BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Seandainya... (Oneshoot/Tamat)

[Kak, lagi di mana?]

Aku langsung tergesa tatkala membaca pesan dari Virgi. Dia pasti sudah terlalu lama menungguku.

Aku mempercepat langkahku sambil menggerakan jemariku pada layar ponsel untuk membalas pesan dari Virgi. Tapi...

Jdugh!

"Aduh!"

Damn!

Cowok berpakaiankan jas di hadapanku ini terlihat tengah menggosok-gosok dahinya yang beberapa saat tadi bertubrukan dengan daguku. Aku cuma bisa meringis, daguku pun terasa perih.

"Maaf, ya. Kamu gak apa-apa, 'kan?" tanyaku sambil agak merendahkan wajahku, mencoba menatap mukanya. Dan dia pun menengadah...

Ya Tuhan...

"A-aku gak apa-apa. Aku juga minta maaf, tadi jalan gak lihat-lihat," responnya, kali ini sambil memijat kening.

"Be-beneran gak apa-apa?" aku meragukan jawabannya. Dan cowok manis di hadapanku ini pun tersenyum, terlihat dipaksakan.

"Kepalaku... pusing." Tuturnya.

Dikarenakan merasa bersalah, aku pun membawa Lana (cowok manis yang bertubrukan denganku tadi) menuju ke ruang unit kesehatan. Aku kasihan padanya. Ya aku akui, benturan tadi memang terasa amat menyakitkan saking kerasnya, tetapi untungnya rasa sakitku tidak seberapa. Mungkin karena Lana yang tadi menubruk daguku yang keras.

"Mendingan kamu diem di sini dulu. Kompres dahimu pake ini," Aku mengambil bongkahan es yang sudah aku hancurkan lalu aku bungkus di dalam kain itu untuk aku berikan padanya. Lana menuruti titahku, segera meletakan kain berisikan es batu itu di atas dahinya. Matanya terpejam, seakan sungguh-sungguh menikmati waktu istirahatnya.

Wajahnya... Dari mata hingga bibirnya, sungguh terlihat indah.

Tidak! Tidak! Aku tidak mungkin semudah ini jatuh pada cowok lain kan? Sedangkan Virgi,...

Ya Tuhan, Virgi!

Secepat kilat aku merogoh ponselku yang tadi aku letakan di saku kemeja. Ada dua panggilan tak terjawab dan tiga pesan. Semuanya dari Virgi.

[Kak, lagi di mana?]

[Kak Irwan?]

[Kak, kenapa telponku gak diangkat?]

Aku mengumpat tanpa suara.

"Ada apa?"

Aku menoleh, mendapati Lana menatapku heran.

"Err, ini temen sms. Nanyain aku lagi di mana. Hehe..." jawabku berbohong. Lana lalu memiringkan posisi berbaringnya tanpa melepas kompresan di dahinya.

"Kamu sedang ada keperluan kah?" tanyanya.

"Eh? Emm,"

Aku harus menjawab apa? Kalau aku jawab 'Iya', pasti Lana akan memaksaku pergi. Padahal aku masih ingin menemaninya. Bagaimana ini?

Ponselku mengerjap. Ada satu pesan masuk lagi dari Virgi...

[Kak Irwan lagi sibuk, ya? Aku udah nyampe rumah nih, jadi kakak gak perlu jemput.]

Aku mendesah lemah, kembali menatap Lana dan memberinya gelengan pelan seraya tersenyum.

Seandainya dia tak meninggalkan kesan berarti untukku, aku pasti tak akan sepeduli ini padanya.

. . .

"Jadi ini rumahmu?" tanyaku seberhentinya motorku di depan sebuah bangunan mewah nan elegan dengan satu gerbang hitam besar sebagai pembatasnya. Lana turun dari boncenganku, menganggukan kepalanya sembari coba melepas helmku yang agak membuatnya kesulitan.

"Bisa gak ngebukanya?" tanyaku dengan menahan tawa. Lana memberikan cengiran lebar. Manis.

Itu pasti berarti 'Tidak'.

Aku pun menurunkan standar motor yang membuat tubuhku condong ke kiri, di mana Lana tengah berdiri. Membantunya membuka helm, dan langsung berhasil.

"Kamu gak pernah pake helm emangnya?" aku mengernyit.

"Aku lebih sering naik mobil. Emangnya di mobil ada helm?"

"Ada. Di mobil balap kan?" Dan aku pun mendapat tonjokan pelan dari Lana.

"Mau mampir dulu? Atau langsung pulang?" tawarnya padaku.

Kenapa Lana rasanya terlihat amat sopan dan senang hati padaku. Apakah dia juga punya ketertarikan padaku?

"Sebagai balas budi, karena kamu mau mengantar aku sampai rumah dan tadi juga kamu merawat aku. Bagaimana?" tambahnya. Sepertinya dia ingin sekali aku mampir. Kemudian aku menengok jam di tanganku yang menunjukan pukul empat.

"Mungkin kapan-kapan aja," jawabku yang membuatnya memberengut lucu.

"Ya sudah. Kapan-kapan, ya! Kamu pasti dapat kelas VIP jika mampir ke sini nanti." katanya sambil menepuk-nepuk dadaku. Aku memandangnya heran, tapi segera aku berikan anggukan padanya.

Semoga saja... Itu pertanda baik.

*-*

Ponselku berdering. Di layarnya, nama 'Virgi' mengerjap lucu dengan serangkaian gambar bentuk hati di sekitarnya. Ah, dia pasti rindu padaku...

"Halo?"

"Kak Irwan...?!"

Aku terkekeh pelan mendengar suaranya yang seolah tengah merajuk.

"Ke mana aja dari kemarin?" tanyanya.

"Maaf, dek. Kakakmu ini sibuk banget,"

"Sibuk terus, ya? Kapan ada waktu buat aku?"

"Mungkin..."

Tring!

Jawabanku terjeda begitu mendengar suara pertanda ada email masuk dari laptopku.

[Besok Irwan sibuk gak? Bisa temani aku pergi? Jadi tour-guide aku di sini!]

Itu email dari Lana. Kami memang sempat bertukar email kemarin. Dia adalah pendatang baru di kotaku ini.

"Kak? Mungkin apa? Besok mau kan jalan?"

Aku baru ingat, kalau aku masih bicara dengan Virgi.

Harus bagaimana ini?

Tring!

[Pleaseee!!]

"Maaf, dek. Kakak masih sibuk. Kapan-kapan, ya?"

"Ah, kakak!"

Aku tak bisa menghindarinya. Aku jatuh cinta lagi.

Comments

  • Sesuai permintaan Lana, aku pun mendatangi rumahnya sepulangnya aku dari kampus. Dan tau apa yang membuatku bahagia? Lana sungguh hangat menyambutku, bahkan sampai memelukku saking senangnya.

    "Orang rumah lagi pada ke mana?" tanyaku yang mendapati sepi kekediamannya.

    "Mama dan Papa sedang sibuk menyiapkan semuanya. Ah, sudah. Jangan pikirkan mereka," jawab Lana agak tersipu. "Mau minum apa?" tanyanya kemudian.

    "Katanya mau jadiin aku tourguide. Masa kita minum-minum di sini?"

    "Kalau gitu, ayo pergi!" seru Lana bersemangat.

    . . .

    Aku mengajak Lana ke tempat-tempat favoritku. Dari tempat nongkrongku di berbagai daerah, warnet langganan, dan sekarang, Kami berdua berada di food court kesukaanku.

    "Mau pesen apa?" tanyaku pada Lana.

    "Apa saja. Terserah kamu, yang penting enak." katanya sambil memandang sekeliling.

    "Selamat datang, Pak Irwan," Aku kenal suara itu. "Tumben gak bareng Virgi?" tanya Romi, teman SMA-ku yang memang bekerja di sini dan hapal dengan kebiasaanku.

    "Virgi? Siapa itu?" Lana bertanya padaku. Aku mendelik tajam pada Romi. "Cewek kamu, ya?" Lana justru menggoda aku sekarang. Aku pun menggeleng cepat.

    "Virgi itu cowok. Temen dekat Irwan yang sering dia bawa ke mana-mana tuh." Romi menimpali pertanyaan Lana seenteng itu.

    Damn!

    Lana mengernyit, lalu manatapku dengan pandangan aneh. "Ah, jangan-jangan dia cowokmu, ya?" Lana memulai lagi. Tapi tak aku tanggapi dengan segera saja memesan makanan.

    Untung saja pesananku datang tak begitu lama, jadi pembicaraan mengenai Virgi tak lagi dibahas oleh Lana yang terlihat sangat penasaran.

    "Kamu tiap ke sini makan ini terus?" tanya Lana yang memulai sesi makannya. Aku yang tengah menyedot Jus pun mengangguk.

    "Enak?" dan Lana juga membalasnya dengan anggukkan.

    Makannya begitu lahap, membuat wajah dan mulutnya terlihat semakin lucu. Aku makin menyukainya.

    "Ah, mantap!" sahut Lana di tempatnya yang lalu menyeruput Jus miliknya. Dia tertawa pelan sembari menatapku, dan di sanalah aku menemukan titik kotor di sekitar mulutnya.

    "Mulutmu kotor," cetusku sambil menunjuk mulutnya. Lana sigap, mau menggunakan telapak tangan kanan kotornya untuk mengusap mulutnya, tapi tanganku langsung menahannya.

    "Biar aku aja," kemudian tanganku bergerak, mengusap kotor di mulutnya diikuti senyum yang tak lepas dari wajahku.

    Tapi tak lama, sebelum senyum itu pupus seketika dikala sudut mataku menangkap sosok Virgi berdiri tak jauh dari tempatku. Menatapku kaget, dengan satu kantong plastik yang terjinjing di tangan kirinya. Aku mengerjap, kembali menegapkan badanku, dan menolehnya, namun sosok Virgi sudah tak ada.

    Apa dia marah?

    "Aku hampir lupa!" suara seruan Lana mengejutkanku.

    "A-apa?" tanyaku tergagap.

    "Inget kan yang aku bilang di rumah barusan kalau Mama dan Papa sedang sibuk menyiapkan semuanya?" tanyanya cepat. Dan aku mengangguk.

    "Sesuai janji, aku akan memberikan kamu layanan VIP,"

    "Hmm? Maksudnya?"

    "Kamu aku undang langsung untuk menghadiri acara pertunanganku. Jadi kamu wajib datang!"

    Apa dia bilang?

    "Tunangan?" kataku memastikan.

    "Iya. Ini alamat tempatnya. Rumah Vina, kekasihku. Calon menantu Mama dan Papa," perjelas Lana sesudahnya ia menyodorkan undangan dan secarik kertas berisikan alamat rumah kekasihnya yang ia maksud.

    "Ini... beneran?" gumamku bertanya lesu.

    "Pastinya! Oh, Irwan... Kamu gak tau betapa Vina sangat merasa bersyukur saat aku menceritakan awal pertemuan kita," tuturnya. "Waktu itu pun aku jalan meleng karena sibuk ngeliat-liat kampus baru, dan aku baru selesai memproses data kepindahanku. Vina juga akan berkuliah di sana, tapi...."

    Aku tak sanggup mendengar apapun lagi darinya. Segalanya telah hancur. Hatiku dan rasaku padanya. Khilafku untuknya, dan juga kekasihku...

    Seandainya aku tau, bila seseorang sepertinya tak mungkin belum memiliki kekasih. Semua ini amat mendadak. Begitu menyakitkanku.

    . . .

    Acara berkeliling kota aku putuskan untuk tak meneruskannya, sebab aku sudah tak sanggup mendengar apapun lagi darinya. Pertunangan, ceweknya yang cantik, bahkan dengan antusiasnya Lana menunjukan foto Vina padaku. Tetapi aku hanya diam. Ketika dia berada di boncenganku menuju rumah calon tunangannya, sampai aku berkendara lagi melewati jalanan untuk pulang ke rumah.

    Hatiku perih. Aku terluka. Mengapa aku bisa jatuh cinta, dan langsung tersakiti begini?

    Setibanya di rumah, aku segera memarkirkan motorku di halaman depan. Melepas helm dan berjalan masuk menuju ke dalam. Tak aku hiraukan sambutan riang Irna, tak juga mengindahkan perkataan Ibu yang entah apa begitu aku mulai menaiki tangga menuju ke kamarku. Namun, aku baru sadar apa yang barusan Ibu katakan padaku sesaat setelah aku membuka pintu kamarku...

    Ada Virgi yang menungguku.

    Dia menoleh, tersenyum padaku lalu membangunkan tubuhnya dari atas ranjangku.

    "Baru pulang, kak. Gimana tadi acara makannya?" tanyanya tanpa tergurat rasa sedih ataupun sakit di wajahnya.

    Tidakkah ia merasa bahwa aku jahat? Atau ini memang karma untukku?

    Ya Tuhan...
  • Aku tertunduk, tidak mampu menatap tulus yang tersorot dari kedua matanya. Rasa bersalah yang beberapa hari ini aku hiraukan seolah berkumpul menjadi satu, mengembangkan kebodohanku yang telah mengkhianati lelaki sebaik dirinya.

    Dapat aku dengar langkah Virgi yang mendekatiku, tangannya menyentuh pipiku lembut, mengusapnya penuh sayang. Aku terpejam, bibirku gemetaran.

    "Kak Irwan kenapa? Ada masalah?" nada suara indah itu meremukanku.

    Aku merogoh kantong jaketku, mengeluarkan selembar undangan yang tadi Lana berikan untuk aku tunjukan pada Virgi. Dia menatapku penuh tanya.

    "Lusa nanti... temani kakak ke acara ini, ya?" tanyaku dengan suara lemah. Namun Virgi hanya mengangguk.

    Hari itu, tak ada pertanyaan lain yang terlontar dari mulutnya buatku. Virgi seolah sengaja membungkam dirinya sendiri untuk menunggu kejujuranku.

    *-*

    "Irwan!" Lana langsung memberikan aku pelukan sesaat setelah aku memasuki ruang tengah di mana acara utama akan berlangsung. Aku melirik Virgi yang menatap aku dan Lana secara bergantian. Hingga perhatianku teralihkan ketika sosok seorang gadis anggun melangkah mendekati kami.

    "Nah, Vina... Ini Irwan yang kemarin-kemarin aku ceritain," ujar Lana pada gadis itu antusias.

    Oh. Jadi ini kekasihnya, Vina.

    Vina tersenyum, mengulurkan tangannya padaku. "Vina. Makasih ya udah ngebantu dan nolong Lana beberapa hari kemarin," katanya dibarengi senyum. Aku mengangguk samar, menyambut uluran tangannya sambil balas memperkenalkan diri.

    "Selamat atas pertunangan kalian," ucapku berusaha setegar mungkin. Entah mengapa, masih ada sedikit sakit yang menggerogoti hatiku saat ini.

    "Makasih, Irwan. Dan...?" tatapan Lana beralih pada Virgi. Lelakiku itu cuma tersenyum kaku, dia memang cukup pemalu.

    "Lana, ini... Virgi," mendengarnya, ekspresi Lana yang tadinya terheran berubah ceria.

    "Oh, jadi ini ya yang namanya Virgi itu?" Lana menepuk-nepuk pundakku. "Dia manis, ya," katanya sembari mengedipkan matanya padaku.

    Aku menelan ludahku secara susah payah. Coba mencerna tindakan anehnya barusan. Virgi menunduk, wajahnya agak tersipu.

    Setelah itu kami diminta untuk menikmati pesta. Meski yang aku lakukan mati-matian hanyalah coba terlihat sewajar mungkin. Menikmati hidangan, meneguk minuman, dan bercengkrama dengan Virgi yang tentu saja berinisiatif lebih dulu tanpa serta merta mengalihkan perhatianku dari wajah bahagia Lana.

    Bagaimana bisa hatiku jatuh pada sosok indahnya yang sudah jelas dimiliki oleh orang lain?

    Dan ketika puncak acara tiba. Di mana Lana dan Vina saling bertukar cincin, disusul ciuman mesra dari Lana untuk gadis cantiknya itu. Pertahananku roboh. Aku meninggalkan ruangan itu sambil mengepalkan kedua tanganku. Begitu sakitnya dadaku, hingga rasanya ingin sekali memukulnya menggunakan sesuatu agar sakit ini lenyap selamanya.

    Aku terduduk di bangku kayu di dekat taman yang berada di halaman depan rumah Vina. Tertunduk dalam-dalam, menekuri rumput jepang yang gelap oleh temaram malam. Aku meringis, mengigit kuat-kuat bibirku sendiri.

    "Kak Irwan?"

    Mendengar namaku disebut, aku pun mendongak. Di depanku, Virgi berdiri. Pandangannya sayu, bibirnya sedikit tertekuk.

    "Kakak gak apa-apa?" tanyanya yang setelah itu berjongkok. Lagi, tangan itu bergerak mengusap lembut pipiku. Aku menatap sorot tulusnya, dan buram yang memupuk segera saja mengaburkan penglihatanku.

    "Maafin kakak, dek," lirihku dengan suara bergetar. "Kakak udah berdosa,"

    Virgi diam, namun senyumnya terkuak.

    "Kakak minta maaf karena kakak... udah mengkhianati kamu, dek," jujurku dibarengi beban yang terasa amat berat di ujung tenggorokanku tatkala selesai mengaku. Virgi memberi gelengan, dapat aku lihat kini matanya berkaca-kaca.

    "Kakak gak perlu minta maaf, kak. Adek seneng karena kakak udah mau jujur. Adek tau kakak cuma khilaf, jadi..."

    Aku sudah menariknya ke dalam pelukanku. Meramati rambutnya yang halus, meremas punggungnya, dan tersendat di bahunya.

    "Kakak cinta sama Virgi. Kakak minta maaf,"

    "Virgi tau," dia memberi aku tepukan demi tepukan pelan di punggungku. "Karena Virgi juga selalu cinta sama kak Irwan,"

    Seandainya saja aku selalu mengsyukuri ketulusannya padaku. Aku pasti tersadar sejak awal, bahwa sakit yang aku rasakan semata-mata bukan disebabkan oleh khilafku yang mencintai lelaki lain. Tetapi jauh dari dasar hatiku, aku tahu aku telah menyakiti perasaan lelakiku yang sangat aku cintai dan mencintaiku. Virgiano Kristian, kekasihku.

    Lalu sudut mataku menangkap keberadaan Lana yang tak jauh dari tempatku. Di sana, dia tersenyum. Mengangguk padaku seolah memberikan aku dukungan. Aku balas tersenyum, kemudian sosoknya berlalu.

    Aku berdehem, melerai pelukan kami dan langsung mendaratkan satu kecupan singkat di bibirnya. Virgi tertawa pelan, mengusap basah pipiku tanpa melepas pandangan matanya dariku.

    Sekarang setidaknya aku tahu, khilaf itu aku yakini tak akan menggodaku untuk kedua kalinya. Sebab mulai dari sekarang, aku akan mengunci Virgi sebagai satu-satunya pemilik hatiku.

    -END-
  • edited February 2015
    cerita ini mengajarkan kita, jangan meninggalkan org yg kita Cintai hanya untuk org yg kita sukai, krn suatu saat org yg kita sukai hisa meninggalkan kita untuk org yg di cintainya.

    Walaupun happy ending tp tetep dongkol sama irwan, pengen bnget getok dia.hehe irwan udah jahat menurut aku, dia boleh khilaf dan dia jujur atas khilafnya, yg salah dia udah bersikap seolah dia terluka bnget sma lana yg bru dia kenalnya, dan itu di tunjukin d depan Virgi, aku fikir perlu manusia berhati malaikat yg bisa baik2 aja seperti virgi..hehe
  • virgi mirip hi.. ah sudahlah.
  • HUH Irwan nyebelin X(
  • @Rika1006 Hahaha... Ini cerita mengutip lagu Seandainya (Ari Lasso) sih lel Seharusnya itu gak pernah terjadi. XDDD
    Dan sengaja si Irwan dibuat begitu. Biar gak mainstream *plak*

    @3ll0 Memang :D

    @haha5 Mirip siapa? O.o
  • @Rika1006 Hahaha... Ini cerita mengutip lagu Seandainya (Ari Lasso) sih lel Seharusnya itu gak pernah terjadi. XDDD
    Dan sengaja si Irwan dibuat begitu. Biar gak mainstream *plak*

    @3ll0 Memang :D

    @haha5 Mirip siapa? O.o
  • Klo aku jadi ts nya, aku pasti buat virgi pergi ke pelukan cowok lain yg lebih pantas dan biarkan irwan merasakan karmanya.wkwkwk#jahat =))
  • Terlalu baik ya Virgi ._.
  • kesel banget sama kelakuan Irwan, lebay parah seakan jadi orang yang paling tersakiti.

    Meski tidak benar2 selingkuh, tapi tetap saja sudah selingkuh hati.. dan itu sama menyakitkan. Beruntung virgi segitu baiknya, kalo gak pasti sudah di tinggal. Minimal dicuekin.
  • beruntung sekali irwan dapetin virgi :3
  • Irwan memang menyebalkan ... tetapi pada ahirnya sadar... Virgi yang terbaik ...
Sign In or Register to comment.