It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
woi,,,,, gue mau minta sumbangan
#lol
#ngawur
ehhh,,,, ehhh,,,
#ngerumpi
kapan kelanjutannya ya??
#kepo
sorry ya lama. Tdi cuma bisa beli 4bungkus nasi rames sama oseng tempe-udang aja. Yo, monggo ajak bang @keposeliro makan juga. Hehehe... *malah dinner sore2
Ayo dong @all, ramein lagi warung ini, jangan pada eksodus cuma gegara di-kesal
Have a tranquil evening, guys
@keposeliro wakaka mamam yuk.. loh pada kena kesal nih? aku jg kena kesal tp dr akun yg blm pernah ninggalin jejak di mari -,-
@LeoAprinata menunya okee bgt, sangat kontras dg cemilan abang tqdi siang, kerupuk udang, ckckck.
@Rifal_RMR waduh random bgt nih?? kemungkinan segera dilanjut.
@Unprince gelendotan di pohon un?? aku jg kena kesal nih. -..- sesama korban kesal (@balaka) .. di fb rame bgt dah pada curhat sana sini, terutama kak @cute_inuyasha lol
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo @zeva_21 @ardavaa @RogerAlpha @sunset @Arie_Pratama @gatotrusman @ragahwijayah_ @Polonium_210 @Hehehehe200x @addaa @JengDianFebrian @rendra123 @SteveAnggara @keposeliro @abiDoANk @RenoF @hendra_bastian @obay
Harap beritahu ya kalo ada yg nggak mau keseret lagi. Danke
Tue, May 27th, Senior Year – 01:05 p.m.
“Kamu udah dapetin buktinya, Ji-chan?” tanya Tomori seraya duduk di sebelahku. Saat ini, aku tengah berada di RSCM, menemani Tomori menyelesaikan proses pemeriksaan forensiknya.
“Nggak ada bukti fisik yang aku temuin. Tapi aku sudah kebayang sih criminogenic-nya kayak apa. Sepertinya aku bisa menjebak pelakunya untuk mengaku,” sahutku. (*Criminogenic = istilah Kriminologi; penyebab terjadinya suatu tindak kriminal)
“Kamu hebat ya bisa menebak siapa orang yang sebenarnya bertanggung-jawab atas kasus kematian Dicky,” puji Tomori.
“Tidak juga. Aku bahkan sempat terbutakan oleh emosiku. Dan ternyata, kenyataan di balik kasus ini di luar ekspektasi ya,” selaku.
“Memang seperti itulah kalau kita nggak berpikir tenang. Makanya aku cenderung diam saat aku merasa ingin marah,” sambung Tomori.
“Makasih ya, waktu itu kamu udah yadarin aku. Oh ya, apa hasil otopsinya sudah mulai terlihat? Apa sesuai dengan dugaanku?” selidikku.
“Iya, ternyata memang ada yang tidak beres dari tuntutan itu,” balas Tomori.
“Hmmm bagus deh kalau gitu,” tutupku sembari memasukkan buku catatanku ke tas.
Aku dan Tomori tidak membahas lebih jauh lagi tentang kasus Dicky. Karena sepertinya, kami sudah tahu jalan pikiran masing-masing, jadi kami tidak perlu lagi menjelaskan isi kepala kami. Tomori pun lebih banyak bercerita tentang pengalamannya di Jepang beberapa minggu yang lalu. Tomori memang ke sana bukan hanya untuk kunjungan keluarga, tetapi juga untuk urusan pekerjaan. Dan ternyata, bulan depan, ia harus kembali lagi ke Jepang untuk itu.
“Tomo, sore ini kau kosong tidak?”
Tanya seseorang yang baru saja datang menghampiri kami. Dia seorang pria. Tubuhnya tegap. Berwajah Batak. Tampan. Dan mempesona dengan jas putihnya.
“Kosong. Ada apa, Fan?” sahut Tomori cepat.
“Kau bisa temani aku?” tanya pria itu.
“Ke Perpustakaan Pusat UI Depok ya?” lanjut Tomori.
“Iya. Beberapa buku yang kucari ada di sana. Aku nebeng mobil kau ya?” pinta pria tersebut.
“Oke,” balas Tomori, “Oh ya, kenalin Fan, ini Panji, temanku. Panji, ini Erfan, juniorku di FK UI.”
Aku dan pria yang bernama Erfan itu pun bersalaman. Kami saling berbalas senyum.
“Oh ini, Panji yang mahasiswa Kriminologi kan? Yang kata kau, dia suka main di persidangan?” tanya Erfan
Tahu darimana dia? Apa Tomori sudah menceritakan tentangku padanya?
“Iya, saya Krim UI. Kok Bang Erfan bisa tahu?” selidikku.
“Siapa sih yang nggak kenal Panji. Kamu kan terkenal se-kampus UI Depok,” puji Erfan.
“Ah, Bang Erfan berlebihan. Biasa saja kok,” timpaku.
“Kalau biasa-biasa saja mah, nggak akan mungkin bikin Tomo lengket terus sama kau,” ujar Erfan.
Dengan cepat, Tomori menyikut lengan Erfan. Erfan hanya cengengesan sembari mengusap-usap lengannya.
“Oh ya, Erfan ini akan ikut satu tim denganku ke Jepang bulan depan,” tukas Tomori.
“Yup. Jadi kau jangan khawatir, Nji. Aku pasti akan jagain Tomo,” sambar Erfan.
Lagi, Tomori menyikut lengan Erfan , tapi dia langsung menghindar.
“Bang Erfan ini dokter apa ya?” tanyaku ke Erfan.
“Aku masih Koas, Nji. Kebetulan ngambil spesialis jantung,” jawabnya.
“Wah, berarti kita masih seumuran lah ya. Aku kira Bang Erfan sudah lewat middle age. Habisnya paras Abang sangat dewasa,” ujarku.
“Aduh, sangat dewasa atau sangat tua nih? Itumah kau yang wajahnya kemudaan, Nji. Jadinya ngeliat aku kayak orang tua,” balas Erfan.
“Nggak kok. Bang Erfan nggak kelihatan tua. Hanya aura dewasanya memancar,” belaku.
“Aura dewasa? Ah, kau ini bisa saja, Nji,” sahutnya. “Oh ya, gimana kaki kau, udah nggak kambuh-kambuh lagi kan?” tanyanya lagi.
Erfan juga tahu soal kakiku? Apa Tomori juga yang menceritakannya? Ya, mungkin saja.
“Udah sembuh kok. Bahkan kemarin habis jalan-jalan dari Malang,” jawabku.
“Oh baguslah, kalo gitu. Untung segera diperiksa dan diobati ya, Nji. Coba kalo kau biarin, bisa makin lebar robekan ligamen kau. Sebelum operasi, kau kan sering kesakitan kan?” ucap Erfan.
Darimana Erfan tahu sedetail ini? Apa dari Tomori? Tapi aku baru kenal Tomori juga saat-saat menjelang operasi. Apa Erfan bisa mendiagnosa riwayat penyakitku? Ah, entahlah.
“Hahaha, iya iya, untung aku cepat periksa,” aku berkomentar sewajarnya.
Aku dan Tomori pun akhirnya melaju bersama ke kampus UI Depok dan menemani Erfan ke Perpustakaan Pusat. Padahal menurutku cukup dengan mengantarkannya saja. Tapi kenapa Erfan harus sampai merepotkan Tomori dengan memintanya mencarikan bukunya ya?
“Tomo, aku sedang cari jurnal, text book, atau semacamnya tentang hubungan golongan darah atau faktor genetik lainnya dengan penyakit jantung. Kau bisa bantu aku mencarinya?” tanya Erfan ke Tomori.
“Ya, kalau tidak salah ada di rak itu, Fan. Atau coba search dulu lokasinya di Mac yang tiu” jawab Tomori sembari menunjuk ke salah satu rak kemudian beralih menunjuk ke Mac di arah lainnya.
“Kalau hubunganku dengan kau, aku cari dimana ya?” tanya Erfan lagi.
What?? Apasih maksudnya? Itu gombal atau modus ya?
“Cari dimana ya?? Aku juga nggak tahu. Hehe,” Tomori tersenyum kecut.
Bagus deh, untungnya Tomori tidak meladeni Erfan. Kenapa ya aura yang dibawanya sedikit negatif? Ah, aku ini apa sih, sok bisa baca aura.
Tomori dan Erfan pun berkutat dengan buku-buku yang mereka cari. Sedangkan aku hanya duduk menatap ke luar jendela kaca perpustakaan. Aku kembali memikirkan kasus Dicky. Ya, sepertinya hipotesisku benar. Kalau Jamal bukanlah pelakunya. Dan di antara saksi tamu, ada orang yang bertangung jawab atas kecelakaan Dicky. Aku harus tenang, dan memikirkan strategi.
***
Fri, May 30th, Senior Year – 10:05 a.m.
Hari persidangan. Tibalah Tomori memberikan kesaksian hasil pemeriksaan forensik.
“Persidangan kali ini menghadirkan dr. Tomori Araide dari FK UI sebagai saksi ahli. Silakan dokter jelaskan temuan medis apa yang didapatkan dari pemeriksaan forensik,” tutur Hakim Ketua.
“Berdasarkan fakta medis dan kondisi korban DIM, kami tidak menemukan jejak sodomi seperti yang dituduhkan kepada terdakwa Jamal,” ungkap Tomori.
Seketika, beberapa orang dalam ruang sidang menjadi sangat kaget. Awalnya aku juga kaget mengetahui kalo sebenarnya kasus ini bukan kasus kekerasan seksual. Aku berusaha mencari bukti siapa yang menyodomi Dicky tapi tidak kutemukan. Hingga akhirnya aku membuat hipotesis lain. Dan ternyata benar, hasil forensik membuktikan kalau kematian Dicky memang bukan karena kasus sodomi. Tapi, tetap saja ada yang bertanggung jawab atas kematiannya.
Sedikit kegaduhan pun terjadi akibat beberapa pengunjung yang kasak kusuk di dalam sidang tertutup ini. Seolah mereka tidak percaya dengan pernyataan Tomori itu.
“Bisa tolong jelaskan?” tanya Jaksa Penuntut setelah kegaduhan mulai mereda.
“Jika korban benar mengalami kekerasan seksual, kami seharusnya menemukan adanya bekas memar, luka sobekan, luka lecet, bekas luka gigit, rusaknya jaringan parut, meregangnya otot pada anus, dan tanda-tanda kekerasan lainnya pada tubuh korban. Namun dari hasil visum dan uji laboratorium di RSCM, kami tidak menemukan tanda-tanda tersebut. Padahal jika kekerasan terakhir dilakukan seminggu yang lalu, tanda-tanda kekerasan tersebut seharusnya masih ada. Karena butuh dua minggu bagi anus untuk pulih dari kekerasan seksual yang berulangkali dilakukan apalagi oleh banyak pelaku,” terang Tomori.
“Lalu bagaimana dengan keluhan sakit yang dialami korban? Bukankah itu akibat kekerasan seksual?” selidik Jaksa Penuntut.
“Anus korban memang terkena infeksi. Dari hasil anuscopi, kami menemukan adanya abrasi dan nanah yang diakibatkan peradangan pada lapisan rektum korban. Kami mendiagnosis bahwa korban mengalami proktitis yang menyebabkan korban merasa sakit di bagian anusnya. Gejala ini terjadi akibat infeksi protozoa seperti giardia atau amuba.”
Fakta mengejutkan yang diungkap oleh Tomori itu dengan cepat merubah situasi persidangan. Setelah beberapa diskusi, dewan hakim akhirnya memutuskan bahwa Jamal tidak bersalah. Tuntutan yang diberikan padanya atas kasus sodomi tidak terbukti.
Adapun tentang kematian korban, tidak termasuk ke dalam tuntutan karena tergolong kecelakaan yang didasarkan pada asumsi bahwa terdakwa mengancam korban. Namun, karena tuduhan ancaman itu tidak terbukti, maka itu artinya ada penyebab lain dari kecelakaan korban di luar keterlibatan Jamal.
Sidang pun ditutup dan Jamal akhirnya dibebaskan. Meski demikian, keluarga korban tetap meminta polisi untuk menyelidiki kasus kematian Dicky karena merasa ada kejanggalan dalam kecelakaan itu.
Aku dan Tomori ikut bergabung dengan keluarga korban yang terlihat tidak puas dengan hasil persidangan. Sebelumnya Tomori sudah memperkenalkanku dengan salah seorang angota Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) yang ikut menangani kasus ini sebagai tim inspektorat. Keluarga korban kekeuh menganggap kecelakaan korban adalah kasus kriminal dan mereka tetap menuduh Jamal sebagai pelakunya. Meski demikian, keluarga korban juga menyiratkan polisi untuk mencari kemungkinan pelaku lainnya.
Polisi pun memulai investigasi ke anggota keluarga korban yang malah mendapat penolakan.
“Kenapa malah menanyai kami? Seharusnya kalian menangkap pelakunya!” protes Didit, kakak sulung korban, saat polisi meminta keterangan dari anggota keluarga korban.
“Ini adalah salah satu prosedur untuk mencari pelakunya. Kami harus mengumpulkan informasi seteliti mungkin,” ujar polisi tersebut.
“Kenapa malah menyelidiki keluarga kami? Kau mencurigai kami?” tekan Didit.
“Penyelidikan kriminal membutuhkan semua hal semacam ini untuk memecahkan kasus. Bahkan kami tetap harus memeriksa anggota keluarga korban untuk memastikan,” terang polisi mantap.
Didit berdecak kesal lalu melengos meninggalkan polisi tersebut. Diam-diam, aku dan Tomori ikut terlibat dalam investigasi. Kami ikut menanyai anggota keluarga korban.
Aku memperhatikan suasana investigasi yang berlangsung paralel. Aku mendapati kenyataan yang sesuai dengan dugaanku. Bahwa ada seseorang yang membuat ekspresi tidak wajar, ekspresi tenang yang seolah dibuat untuk menutupi rasa khawatirnya.
Aku melihatnya dari mikroekspresinya. Aku pernah belajar bahwa wajah manusia dapat membuat 50.000 ekspresi yang berbeda yang dapat disederhanakan ke dalam 7 kombinasi berbeda: Happiness, Sadness, Anger, Disgust, Fear, Surprise, and Contempt. Cara ini akan efektif karena aku sudah mengamati orang itu tanpa berinteraksi langsung, berbeda jika kugunakan dengan orang yang baru kutemui atau orang yang sudah sangat lama dekat denganku, karena batas antara jujur dan dusta sering tidak kentara.
Aku menemukan ekspresi sedih dan takut bersamaan dari orang itu. Sedih karena kehilangan korban. Takut karena dia merasa bersalah. Aku pun mendekati orang itu untuk mengkonfirmasi dugaanku.
Aku berdiri dekat dengan tempatnya duduk. Aku mengamati wajahnya dengan seksama. Bagian atas kelopak mata dan bagian luar ujung alisnya terlihat menurun, sehingga matanya tampak kurang fokus, dia pasti sedang sedih. Tapi sejurus kemudian, ekspesinya berubah takut. Bibirnya ditarik horizontal ke arah telinga. Sedang kantung matanya menegang dan kelopak mata atasnya terangkat. Alisnya juga terangkat dan terdorong bersamaan.
Namun menyadari kehadiranku, orang itu segera mengubah ekspresinya menjadi sedih kembali, menyiratkan kalau dia merasa sedih karena penyebab kematian korban belum terungkap. Aku pun duduk di sebelahnya dan mulai melancarkan skenarioku. Orang itu tampak tidak nyaman.
Orang itu adalah Darman. Orang yang menurut dugaanku bertanggung jawab atas kecelakaan Dicky, adiknya sendiri.
“Kemana Anda saat kejadian kecelakaan yang menimpa adik anda terjadi?” tanyaku ke Darman.
“Hah? Lo siapa sih?” sahut Darman berusaha santai.
“Saya anggota tim investigasi. Anda bisa tanyakan ke polisi yang ada di sana,” jawabku sembari menunjuk polisi yang sudah Tomori kenalkan kepadaku.
“Serius? Lo keliatan masih seumuran sama gw,” ujar Darman.
“Apa masalah? Jadi apa yang Anda lakukan saat itu?” balasku.
“Bukannya gw udah jelasin di persidangan kalo gw lagi siaran waktu itu? Kalo nggak percaya, lo bisa lihat nih buktinya,” terang Darman sembari memberikanku sebuah foto. Darman pun melanjutkan, “Foto itu bisa jadi bukti kalo gw lagi liputan outdoor. Itu siaran langsung. Lo bisa lihat kan tanggal di foto itu.”
Aku mengamati foto yang diberikan Darman kepadaku. Memang tanggalnya tepat dengan saat kejadian kecelakaan Dicky. Foto itu menunjukkan gambar Darman yang sedang menjadi pembawa berita di tempat berlatar pegunungan. Tapi, ada yang aneh dari foto itu. Ya, aku tahu trik ini!
“Gunung apa ini?” tanyaku ke Darman.
“Gunung Parakan Salak,” sahut Darman cepat.
“Jadi Anda benar sedang magang di stasiun TV?” selidikku.
“Ya, tentu. Lo bisa cek sendiri,” tukas Darman.
“Oh ya. Kalau tidak salah dengar, yang membuat keterangan kalau Dicky itu digilir oleh teman-teman Jamal itu Anda kan?” sambungku.
“Iya. Kenapa emangnya? Gw ngeliat sendiri soalnya temen-temen Jamal pada dateng ke rumah,” jawab Darman.
“Tapi bukannya Anda sedang liputan di luar waktu itu?” timpaku.
Darman tampak terkejut. Matanya melebar dan alisnya terangkat, bibirnya juga sedikit terbuka, menunjukkan kalo dia terkejut dengan jebakanku itu. Tapi dengan cepat, Darman berusaha santai dan mengelak, “Eh, maksud gw, gw dikasih tahu sendiri sama Dicky kalo rumah lagi rame didatengin teman-teman Jamal.”
“Wah, kakak sesibuk Anda masih bisa terima telepon dari adik ya...”
“Hey, gw meski sibuk tetep peduli sama dia,” bela Darman yang kemudian mendekap tubuhnya dengan kedua tangannya, tanda kalau dia defensif dan sedang berusaha menutupi sesuatu.
“Oh gitu ya. Ngomong-ngomong, Anda tahu nggak kenapa Jamal nggak jawab saat ditanya apa yang dia dan teman-temannya lakukan di rumah Anda?”
“Karena apa memangnya?”
“Karena Jamal berusaha melindungi aib Anda. Jamal dan temannya lagi rame-rame nonton video porno yang sering Anda kasih diam-diam ke dia. Tapi orang tua Anda nggak akan suka kalau tahu Anda mengoleksi video porno kan? Nah, Jamal nggak mau mengungkap hal itu karena khawatir Anda dimarahi oleh ortu Anda lagi.”
“......” Darman hanya diam. Sekarang dia tampak gelisah. Dia memainkan jari jemarinya di atas ujung sikut tangannya. Tanda kalau dia merasa tidak sabar untuk meninggalkan pembicaraan denganku. Tapi dia tahu, kalau dia pergi, dia justru akan semakin dicurigai.
“Dan saya tahu kenapa Anda sering ngasih video porno ke Jamal. Anda suka kan sama dia? Dan dengan ngasih rangsangan begitu, Anda berharap bisa bercinta dengannya?”
“Hah? Darimana lo tau?”
“Cuma nebak. Jadi benar ya?”
“......”
“Anda cemburu kan karena Jamal lebih perhatian sama Dicky?”
“......”
“Anda jadi kesal dan memarahi adek Anda yang justru membuatnya ketakutan dan akhirnya kecelakaan?”
“......”
“Anda juga kesal kan dengan Jamal? Makanya Anda jebak dia sebagai pelakunya. Makanya Anda bilang kalo dia dan temannya menggilir adek Anda.”
“......”
“Anda nggak tahu ya kalo kebanyakan kasus pedofil itu nggak mungkin dilakukan oleh banyak orang? Biasanya anak-anak tertarik karena diiming-imingi sesuatu oleh pelakunya. Dan si anak nggak akan mau kembali lagi ke tempat kejadian kalau dia sudah pernah diperlakukan seperti itu. Jadi aneh bukan saat ada keterangan bahwa si anak tetap pulang ke rumah padahal dia sudah sampai digilir banyak orang seperti itu?”
“......”
“Dan juga aneh bukan ada orang yang bersikeras membuktikan kalau Jamal adalah penjahatnya?”
“Gw nggak ada hubungannya. Dicky kan memang kecelakaan. Dia nggak kabur karena gw marahin. Gw kan nggak ada di rumah waktu itu.”
“Oh ya?”
“Iya. Gw kan punya buktinya.”
“Foto ini?”
“Iya, itu siaran langsung loh. Jadi mana mungkin gw bohong. Lo bisa cek ke stasiun TV tempat gw magang.”
“Atau stasiun TV-nya yang akan bohong? Karena setahu saya jam segini di Parakan Salak sedang turun hujan. Tapi di foto ini malah cerah banget.”
“Apa iya hujan? Emangnya lo disana?”
“Kenapa Anda jadi ragu? Apa karena Anda nggak benar-benar liputan di sana?”
“.......”
“Liputan ini memang seharusnya siaran langsung. Tapi karena nggak memungkinkan, liputan dibuat indoor dan direkam jauh-jauh hari sebelum jadwal tayang. Dan saat jadwal tayang tiba, rekaman baru diputar dan dibuat seolah siaran langsung. Cerobohnya, Anda malah menjadikan siaran ini sebagai alibi.”
“Gw bener-bener liputan outdoor kok.”
“Ini indoor. Anda pasti tahu Green Screen kan?”
“......”
“Green screen sering dipake buat memanipulasi background obyek utama. Dengan layar hijau ini, orang bisa diletakkan di lokasi manapun tanpa harus ada di sana saat pengambilan gambar. Dengan cara menghilangkan latar yang berwarna hijau tersebut dan menggantinya dengan gambar lain lewat software di komputer, maka liputan yang seolah dilakukan di tempat sebenarnya bisa dimunculkan.”
“.......”
“Anda tahu ada dua kesalahan besar saat Anda pakai foto ini sebagai alibi?”
“.......”
“Pertama, Anda menggunakan kaos dalam warna hijau yang masih terlihat sedikit di area leher. Warna kaos hijau ini otomatis ikut terganti dengan background Gunung Salak. Makanya di sekitar leher Anda justru terlihat transparan. Harusnya Anda tahu kalau Anda nggak bisa memakai pakaian berunsur warna hijau kalau ingin menggunakan green screen. Jadi, fotomu ini sangat jelas diambil dari siaran tidak langsung.”
“.......”
“Kedua, umumnya orang-orang nggak akan mampu memberikan barang bukti untuk memperkuat alibi secepat ini. Tapi begitu saya tanya, Anda sudah menunjukkannya. Seolah Anda sudah mempersiapkan semuanya dari awal. Aneh bukan?”
“.......”
Darman hanya terdiam. Dia menunduk meremas pahanya. Saya tahu kalau dia sedang mempertimbangkan keputusan. Antara mengaku atau mencari alasan baru.
“Benar! Semua yang lo bilang benar! Tapi gw nggak bermaksud nyelakain Dicky,” gumam Darman akhirnya.
Aku hanya terdiam mendengarkan ucapan Darman.
“Gw juga sedih kehilangan adek gw itu. Gw memang sering iri sama dia, karena semua orang perhatian sama dia. Semua orang lebih sayang sama dia. Padahal sebelum dia lahir, gw lah anak bungsu yang nikmatin semua kasih sayang itu. Tapi semuanya berubah setelah dia lahir.”
“......” Aku masih terdiam.
“Bahkan ortu gw sampe mukul gw gara-gara gw ketahuan nyimpen video porno. Bukan karena gw belum cukup umur, tapi karena mereka takut gw ngasih pengaruh buruk ke adek gw itu.”
“......”
“Dan yang paling bikin gw kesel, perhatian Jamal, orang yang gw sukain diam-diam, pun direbut Dicky. Kenapa sih semua orang lebih sayang sama dia?!?”
Darman berteriak keras yang membuat beberapa orang mendatanginya.
Rasanya cukup. Aku tidak perlu lagi menekan Darman. Aku pun bersiap meninggalkannya sebelum orang-orang di sekitar kami semakin dekat. Aku pun berbisik kepadanya pelan, “Semangat, Bro. As for the secret, believe me, your secret’s safe with me.”
Darman lalu terdiam. Dia meremas kedua tangannya. Diam-diam, aku pun pergi meninggalkan Darman lalu bergabung dengan Tomori. Tomori tersenyum dan mengajakku pulang.
“Pulang yuk,” ajak Tomori.
“Ke Masjid dulu ya. Aku mau sholat jum’at,” sahutku.
Tomori mengangguk lalu mengajakku berjalan ke parkiran mobil.
“Masuk,” kata Tomori mempersilakanku ketika kami sampai di area parkirnya.
Aku pun masuk lalu duduk ke dalam mobil, dan kami melesat ke Masjid terdekat.
“Jadi gimana, Ji-chan?” tanya Tomori.
“Soal Darman? Iya, dia akhirnya ngaku. Tapi walau gimanapun, kematian Dicky nggak serta merta karena kesalahan dia. Bisa dibilang murni kecelakaan kan? Karena Darman juga nggak bermaksud mengusir adeknya itu. Sekalipun mau diusut, tindakan Darman itu termasuk misdemeanor, hukumannya nggak akan berat,” jelasku. (*Misdemeanor/ misdemeanors = istilah dalam Kriminologi yang merujuk pada tindak kriminal yang hukumannya kurang dari satu tahun penjara)
“Kamu hebat ya, Ji-chan. Kalau begini aku makin suka,” ujar Tomori yang langsung aku tanggapi dengan alis yang aku angkat. Tomori terlihat kikuk lalu tersenyum lebar dan tertawa sembari membukakan pintu BMW-nya.
“Arigato, Mori-kun,” gumamku.
***
Tue, June 3rd, Senior Year – 03:45 p.m.
Dreeeet... Dreeeet....
Sebuah panggilan masuk dari Tomori. Aku langsung mengangkatnya.
“Halo, Ji-chan. Kamu sudah siap?” tanya Tomori di ujung telepon.
“Lagi siap-siap sih. Berangkatnya jam lima kan dari sini?”
“Iya, Ji. Tapi kalo kamu udah siap, nanti aku bisa ke tempatmu duluan, kita bisa cari makan dulu.”
“Oh oke. Kalo itu aku udah siap kok.”
“Yudah, tunggu ya.”
Tuuuuuut..
Aku meletakkan ponselku ke meja lalu duduk di depan laptopku. Aku memutar beberapa video sembari menunggu Tomori datang menjemputku. Aku hendak mengantar Tomori berangkat ke Bandara Soetta jam lima ini. Sebulan ke depan, dia akan tinggal di Jepang. Ada dua urusan kerja di sana: pertama, dia tergabung dalam tim penelitian forensik untuk mengembangkan metode baru yang lebih mutakhir; kedua, dia diminta menjadi mentor dalam sebuah Summit dokter-dokter muda se-Asia. Nah, urusan yang kedua ini membuatnya harus berangkat dengan Erfan, karena Erfan menjadi peserta juga dalam summit tersebut.
Tok tok tok...
Pintu kamarku diketuk. Aku langsung membukanya. Ternyata Iril. Tumben nih orang pake ngetuk-ngetuk kamar kalau masuk.
“Nji, lagi ngapain?” tanyanya.
“Lagi nonton video, Ril,” sahutku seraya duduk kembali di depan laptop.
“Video apaan, Nji?” sambung Iril.
“TEDx, Ril,” jawabku singkat. (*TEDx = sebuah program talkshow inspiratif dengan moto utama ‘ideas worth spreading’ –banyak video TEDx yang dapat ditemukan di youtube)
“Oooh...” gumam Iril.
“Betewe, ada apa nih, Ril?”
“Gw lagi butuh inspirasi nih, Nji.”
“Inspirasi buat apa, Ril?”
“Buat nge-tweet.”
“Ya elah, Ril. Mau ngetweet aja ribet. Tinggal tulis aja kali, apa yang lagi lo pikirin.”
“Sayangnya gw lagi nggak bisa mikir, Nji. Hehe. Soalnya gw mau yang bagus. Yang quotable. Biar banyak yang retweet. Huhu.”
“Cari aja quotes sembarang, Ril. Kalo bagus juga ntar banyak yang retweet.”
“Nah, makanya itu, Nji. Gw lagi nyari. Terus bingung. Lo ada rekomendasi nggak?”
“Hmmm... apa ya? Ini gw lagi nonton TEDx-nya Sarah Kay sih. Banyak tuh yang bisa di-quote dari dia.”
“Sarah Kay siapa, Nji?”
“Dia spoken poet dari US, Ril. Puisinya bagus-bagus. Barusan yang gw tonton judulnya ‘If I should have a daughter’ yang dia pake buat opening speech-nya. Terus dia nutup speech-nya sama puisi lagi, judulnya ‘Hiroshima’.”
“Hiroshima? Dia penggemar Jepang-jepangan kayak lo juga, Nji?”
“Dia memang keturunan Jepang, Ril. Nyokapnya asli Jepang. Bokapnya American. Kalo di puisi yang ini, line yang gw suka itu yang ‘There’s nothing more beautiful than the way ocean refused to stop kissing the shoreline’. Keren kan? Kalo lo lagi nyari yang kek gimana emangnya?”
“Yang bertema love gitu sih, Nji.”
“Hmmm yang love ya? Coba liat video yang ini deh. Judulnya ‘When Love Arrives’. Sarah Kay duet baca puisi sama temen kuliahnya, Phil Kaye. Mereka serasi banget, Ril.”
“Oh, yang itu... Gw kayaknya udah pernah nonton deh. Cuma gw nggak tau siapa nama mereka. Itu yang depannya...”
Iril menggumam mengingat-ingat bait depan puisi When Love Arrives. Dengan cepat aku menyahut, “I knew exactly what love looked like, in seventh grade,” yang ternyata bersamaan dengan Iril yang juga hafal baris tersebut. Aku terdiam.
“Even though I hadn’t met love yet, if love, had wondered in to my homeroom, I would have recognized you at first glance,” lanjut Iril yang ternyata tahu banget sama bait puisi itu.
“Nah, itu lo tahu, Ril. Tapi kenapa kata ‘him’ lo ganti jadi ‘you’?” tanyaku mengomentari Iril yang mengubah kalimat yang seharusnya ‘I would have recognized him at first glance’ menjadi ‘I would have recognized you at first glance’.
“Emang kenapa? ‘him’ yang gw maksud kan lo, Nji. Jadi gapapa dong kalo langsung gw ganti jadi ‘recognized you’...”
“Ah, sial! Huft!”
“Hahaha. Tapi btw, iya deh, Nji. Gw setuju sama lo kalo Sarah-Phil itu kelihatan serasi banget. Mereka saudaraan atau malah pacaran sih, Nji?”
“Nggak dua-duanya, Ril. Tapi kalo lo tau, mereka itu memang jodoh banget. Nih ya. Sarah dan Phil ini sama-sama keturunan Japan-American Jew. Their mom is Japanesse and their dad is Jewish. Bukan kombinasi yang umum, so that’s their first weird coincidence. Tapi mereka nggak ada hubungan darah sama sekali dan belum kenal satu sama lain sampai mereka masuk di univ yang sama. Padahal keluarga besar mereka beberapa kali pesta BBQ bareng dan foto bareng lo, tapi nggak tauk kalo mereka co-existed.”
“Really? Terus ada coincidence apa lagi, Nji?”
“Mereka dulu satu Junior High, tapi beda jam sekolah, Sarah masuk pagi, Phil masuk siang; karena mirip, sampai-sampai konselor di sekolah mereka ngira kalo mereka sepupuan. Mereka beberapa kali ada di tempat dan event yang sama, tapi mereka belum pernah ketemu. Baru kenal pas jadi maba, pas disuruh Freshmen Performance, dan mereka berada di Backstage yang sama, karena mereka mau nampilin performance yang sama, yaitu Spoken Word Poetry.” (*Spoken Word Poetry: puisi yang disampaikan secara lisan dan spontan)
“Wih hidup mereka spinning around each other kayak gitu, tapi mereka baru ketemu pas kuliah, Nji?”
“Yup, bener banget, Ril. Sarah lahir dan besar di New York dan Phil di Kalifornia. Both cities are opposite to each other right? Mereka hampir selalu bertemu tapi ujung-ujungnya cuma papasan. Ya, sampai akhirnya mereka kenalan pas jadi maba di univ yang sama. Dan yang lebih epik lagi, mereka berdua punya nama belakang yang sama, Sarah Kay dan Phil Kaye. Bahkan Sarah punya adek cowok namanya Phil. Dan Phil punya adek cewek namanya Sarah. Dan you know what, adek mereka berdua umurnya juga sama. Kurang jodoh apa coba?”
“Jodoh banget itu mah. Tapi kenapa mereka gak pacaran aja ya, Nji?”
“Karena mereka udah saling mengenal satu sama lain, Ril. Bagi mereka mungkin pacaran adalah proses mengenal, tapi mereka udah gak perlu itu lagi. Bahkan mereka seolah bisa ngebaca pikiran satu sama lain yang ngebuat mereka gak mau pacaran, karena isi kepala mereka bakal jadi mudah ditebak. Apalagi mereka gak mau sayang-sayangan dengan orang yang punya nama yang sama dengan adek mereka. Tapi meski kayak gitu, mereka janji akan saling jaga satu sama lain.”
“Wih, so sweet banget ya, Nji. Mereka kayak kita nggak sih? Klik banget. As if we’re meant to be together. Like Mario and Luigi. Like Watson and Sherlock Holmes. Like Pikachu and Charizad?”
“Ya, bisa lah kalo lo anggep kek gitu, Ril. I don’t mind it.”
“But still, gw tetep pengen ngerasain pacaran sama lo sih, Nji. Meski kita udah saling jaga satu sama lain. Tapi seru aja kayaknya kalo punya pacar yang manis banget kayak lo. Hahahay.”
“Hahaha, lo mah gombal mulu! Sohib tukang gombal lu, Ril!”
“Aih, serius gw, Nji.”
“Tauk ah. Pasti ujung-ujungnya becanda. Mana sini katanya mau nyari quotes buat twitter lo, Ril?”
“Oh iya. Di yang ‘When Love Arrives’ itu ada line yang bagus nggak?”
“Yang ini aja coba, Ril.”
“Yang mana, Nji? Tolong bacain dong.”
“Love vanished like an amateur magician. Everyone could see the trapdoor but me.”
“Hmmm.. Bagus sih, Nji. Tapi kayaknya bakal gw modif dulu deh.”
“Wuuh terserah lo dah. Asal jangan aneh-aneh dan tiba-tiba mention gw ya?”
“Nggak akan lah, Nji. Ntar bisa-bisa gw kelepasan nge-twit ‘I love you’ lagi kalo mention akun lo. Hahaha.”
“Dammit! Mulai lagi nih.”
“Hehe. Eh, Nji. Lo sore ini ada acara gak? Kita maen yuk. Udah lama nih kita gak hang out bareng. Mumpung gw lagi di kosan nih.”
“Yah, gw udah ada janji, Ril. Sorry banget ya.”
“Janji apaan, Nji?”
“Gw mau nemenin Tomori ke bandara. Dia mau ke Jepang, Ril.”
“Yah, dia lagi, dia lagi. Mau berapa lama emangnya dia di Jepang?”
“Sebulanan lebih kayaknya, Ril.”
“Lama juga ya, Nji. Wah, kalo gitu sebulan ke depan gw bisa bebas berduaan sama lo dong, Nji. Hahaha.”
“Lah buat apa coba berduaan sama lo?”
“Ya, buat apa-apaan, Nji. Huhu.”
“Huh, gaje lu, Ril!”
“Yudah deh. Gw mau ke kamar dulu, Nji. Gak enak gangguin lo yang mau ketemuan sama si Jepang.”
“Aih, jangan gitu lah. Sini aja, Ril. Dia datengnya masih lama kayaknya. Gw gabut nih, gatau apa yang mau gw kerjain.”
“Yah, sorry, Nji. Gw nggak gabut soalnya. Ada yang mau gw kerjain.”
“Apaan? Sok sibuk lu! Cuma ngetweet aja kan?”
“Beres ngetweet, gw mau skripsian, Nji. Sekdil kan lu! Hahaha.”
“Hahaha sial. Udah jangan ngomongin skripshit depan gw. Bikin gw ngiri, Ril.”
“Hehe, iya, iya. Tapi lo kudu dateng ya ke sidang akhir gw nanti. Awas kalo nggak!”
“Siap, brayy.”
“Gw pegang kata-kata lo, Nji!”
“Aih lebay lu! Kayak drama kolosal aja.”
“Hahaha, yudah ya, Nji.”
“Yudah. Sip sip.”
Iril pun menghilang dari kamarku. Padahal diam-diam aku masih kangen mengobrol dengannya. Kenapa sih akhir-akhir ini dia sibuk banget. Pake acara nginep di luar lagi. Kontras sekali denganku yang sekarang ini banyak kosongnya. Huft!
Aku pun merebahkan punggungku di lantai kamar. Aku tiba-tiba terpikirkan tentang sesuatu. Tentang perasaan aneh yang aku simpan ke Iril. Yang entah kenapa aku merasa nyaman di dekatnya. Yang entah kenapa aku merasa hangat berada di sisinya. Dan aku baru menyadarinya setelah Iril menjauhiku tempo lalu karena aku membuatnya kecewa. Rasa bersalahku tumbuh menjadi rasa tak ingin kehilangan yang justru membuatku menginginkan Iril. Benar-benar aneh.
Padahal kalau aku pikir lagi, aku seharusnya sedang kasmaran dengan Tomori sekarang. Dan kenapa aku bisa jatuh hati dengannya, itu karena aku menganggap diriku seorang sapiosexual, yaitu seorang yang menjadikan intelejensi sebagai fitur seksual yang paling atraktif. Aku bahkan tak menganggap diriku pure gay, karena jika ada wanita yang secara intelegensi bisa membuatku kagum, bisa saja aku jatuh hati dengannya.
Entah kenapa, aku selalu menginginkan seseorang yang dapat aku ajak berbagi analisis. Aku menginginkan seseorang yang dapat memenuhi rasa penasaranku. Aku menginginkan seseorang yang dengannya, diskusi filosofis adalah sebuah foreplay dalam bercinta. Aku menginginkan seseorang yang dapat mengimbangi cara berpikirku yang mendalam. Surely, I’m craving for an incisive, inquisitive, insightful, and irreverent mind.
But I don’t know why, with Iril, I am often caught off guard. With him, I can relax my mind that somehow I loose its control. With him, I somehow forget those standards. He makes me comfortable. And I just barely resist him.
Dreet dreet...
Sebuah panggilan masuk membuyarkan lamunanku. Aku segera mengangkatnya. Dari Tomori.
“Ji-chan, gomene. Aku gak jadi ke tempatmu. Kamu gak perlu ikut nganterin aku ke bandara ya,” tutur Tomori. (*Gomene = maaf)
“Aih, kenapa gitu?” tanyaku.
“Lagi ada acara di rumah Erfan. Dia minta aku bantu-bantu dulu sebelum flight. Nanti berangkat ke Soetta-nya langsung dari rumah dia, biar lebih deket,” terang Tomori.
“Ooh, gitu ya,” aku menyahutnya malas.
“Iya. Maaf banget ya, Ji-chan.”
“Gapapa kok. Take it easy.”
“Yudah ya. Aku janji nanti aku kasih kamu kejutan deh pas aku pulang ke Indo.”
“Yudah, aku tunggu kejutanmu.”
“Sip sip. Aku tutup dulu ya. Erfan udah manggil-manggil nih.”
“Oke. Have a safe flight, Mori-kun.”
“Oke. Sankyu.”
Tuuuuuut...
Aku langsung mematikan panggilan Tomori dan melempar ponselku ke kasur.
Sigh! Makin gabut aja kalau begini. Makin nggak ada yang bisa aku kerjain. Tapi entah kenapa, aku tidak merasa kesal dengan batalnya rencana menemani Tomori itu. Kenapa ya?
Aku malah teringat kembali dengan Iril. Dia lagi apa ya? Apa dia jadi nge-tweet? Jadi ngutip line puisi tadi? Tapi yang mana ya? Ah, aku cek aja kalau begini. Kepo.
Aku pun segera meraih ponselku kembali lalu kubuka aplikasi twitter di menu-nya. Timeline awal langsung mengarah pada tweet Iril dengan beberapa retweet.
- @crlgibran Love appeared like an amateur magician, everyone could see the trapdoor but you -
Jeez. Dia mengubah line dari puisinya Sarah-Phil tadi. Tapi apa sih maksudnya? Gaje!
***
Bersambung ke Chapter 16 : The Trapdoor
1. Aku percepat update Chap 15-nya. Mau late-night hang out sama roomate-ku (kemungkinan bakal bangun kesiangan lol) dan ada temen yg mau sleepover juga di tempatku. So, sepertinya gk feasible klo update subuh2 kek biasanya. Gerakanku bakal terbatas nanti.
2. Here come ERFAN !!! Kayaknya bakal jadi saingan Panji nanti. Kalo ada yg ngeh, Erfan ini udah keluar di Chapter 11 The Difficult Circumtances; dia orang yg teleponan sama Tomori saat Panji-Mori makan bareng di Loteria.
3.Ini soal selera sih, tapi personally gw suka sama Sarah Kay. Boleh bgt buat yg belum kenal Sarah-Phil, diintip video2nya. Dan ini tautannya:
TEDx Sarah Kay ‘If I Should Have a Daughter’ https://youtube.com/watch?v=0snNB1yS3IE
Sarah Kay & Phil Kaye ‘When Love Arrives’ https://youtube.com/watch?v=mdJ6aUB2K4g
4. Foto yang dijadiin alibi Darman adalah screen-capture video siaran yang biasanya di pojok atas layar komputernya bakal ada keterangan waktu take-nya. Soal greenscreen, silakan browse di google kalo masih penasaran.
Ayooo Nji sebelum Iril diambil orang. :-SS
ts-nya kode banget nih. yang mau pdkt harus cerdas dan nyambung atau cerdas menghibur kek iril. *dikeplak*
thank you mumumu.
atuh aku semakin meragu sama Iril, sama Panji, sama Tomori, sama Erfan, juga sama yang ngasih Daruma. Aku galau kalo inget chapter ini masih setengah jalan. (TwT) tuh kaaan, perjalanan masih panjang banget ini buat ending. /tepar/