleng pelan setelah meneguk sedikit
cappuccino -nya, "tidak, hanya saja, aku tidak
mau nanti dia berpikiran macam-macam setelah
melihat aku di sini berdua saja denganmu."
"Agni bukan orang seperti itu."
Dengusan kesal terdengar dari Ken. Kenapa Rei begitu memuja orang itu? Ternyata
memang sulit untuk lepas dari perasaan yang
bernama 'cemburu'.
Ichigo tidak tahu, apa yang membuatnya
menggeser duduknya hingga 'hampir' menempel
dengan Rei dan membuat pemuda itu nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ini sungguh tidak
baik untuk jantung.
"Ikutlah denganku."
Sebuah kalimat yang mampu menggoyahkan
ketahanan seorang Rei.Padahal kemarin, orang ini berkata, 'Cuma mau
memastikan kalau kau baik-baik saja.'
Lalu sekarang? Bisa-bisanya dia berkata seperti
itu. Rei menghela napas dan berkata pelan, "kau lupa kata-katamu sendiri, Ken?
Katanya kau tidak akan memaksaku untuk ikut
denganmu, hm?"
"Aku berubah pikiran."
"Ken!" kini nada frustasi sukses terlontar dari
bibir tipis itu. "sudah kukatakan! Aku-baik-baik
saja! Aku bahagia dengan… Agni."
Ken mulai naik darah sekarang. Agni! Selalu Agni!
Dicengkramnya dagu Rei dengan keras,
tanpa menghiraukan rintih kesakitan dari
pemuda itu. Hatinya jauh lebih sakit dan Rei harus tahu itu.
"Dengar, jangan sebut namanya lagi! Aku muak!"
Susah payah Rei berusaha melepaskan
diri dari cengkraman Ken tapi tenaga pemuda itu jauh diatasnya. Dia sungguh terlihat lemah sekarang.
Dan satu hal yang tidak bisa ia pahami, sejak
kapan Kenberubah?
Mungkin rasa sakit hati memang bisa mengubah
segalanya.
Akhirnya ia hanya bisa pasrah,
membiarkan jemari itu mencengkram
dagunya keras. Rasa bersalah terhadap pemuda ini kini semakin besar ia rasakan.
"Ken?"
Suara lirih dari Rei membuat Ken tersentak. Apa yang telah dilakukannya? Dia
menyakiti Rei!
Refleks cengkraman itu berganti menjadi sebuah
pelukan erat.
"Maaf… aku tidak bermaksud…"
"Tidak apa-apa."
Satu usapan lembut di punggung membuat
Ken memejamkan matanya.
Ken kembali mengeratkan pelukannya. Ia
ternyata belum sanggup melepaskan orang ini.
Tuhan , ini terlalu berat bagi mereka
berdua.
.
.
.
"Kapan kau kembali ?"
"Kau mengusirku?"
"Jangan merajuk seperti anak kecil. Ingat umurmu."
Ken semakin menyamankan dirinya dalam
pelukannya. Entah siapa yang
memulai hingga akhirnya mereka mulai
menyingkirkan kecanggungan yang begitu
menyiksa di awal pertemuan tadi. Ken melepaskan pelukannya hanya untuk merubah posisi menjadi berbaring di pangkuan Rei.
Selang beberapa detik, elusan yang begitu
lembut langsung terasa dirambutnya.
"Kau masih saja manja." Dengus Rei tanpa menghentikan gerakan tangannya.
Ken tidak menjawab. Ia hanya ingin menikmati
sentuhan yang sudah lama tidak ia rasakan. Juga berusaha mengingat saat ini dengan baik di memori otaknya karena setelah ini, mereka
mungkin tidak akan bertemu. Mungkin…
"Dia pulang jam berapa?"
Sejenak, usapan di rambut Ken terhenti. Kali
ini batin Rei seperti dihempas kuat. Rasa
bersalah itu hadir lagi, namun kepada orang
yang berbeda, 'maafkan aku Agni.'
"Mungkin sekitar jam tujuh."
"Masih lama, ya?" perlahan seringaian
menyebalkan tercetak di wajah Ken. "sisa waktu ini harus kita manfaatkan, Rei."
Detik berikutnya, jemari Ken bergerak membawa kepala Rei untuk menunduk
dan meniadakan jarak antara mereka. Hanya sentuhan lembut sekaligus menyakitkan,
mengingat ini yang terakhir.
End.
yang masih mengepulkan uap panas tanpa ada
niat untuk menghabiskan isinya yang tinggal
separuh. Pemuda itu kini mengalihkan
pandangannya pada jendela apartemen. Terlihat jelas sisa-sisa hujan beberapa waktu
lalu yang sekarang tinggal menyisakan gerimis.
Lama dirinya memandang apa yang tersaji lewat jendela mungilnya, siapa tahu
diantara lalu-lalang pejalan kaki yang terlihat, dia
menemukan rambut sosok itu
disana. Sedikit berharap tidak ada salahnya
'kan?
Hanya hembusan napas Rei yang kini
terdengar tanpa ada tambahan instrumen apapun lagi, ia menyukai ini. Kesunyian yang
terasa menenangkan sekaligus menyakitkan.
Tapi dulu, ada pemuda berisik yang selalu ada
disampingnya. Itu dulu…
Sekarang keadaannya berbeda. Mereka mungkin
hanya dipisahkan jarak yang masih dibilang
dekat, namun ada hal yang membuat keduanya
semakin menjauh. Jarak itu tidak bisa lagi
dihitung.
Lagi-lagi Rei menghela napas berat. Ia sungguh tidak menyangka Ken akan nekat
menyusulnya ke kota ini. menemuinya dengan
tiba-tiba, membuat dirinya kembali merasakan
perasaan itu.
Rindu.
.
.
.
Suara ketukan di pintu membuat Rei menghentikan acara melamunnya dan berbegas
membukakan pintu. Seketika matanya sedikit
melebar melihat siapa yang berada di balik pintu
coklat itu, "Ken?"
"Hai, Rei."
Hening sejenak sebelum
pemuda itu melanjutkan
kata-katanya dengan canggung. "Boleh aku
masuk."
"Silahkan."
Ken melangkah masuk setelah Rei menggeser sedikit tubuhnya dari pintu.
Membiarkan Ken berjalan ke arah sofa hijau di
sudut ruangan dan dengan satu isyarat, mereka
pun telah duduk berdampingan namun masih
diliputi keheningan.
"Dari mana kau tahu alamatku?"
"Itu rahasia."
Rei memutar bola matanya dengan kesal.
Ternyata setelah sekian lama, sikap orang ini
tidak berubah. Selalu bertindak semaunya.
Sedangkan Ken tersenyum melihat raut wajah
Rei yang dimatanya tampak begitu lucu.
Sudah lama dia tidak melihat ekspresi itu dari
seseorang yang begitu berarti baginya. Sekarang
pun posisi orang itu tetap sama, sampai
kapanpun tidak akan pernah berubah.
"Mau apa kau kesini, Ken?"
"Aku sudah bilang kan, memastikan kalau kau
baik-baik saja."
"Aku baik-baik saja," Tegas Rei. "Aku juga sudah menceritakan semuanya padamu
'kan? Lalu apa lagi?"
Ken terkekeh geli mendengar kalimat yang
mengalir dari bibir itu.Dia memang
sudah tahu alasan Rei pergi
meninggalkannya. Semua ini karena orang bernama Agni, sahabat kecil Rei. Mereka berdua tumbuh bersama di panti asuhan. Dan sejak saat itu, muncul ikatan antara Agni
dan Rei. Satu ikatan yang lebih dari sekedar sahabat. Namun Agni terlanjur
diadopsi oleh keluarga lain hingga mengharuskannya untuk ikut pindah keluar kota,
mengikuti keluarga barunya. Dan janji pun terikat diantara mereka. Bahwa suatu saat nanti, Agni akan menjemput Rei danmengajaknya tinggal. Semua itu mirip dongeng yang sering didengarnya sewaktu kecil.
Janji itu terpenuhi. Agni datang dan membawa
Rei pergi. Meninggalkan Ken yang susah payah mengumpulkan serpihan hatinya yang hancur.
"Begitu sambutanmu pada teman lama,Rei? Setidaknya suguhkan aku minuman."
"Mau minum apa?" tanya Rei ketus kemudian berdiri, bersiap untuk menyiapkan
minuman sebelum pemuda ini semakin berisik.
"Cappucino ."
"Tunggu sebentar."
.
.
.
Hold out my hand, touch your cheek,
if I do so my temperature will hit 40C at once,
the time both of us met, we had that sort of
feeling,
but it changed,
poison lurking in the heart, counteracting the
words were
memories like going through a filter yet though,
far and misty, I can't come across you.
Dua cangkir cappucino, sepiring kue kering dan
dua sosok pemuda yang sama-sama enggan
untuk memulai pembicaraan. Entah kenapa,
kalimat panjang yang diam-diam Ken susun
sebelum datang ke tempat ini seolah menguap
begitu saja. Menyebalkan.
"Dimana Agni?"
Ck! Sial, kenapa harus pertanyaan bodoh itu
yang ia tanyakan!
"Masih di kantornya. Kenapa?"
Ken tersenyum canggung kemudian mengeleng pelan setelah meneguk sedikit
cappuccino -nya, "tidak, hanya saja, aku tidak
mau nanti dia berpikiran macam-macam setelah
melihat aku di sini berdua saja denganmu."
"Agni bukan orang seperti itu."
Dengusan kesal terdengar dari Ken. Kenapa Rei begitu memuja orang itu? Ternyata
memang sulit untuk lepas dari perasaan yang
bernama 'cemburu'.
Ichigo tidak tahu, apa yang membuatnya
menggeser duduknya hingga 'hampir' menempel
dengan Rei dan membuat pemuda itu nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ini sungguh tidak
baik untuk jantung.
"Ikutlah denganku."
Sebuah kalimat yang mampu menggoyahkan
ketahanan seorang Rei.Padahal kemarin, orang ini berkata, 'Cuma mau
memastikan kalau kau baik-baik saja.'
Lalu sekarang? Bisa-bisanya dia berkata seperti
itu. Rei menghela napas dan berkata pelan, "kau lupa kata-katamu sendiri, Ken?
Katanya kau tidak akan memaksaku untuk ikut
denganmu, hm?"
"Aku berubah pikiran."
"Ken!" kini nada frustasi sukses terlontar dari
bibir tipis itu. "sudah kukatakan! Aku-baik-baik
saja! Aku bahagia dengan… Agni."
Ken mulai naik darah sekarang. Agni! Selalu Agni!
Dicengkramnya dagu Rei dengan keras,
tanpa menghiraukan rintih kesakitan dari
pemuda itu. Hatinya jauh lebih sakit dan Rei harus tahu itu.
"Dengar, jangan sebut namanya lagi! Aku muak!"
Susah payah Rei berusaha melepaskan
diri dari cengkraman Ken tapi tenaga pemuda itu jauh diatasnya. Dia sungguh terlihat lemah sekarang.
Dan satu hal yang tidak bisa ia pahami, sejak
kapan Kenberubah?
Mungkin rasa sakit hati memang bisa mengubah
segalanya.
Akhirnya ia hanya bisa pasrah,
membiarkan jemari itu mencengkram
dagunya keras. Rasa bersalah terhadap pemuda ini kini semakin besar ia rasakan.
"Ken?"
Suara lirih dari Rei membuat Ken tersentak. Apa yang telah dilakukannya? Dia
menyakiti Rei!
Refleks cengkraman itu berganti menjadi sebuah
pelukan erat.
"Maaf… aku tidak bermaksud…"
"Tidak apa-apa."
Satu usapan lembut di punggung membuat
Ken memejamkan matanya.
Ken kembali mengeratkan pelukannya. Ia
ternyata belum sanggup melepaskan orang ini.
Tuhan , ini terlalu berat bagi mereka
berdua.
.
.
.
"Kapan kau kembali ?"
"Kau mengusirku?"
"Jangan merajuk seperti anak kecil. Ingat umurmu."
Ken semakin menyamankan dirinya dalam
pelukannya. Entah siapa yang
memulai hingga akhirnya mereka mulai
menyingkirkan kecanggungan yang begitu
menyiksa di awal pertemuan tadi. Ken melepaskan pelukannya hanya untuk merubah posisi menjadi berbaring di pangkuan Rei.
Selang beberapa detik, elusan yang begitu
lembut langsung terasa dirambutnya.
"Kau masih saja manja." Dengus Rei tanpa menghentikan gerakan tangannya.
Ken tidak menjawab. Ia hanya ingin menikmati
sentuhan yang sudah lama tidak ia rasakan. Juga berusaha mengingat saat ini dengan baik di memori otaknya karena setelah ini, mereka
mungkin tidak akan bertemu. Mungkin…
"Dia pulang jam berapa?"
Sejenak, usapan di rambut Ken terhenti. Kali
ini batin Rei seperti dihempas kuat. Rasa
bersalah itu hadir lagi, namun kepada orang
yang berbeda, 'maafkan aku Agni.'
"Mungkin sekitar jam tujuh."
"Masih lama, ya?" perlahan seringaian
menyebalkan tercetak di wajah Ken. "sisa waktu ini harus kita manfaatkan, Rei."
Detik berikutnya, jemari Ken bergerak membawa kepala Rei untuk menunduk
dan meniadakan jarak antara mereka. Hanya sentuhan lembut sekaligus menyakitkan,
mengingat ini yang terakhir.
End.
ini lanjutannya cerpen yang kemarin, saya posting disini dengan perubahan tentunya.
ini lanjutannya cerpen yang kemarin, saya posting disini dengan perubahan tentunya. dan ada kata-kata dengan bhs inggris, saya ambil dari lirikny BoA ft Daichi Miura, judulnya Possibility.