BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepenggal Cerita Di Balik Gulungan Kertas [TAMAT] [Daftar Chapter di P1]

17879818384278

Comments

  • MarioBros wrote: »

    @SteveAnggara wah selamat bergabung.. blm ketinggalan kok, chapter masih panjang.. eh tp sebelumnya udah masuk daftar mensen blm ya? kok rasa2nya udah..

    Aku blom msk daftar mention hehe, jadi ga tau kalo udh ada cerbungnya. Titip mention ya di next chapter :D
  • Asiikk, makasih bang @MarioBros
  • @RenoF tapi kok matanya sereem,,, huwaaaa
    *nangis makin kenceng plus guling2 lebay*
  • hahaha malah nangis kenceng
    padahal tuh mata ampek gitu gara" mantengin foto kak @cute_inuyasha kok nggak ganti" sama foto asli hehehe ;)
  • tumben nih udah hampir loncat 10 page dari chapter sebelummnya tapi lanjutannya belum di update. ts mana ts???? *asal golok* >:) hahahaha, tipikal pembaca tak tau diri nih, udah dikasih cerita banyak tuntut pula. kaboorrrr. ^:)^
  • *balesin komen dulu sebelum update*

    @SteveAnggara oh iya aku baru ngecek, nanti aku mensen kok..

    @addaa wakaka sabar ya, ini lagi mau update kok, gapapa lah semakin reader demanding, aku semakin semangat ngasih supply-nya.. *apasih

    @Hehehehe200x masama bro..

    salut sama @RenoF yg mau bantuin aku nenangin nih kakak @cute_inuyasha, tapi jangan suruh dia ganti pp, ntar jadi rebutan di sini, huhu..
  • edited February 2015
    -- Chapter 14 : The Hidden Truth --


    Wed, May 21st, Senior Year – 10:24 a.m.

    Hari ini aku menemani Tomori menghadiri sebuah persidangan yang ia berperan sebagai saksi ahli di dalamnya. Bicara tentang Tomori, dia langsung mengajakku terlibat kembali dalam kasus persidangan ini tepat setelah aku kembali dari Malang dan Tomori pulang dari Jepang. Kami memang menjadi semakin dekat sekarang. Tapi jika ada yang bertanya kenapa kami tidak saling mengungkapkan rasa suka dan berpacaran saja, aku punya banyak jawaban untuk itu.

    Pertama, kode di gulungan kertas yang diberikan Tomori menggunakan frasa ‘daisuki’ yang mengekspresikan suka, bukan cinta, yang tidak serta merta berarti bahwa Tomori menginginkan sebuah hubungan denganku. Frasa ini sangat berbeda dengan ‘aishiteru’ yang menunjukkan komitmen kuat untuk mencintai dan menjalin hubungan; ‘suki desu’ bahkan bisa merujuk pada maksud persahabatan. Gengsi kan kalau aku tiba-tiba ke-GR-an dan mendesak Tomori untuk memperjelas status hubunganku dengannya?

    Kedua, aku dan Tomori terbilang belum lama kenal. Kami hanya menjalani hobi yang sama dan menghabiskan beberapa waktu berkualitas bersama. Bisa jadi kedekatan selama ini hanya terdorong oleh rasa penasaran; kami juga cenderung jaim dan belum terlalu mengenal aib satu sama lain. It’s too soon to say love at this rate. Selain dua alasan itu, sebenarnya masih ada beberapa alasan lain yang tidak ingin aku bahas sekarang.

    Sigh! Aku menghela napas panjang. Kurang dari enam menit lagi, sebuah sidang dugaan kekerasan seksual terhadap seorang anak berusia sembilan tahun, akan kembali digelar. Sidang ini dilaksanakan secara tertutup di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meski demikian, aku masih bisa menghadiri persidangan karena diajak oleh Tomori yang menjadi saksi ahli dalam kasus ini. Namun, persidangan kali ini belum menghadirkan Tomori karena masih menunggu hasil pemeriksaan forensik. Oleh karena itu, aku dan Tomori hanya mengamati jalannya sidang dari bangku pengunjung.

    Kasus pedofilia ini melibatkan seorang tukang kebun yang bekerja di rumah korban, Jamal Suhendra, yang dituduh telah menyodomi anak majikannya yang berinisial DIM. Kelakuan bejad Jamal tersebut membuat korban ketakutan hingga meninggal akibat kecelakaan saat berusaha untuk kabur. Bahkan, jaksa penuntut menambahkan tuduhan bahwa Jamal sudah berkali-kali melakukan tindakan asusila itu dan mengajak beberapa temannya untuk menggilir korban.

    Sidang ini adalah sidang yang keempat, namun hakim belum dapat menjatuhkan vonis bersalah karena masih menunggu hasil forensik. Terlebih lagi, terdakwa hanya dapat divonis bersalah apabila dua elemen utama yaitu actus rea (tindakan) dan mens rea (intensi jahat) terbukti mendukung kesalahan yang dituduhkan kepada terdakwa. Namun, karena bukti tindak kejahatan (actus rea) belum ada serta si terdakwa tidak mengakui intensi-nya (mens rea), maka vonis belum bisa dijatuhkan. Meski demikian, semua kesaksian dan pernyataan yang sudah dibahas selama persidangan sudah mampu membuatku mengarah pada kesimpulan bahwa Jamal memang pelakunya. Ya, aku yakin bahwa Jamal Suhendra adalah tersangka kekerasan seksual pada anak SD berinisial DIM itu.

    Persidangan kali ini akan menghadirkan kesaksian tiga orang saksi tamu: seorang satpam perumahan, kakak korban, dan wali kelas sekolah korban. Aku mengeluarkan buku catatatan kecilku, bersiap menulis beberapa informasi penting untuk memperkuat kesimpulanku. Tomori yang duduk di sebelahku juga mengeluarkan buku catatannya; aku dan dia telah siap mengikuti jalannya persidangan. Tepat pukul setengah sebelas, sidang pun dibuka dengan dibacakannya perkembangan kasus tersebut.

    “Berapa banyak teman yang Anda ajak untuk menggilir korban?” tanya Jaksa Penuntut ke Jamal.

    “Saya nggak melakukan itu,” jawab Jamal ragu.

    “Lalu bagaimana dengan kesaksian Saudara Rahmat yang melihat teman-teman Anda masuk ke area komplek hari itu?” sambung Jaksa Penuntut seraya menunjuk pelan ke arah satpam perumahan yang dijadikan saksi tamu.

    Jamal hanya terdiam. Dia menunduk menggigit bibir bawahnya.

    Jaksa Penuntut tersenyum lalu mengarahkan pertanyaan ke satpam perumahan tempat korban tinggal, “Apa Saudara Rahmat masih ingat berapa orang yang datang waktu itu?”

    “Saya sedikit lupa. Seingat saya, orangnya lebih dari tiga,” jawab Rahmat.

    “Apa Saudara mengenali mereka. Ciri-ciri mereka misalnya?” lanjut Jaksa Penuntut.

    “Mereka seumuran dengan Jamal. Seingat saya mereka semua memakai kaos oblong dan sendal karet. Dari penilaian saya, mereka bukanlah orang kaya. Bahkan mereka menggunakan angkot dan berjalan kaki untuk masuk ke area perumahan,” sahut Rahmat.

    “Berapa kali teman-teman terdakwa mengunjungi komplek perumahan yang Anda jaga?” sambung Jaksa Penuntut.

    “Sekitar empat kali,” balas Rahmat.

    “Empat kali? Apa itu artinya korban sudah digilir sampai empat kali? Menyedihkan! Apa Saudara sempat menanyai mereka? Misalnya apa yang mau mereka lakukan di area komplek,” ujar Jaksa Penuntut.

    “Saya cuma nanya mereka pengen ketemu siapa. Mereka jawab Jamal. Karena saya udah kenal baik sama Jamal, saya kasih lewat saja. Saya benar-benar nggak nyangka kalo jamal yang asli itu seorang penjahat kelamin,” kata Rahmat sembari melirik Jamal, lirikan merendahkan.

    “Sayang sekali ya, Saudara terlalu percaya dengan terdakwa. Apa Anda juga ingat berapa lama teman-teman terdakwa berada di komplek tersebut?” selidik Jaksa Penuntut.

    “Sekitar tiga jam. Mereka datang jam dua belasan dan baru keluar jam tigaan,” ucap Rahmat mantap.

    “Tiga jam? Waktu yang cukup untuk melakukan tindak asusila itu,” gumam Jaksa Penuntut yang kemudian berbalik ke Jamal.

    “Apa Anda masih mau mengelak kalau Anda tidak menggilir korban dengan teman-teman Anda?” tanyanya ke Jamal.
    Jamal hanya mengangguk, tidak berani menatap Sang Jaksa Penuntut.

    “Lalu untuk apa Anda mengundang teman-teman Anda itu? Apa yang kalian lakukan? Apa kami perlu memaksa Anda menyebut nama salah satu dari mereka supaya mereka mengaku?” kejar Jaksa Penuntut.

    “Hmmm saya nggak bisa mengatakannya,” kata Jamal ragu.

    “Apa itu berarti jawabannya iya?”

    “Nggak. Kami nggak nyodomin Dicky.”

    “Woy! Masih berani lo nyebut nama adek gw??” teriak seseorang dari bangku pengunjung dengan tiba-tiba, yang sepertinya adalah kakak korban.

    Aku dan Tomori langsung mengalihkan perhatian ke pemilik suara tersebut. Tomori tiba-tiba berbisik, “DIM adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Yang barusan berteriak adalah kakak pertamanya yang sudah berkeluarga dan tinggal di Semarang; sedang yang satunya adalah yang menjadi saksi tamu, yang masih berkuliah dan tinggal bersama korban.”

    Suasana menjadi sedikit gaduh karena si kakak yang sempat geram dengan jawaban-jawaban Jamal. Hakim ketua bahkan sampai mengetuk palunya dan menunda persidangan sekitar sepuluh menit.

    Setelah dilanjutkan kembali, Jaksa Penuntut kemudian menghadirkan saksi kedua, Darman, kakak kedua korban.

    “Apa yang Saudara Darman tahu tentang hubungan terdakwa dan korban?” tanya Jaksa Penuntut ke saksi tamu itu.

    “Saya tahu kalau adek saya itu dekat dengan Jamal. Mereka sering main bareng di taman. Ya, adek saya memang nggak punya banyak temen. Saya dan orang tua saya sibuk, jadi saya maklum aja kalo dia ngajak maen tukang kebun. Tapi saya nggak tahu kalo Jamal setega itu sama adek saya,” jelas Darman.

    “Ke mana Anda saat hari dimana korban kabur dari rumah?” lanjut Jaksa.

    “Saya lagi magang liputan berita TV waktu itu,” sahut Darman mantap.

    Tomori menyikutku pelan dan berbisik, “Darman ini mahasiswa broadcasting di salah satu univ swasta di Jakarta. Dia memang lagi sibuk magang jadi reporter. Tapi di hari biasa pun dia tetap jarang di rumah.”

    Aku berbisik balik ke Tomori,“Salah Darman juga sih kalo dipikir-pikir. Kakak macam apa yang nggak perhatian sama adeknya. Tapi tetep, Jamal yang salah, dia memang setan!”
    Tomori hanya tersenyum kecut mendengar bisikan kesalku. Aku geram sekali dengan Jamal. Orang macam apa yang tega melakukan tindakan separah itu ke anak kecil?

    “Apa korban pernah mengeluh atau bercerita tentang terdakwa kepada Saudara?” tanya Jaksa Penuntut ke Darman.

    “Adekku hanya bilang kalo Jamal orangnya baik. Tapi pernah sih dia terlihat takut sama Jamal. Saya nggak tau kenapa waktu itu, tapi akhir-akhir itu memang adek saya sering parno. Pasti karena dia trauma,” tutur Darman.

    “Nggak! Saya justru ngehibur Dicky!” sela Jamal tiba-tiba. Hampir saja kegaduhan kedua terjadi karena Si Sulung yang naik pitam kembali mendengar Jamal menyebut nama adeknya itu. Tapi Hakim Ketua segera menenangkan keadaan.

    “Apa korban pernah mengeluh sakit?” tanya Jaksa Penuntut ke Darman.

    “Iya. Dia sering bilang sakit tiap buang air besar. Dia juga sering nggak betah duduk lama-lama,” jawab Darman.

    “Apa Saudara atau keluarga tidak memeriksanya?” selidik Jaksa Penuntut.

    “Saya nggak tahu menahu soal itu. Tapi Nyokap pernah bilang sih kalo ada yang aneh sama anus adek saya itu. Itu pasti dampak disodomi Jamal,” ungkap Darman.

    “Keberatan yang mulia. Saksi mengeluarkan tuduhan tak berdasar,” sela Kuasa Hukum Jamal yang akhirnya bersuara.

    Aku mencondongkan badan ke arah Tomori lalu berbisik, “Susah ya jadi Kuasa Hukum Jamal. Pasti dia kesulitan nge-defend Jamal yang pendiam begitu. Atau malah dia udah tahu kalo Jamal memang bersalah. Felony kek gitu memang susah ditutup-tutupin.” (Felony/felonies = istilah dalam Kriminologi yang merujuk pada tindak kriminal yang dapat dihukum lebih dari satu tahun penjara)

    Tomori hanya tersenyum sembari mengangkat kedua bahunya. Tomori sepertinya tidak mau banyak berkomentar. Aku pun kembali fokus ke jalannya persidangan.

    Selesai dengan kesaksian Darman, saksi terakhir adalah Bu Ratri, wali kelas korban.

    “Bagaimana perilaku korban di sekolah?” tanya Jaksa Penuntut ke Bu Ratri.

    “Dia memang anak yang pendiam dan tidak terlalu suka bergaul. Dia tidak punya banyak teman di sekolah,” ujar Bu Ratri.

    “Apa Anda pernah melihat korban bersama terdakwa?” lanjut Jaksa Penuntut.

    “Ya. Saya sering melihat dia menjemput murid saya itu. Anehnya, murid saya terlihat senang waktu itu,” sahut Bu Ratri.

    “Seperti apa yang Anda lihat ketika korban bersama terdakwa?” selidik Jaksa Penuntut.

    “Awalnya saya kira mereka kakak beradik. Karena mereka terlihat sangat dekat bahkan murid saya sampai digendong dan diciumi pipinya. Jadi saya anggap itu wajar,” tukas Bu Ratri.

    Aku menghela napas lalu melirik ke arah Tomori dan berbisik, “Yang paling menyebalkan dari Jamal ini, dia itu mukanya sok polos. Nggak taunya, dia serigala berbulu domba.”

    Tomori berbisik balik, “Makanya wajar ya kalo kelihatannya korban dan terdakwa ini seperti kakak beradik. Sebagai tukang kebun, Jamal ini lumayan good looking.”

    Aku mendengus kesal, “Good looking tapi tetap aja tampang nggak jamin, kelakuan tetep bejad!”

    Tomori hanya diam dan kembali memerhatikan jalannya persidangan. Aku juga kembali fokus.

    “Jadi Yang Mulia, dari semua saksi sudah jelas bukan bahwa terdakwa ini memang bersalah?” ujar Jaksa Penuntut. Aku mengangguk menyetujuinya.

    “Keberatan Yang Mulia. Kita harus menunggu hasil autopsi,” timpa Kuasa Hukum Jamal.

    “Percuma. Cepat atau lambat bukti akan terungkap juga. Mengapa Saudara Jamal tidak mengaku saja? Kalau mengaku kan hukumannya bisa lebih ringan,” kata Jaksa Penuntut sembari melirik ke arah Jamal yang masih saja menunduk gemetaran.

    Aku semakin geram dengan Jamal yang bertingkah seperti itu.

    Aku berkomentar pelan, “Iya, kenapa nggak ngaku aja sih si Jamal itu. Lumayan kan bisa dapet keringanan kalo dia mau ambil opsi plea bargain.” (*Plea bergain : istilah hukum/kriminologi dimana jika pelaku mengaku bersalah maka akan diberikan konsesi kepadanya sebagai imbalan proses persidangan yang lebih sederhana/ramping/cepat, misalnya dalam bentuk keringan hukuman atau vonis yang tidak sememberatkan tuntutan Jaksa)

    “Kalau dari awal terdakwa mau plea bargain, nggak perlu repot-repot ke pengadilan begini, Ji-chan,” ujar Tomori membalas komentarku.

    “Tapi dari semua kesaksian udah sangat jelas kan kalo Jamal ini bersalah. Bahkan dia nggak punya alibi,” dengusku.

    “Mungkin,” sahut Tomori singkat.

    Setelah beberapa perdebatan, sidang akhirnya ditutup sementara dan akan dilanjutkan keesokan harinya. Para saksi dan pihak yang terlibat dalam persidangan pun mulai keluar ruangan. Begitu pula denganku dan Tomori yang langsung pulang. Selama di perjalanan tidak ada diskusi tentang persidangan barusan. Aku dan Tomori hanya mengobrol tentang buku dan beberapa pengalaman selama di Malang tempo hari. Dan entah dari mana, tiba-tiba aku teringat kembali dengan curhatan Iril, yang membuatku gelisah dan sedih secara bersamaan.

    Aku langsung mencoba menghubungi Iril, tapi nomornya sibuk. Beberapa kali aku coba menelponnya, namun tetap tidak ada jawaban. Padahal sejak dari Malang, aku belum sekali pun bertemu dengannya. Kemana sih orang ini?

    Aku pun menghubungi Baim yang tak lama kemudian langsung diangkat.

    “Halo, Im,” kataku seketika panggilanku diangkat Baim.

    “Halo, Nji. Ada apa?” tanya Baim.

    “Lo tauk Iril kemana nggak? Kok dia susah dihubungin ya?” tanyaku tanpa basa-basi.

    “Dia nggak di kosan emangnya, Nji?”

    “Nggak. Abis dari Malang kemarin, gw belum lihat dia di kosan.”

    “Hmmm kalo gitu dia di tempat seniornya berarti.”

    “Iya sih. Gw juga mikir gitu, Im. Tapi kok dia jadi susah dihubungin ya?”

    “Mungkin dia lagi fokus nyelesaiin bab limanya, Nji. Dia kan santai banget tuh pas di Malang kemarin. Jadi mungkin dia ngerapel semuanya sekarang.”

    “Bisa jadi sih, Im.”

    “Kenapa emangnya, Nji? Lo kangen sama dia?”

    “Heh, nggak kok. Apasih lo random banget, Im.”

    “Hahaha, bilang aja lo kangen. Lo kangen ama gw nggak?”

    “Idih! Ngarep lu, Im!”

    “Jadi lo gak kangen sama gw, Nji?”

    “Duh, duh. Gw iyain ajadeh. Daripada gw nanti kena timpuk lo. Hehe.”

    “Huh, sial! Awas ya lo, Nji. Rahasia lo gw yang pegang nih!”

    “Aih, lo mau nge-blackmail gw? Temen macam apa lu, Im!”

    “Hahaha becanda kali, Nji.”

    “Candaan lo selalu garing, Im.”

    “Bodo! Eh, kita ngumpul-ngumpul yuk.”

    “Kapan, Im?”

    “Hmmm weekend gimana?”

    “Yah, gw udah ada janji nih, Im.”

    “Sama Pak Dokter itu ya?”

    “Ya begitulah.”

    “Hmmm kalo udah punya gebetan, temen dilupain. Hahaha. Btw gw masih nggak nyangka kalo lo itu belok, Nji.”

    “Ssstttt jangan keras-keras, Im. Kan rahasia.”

    “Iya, iya. Kalo lo nggak nulis di surat curhatan itu, lo bakal cerita nggak nih, Nji?”

    “Mungkin sih, Im. Tapi nunggu waktu yang tepat yang gw nggak tau kapan itu tiba.”

    “Dunia makin aneh ya. Makin banyak yang belok. Bahkan temen deket gw sendiri juga begitu. Semoga aja sih adek gw nggak. Hahaha.”

    “Yudah sih. Emang masalah banget, Im. Tinggal jalani hidup masing-masing, nggak perlu repot lah ngurusin yang lain.”

    “Iya, iya, Nji. Gw ngerti kok. Gw kan open-minded. Hehe.”

    “Open-minded tapi tetep aja tukang marah-marah. Hahaha.”

    “Ah, sial lu, Nji!”

    “Tapi sekarang lo nggak bisa galak-galak lagi ke Iril ya, Im.”

    “Kenapa gitu?”

    “Kan Iril yang pegang rahasia lo.”

    “Ah iya! Sial banget dah. Gw nggak bisa lagi bejek-bejek dia kalo gw lagi kesel.”

    “Hahaha tega banget lo, Im, kalo sama Iril.”

    “Abis dia bully-able banget sih, Nji.”

    “Iya, iya, Im. Hahaha.”

    “Eh btw, jangan lupa siapin surprise buat ultah Iril, Nji.”

    “Yaelah masih lama kali, masih sebulanan lagi, Im.”

    “Ya jaga-jaga biar gak lupa. Ntar dia pundung lagi. Ngambeknya bisa se-Depok ntar, Nji.”

    “Hahaha, iya, iya. Udah ya, kita malah jadi rumpiin si Iril.”

    “Lo sih yang mulai.”

    “Tapi lo yang manjangin, Im.”

    “Tetep aja lo yang mulai, Nji.”

    “Iya aja deh, Im. Hehe.”

    “Huh!”

    “Baim, ngomong-ngomong makasih ya.”

    “Makasih buat apa, Nji?”

    “Buat bantuin gw nyelesaiin masalah sama Iril waktu itu. Lo yang minta Mayang buat ngomong ke Iril soal jalan-jalan ke Malang waktu itu kan?”

    “Ah, akhirnya ketahuan juga. Padahal gw udah minta Mayang buat jaga rahasia, Nji. Hahaha. Iya, iya, kita bertiga kan temenan deket, kalo ada yang diem-dieman kayak gitu kan jadi nggak asik, Bray.”

    “Sip. Pokonya gw makasih banget ya, Im. Yudah, ya. Gw tutup dulu.”

    “Oke. Btw buru-buru banget nih, Nji, pasti lo lagi sama Pak Dokter itu kan?”

    “Apasih? Udah ya.”

    “Hahaha, yaudah. Bye, Nji.”

    “Bye, Im.”

    Tuuuuuuut...

    Aku memasukkan kembali ponselku ke saku celana. Aku menarik tubuhku pelan ke belakang. Pandanganku fokus menatap jalan dan pikiranku kembali melayang. Pada kasus Jamal. Dan pada isi curhatan Iril.

    ***


    Thu, May 22nd, Senior Year – 00:52 p.m.

    Aku berjalan gontai menuju salah satu ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tempat persidangan kasus Jamal diselenggarakan. Sial! Aku terlambat. Persidangan baru saja selesai. Aku melihat beberapa orang keluar dari ruangan tersebut. Dan tiba-tiba pandanganku terpaku pada Jamal yang berjalan melewatiku. Aku pun mengikutinya yang dia ternyata mengarah ke toilet.

    Sesampainya di toilet, aku berpura-pura membasuh wajahku sembari menunggu Jamal. Tak lama kemudidan, dia pun keluar dari bilik toilet lalu mendekat ke arahku, ikut mencuci tangan di depan westafel.

    “Apa susahnya mengaku kalau kita bersalah? Justru kita bisa dapet keringanan hukuman,” gumamku sengaja.
    Jamal terlihat kaget. Aku bisa melihat ekpresinya yang berubah gelisah dari pantulan wajahnya di cermin westafel.

    “Sudahlah akui saja. Hidup selalu memberi kita kesempatan untuk memperbaiki diri,” sambungku.

    “Maaf, apa kamu lagi ngomong sama saya?” tanya Jamal akhirnya.

    “Siapa lagi memangnya? Nggak ada orang lain kan di sini?” sahutku.

    “Hmmm... Saya gak ngerti apa maksudmu kalo gitu,” elak Jamal.

    “Sayang banget ya, padahal kamu keliatan kayak orang baik-baik, tapi tingkahmu bejad,” cibirku.

    “Apa kamu lagi ngomongin soal kasus sodomi yang dituduhin ke saya? Saya berani sumpah saya gak ngelakuin itu,” bela Jamal.

    “Lo memang pantes ya jadi serigala berbulu domba. Jago akting!” umpatku.

    “Sumpah, saya nggak lakuin hal itu ke Dicky!”

    “Kalo gitu kenapa lo nggak jawab pas ditanya kenapa lo ngajak temen-temen lo ke rumah majikan lo?”

    “.......”

    “Kenapa lo nggak mengelak kalo lo sering maen bareng sama Dicky dan lo sangat dekat sama dia?”

    “.......”

    “Kenapa lo kelihatan begitu takut buat ngomong?”

    “.......”

    “Dan gelagat lo itu mudah dibaca. Lo pasti gak pernah nyangka kan kalo Dicky sampe kecelakaan dan meninggal.”

    “......”

    “Orang kayak lo memang gak pernah berpikir konsekuensinya. Selalu ngedepanin nafsu. Gak sadar apa kalo lo udah ngerusakin masa depan seorang anak kecil?”

    “......”

    “Udahlah. Ngaku aja sebelum semua orang terlalu benci sama lo.”

    “......”

    “Kenapa diem?”

    “Maaf. Saya harus pergi.”

    “Kabur nih? Takut kelepasan bilang kalo lo memang salah? Memang kabur itu enak setelah lo curi apa yang lo nggak punya.”

    “Maaf. Saya berani sumpah kalo saya gak ngelakuin itu ke Dicky.”

    “Mana ada maling yang ngaku!”

    Aku semakin kesal. Entah kenapa pikiranku sedikit kalap. Aku begitu mudahnya mengeluarkan isi kepalaku tanpa berpikir untuk menyaringnya.

    “Saya benar-benar nggak ngelakuin itu ke Dicky,” tegas Jamal.

    Aku menjadi sangat geram. Tanpa sadar aku menarik lengan Jamal dan kuraih kerah bajunya. Sejurus kemudian, aku mendorong tubuh Jamal ke tembok. Aku mengangkat kerah bajunya dan menekannya. Tapi Jamal masih saja diam dan hanya menunduk. Membuatku semakin kuat menekannya.

    Aku mengepalkan tangan. Mengumpulkan segenap amarah yang begitu ingin kulampiaskan ke wajah Jamal. Dengan cepat aku mengayun kepalanku.

    “Panji! Apa yang kamu lakuin?”

    Sebuah suara tiba-tiba mengehntikan ayunan tinjuku. Dengan cepat aku menoleh ke arah sumber suara itu. Ternyata Tomori. Aku sempat terdiam hingga akhirnya kulepas cengkeraman tanganku dari kerah baju Jamal.

    “Panji, ikut aku!” kata Tomori sembari menarik tanganku dan mengajakku keluar.

    Aku berjalan cepat mengikuti langkah Tomori yang cepat. Hingga akhirnya kami tiba di taman luar gedung dan Tomori melepaskan genggaman tangannya. Aku hanya diam penuh tanya memandangi Tomori.

    “Panji, ini bukan kamu,” ujar Tomori pelan.

    Aku diam, tidak tahu apa maksud pernyataan Tomori itu.

    “Panji yang aku kenal nggak seperti ini,” lanjut Tomori yang aku masih tidak mengerti apa tujuannya bicara seperti itu.

    “Kenapa kamu begitu ingin membuktikan kalo Jamal adalah pelakunya, Ji-chan?” tanya Tomori yang akhirnya aku tahu arah pembicaraannya.

    “Karena dia memang pelakunya. Dia memang bersalah,” sahutku cepat.

    “Kenapa kamu bisa seyakin itu?” tanya Tomori.

    “Karena memang semua bukti udah nunjukin kalo dia bersalah,” jawabku.

    “Belum semua. Masih ada fakta forensik yang belum terungkap,” sela Tomori.

    “Aku yakin apapun faktanya justru akan menguatkan bukti kalo Jamal bersalah,” bantahku.

    “Tapi kamu harus bersabar. Sebelum jatuh vonis, kamu gak bisa menghakimi dia, Ji-Chan. We have to uphold the presumption of innocent.” (*Presumption of innocent : istilah hukum yang merujuk pada asas praduga tak bersalah)

    “Semua udah jelas, Mori-kun.”

    “Belum semua. Masih ada fakta forensik kan?”

    “......”

    “Kamu kenapa sih, Ji-chan?”

    “......”

    Aku hanya terdiam. Aku merenung memikirkan tingkahku yang ternyata sangat gegabah. Aku sadar kalau tak seharusnya aku menghakimi Jamal seperti itu. Aku memang menjadi kurang kritis dan terbawa arus, arus yang menyimpulkan kalau Jamal adalah seorang pedofil. Sepertinya aku terbawa perasaan oleh isi curhatan Iril.

    Aku pun duduk melamun. Mengingat kembali isi curhatan Iril yang ia tulis sebelum kami berpisah. Ya, aku ingat sekali apa yang Iril tulis.



    Dear Friend.

    Entah Baim atau Panji yang dapetin curhatan gw ini, gw nggak mau hubungan kita berubah setelah lo baca tulisan ini. Gw sebenarnya gak mau nginget-nginget kejadian ini, tapi sebagai teman dekat, gw rasa lo perlu tahu soal ini. As you know, gw dulu pernah homeschooling karena ortu gw yang sering pindah-pindah tempat kerja. Sebagai travelling family, gw punya banyak konsekuensi, salah satunya temen-temen gw yang dikit banget dan sifat gw yang agak manja. Tapi gw gak ada masalah sama homeschooling gw itu sampai akhirnya suatu insiden terjadi.

    Selama homeschooling, gw sering banget ganti guru. Banyak yang nggak kuat ngajar gw karena gw yang nakal dan susah diatur. Padahal nakal itu adalah cara gw buat cari perhatian. Tapi ternyata orang dewasa memang nggak terlalu peduli sama gw. Sampai akhirnya ada seorang guru yang kuat ngajar gw cukup lama. Namanya, Kak Reza, yang umurnya waktu itu sekitar 28 tahun. Kak Reza sangat baik dan perhatian sama gw. Tapi dibalik itu semua, Kak Reza ini ternyata sangat mengerikan.

    Tahun pertama ngajar, saat itu gw masih 4th grade, gw sama Kak Reza biasa aja, gw masih tetep nakal dan suka carper. Tapi Kak Reza sabar banget sampe akhirnya gw betah dan nganggep dia sebagai kakak gw sendiri. Dia ngajakin gw main, jalan, dan suka banget ngasih gw hadiah. Gw pun jadi nurut sama dia. Dan sebagai gantinya, dia sering minta ke gw buat ngelakuin hal-hal aneh, salah satunya buka baju di depan dia. Bahkan dia juga ngebuka bajunya dan kami pernah telanjang bareng sambil belajar.

    Gw pernah nolak karena gw gak suka dingin kalo belajar gak pake baju. Awalnya Kak Reza nggak ada masalah sama itu. Tapi lama-kelamaan, sikapnya berubah. Dia jadi suka maksa dan ngancem gw. Pernah suatu hari gw dipaksa buat bugil tapi gw nolak. Dia marah sampe dia mukul gw. Gw dipepet ke tembok dan bibir gw diciumin paksa. Gw berusaha berontak tapi dia malah menjadi-jadi. Dia ngelepasin baju dan celana gw. Dia ngejilatin badan gw. Dan dia mainin kemaluan gw. Gw takut banget waktu itu.

    Gw berusaha teriak tapi mulut gw dia sekap. Gw berusaha mukul dia tapi dia meluk gw kuat banget. Gw nggak bisa ngapa-ngapain. Gw nggak bisa ngelawan. Gw cuma bisa pasrah. Sampe suatu hari dia ngelakuin itu lagi ke gw. Bedanya dia minta gw buat ngemut kelamin dia. Gw nolak. Gw jijik banget ngeliatinnya. Baunya juga pesing, gw nggak suka. Tapi gw malah dipukul. Gw dipaksa sampe gw nggak punya pilihan lain selain ngikutin maunya. Gw cuma bisa nangis. Gw kesel banget sama dia. Gw nggak suka. Dan akhirnya gw gigit tuh kemaluan dia. Alhasil Kak Reza kesakitan dan mukul kepala gw ke tembok. Gw langsung nangis dan ngejerit-jerit waktu itu.

    Bukannya kasihan, Kak Reza malah semakin kalap. Dia ngebanting badan gw ke kasur dan nyuruh gw tengkurap. Gw udah bugil waktu itu. Dan dengan cepat, Kak Reza nindih badan gw. Rasanya berat. Gw teriak makin kencang tapi kepala gw dibekap ke kasur. Gw cuma bisa nangis. Gw takut banget. Apalagi pas gw ngerasain ada sesuatu yang mulai nyodok-nyodok pantat gw. Rasanya sakit nggak karuan. Lalu dengan sekuat tenaga gw ngangkat badan gw. Gw dorong Kak Reza sampe dia jatuh dan gw langsung kabur masuk ke WC.

    Gw sembunyi di WC. Kak Reza bukannya kapok malah gedor-gedor pintu WC. Dia ngancem gw dan neriakin gw. Gw makin takut. Sampai tiba-tiba ortu gw dateng nolongin gw. Gw akhirnya keluar dan cerita apa yang udah dilakuin Kak Reza ke gw. Ortu gw marah banget ke Kak Reza dan mecat dia. Sejak hari itu, gw nggak pernah ketemu lagi sama dia. Gw pindah rumah dan nyelesaiin homeschooling gw dengan diajar langsung sama nyokap gw. Sampai akhirnya gw lulus dan dimasukin ke SMP Negeri. Gw dititipin ke kakek gw di Jogja.

    Dan mulai hari itu, gw berusaha menjalani hidup gw sebaik mungkin. Gw berusaha ngelupain pengalaman buruk gw itu, meski nyatanya gw nggak bisa benar-benar lupa.

    Semoga dengan gw cerita kayak gini ke temen deket gw, dia bisa nyimpen baik-baik rahasia ini, dan semakin ngertiin kenapa gw bisa menjadi Iril yang seperti ini sekarang. Jangan kapok temenan sama gw ya, Bray. Meski gw lebay dan sering nyebelin. Tapi satu hal yang selalu pengen gw bilang ke kalian, gw sayang kalian. Baim dan Panji, temen terbaik gw. :’)

    Thank you for being my good friend



    Aku menyeka air mataku yang diam-diam menetes ketika mengingat kembali isi curhatan Iril. Aku baru tahu kalau sohibku itu punya masa lalu yang sekelam itu. Sesuatu yang aku tidak tahu akan bagaimana jadinya kalau aku yang mengalaminya. Aku salut dengan Iril yang bisa bangkit seperti sekarang ini. Menjadi Iril yang easy going. Iril yang loveable dan stupidly attractive.

    “Kamu kenapa, Ji-chan?” tanya Tomori membuyarkan lamunanku.

    Aku segera mengusap sisa air mata di pipiku. Aku menggeleng dan tersenyum pelan, memberitahu kalau aku tidak apa-apa.

    Tomori duduk mendekat dan mengusap bagian basah di pipiku yang belum terjamah usapanku. Aku tersenyum berterima kasih padanya.

    “Minggu depan kamu yang jadi saksi ahli kan? Apa hasil forensik udah selesai?” tanyaku ke Tomori.

    “Iya. Hasilnya selesai lusa ini. Kamu mau dateng nanti?” balas Tomori.

    “Ya. Makasih ya. Aku jadi sadar sesuatu,” ujarku.

    “Sesuatu apa?” timpa Tomori.

    “Kalau dipikir-pikir, Jamal sepertinya tidak bersalah. Bukan dia penyebab kematian Dicky,” tuturku.

    “Aku juga berpikir seperti itu. Apalagi jika melihat beberapa fakta forensik yang terungkap satu persatu selama pemeriksaan,” sahut Tomori.

    “Baguslah kalau begitu. Berarti ada bukti fisik yang bisa menyelamatkannya. Oh ya, aku boleh minta tolong?” tanyaku.

    “Tentu. Minta tolong apa, Ji-chan?”

    “Sepertinya ada kisah lain di balik kasus itu. The secret behind the hidden truth. Tapi aku belum bisa temukan buktinya. Aku butuh trigger.”

    “Katakan saja, aku pasti membantumu.”

    Aku tersenyum mendengar jawaban mantap Tomori. Tomori pun membalas senyumanku.

    Ya, aku akan mengungkap siapa penyebab kematian Dicky itu. Sepertinya aku tahu siapa orangnya.

    ***


    Bersambung ke Chapter 15 : The Expected and The Unexpected
  • Pertamax xD bentar hela napas dulu.
  • berkaca" baca surat a Iril T.T
    keren ka Rioo u.u
    aaa~~ nhga sabar pen baca lanjutanyaaa >.<
  • MarioBros wrote: »

    salut sama @RenoF yg mau bantuin aku nenangin nih kakak @cute_inuyasha, tapi jangan suruh dia ganti pp, ntar jadi rebutan di sini, huhu..

    Iya betul,,, semua bakal kaget kalo aq ganti pp,,, karna aq kembar identik sama sebastian castro. Huhuhu

    *padahal yg sebenarnya aq gak bisa ganti pp,katrok*

    Iooo,, km harus tanggung jawab udah bikin aq nangis baca isi curhatan iril,,,
    *please puk puk me*
    (Bahasa apa ituuuu????)

    Km udah bikin aq gak sabar baca lanjutan ceritanya. Pokoknya besok harus update,,, klo nggak aq bakalan ngumpulin massa buat demo. 8-}
  • Terimakasih buat update dan mentionnya bang @MarioBros :)

    Duh, child molestation. Tema yang sangat sensitif, dan ternyata tebakan mas @pujakusuma_rudi spot-on. Peluk erat untuk Iril yang lovable dan rekan-rekan lain yang (mungkin) pernah mengalami kejadian serupa. Pasti sangat berat dan traumatis, semoga bisa bangkit dan jadi lebih kuat ;)

    Panji yang biasanya well-composed jadi reaktif, prejudice dan judgmental. Untung ada Mori-kun yang tetep kept his composure. Dia emang ngeklik buat jadi pasangan Panji, tapi tetep aja sih I smell something fishy (halah). Btw, gak suka labelling gini-gitu, tapi jadinya Baim straight dan belum tahu kondisi Ibam. Trus Panji udah accept klo dia gay? Well, there goes my last ounce of hope #apasih :p

    Oh iya, da aku mah apa atuh, hanyalah sebuah entitas tidak bermakna di dunia yang fana ini. Bebas mo dipanggil bang atau mbak, dipanggil bebeb pun gak majalah #ngarep. Hahaha ane cowok bang, dan iya nih lagi merantau buat menuntut ilmu dan mencari segerobak batu akik. Makasih ya bang, have a splendid day :*
  • Jadi begini /ehem/ menurutku part ini bikin mencelos banget. Masih berkaitan dengan Iril ya intinya, meski ada kasus yang begini rumit. Tentang kasus aku nebak aja deh tapi dalam hati /heh/ biar rahasia kaya Panji. Kekekeke.

    Btw, ngomong tentang Panji yg mendadak labil, duuh, Iril ya :') gak nyangka dia sampe digituin. Itu kelam banget ya rahasianya. Biasanya bisa nih buat rada belok /digampar/ atau jadi fudan. /ketawa/ /geret Iril buat showeran/

    Itu aja. Aku bukan Panji-Tomori shipper. Jadi gak mau komen banyak tentang mereka. .___.v
  • Hmm, kirain ntar msih dpepet sama kisah sedih Panji ke Iril. Tapi ternyata, oh ternyata,, Iril T,T
    dugaanku sdkt mengena. Soalny Panji nangis pengen meluk Iril, satu ciri klau Iril pnya hal buruk dmasa lalu. klau nggk dari kecil sering dbully, yah mgkin ad satu kejadian yg parah abis smpai Iril trauma (random). *peluk Iril
    bang @MarioBros jgn lama ya updateny, penasaran juga sama prsidanganny,
  • turut berduka Iril. kasian bgt. gak kebayang trauma yg di timbulin dr kasus pedofil gitu. huhu. thanks update & mentionnya.
Sign In or Register to comment.